Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Jeruk Purut (Citrus hystrix)

1. Taksonomi

Taksonomi Jeruk Purut sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Sapindales

Famili : Rutaceae

Genus : Citrus

Spesies : Citrus hystrix (Dalimartha, 2006).

Gambar 2.1 Tanaman Jeruk Purut (Citrus hystrix) (Dalimartha, 2006)

2. Nama Daerah

Jeruk purut memiliki nama ilmiah yaitu (Citrus hystrix). Di Indonesia, tanaman

jeruk purut dikenal dengan berbagai nama diantaranya : unte mukur, unte panggir (Batak);

dema kafalo (Nias); limau purut, jeruk wangi, jeruk purut (Jawa); mude matang busur,

mude nelu (Flores); mute kereng (Alfuru); usi ela (Ambon); lemo jobatai, wama faleela

(Halmahera); lemao puruik (Minangkabau), jeruk linglang (Bali); Ahusi lepea (Sulawesi)

(Dalimartha, 2006).
3. Morfologi Jeruk Purut (Citrus hystrix)

Jeruk purut (Citrus hystrix) merupakan tumbuhan perdu yang dimanfaatkan

terutama buah dan daunnya sebagai bumbu penyedap masakan. Tumbuhanya berbentuk

pohon kecil (perdu), tinggi tanaman ini berkisar antara 3-5 m. Daun dan buah digunakan

sebagai makanan. Buahnya berwarna hijau tua ketika muda dan menjadi agak kekuningan

ketika tua, bulat telur, diameter 2-3 cm, terlihat kulit buah cukup tebal pada saat dibelah,

permukaan kulit kasar karena terdapat banyak tonjolan. Daunnya majemuk menyirip

beranak daun satu dan tangkai daun sebagian melebar menyerupai anak daun. Helaian

anak daun berbentuk bulat telur sampai lonjong, pangkal membundar atau tumpul, ujung

tumpul sampai meruncing, tepi bergerigi, panjang 8-15 cm, lebar 2-6 cm, kedua

permukan licin dengan bintik-bintik kecil berwarna jernih, permukaan atas warnanya

hijau tua agak mengkilap, permukaan bawah hijau muda atau hijau kekuningan, buram

dan jika diremas baunya harum. Bunganya berbentuk bintang, berwarna putih kemerahan

atau putih kekuningan. Pohon jeruk purut (Citrus hystrix) berduri banyak seperti limau

nipis, percabangan membentuk kanopi memayung yang lebar dan berakar tunggang

(Dalimartha, 2006).

4. Kandungan Daun Jeruk Purut

Jeruk purut termasuk suku Rutaceae yang berpotensi sebagai penghasil minyak

atsiri. Daun jeruk purut mengandung sabinena dan limonene yang berguna untuk

kosmetik, aromaterapi pencuci rambut, antelmintik, obat sakit kepala, nyeri lambung, dan

biopestisida. Daunnya juga sering digunakan sebagai rempah yang berfungsi untuk

memberi aroma yang khas pada masakan (Miftahendarwati, 2014).

Minyak atsiri daun jeruk purut disebut kaffir lime oil yang banyak digunakan

dalam industri makanan, minuman, farmasi, flavor, parfum, pewarna. Misalnya dalam

industri pangan banyak digunakan sebagai pemberi cita rasa dalam produk olahan

(Miftahendarwati, 2014).

Daun jeruk purut mengandung alkaloid, polifenol, α-tokoferol, minyak atsiri,

tanin, steroid triterpenoid, sitronellal, flavonoid sianidin, myricetin, peonidin, quercetin,

luteolin, hesperetin, apigenin, dan isorhamnetin. Senyawa kimia yang dominan ada pada

bagian-bagian tanaman jeruk adalah flavonoid dan minyak atsiri (Miftahendarwati,

2014).
Dari hasil uji fitokimia yang dilakukan oleh Rahmi, et al.(2013) didapatkan

bahwa daun jeruk purut sangat banyak mengandung senyawa metabolik sekunder.

Senyawa ini bertindak aktif dalam aktivitas antioksidan dan antibakteri, terutama

kandungan flavonoid.

a. Alkaloid

Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar.

Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Mekanisme yang diduga

adalah dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel

bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan

menyebabkan kematian sel (Miftahendarwati, 2014). Alkaloid bersifat lipofilik

sehingga dapat mengakibatkan integritas membran menurun dan morfologi

membran sel berubah, akhirnya dapat menyebabkan membran sel rapuh dan lisis

(Robinson, 1995 ; Setiadi 2016).

b. Polifenol

Polifenol bekerja dengan cara mendenaturasi protein sel bakteri sehingga

aktivitas sel terganggu dan menyebabkan kematian sel. Sehingga senyawa ini

banyak digunakan sebagai antiseptik oral (Miftahendarwati, 2014).

c. Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa polar yang umumnya mudah larut dalam

pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol dan aseton. Flavonoid merupakan

golongan terbesar dari senyawa fenol mempunyai sifat efektif menghambat

pertumbuhan virus, bakteri dan jamur. Senyawa-senyawa flavonoid umumnya

bersifat antioksidan dan banyak digunakan sebagai bahan baku obat-obatan.

Flavonoid bekerja sebagai antibakteri dengan cara menghambat sintesis asam

nukleat bakteri dan mampu menghambat motilitas bakteri. Flavonoid bekerja

dengan cara mengganggu pengikatan hidrogen pada asam nukleat sehingga

proses sintesis DNA-RNA terhambat. Selain itu flavonoid, juga dapat mencegah

pertumbuhan bakteri dengan cara mengganggu kestabilan membran sel dan

metabolisme energi bakteri. Ketidakstabilan ini terjadi akibat adanya perubahan

sifat hidrofilik dan hidrofobik membran sel sehingga fluditas membran sel

berkurang yang berakibat pada gangguan pertukaran cairan dalam sel. Hal ini
berdampak pada kematian sel bakteri. Sementara itu, menghambat kerja dari

enzim reduktase pada proses transfer elektron bakteri mengakibatkan

pertumbuhan bakteri terganggu. Hal ini berdampak pada kematian sel bakteri

(Miftahendarwati, 2014).

d. Tanin

Tanin merupakan substrat kompleks yang berada pada beberapa

tumbuhan yang memiliki campuran polifenol yang sulit untuk dipisahkan.

Substrat ini sulit untuk mengkristal, mudah teroksidasi, berpolimerisasi dalam

larutan, dan kelarutannya dalam pelarut sangat rendah (Harborne, 1996 ; Setiadi,

2016).

Tanin adalah senyawa fenol yang bekerja dengan cara menghambat

pertumbuhan bakteri dengan mengadakan denaturasi protein dan menurunkan

tegangan permukaan, sehingga permeabilitas bakteri meningkat. Kerusakan dan

peningkatan permeabilitas sel bakteri menyebabkan pertumbuhan sel terhambat

dan akhirnya dapat menyebabkan kematian sel (Miftahendarwati, 2014).

Mekanisme senyawa tanin sebagai antibakteri yaitu dengan menghambat enzime

reverse transkriptase dan DNA tropoisomerase sehingga sel bakteri tidak dapat

terbentuk (Robinson, 1995 ; Setiadi, 2016).

e. Steroid

Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa yaitu sterol, asam-asam

empedu, hormon seks, hormon adrenokortikoid, aglikon kardiak, dan sapogenin.

Steroid tidak mengandung asam lemak ataupun gliserol, karenanya tidak dapat

mengalami penyabunan. Mekanisme steroid sebagai antibakteri yaitu dapat

berinteraksi dengan membran fosfolipid sel yang bersifat impermeabel terhadap

senyawa-senyawa lipofilik sehingga menyebabkan integritas membran

menurun, morfologi membran sel berubah, dan akhirnya dapat menyebabkan

membran sel rapuh dan lisis (Robinson, 1995 ; Setiadi, 2016).


f. Saponin

Saponin dibedakan sebagai saponin triterpenoid dan saponin steroid.

Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol telah terdeteksi pada lebih dari 90

suku tumbuhan. Saponin ada pada seluruh tumbuhan dengan konsentrasi tinggi

pada bagian-bagian tertentu, dan di pengaruhi oleh varietas tumbuhan dan tahap

pertumbuhan (Harborne, 1996 ; setiadi, 2016). Mekanisme saponin sebagai anti

mikroba adalah terjadinya ikatan antara saponin dengan sterol pada permukaan

membran sel bakteri yang dapat meningkatkan permeabilitas membran sel

bakteri sehingga dapat mengubah struktur dan fungsi membran, menyebabkan

denaturasi protein, sehingga membran sel akan rusak dan lisis (Robinson, 1995

; Setiadi, 2016).

g. Minyak atsiri

Minyak atsiri adalah istilah yang digunakan untuk minyak yang bersifat

mudah menguap, yang terdiri dari campuran zat yang mudah menguap, dengan

komposisi dan titik didih yang berbeda-beda. Minyak atsiri yang mudah

menguap terdapat di dalam kelenjar minyak yang harus dibebaskan sebelum

disuling yaitu dengan merajang atau memotong jaringan tanaman sehingga

minyaknya dapat dengan mudah diuapkan. Minyak atsiri banyak digunakan

dalam industri sebagai pemberi aroma dan rasa. Nilai jual dari minyak atsiri

sangat ditentukan oleh kualitas minyak dan kadar komponen utamanya

(Miftahendarwati, 2014).

5. Khasiat dan Manfaat

Daunnya berkhasiat sebagai stimulan dan penyegar. Digunakan untuk mengatasi

badan letih dan lemah sehabis sakit berat. Kulit buah jeruk purut berkhasiat sebagai

stimulan, berbau khas aromatik, rasanya agak asin, kelat dan lama-kelamaan agak pahit.

Buahnya digunakan untuk mengatasi influenza, badan terasa lelah, rambut kepala yang

bau, serta kulit bersisik dan mengelupas (Redaksi AgroMedia, 2008).

B. Bakteri

Bakteri adalah salah satu golongan organisme prokariotik (tidak memiliki selubung

inti). Bakteri sebagai makhluk hidup tentu memiliki informasi genetik berupa DNA, tapi tidak

terlokalisasi dalam tempat khusus (nukleus) dan tidak ada membran inti (Jawetz et al. 2008).
Untuk memahami beberapa kelompok organisme, diperlukan klasifikasi. Tes biokimia,

pewarnaan gram, merupakan kriteria yang efektif untuk klasifikasi. Hasil pewarnaan

mencerminkan perbedaan dasar dan kompleks pada sel bakteri (struktur dinding sel), sehingga

dapat membagi bakteri menjadi 2 kelompok, yaitu bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-

negatif (Irianto, 2014). Salah satu bakteri gram positif yaitu Staphylococcus epidermidis, dan

bakteri gram negatif salah satunya adalah Salmonella typhi.

1. Staphylococcus epidermidis

a. Klasifikasi

Kingdom : Bacteria

Filum : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Ordo : Bacillales

Family : Staphylococcaceae

Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus epidermidis (Kuswiyanto, 2018)

Gambar 2.2 Bakteri Staphylococcus epidermidis (Gram positif), berwarna ungu dan
berbentuk bulat pada pewarnaan gram.
(sumber : Dokumen pribadi)
b. Sifat dan Morfologi

Staphylococcus epidermidis secara struktur internal tipikal bakteri prokariotik dan

Gram positif yang berbentuk bulat, tersusun dalam rangkaian tak beraturan seperti anggur,

tumbuh paling cepat pada suhu 37°C, membentuk pigmen paling bagus pada suhu kamar

(20°-25°C), bisa meragikan banyak karbohidrat dengan lambat, yang menghasilkan asam

laktat, tetapi tidak menghasilkan gas (Jawetz et al., 2008).

Staphylococcus epidermidis tidak mempunyai protein A pada dinding selnya,

bersifat koagulase negatif, yang membedakannya dengan Staphylococcus aureus.

Staphylococcus epidermidis memanfaatkan glukosa, fruktosa, sukrosa, dan laktosa untuk

membentuk produk asam secara aerobik, tidak memfermentasikan manitol. Staphylococcus

epidermidis sensitif terhadap novobiosin, dan tes ini membedakannya dengan

Staphylococcus saprophyticus, yang juga koagulase negatif, tetapi resisten novobiosin.

Pada media kultur padat berbentuk kokus berkelompok tidak teratur, susunannya mirip

anggur, menonjol, berkilau, tidak menghasilkan pigmen, berwarna putih porselen sehingga

Staphylococcus epidermidis disebut Staphylococcus albus. Bakteri ini tumbuh baik pada

NaCl 1-7%, koloni diameter 1-2 mm, bersifat anaerob fakultatif yang bisa tubuh terima

dengan respirasi aerobik atau dengan fermentasi (Jawetz et al., 2008).

c. Struktur Antigen

Staphylococcus mengandung polisakarida dan protein yang bersifat antigen yang

merupakan substansi penting didalam struktur dinding sel. Peptidoglikan, suatu polimer

polisakarida yang mengandung subunit-subunit yang terangkai, merupakan eksoskeleton

kaku pada dinding sel. Peptidoglikan, dihancurkan oleh asam kuat atau lisozim (Jawetz et

al. 2008).

d. Patogenesis

Staphylococcus epidermidis merupakan sebagian dari flora normal pada kulit,

saluran napas dan saluran cerna manusia. Pada umumnya tidak menjadi masalah bagi orang

normal yang sehat. Akan tetapi, kini organisme ini menyebabkan infeksi oportunistik.

Patogenitasnya merupakan efek gabungan dari berbagai macam metabolit yang

dihasilkannya. Staphylococcus epidermidis memproduksi toksin atau zat racun dan juga

memproduksi semacam lendir yang memudahkannya untuk menempel dimana-mana,

termasuk di permukaan alat-alat yang terbuat dari plastic atau kaca (Kuswiyanto, 2018).
Septikimia dan endokarditis penyakit yang berhubugan dengan Staphylococcus

epidermidis. Gejala yag timbul adalah demam, sakit kepala dan kelelahan akibat anoreksia

dan dispnea. Septikimia terjadi akibat infeksi neonatal, terutama ketika bayi lahir dengan

berat badan sangat rendah. Endokarditis adalah infeki pada katup jantung dan bagian

lapisan dalam otot jantung. Staphylococcus epidermidis dapat mencemari peralatan

perawatan pasien dan permukaan lingkungan (Kuswiyanto, 2018).

e. Pencegahan dan Pengobatan

Orang kebanyakan mempunyai Staphylococcus pada kulit dan dalam hidung atau

tenggorokan. Meskipun kulit dapat dibersihkan dari Staphylococcus (misalnya pada

eksema), dengan cepat akan terjadi reinfeksi melalui droplet. Organisme patogen sering

menyebar dari satu lesi (misalnya furunkel) ke daerah kulit lainnya melalui jari dan

pakaian. Oleh karena itu, antisepsis lokal yang cermat sangat penting untuk mengendalikan

furunkulosis yang berulang (Jawetz, et al. 2008).

Infeksi ganda yang berat pada kulit (jerawat, furunkulosis) paling sering terjadi

pada para remaja. Infeksi kulit yang serupa terjadi pada penderita yang memperoleh

kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama, menunjukkan peranan hormon dalam

patogenesis infeksi kulit oleh Staphylococcus. Pada jerawat, lipase dari Staphylococcus dan

korinebacteria melepaskan asam-asam lemak dari lipid dan menyebabkan iritasi jaringan.

Tetrasiklin dipergunakan untuk pengobatan jangka panjang (Jawetz, et al. 2005).

Infeksi Staphylococcus epidermidis sukar diobati karena infeksi sering terjadi di

dalam alat plastik (alat bantu tubuh seperti kateter intravena dan prostesis) sehingga bakteri

ini terlindung dari sirkulasi dan juga dari obat antimikroba. Staphylococcus epidermidis

lebih sering resisten terhadap obat antimikroba dari pada Staphylococcus aureus ; sekitar

60% strain Staphylococcus epidermidis resisten terhadap nafsilin (Jawetz, et al. 2008).
2. Bakteri Salmonella typhi

a. Klasifikasi Salmonella typhi

Kingdom : Bacteria

Filum : Proteobacteria

Kelas : Gammaproteobacteria

Ordo : Enterobacteriales

Family : Enterobacteriaceae

Genus : Salmonella

Spesies : Salmonella typhi (Kuswiyanto, 2018)

Gambar 2.3 Bakteri Salmonella typhi (Gram negatif), berwarna merah pada pewarnaan gram dan
berbentuk batang (Sumber : Todar, 2005)

b. Morfologi dan Fisiologi

Morfologi Salmonella ialah berbentuk batang, tidak berspora, bersifat gram

negatif, berukuran 1-35µm x 0,5-0.8 µm, besar koloni rata-rata 2-4 mm, memiliki flagel

(Kuswiyanto, 2018). Salmonella memiliki struktur antara lain inti (nukleus), sitoplasma,

dan dinding sel. Salmonella typhi tidak dapat memfermentasi laktosa, sehingga

menghasilkan asam dan gas sedikit dari fermentasi glukosa saja. Salmonella typhi dapat

tumbuh baik pada media Mc. Conkey dimana akan membentuk koloni yang tidak

berwarna. Banyak spesies Salmonella membentuk koloni pucat dengan bagian tengah

berwara hitam akibat produksi H2S ( Elliott, et al., 2014)

Salmonella typhi tumbuh pada suasa aerob dan anaerob fakultatif, pada suhu 15-

410C (tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 35-370C) dan pH pertumbuhan 6-8. Sifat

gerak positif, dan pada reaksi fermentasi Manitol dan Sorbitol positif, serta negatif pada

reaksi Indol, DNAse, Fenilalanin Deminase, Urease, Voges Proskauer, dan reaksi

fermentasi Sukrosa, Laktosa, adonitol serta tidak tumbuh dalam larutan KCN. hanya
sedikit membentuk gas H2S dan tidak membentuk gas pada fermentasi Glukosa

(Kuswiyanto, 2018).

c. Struktur Antigen

Salmonella mempunyai struktur antigen berupa antigen somatik (O) tahan terhadap

pemanasan 100oC, Alkohol dan Asam. Antibodi yang dibentuk terutama IgM. Antigen

flagel (H) rusak pada pemanasan 60oC, Alkohol dan Asam. Antibodi yang dibentuk

bersifat IgG. Antigen kapsul (Vi) rusak pada pemanasan 60oC selama 1 jam, penambahan

Fenol dan Asam (Kuswiyanto, 2018).

d. Patogenesis

Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab infeksi utama manusia, dan

infeksi ini bersumber dari manusia. Kebanyakan Salmonella, merupakan patogen pada

binatang yang merupakan reservoir infeksi pada manusia, contoh : unggas, babi, hewan

pengerat, ternak, binatang peliharaan (dari kura-kura sampai burung beo), dan banyak

lagi. Salmonella menyebabkan 3 tipe penyakit utama pada manusia, namun yang paling

serius adalah tipe pencampuran. Penyakit yang disebabkan Salmonella adalah demam

enterik (demam typhoid), bacterimia dengan luka fokal, Enterokolitis, dan Carrier

(Jawetz, et al. 2008).

e. Pencegahan dan Pengobatan

Imunisasi dengan vaksin monovalen Salmonella typhi memberikan proteksi yang

cukup baik. Vaksin akan merangsang produksi antibodi terhadap antigen Vi, O dan H.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa antibodi terhadap antigen H dapat memberikan

perlindungan terhadap Salmonella typhi, antigen Vi dan antigen O tidak (Kuswiyanto,

2018).

Pencegahan dapat dilakukan dengan upaya menjaga kesehatan makanan dan

minuman serta upaya mengobati carrier (bakteri dapat ditemukan dalam tinja dalam

waktu yang bervariasi) dan chronic carrier (bakteri dapat ditemukan dalam tinja selama

1 tahun). Selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi

vaksin monovalen Salmonella typhi (Kuswiyanto, 2018).

Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti Kloramfenikol,

Ampisilin, Amoksilin dan Trimetoprim-Sulfametoksazol dan Sefalosporin (Kuswiyanto,

2018).
C. Metode Uji Antimikroba

Pengukuran aktivitas antibakteri dapat ditentukan dengan melakukan uji Konsentrasi

Hambat Minimal (KHM) dan uji Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM).

1. Uji Konsentrasi Hambat Minimal (KHM)

Uji ini dilakukan untuk mengukur konsentrasi antibiotika yang diperlukan untuk

menghambat pertumbuhan suatu inokulum terstandarisasi di bawah kondisi yang ditentukan

dengan menggunakan metode mikrotiter semiotomatis dimana sejumlah obat-obatan tertentu

dilarutan dalam suatu volume kaldu yang kecil dan diinokulasikan dengan sejumlah

mikroorganisme. Pembacaan dilakukan pada konsentrasi hambat minimal yang dilihat dari

tabung kaldu yang tetap jernih (Jawetz, et al. 2008).

2. Uji Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM)

Uji konsentrasi bunuh minimal merupakan uji yang dilakukan untuk mengukur

kecepatan pembunuhan atau proporsi anti mikroba yang terbunuh dalam waktu tertentu

dengan cara melakukan subpembiakan kaldu yang jernih ke dalam perbenihan padat

antibiotika. Pembacaan hasil dilakukan dengan cara melihat konsentrasi yang sama sekali

tidak terdapat pertumbuhan mikroorganisme pada media perbenihan tersebut (Jawetz, et al.

2008).

Penentuan aktivitas antimikroba secara in vitro dengan penentuan Konsentrasi

Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM) dapat dilakukan dengan

salah satu dari dua metode yaitu dilusi dan difusi.

a. Metoda Dilusi

Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara

bertahap, baik dengan media cair atau padat. Kemudian media diinokulasikan dengan

bakteri uji dan dieramkan kemudian dilarutkan antimikroba dengan kadar yang

menghambat atau mematikan. Uji kepekaan cara dilusi agak memakan waktu dan

penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu saja, namun kini ada cara yang lebih

sederhana dan banyak dipakai, yakni menggunakan microdiluton plate. Keuntungan

mikrodilusi cair adalah bahwa uji ini memberi hasil kuantitatif yang menunjukkan jumlah

antimikroba yang dibutuhkan untuk menghambat (mematikan) mikroorganisme yang

diperiksa (Jawetz, et al. 2008).


b. Metode Difusi

Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Cakram kertas

saring berisi sejumlah obat tertentu yang ditempatkan pada permukaan media padat yang

sebelumnya telah diinokulasikan bakteri uji pada permukaannya. Setelah inkubasi,

diameter zona hambatan sekitar cakram dipergunakan mengukur kekuatan obat terhadap

organisme uji. Metode difusi ada dua cara, yaitu Kirby Bauer (Penentu berdasarkan

diameter zona hambat yang terbentuk) dan cara sumuran (Media agar dibuat sumuran

dengan garis tengah tertentu dan diteteskan larutan antibakteri ke dalamnya) (Jawetz, et

al. 2008).

D. Ekstrak

1. Pengertian Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh setelah melakukan proses ekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian

semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan

sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat

dengan mengesktraksi bahan baku obat secara perkolarasi. seluruh perkolat basanya

dipekatkan secara destilasi dengan pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin

terkena panas (Depkes RI, 2000).

2. Jenis Ekstrak (Depkes RI, 2000)

Berdasarkan atas sifatnya, ekstrak dikelompokkan menjadi 4 yaitu :

a. Ekstrak encer (Extractum tenue)

Sediaan ini memiliki konsistensi seperti madu dan dapat dituang.

b. Ekstrak kental (Extractum spissum)

Sediaan ini dilihat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang.

c. Ekstrak kering (Extractum siccum)

Sediaan ini memiliki konsistensi kering dan mudah digosokkan, melalui penguapan

cairan pengesktraksi.
d. Ekstrak cair (Extractum fluidum)

Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai

pelarut atau sebagai pengawet. Jika dinyatakan lain pada masing-masing monografi tiap

ml ekstrak mengandung senyawa aktif dari 1 gr simplisia yang memenuhi syarat.

Eksrak cair yang cenderung memiliki endapan dapat didiamkan dan disaring atau bagian

yang bening dienapkan tuangkan (dekantasi). Beningan yang diperoleh memenuhi

persyaratan Farmakope. Ekstrak cair dapat dibuat dari ekstrak yang sesuai.

3. Proses Pembuatan Simplisia (Depkes RI, 2000)

Proses awal pembuatan dimulai dari tahap pembuatan serbuk simplisia. Simplisia

adalah bahan baku yang dipergunakan sebagai obat yang belum diolah apapun. Tahapan-

tahapan pembuatan simplisia adalah sebagai berikut :

a. Sortasi basah

Sortasi basah adalah proses untuk memisahkan kotoran-kotoran atau benda asing

dari bahan simplisia (Depkes RI, 2000).

b. Pencucian bahan

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada bahan

simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih yang mengalir dan waktu yang

sesingkat mungkin, tujuannya untuk menghilangkan mikroba dari pengotoran namun

tidak menghilangkan zat berkhasiat simplisia tersebut (Depkes RI, 2000).

c. Perajangan

Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan,

pengepakan dan penggilingan. Tanaman yang sudah dicuci jangan langsung dirajang

tetapi dikeringkan terlebih dahulu dengan cara diangin-anginkan tetapi tidak terkena

cahaya matahari langsung. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau atau dengan alat

perajang khusus sehingga didapatkan irisan yang tipis. Semakin tipis bahan maka

semakin cepat penguapan air sehingga mempercepat waktu dalam pengeringan

simplisia (Depkes RI, 2000).


d. Pengeringan

Pengeringan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan simplisia yang tidak

mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Pengeringan

simplisia dapat dilakukan dengan cahaya matahari langsung atau menggunakan alat

pengering simplisia (Depkes RI, 2000).

Pembuatan serbuk simplisia dibuat dari simplisia utuh atau potongan-potongan

simplisia yang sudah dikeringkan. Proses pembuatan serbuk dilakukan dengan suatu

alat tanpa menyebabkan kerusakan atau menghilangkan kandungan kimia yang

dibutuhkan dan diperoleh serbuk dengan derajat kehalusan tertentu (Depkes RI, 2000).

3. Cairan Pelarut

Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik (optimal)

untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian senyawa

tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa kandugan lainnya, serta ekstrak

hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan. Dalam hal

ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit

sekunder yang terkandung.

Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari adalah selektvitas,

kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut, ekonomis, ramah lingkungan, serta

keamanan yang terjamin.

Sampai saat ini berlaku aturan bahwa pelarut yang diperbolehkan adalah air dan

alkohol (etanol) serta campurannya. Jenis pelarut lain seperti metanol dan lain-lain (alkohol

turunannya), heksana dan lain-lain (hidrokarbon aliphatik), toluen dan lain-lain,

(hidrokarbon aromatik), kloroform (dan segolongannya), aseton, umumnya digunakan

sebagai pelarut untuk tahap separasi dan tahap pemurnian (fraksinasi). Khusus metanol,

dihindari penggunaanya karena sifatnya yang toksik akut dan kronik, namun demikian jika

dalam uji ada sisa pelarut dalam ekstrak menunjukkan negatif, maka metanol sebenarnya

pelarut yang lebih baik dari etanol (Depkes RI, 2000).

Cairan pelarut dalam penelitian ini adalah etanol yang disebut juga etil alkohol yang

termasuk kedalam alkohol rantai tunggal dengan rumus kimia C2H5OH merupakan pelarut

serbaguna yang dapat larut dalam air dan pelarut organik lainnya. Etanol dapat dipandang

sebagai turunan dari etana C2H6 dengan salah satu atom H diganti dengan gugus hidroksil.
Zat kimia organik ini tidak berwarna, berupa cairan transparan, mudah menguap, memiliki

bau khas etanol, mudah terbakar, dapat larut dalam air, eteraseton, dan semua plarut

organik (Septiani, 2017).

Etanol dipertimbangkan sebagai larutan penyari karena sifatnya yang lebih

selektif, serta bakteri sulit untuk tumbuh dalam etanol yang konsentrasinya 20% keatas,

tidak beracun, lebih bersifat netral, baik dalam mengabsorbsi, etanol dapat bercampur

dengan air pada segala perbandingan, panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih

sedikit. Pelarut etanol merupakan salah satu pelarut yang dapat digunakan untuk mengikat

zat aktif minyak atsiri sehingga pelarut ini tepat digunakan untuk mengaktifkan zat aktif

dalam daun jeruk purut (Septiani, 2017).

4. Metode Ekstraksi

Menurut Departemen Kesehatan RI (2006) Ekstraksi adalah proses penarikan

kandungan kimia yang dapat larut dari suatu serbuk simplisia. Sehingga terpisah dari

bahan yang tidak dapat larut. Beberapa metode yang banyak digunakan untuk ekstraksi

antara lain :

a. Maserasi

Maserasi adalah proses ekstraksi simplisisa menggunakan pelarut dengan

beberapa kali pengadukan pada suhu ruangan. Prosedurnya dilakukan dengan

merendam simplisia dalam pelarut yang sesuai dalam wadah tertutup. Pengadukan

dilakukan dapat meningkatkan kecepatan ekstraksi. Kelemahan dari maserasi adalah

prosesnya membutuhkan waktu yang cukup lama. Ekstraksi secara menyeluruh juga

dapat menghabiskan sejumlah besar volume pelarut yang dapat berpotensi hilangnya

metabolit. Beberapa senyawa juga tidak terekstraksi secara efisien jika kurang

terlarut pada suhu kamar (270C). Ekstraksi secara maserasi dilakukan pada suhu

kamar (270C). Sehingga tidak menyebabkan degradasi metabolit yang tidak tahan

panas (DepKes RI, 2006).

b. Perkolasi

Perkolasi merupakan proses mengekstraksi senyawa terlarut dari jaringan

seluler simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya

dilakukan pada suhu ruangan. Perkolasi cukup sesuai, baik untuk ekstraksi

pendahuluan maupun dalam jumlah besar (DepKes RI, 2006).


c. Soxhlet

Metode ekstraksi soxhlet adalah metode ekstraksi dengan prinsip

pemanasan dan perendaman sampel. Hal itu menyebabkan terjadinya pemecahan

dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara didalam dan diluar sel.

Dengan demikian, metabolit sekunder yang ada didalam sitoplasma akan terlarut

dalam pelarut organik. Larutan itu kemudian menguap keatas dan melewati

pendingin udara yang akan mengembunkan uap tersebut menjadi tetesan yang akan

terkumpul kembali. Bila larutan batas lubang pipa samping soxhlet maka akan terjadi

sirkulasi. Sirkulasi yang berulang itulah yang menghasilkan ekstrak yang baik

(DepKes RI, 2006).

d. Refluks

Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya adalah ekstraksi

berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan cairan penyari

dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak, lalu dipanaskan

sampai mendidih. Cairan penyari akan menguap, uap tersebut akan diembunkan

dengan pendingin tegak dan akan kembali menyari zat aktif dalam simplisia tersebut.

Ekstraksi ini biasanya dilakukan 3 kali dan setiap kali diekstraksi selama 4 jam

(DepKes RI, 2006).

e. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada suhu

yang lebih tinggi dari suhu ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada suhu 40-50oC

(DepKes RI, 2006).

f. Infusa

Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada suhu penangas air (bejana

infuse tercelup dalam penangas air mendidih), suhu terukur (96-98oC) selama waktu

tertentu (15-20 menit) (DepKes RI, 2006).

g. Dekok

Dekok adalah infuse pada waktu yang lebih lama dan suhu sampai titik

didih air, yaitu pada suhu 90-100oC selama 30 menit (DepKes RI, 2006).
E. Landasan Teori

Penyakit infeksi masih merupakan jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh

penduduk di negara berkembang, termasuk Indonesia. Penyakit infeksi disebabkan oleh

mikroorganisme salah satunya bakteri. Contoh bakteri yang sering menyebabkan infeksi

adalah Staphylococcus epidermidis dan Salmonela typhi. Staphylococcus epidermidis

merupakan flora normal pada kulit manusia, saluran pencernaan dan pernafasaan dan

merupakan bakteri gram positif yang dapat menyebabkan infeksi oportunistik. Salmonella

typhi pada manusia dan hewan bersifat patogen yang dapat menyebabkan enteritis, infeksi

sistemik, demam enterica atau demam tifoid (Kuswiyanto, 2018).

Pengobatan infeksi dapat dilakukan dengan salah satu bahan alami yang dapat

dikembangkan sebagai antibakteri, yaitu daun jeruk purut (Citrus hystrix). Menurut

Miftahendarwati, (2014) daun jeruk purut (Citrus hystrix) mengandung alkaloid, saponin,

polifenol, flavonoid, tanin 1,8 %, steroid dan minyak atsiri 1 – 1,5 %. Senyawa yang

terdapat dalam daun jeruk purut yang berfungsi sebagai antibakteri adalah alkaloid,

flavonoid dan tanin.

Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Mekanisme yang diduga adalah

dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga

lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel

(Miftahendarwati, 2014). Flavonoid berkerja sebagai antibakteri dengan cara menghambat

sintesis asam nukleat bakteri dan mampu menghambat motilitas bakteri (Miftahendarwati,

2014). Tanin adalah senyawa fenol yang bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan

bakteri dengan mengadakan denaturasi protein dan menurunkan tegangan permukaan,

sehingga permeabilitas bakteri meningkat (Miftahendarwati, 2014).

Pembuatan ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix) menggunakan metode maserasi

dengan larutan penyari etanol 96%. Metode pengujian yang digunakan dalam penelitian ini

ialah metode dilusi, pertama menguji Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) dengan melihat

kejernihan larutan uji pada kadar terkecil kemudian konsentrasi larutan uji yang di tetapkan

sebagai KHM dikultur ulang pada media padat dan di inkubasi 24 jam. Jika pada media

tidak terdapat pertumbuhan mikroba setelah inkubasi maka ditetapkan sebagai Konsentrasi

Bunuh Minimal (KBM) (Jawetz, et al.2008).


F. Kerangka Teori

Daun Jeruk Purut (Citrus hydrix)

Maserasi Ekstraksi Etanol 96 %

Antibakteri

Alkaloid Flavonoid Tanin

Pertumbuhan bakteri Staphylococcus


epidermidis dan Salmonella typhi

Uji aktivitas antimikroba

Dilusi

Konsentrasi Hambat Minimal (KHM)

Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM)

Gambar 2.1. Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai