Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A Tinjauan Tanaman Jeruk Purut (Citrus hystrix)


Jeruk purut dikenal sebagai kaffir lime. Jeruk purut tumbuh di daerah tropis
terutama di bagian Asia Selatan (Miftahendrawati, 2014). Jeruk purut tergabung kedalam
famili Rutaceae, yaitu bagian daun dan buahnya bisa digunakan oleh penduduk sebagai
obat tradisional (Vankatachalem, 2018). Daun jeruk purut dapat digunakan dalam bentuk
daun yang segar maupun yang kering dengan cara menyimpandaun ini agar tetap segar
yaitu harus dalam kondisi lingkungan yang dingin. Akan tetapi apabila terlalu dingin
(kurang dari 8°C) dan berkepanjangan dapat menyebabkan cedera dingin pada daun dan
dengan demikian akan mempercepat perubahan fisiologis dan biokimiadi dalam daun
sehingga menyebabkan hilangnya selulerintegritas dan menyebabkan kematian sel
(Venkatachalam, 2019).

1. Klasifikasi Tanaman Jeruk Purut (Citrus hystrix) sebagai berikut:


Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Geraniales
Famili : Rutaceae
Genus : Citrus
Spesies : Citrus hystrix
Sinonim : Citrus paeda Miq. (Pakaya, 2013)
a. Pohon b. Daun

Gambar II.1 Tanaman Jeruk Purut


(Dokumentasi Pribadi)

2. Nama Daerah
Tanaman jeruk purut (Citrus hystrixD. C) merupakan salah satu dari suku
rutaceae.Citrus hystrixyang disebut 'limau purut' di Malaysia, 'jeruk purut' di Indonesia
dan 'som makrut' di Thailand. Tanaman ini berasal dari Asia dan dibudidayakan di
seluruh bagian dunia yang lebih hangat (Burkill dalam Nor,1999).

3. Morfologi Tanaman Jeruk Purut (Citrus hystrix)


Jeruk purut dapat tumbuh hingga 2-12 meter, batangnya kecil, bengkok, dan
bercabang rendah. Batang yang sudah tua bentuknya bulat, hijau tua, polos atau
berbintik.(Dalimartha, 2006).
Daun tunggal, berseling, lonjong, tepi beringgit, ujung meruncing, pangkal
membulat, panjang 4-5,5 cm, lebar 2-2,5 cm, tangkai bersayap, panjang 2-5 cm, hijau,
pertulangan menyirip, permukaan berbintik, hijau (shingwa, 2012)
Sebaiknya menggunakan daun jeruk purut yang berwarna hijau tua karena jika
daun diremas maka akan tercium bebauan yang khas selain itu lebih banyak mengandung
zat tannin, steroid triterpenoid dan juga minyak atsiri. Sumber bau harum pada daun
jeruk purut sesungguhnya berasal dari kandungan minyak atsirinya yang tinggi (suystore,
2013)
Bunga majemuk, bentuk tandan, di ketiak daun, tangkai silindris, panjang ± 2 cm,
hijau, kelopak bentuk bintang, hijau kekuningan, benang sari silindris, panjang 3-6 mm,
putih, tangkai putik silindris, panjang 3-5 mm, kepala putik bulat, kuning, mahkota lima
helai, bentuk bintang, putih. Bakal buah berkedudukan lebih tinggi daripada tepi dasar
bunga dan tidak berlekatan dengan dasar bunga. Buah bulat, diameter 4-5 cm,
permukaan berkerut, hijau. Biji bulat telur, putih. Daging buah hijau, rasanya sangat
asam agak pahit, akar tunggang, putih kekuningan (shingwa, 2012).

4. Kandungan Senyawa Tanaman Jeruk Purut (Citrus hystrix)


Tanaman jeruk purut memiliki metabolit sekunder yang berupa senyawa bioaktif.
Senyawa bioaktif dapat diartikan sebagai metabolit sekunder yang memiliki efek
farmakologis dan/atau toksikologis pada manusia dan hewan, tidak termasuk nutrien
yang berada pada tumbuhan (seperti vitamin dan mineral). Metabolit sekunder tidak
digunakan tumbuhan sebagai bahan utama dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan, akan tetapi sebagai senyawa yang sifatnya melindungi tanaman. Oleh
karena itu, produk metabolit sekunder memiliki kuantitas yang lebih sedikit
dibandingkan dengan produk metabolit primer dan merupakan hasil sampingan dari
biosintesis primer (Bernhoft, 2010)

5. Manfaat Tanaman Jeruk Purut (Citrus hystrix)


Jeruk purut merupakan tanaman yang dikenal luas oleh masyarakat indonesia,
dan memiliki banyak kegunaan. Baik daun maupun buahnya banyak digunakan sebagai
obat tradisional. Bagian daun biasanya digunakan untuk mengatasi badan letih dan lelah
setelah sakit berat serta untuk penyedap masakan. Sedangkan kulit buah jeruk purut
digunakan sebagai obat bisul, panas dalam, dan radang kulit. Buah jeruk purut juga
sering digunakan untuk mengatasi influenza, badan terasa lelah, dan mewangikan rambut
(Dalimartha dalam Suryaningrum, 2011)
B Tahapan Skrining Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix)
1. Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun, kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah
dikeringkan (Depkes RI, 1979). Pembuatan simplisia diawali dengan pengumpulan
bahan baku, sortasi basah, pencucian, penirisan, perajangan, pengeringan, sortasi kering,
pengemasan dan penyimpanan, serta pembuatan serbuk simplisia.
2. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang didapatkan dengan mengekstraksi simplisia
nabati maupun hewani dengan pelarut yang sesuai. Semua atau hampir semua bagian
pelarut diuapkan sehingga massa atau serbuk diperlakukan sedemikian rupa sampai
sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan (Depkes RI, 1995). Parameter yang
mempengaruhi kualitas ekstrak yaitu bagian tumbuhan yang digunakan, pelarut yang
digunakan dan prosedur ekstraksi (Tiwari, et al., 2011).
3. Ekstraksi
Ekstraksi atau penyarian adalah proses pemisahan senyawa dari matriks atau
simplisia dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Hanani, 2015). Prinsip ekstraksi
adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam
pelarut non polar (like dissolve like). Selama proses ekstraksi, pelarut akan berdifusi
sampai ke material padat dari tumbuhan dan akan melarutkan senyawa sesuai tingkat
kepolarannya (Tiwari, et al., 2011). Faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi adalah
pemilihan pelarut dan metode ekstraksi yang meliputi (lama ekstraksi, suhu, lama
pengadukan, proses penyaringan dan pemekatan). Hal yang harus diperhatikan dalam
pemilihan jenis pelarut adalah daya melarutkan, titik didih, sifat toksik, mudah tidaknya
terbakar dan sifat korosif terhadap peralatan ekstraksi (Khopkar, 2008). Dalam penelitian
ini, metode ekstraksi yang digunakan adalah metode maserasi.
Maserasi merupakan penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa
kali penggojokan atau pengadukan pada suhu kamar (Ditjen POM, 2000). Maserasi
dilakukan dengan cara perendaman sampel dan terjadi pemecahan dinding membran sel
akibat perbedaan tekanan antara didalam dan diluar sel, sehingga metabolit sekunder
yang ada disitoplasma akan larut dalam pelarut organik. Larutan yang konsentrasinya
tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan dengan konsentrasi rendah, peristiwa
tersebut dilakukan secara berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara
larutan didalam dan diluar sel (Voight, 1995 dalam meylisa, 2019).
Kelebihan dari metode maserasi adalah sederhana, relatif murah, tidak
memerlukan peralatan yang rumit, terjadi kontak antara sampel dan pelarut yang cukup
lama dan dapat menghindari kerusakan komponen senyawa yang tidak tahan panas.
Kekurangan dari metode ini adalah memerlukan waktu yang lama dalam pengerjaannya,
membutuhkan pelarut yang banyak dan penyarian kurang sempurna. Dalam maserasi
disimpan dalam wadah tertutup untuk waktu tertentu dengan pengadukan yang sering,
sampai zat tertentu dapat terlarut (Tiwari, et al., 2011). Pemilihan pelarut organik yang
digunakan dalam ekstraksi komponen aktif merupakan faktor penting dalam tercapainya
sasaran ekstraksi komponen. Beberapa jenis pelarut organik dapat digunakan dalam
proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan dalam mengekstrak senyawa aktif Daun Jeruk
Purut (Citrus hystrix) adalah etanol 70%. Digunakan etanol 70% agar senyawa metabolit
dapat tertarik kedalam senyawa polar ataupun senyawa non polar, selain itu pelarut
etanol merupakan pelarut universal yang mudah melarutkan senyawa yang sesuai dengan
cukup cepat karena titik didih yang tinggi, memiliki konstanta dielektrik yang cukup
rendah dibandingkan dengan metanol sehingga dapat mudah diuapkan tanpa
menggunakan suhu yang tinggi, bersifat inert, serta memiliki harga yang terjangkau
(Guenther, 2006).

C Skrining fitokimia Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix)


Skrining fitokimia adalah metode analisis yang dilakukan melalui serangkaian
pengujian untuk menentukan jenis metabolit sekunder yang terdapat pada tumbuhan
karena sifatnya dapat bereaksi secara khas dengan pereaksi tertentu. Skrining fitokimia
merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang
sedang diteliti. Metode skrining fitokimia dilakukan dengan melihat reaksi pengujian
warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna (Minarno, 2015).
Berikut adalah beberapa kandungan senyawa pada Daun Jeruk Purut (Citrus
hystrix) :

1. Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa metabolit sekunder yang memiliki struktur inti C6-
C3-C6 yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan dengan 3 atom C, biasanya dengan
ikatan atom O yang berupa ikatan oksigen heterosiklik. Senyawa ini dapat dimasukkan
sebagai senyawa polifenol karena mengandung dua atau lebih gugus hidroksil, bersifat
agak asam sehingga dapat larut dalam basa (Hanani, 2014).

Gambar II.2 Struktur Dasar Flavonoid


(sumber : Pelczar dan Chan, 1998 dalam Putri, 2010)
Senyawa flavonoid merupakan senyawa yang bersifat polar dan dapat
mendenaturasi protein sel bakteri sehingga merusak membran sel tanpa dapat diperbaiki
lagi (Pelczar dan Chan, 1998 dalam Putri, 2010).
2. Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder terbanyak yang memiliki atom
nitrogen, yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan dan hewan. Sebagian besar senyawa
alkaloid bersumber dari tumbuhan, terutama angiosperm (Wink, 2008).

Gambar II.3 Struktur Dasar Alkaloid


(sumber : Septiana, 2011)
Sama halnya dengan senyawa flavonoid, senyawa alkaloid terbukti toksik dengan
bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut dalam tubuh larva Artemia salina,
dengan mengganggu saluran pencernaannya. Senyawa alkaloid menghambat reseptor
perasa pada daerah mulut larva yang mengakibatkan larva gagal mendapat stimulus rasa
sehingga tidak mampu mengenali makananya, dan membuat larva mati kelaparan (Rita,
et al., 2008). Selain itu, alkaloid digunakan sebagai antibakteri karena komponen
peptidoglikan penyusun sel bekteri diganggu yang dapat mengakibatkan terjadinya lisis
pada lapisan dinding sel bakteri (Septiana, 2011).

3. Saponin
Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida atau glikosida steroida yang
merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi
berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah merah
(Harborne, 1996 dalam meylisa, 2019).
Gambar II.4 Struktur Kimia Saponin
(sumber : Harborne, 1996 dalam meylisa, 2019)
Menurut Robinson (1995) senyawa saponin dapat digunakan sebagai agen
antimikroba. Mekanisme kerjanya dengan cara mendenaturasi protein, dimana tegangan
permukaan dinding sel bakteri akan diturunkan dan permeabilitas membran bakteri
dirusak (Sani, 2013). Kelangsungan hidup bakteri terganggu akibat rusaknya membran
sel, maka saponin akan berdifusi melalui membran sitoplasma dan kestabilan membran
terganggu sehingga menyebabkan sitoplasma mengalami kebocoran dan keluar dari sel
yang dapat mengakibatkan kematian sel (Pleczar dan Reid, 1972).
4. Steroid
Steroid adalah senyawa golongan lipida yang mengalami penyatuan cincin
karbon. Steroid tidak mengandung asam lemak ataupun gliserol sehingga tidak
mengalami penyabunan (Hart, 1990 dalam meylisa, 2019). Senyawa steroid mengandung
gugus OH-, sering disebut sterol dengan sifat yang cenderung lebih polar.

Gambar II.5 Struktur Kimia Steroid


(sumber: Hart, 1990 dalam meylisa, 2019)
5. Terpenoid
Terpenoid merupakan komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai bau dan
dapat diisolasi dari minyak atsiri. Minyak atsiri yang berasal dari bunga pada awalnya
dikenal dari penentuan struktur secara sederhana, yaitu dengan perbandingan atom
hidrogen dan atom karbon dari suatu senyawa terpenoid yaitu 8:5 dan dengan
perbandingan tersebut dapat dikatakan bahwa senyawa tersebut adalah golongan
terpenoid (Lenny, 2006)

6. Tanin
Tanin merupakan golongan senyawa aktif tumbuhan yang bersifat fenol
mempunyai rasa sepat dan mempunyai kemampuan menyamak kulit. Secara kimia tanin
dibagi menjadi dua golongan, yaitu tanin terkondensasi atau tanin katekin dan tanin
terhidrolisis (Robinson, 1995). Tanin terkondensasi terdapat salam paku-pakuan,
gimnospermae dan angiospermae, terutama pada jenis tumbuhan berkayu. Tanin
terhidrolisis penyebarannya terbatas pada tumbuhan berkeping dua.
D Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix)
KLT merupakan suatu teknik pemisahan dengan menggunakan adsorben (fase
stasioner) berupa lapisan tipis seragam yang disalutkan pada permukaan bidang datar
berupa lempeng kaca, plat aluminium, atau plat plastik. Pengembangan kromatografi
terjadi ketika fase gerak tertapis melewati adsorben. Keuntungan dari penggunaan KLT
adalah memerlukan waktu analisis yang cepat, penggunaan alat–alatnya sedikit,
sederhana, harga murah, serta memiliki daya analisa yang baik. Faktor retardasi
(Retardation Factor = Rf) adalah parameter yang digunakan untuk menggambarkan
migrasi senyawa dalam KLT. Nilai Rf merupakan parameter yang menyatakan posisi
noda pada fase diam setelah dielusi. Penentuan harga Rf analit, yaitu membandingkan
jarak migrasi noda analit dengan jarak migrasi fase gerak/eluen. Retardasi faktor dapat
dihitung sebagai rasio :
jarak migrasi analit Zs
Rf = =
jarak migrasi eluen Zf
Nilai Rf berkisar antara 0 dan 1 dan nilai Rf terbaik antara 0,2- 0,8 untuk deteksi UV dan
0,2-0,9 untuk deteksi visibel serta 20-80 untuk Rf relatif pada deteksi UV. Pada Rf
kurang 0,2 belum terjadi kesetimbangan antara komponen senyawa dengan fase diam
dan fase gerak sehingga bentuk noda biasanya kurang simetris. Sedangkan pada Rf diatas
0,8 noda analit akan diganggu oleh absorbansi pengotor lempeng fase diam yang
teramati pada visualisasi dengan lampu UV. Sedangkan pada deteksi visibel Rf dapat
lebih tinggi dari deteksi UV, hal ini disebabkan pengotor fase diam tidak bereaksi dengan
penampak noda sehingga noda yang berada pada Rf 0,2-0,9 masih dapat diamati dengan
baik. Dengan mengontrol kondisi pengembangan seperti kejenuhan chamber, komposisi
campuran pelarut yang konstan, temperatur konstan dan lain-lain akan didapat nilai Rf
yang reprodusibel (Wulandari, 2011).

E Tinjauan Hewan Uji


1. Kajian Umum Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Spesies Aedes merupakan vector penyebar virus dengue penyebab
penyakit. Demam Berdarah Dangue (DBD) yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus,
namun dalam penuluran virus dangue nyamuk Aedes aegypti lebih berperan dari pada
nyamuk Aedes albopictus karena habitat Aedes aegypti lebih dekat dengan lingkungan
hidup manusia dari pada habitat nyamuk Aedes albopictus yang berada di kebun-kebun
dan rawa-rawa (Umi, 2011). Aedes aegypti tersebut merupakan nyamuk pemukiman,
yang stadium pradewasanya mempunyai habitat perkembangbiakan di tempat
penampungan air/wadah yang berada di permukiman dengan air yang relatif jernih
(Buletin Jendela Epidemiologi, 2010).
pada penelitian ini menggunakan nyamuk dewasa. Nyamuk dewasa dipilih karena
saat dewasa nyamuk membutuhkan makanan untuk berkembang biak terutama nyamuk
betina. Makanan nyamuk berupa darah hewan atau manusia dan probandus yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tangan manusia. Jika nyamuk betina tidak
mendapatkan cairan darah yang cukup nyamuk betina akan mati (Aini, dkk., 2016).
2. Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti
Dalam taksonomi nyamuk Aedes aegypti diklasifikasikan sebagai berikut
(Habil, 2011):
Kerajaan : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Genus : Aedes
Subagenus : Stegomyia
Spesies : Aedes aegypti

3. Morfologi nyamuk Aedes aegypti


Nyamuk Aedes aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian yaitu kepala, dada dan
perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu.
Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk- pengisap (piercing-sucking) dan termasuk lebih
menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk hjantan bagian mulut lebih
lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena itu tergolong lebih
menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina mempunyai antena tipe pilose
(Habil, 2011).

Gambar II.7 Morfologi nyamuk Aedes aegypti


(sumber: Anonim, 2011)
Keterangan: a. Rongga dada, b. Kaki, c. Antena, d. Palpus, e. Belalai, f. Sayap

Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang dengan tubuh berwama
hitam kecoklatan, memiliki kaki panjang dan merupakan serangga yang memiliki
sepasang sayap sehingga tergolong pada ordo Diptera dan family Culicidae. Tubuh dan
tungkainya ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan. Di bagian punggung
(dorsal) tubuhnya tampak dua garis melengkimg vertikal di bagian kiri dan kanan yang
menjadi ciri dari spesies ini. Sisik-sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah
rontok atau terlepas sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua. Ukuran
dan wama nyamuk jenis ini kerap berbeda antar populasi, tergantung dari kondisi
lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk seiama perkembangan.

4. Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti


nyamuk penular demam berdarah dengue (Aedes segypti L.) dalam siklus
hidupnya mengalami perubahan bentuknya (metamorphose) sempurna yaitu dari telur,
jentik (larva), kepompong (pupa) dan nyamuk dewasa. Nyamuk Aedes segypti L.
Mengalami metamorfisis sempurna, artinya daur hidupnya mengalami perubahan bentuk
dari telur, larva, pupa (kepompong), dan dewasa. (sayono et al., 2012)

Gambar II.8 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti


(sumber: Global Pest, 2013)

F Kajian Umum Repellent


Repellent adalah substansi yang digunakan untuk melindungi manusia dari
gangguan nyamuk dan serangga pengigit lainnya. Secara umum repellent dibagi menjadi
2 kategori, yakni Repellent kimia dan Repellent alami. Repellent kimia misalnya DEET
(N, N diethyl-m-Toluamide). Repellent alami dapat digunakan peptisida nabati. Peptisida
nabati menimbulkan residu relative rendah pada bahan makanan dan lingkungan serta
dianggap lebih aman dari pada pestisida sintesis. Pestisida nabati dapat diperoleh melalui
tumbuhan penghasil insektisida nabati. Insektisida nabati adalah kelompok tumbuhan
yang menghasilkan pestisida pengendali hama insekta (Rusdhy, 2012). Repellent
digunakan dengan cara menggosokkan pada tubuh atau menyemprotkan pada pakaian.
Oleh karena itu repellen mempunyai syarat.
a. Sifat fisio kimia seperti stabilitas, kompattbe) (dengan bahan lain dalam
formulasi)
b. Efektif dan berefek lama sebagai repellen c. Bersifat spektrum luas (efek terhadap
macam jenis serangga)
c. Toksisitas rendah, tidak berbahaya, tidak menyebabkan iritasi
d. Nyaman digunakan
e. Tidak merusak pakaiaan, tahan air
f. Sumber bahan banyak, teknologi industri sederhana, biaya rendah, harga
teijangkau
Efektifitas penggunaan repellent dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
komponen kimia bahan aktif, titik didih dan kecepatan penguapan, jenis serangga target,
pemakai (lingkungan, kelembaban udara, temperature atmosfer, dan sirkulasi udara).
Pengendalian nyamuk dengan Repellent mempunyai keuntungan misalnya digunakan
secara perorangan dengan mudah, mencegah polusi lingkungan, dan toksistas rendah
(Rusdhy, 2012).

G Mekanisme Kerja Senyawa Repellent


Senyawa fitokimia yang berpotensi memberikan efek repellent yaitu senyawa
flavonoid. Flanovoid adalah salah satu senyawa yang memberi rasa pada tanaman. Rasa
yang terkandung dalam senyawa flavonoid dapat bertindak sebagai penolak nyamuk.
Flavonoid yang terhirup oleh nyamuk akan mengganggu sistem respirasi dan
menyebabkan penurunan fungsi oksigen. Hal ini menyebabkan gangguan syaraf dan
gangguan spirakel yang berakhir pada kematian. Selain itu flavonoid juga berpotensi
sebagai repellent karena dapat memengaruhi perilaku, pertumbuhan, dan perkembangan
nyamuk. (Shinta, 2020)
Alkaloid merupakan anticholinesterace yang berfungsi menghambat kerja enzim
cholinesterase yang mempengaruhi transmisi implus syaraf. Senyawa atau zat aktif yang
bersifat toksik walaupun dalam kosentrasi rendah, apabila masuk dalam tubuh nyamuk.
Dan dapat menyebabkan kematian pada nyamuk. (Utami, 2017)
Tanin merupakan salah satu polifenol Jika tanin bersentuhan dengan mulut
penghisap nyamuk, akan menyebabkan timbulnya rasa astringent. Astringent adalah rasa
yang mengerutkan mulut, membuat mulut penghisap mati rasa, dan menyempitkan
tenggorokan. Hal tersebut dapat mencegah nyamuk agar tidak menggigit manusia.
(Cahyati, 2017)
Saponin merupakan golongan glikosida dengan karakteristik memiliki agen
bioaktif karena rasanya yang pahit dan tajam sehingga dapat mencegah nyamuk untuk
menggigit manusia. Saponin juga dapat juga dapat masuk melalui sistem respirasi
nyamuk dan menyebabkan kerusakan membran sel atau terganggunya proses
metabolisme. (Shinta, 2020)
Salah satu senyawa turunan Terpenoid yang diduga memiliki aktivitas repellent
yaitu jasmolin. Jasmolin merupakan senyawa turunan pyretrin yang termasuk golongan
terpenoid. Jasmolin diduga memiliki aktivitas sebagai insektisida nabati dengan
menyerang sistem syaraf nyamuk, yang menyebabkan nyamuk mengalami gejala kejang-
kejang dan lumpuh. (Shinta,2020)

Anda mungkin juga menyukai