Anda di halaman 1dari 12

STANDARISASI SIMPLISIA DAN IDENTIFIKASI METABOLIT

SEKUNDER EKSTRAK ETANOL DAUN TELANG (Clitoria ternatea L.)


YANG TUMBUH DI DAERAH NUSAPENIDA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Indonesia secara umum semakin banyak menuju paradigma
“Back to Nature” dengan memilih menggunakan bahan alami untuk mengatasi
masalah kesehatan. WHO (World Health Organization) juga merekomendasikan
penggunaan obat tradisional atau obat herbal dalam memelihara kesehatan
masyarakat serta untuk pencegahan dan pengobatan penyakit terutama penyakit
metabolik degeneratif dan kanker (Verma, et al., 2011). Secara umum
Pengobatan tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara, obat
dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun
temurun, dan atau pendidikan/pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan norma
yang berlaku dalam masyarakat (Menkes, 2003).
Di Bali, pengobatan tradisional disebut dengan usadha bali. Dimana
usadha bali dikenalkan oleh para leluhur yang merupakan ilmu pengetahuan
penyembuhan yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu. Di Bali diperkirakan
terdapat kurang lebih 50.000 buah lontar usadha yang tersebar di seluruh desa-
desa yang ada, dan beberapa ribu diantaranya telah disimpan di Gedung Kirtya
Singaraja, Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Pusat Dokumentasi Pemda
Tingkat I Bali di Denpasar.
Kata usadha secara etimologis berasal dari bahasa Jawa Kuno, yaitu:
usadha, yang berarti obat. Kata usadha digunakan untuk pengganti kata
osadha/ausadha, dan berupa kata pungutan yang berasal dari bahasa Sanskerta
yang berarti tumbuhan ramuan bumbu digunakan untuk obat-obatan
(Zoutmulder & Robson, 2006). Kata usadha inilah yang kemudian menjadi kosa
kata bahasa Indonesia dan juga bahasa Bali, yang berarti ilmu pengobatan (Tim
Penyusun Kamus Bali-Indonesia, 2007). Di beberapa daerah kata usadha ini
telah dijadikan bahasa Bali, sehingga menjadi wisada, yang berarti ubad, tamba,
atau obat. Di dalam lontar usada, secara mitologi tumbuh-tumbuhan dikatakan
dapat berbicara dan menceritakan khasiat dirinya. Cara penggunaan obat yang
terdapat dalam lontar usadha, pada umumnya dilakukan secara tradisional seperti
dijadikan loloh atau obat minum, tutuh (pemberian obat dengan jalan mengisap
cairan melalui hidung atau dengan meneteskan pada hidung), boreh (parem),
urap atau usug (obat gosok), ada pula yang berupa minyak yang dioleskan pada
tubuh. Bagian-bagian dari tumubuhan yang dapat digunakan dalam pengobatan
menurut usada bermacam-macan mulai dari daun, bunga, buah, biji, kulit batang,
getah, akar, rimpang maupun keseluruhan bagian tumbuhan tersebut.
Salah satu tanaman yang biasanya digunakan dalam usadha bali yaitu
telang (Clritoria ternate L.). Telang merupakan tumbuhan merambat yang biasa
ditemukan di pekarangan atau tepi hutan. Tanaman ini banyak dijumpai di Bali
sebagai tanaman hias. Bunga telang dalam usada bali digunakan sebagai
pengobatan untuk penyakit mata (usadha netra). Selain itu bunga telang ini juga
sering digunakan sebagai pewarna alami pada makanan atau minuman,
sedangkan daun telang yang sudah dikeringkan biasanya digunakan sebagai teh
oleh orang tua di Bali yang dipercaya dapat mengobati radang lambung,
penghilang dahak, haid tidak lancar, dan mengobati gangguan saluran kencing.
Agar khasiat dan stabilitas ekstrak daun telang ini dapat terjamin, maka
perlu dipenuhi suatu standar mutu produk / bahan ekstrak, hal ini tidak terlepas
dari pengendalian proses, artinya bahwa proses yang terstandar dapat menjamin
produk yang terstandar mutunya. Dengan adanya bahan baku terstandar dan
proses yang terkendali, maka akan diperoleh produk / bahan ekstrak yang
mutunya terstandar.
Dari banyaknya manfaat yang terkandung dalam daun telang, sehingga
penelitian terhadap ekstrak etanol daun telang dan standarisasi simplisia perlu
dilakukan untuk mengetahui metababolit sekunder yang terkandung di dalamnya
dan memberikan jaminan mutu kefarmasian bahwa bahan baku (simplisia)
tersebut memenuhi persyaratan untuk diproses lebih lanjut menjadi sediaan
fitofarmaka.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah simplisia daun telang yang diambil di daerah Nusapenida sudah
memenuhi standar mutu sesuai persyaratan Farmakope Herbal Indonesia?
1.2.2 Metabolit sekunder apa saja yang terkandung dalam daun telang?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Untuk mengetahui mutu simplisia daun telang yang diambil di daerah
Nusapenida telah memenuhi standar mutu atau tidak.
1.3.2 Untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder dari daun telang.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan atau refrensi
untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam rangka standarisasi mutu
simplisia daun telang.
1.5 Luaran
Artikel ilmiah yang terpublikasi secara nasional.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Telang
2.1.1 Klasifikasi telang
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Classis : Magnoliopsida
Sub classis : Rosidae
Ordo : Fabales
Familia : Fabaceae
Genus : Clitoria
Species : Clitoria ternatea L.
(Cronquist, 1981)
2.1.2 Morfologi telang
Telang (Clritoria
ternate L.) merupakan
tanaman perdu merambat
yang membelit ke kiri,
tanaman menahun dengan
panjang 1,5 meter, ditumbuhi
rambut halus pangkalnya
berkayu. Daun majemuk
menyirip gasal dengan 3-9
anak daun, yang bentuknya elips atau bulat telur bertangkai pendek,
ujung tumpul, pangkal runcing, tepi rata, panjang 2-7 cm, lebar 1-4 cm,
warna hijau dan mempunyai daun penumpu berbentuk garis. Bunga
tunggal bentuknya seperti kupu-kupu yang keluar dari ketiak daun,
dengan panjang mahkota 3,5-4 cm, warna biru nila dengan warna putih
atau kekuningan di bagian tengah, ada juga warna bunga putih. Buahnya
polong pipih, panjang 5-10 cm berisi 6-10 biji bentuknya seperti ginjal,
pipih (Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB & Gagas ulung, 2014)
2.2 Standarisai simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan
untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain
suhu pengeringan tidak lebih dari 60oC (BPOM, 2014). Standarisasi adalah
rangkaian proses yang melibatkan berbagai metode analisis kimiawi berdasarkan
data farmakologis, melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan
kriteria umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu ekstrak alam (Saefudin et
al., 2011).
3.2 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian
fitokimia yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan
senyawa yang terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti. Metode skrining
fitokimia dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna dengan
menggunakan suatu pereaksi warna di dalam tabung reaksi. Hal ini yang
berperan penting dalam skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode
ekstraksi. Skrining fitokimia juga dilakukan untuk mengetahui kandungan secara
kualitatif senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam suatu bahan alam.
Sehingga nantinya data yang diperoleh, dapat dijadikan acuan studi awal untuk
mencari dan menemukan senyawa aktif yang akan digunakan sebagai obat
(Kristianti, 2008).
4.2 Metabolit Sekunder
Metode Sekunder adalah senyawa yang tidak esensial bagi pertumbuhan
organisme dan ditemukan dalam bentuk yang unik pada setiap spesies, atau satu
jenis senyawa metabolit sekunder hanya ditemukan pada satu spesies pada suatu
kingdom. Fungsi metabolit sekunder adalah untuk berinteraksi dengan
lingkungannya, misalnya mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan
yang kurang menguntungkan (Soegihardjo, 2013).
Identifikasi kandungan metabolit sekunder merupakan langkah awal
yang penting dalam penelitian pencarian senyawa bioaktif baru dari bahan alam
yang dapat menjadi prekursor bagi sintesis obat baru atau prototype obat
beraktifitas tertentu (Herborne, 2006). Beberapa penggolongan senyawa
metabolit sekunder diantaranya adalah alkaloid, flavonoid, kuinon, saponin,
tannin, steroid/terpenoid (Soegihardjo, 2013).
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Secara empiris daun telang dipercaya dapat mengobati sakit mata, radang
lambung, penghilang dahak, haid tidak lancar, dan mengobati gangguan saluran
kencing.

Dari banyaknya khasiat yang ada pada daun telang, sehingga berpotensi untuk
dikembangkan sebagai bahan baku dalam pembuatan obat tradisional.

Perlu dilakukan standarisasi daun telang yang tumbuh di Nusapenida.

Identifikasi senyawa metabolit sekunder melalui skrining fitokimia.

Mengetahui profil kromatografi


Uji penegasan skrining fitokimia secara Kromatografi Lapis Tipis ( KLT ).

Diperoleh informasi mengenai kandungan fitokimia dan profil KLT, yang dapat
dijadikan parameter spesifik daun telang yang tumbuh di Nusapenida

1.2 Alat dan Bahan Penelitian


Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau cutter,
penggaris, blender, timbangan analitik, kertas saring, aluminium foil, tabung
reaksi, corong kaca, spatula, sendok tanduk, batang pengaduk, beaker glass 1 liter,
500 ml, 250 ml, cawan porselen, gelas ukur 5 ml, 10 ml, 50 ml, blouwer (lemari
asam), rotary evaporator, lampu UV, (Ultra Violet), silica gel G60 F254, pipa
kapiler, pipet tetes, oven, corong buchner, penangas air chamber, ayakan mesh 20,
dan krus porselin.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aeral parts


daun telang (Clitoria ternatea L.), zat standar quarcetin, asam asetat glasial,
aquadest, metanol, kloroform, etil asetat, pereaksi Dragendorff, serbuk Mg, larutan
HCL dan HCL 2N, pereaksi Mayer, larutan FeCl3 10%, asam asetat anhidrat,
H2SO4 pekat, etanol 75%, etanol 70%, etanol 95% larutan Pb asetat 10%, larutan
NaOH 10% dan 20% AlCl3 1% dan 3%, larutan KOH 1% dalam metanol, larutan
amonia encer, asam klorida encer, asam format, toluena, AS-H2SO4 reagent.
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Pembuatan Simplisia Daun Telang
1) Daun Telang yang telah dikumpulkan, dicuci dan dipotong-potong.
2) Dikeringkan menggunakan oven pada suhu 650C sampai kering.
3) Simplisia yang telah kering diblender menjadi serbuk dan diayak
menggunakan mash 20.
4) Serbuk yang telah diayak dimasukan ke dalam toples kaca dan disimpan
di tempat yang terlindungi dari cahaya matahari, pada suhu ruangan.
3.3.2 Standarisasi Simplisia
3.3.2.1 Penetapan Susut Pengeringan
1) Timbang serbuk simplisia, sisihkan.
2) Krus porselin ditutup dipanaskan pada suhu 1050C selama 30 menit
kemudian ditara.
3) Masukkan serbuk simplisia yang telah ditimbang kemudian krus porselin.
4) Krus porselin dimasukan kedalam oven (krus porselin tiding ditutup),
kemudian panaskan pada suhu 1000C sampai dengan 1050C.
5) Timbang dan ulang pemanansan sampai diperoleh bobot yang konstan.
6) Hitung nilai susut pengeringan dengan rumus :
(𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐶𝑎𝑤𝑎𝑛 + 𝑆𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝐴𝑤𝑎𝑙 ) − ( 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐶𝑎𝑤𝑎𝑛 + 𝑆𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑎 𝐴𝑘ℎ𝑖𝑟 )
𝑥 100%
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑆𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎
3.3.2.2 Penetapan Kadar Abu Total
1) Timbang serbuk simplisia, sisihkan.
2) Krus porselin dipijar dan ditara.
3) Masukan serbuk simplisia yang telah ditimbang kedalam krus porselin.
4) Krus porselin dimasukan kedalam oven dan dipanaskan pada suhu 6000C.
5) Setelah dipanaskan, abu yang diperoleh kemudian ditimbang.
6) Hitung kadar abu total dengan rumus :
(𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐾𝑟𝑢𝑠 + 𝐴𝑏𝑢 ) − 𝐾𝑟𝑢𝑠 𝐾𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔
𝑥 100%
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑆𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎

3.3.2.3 Penetapan Abu Tidak Larut Asam


1) Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu total didihkan selama 5
menit dengan 25 ml Asam Klorida.
2) Kumpulkan bagian yang tidak larut, kemudian disaring menggunakan
Corong Buchner.
3) Ampas yang diperoleh ditimbang dam dipijar hingga bobot tetap.
4) Kadar abu yang tidak larut dihitung terhadap berat simplisia, dinyatakan
dalam % b/b.
5) Kadar abu tidak larut asam dihitung dengan rumus :
(𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐾𝑟𝑢𝑠 + 𝐴𝑏𝑢 𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝐿𝑎𝑟𝑢𝑡) − 𝐾𝑟𝑢𝑠 𝐾𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔
𝑥 100%
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑆𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎
3.3.2.4 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Etanol
1) Timbang sebanyak 5 gram serbuk simplisia.
2) Masukan serbuk simplisia yang telah ditimbang kedalam labu bersumbat.
3) Maserasi dengan 100 ml etanol selama 24 jam.
4) 6 jam pertama labu dikocok, dan diamkan kembali selama 18 jam.
5) Setelah 24 jam, hasil maserasi disaring cepat.
6) 20 ml filtrat diuapkan dalam cawan porselin diatas penangas air hingga
kering.
7) Panaskan sisa pada suhu 1050C, kemudian hasil ditimbang.
8) Kadar dalam persen dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan
diudara.
9) Hitung kadar sari larut etanol dengan rumus :
(𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐶𝑎𝑤𝑎𝑛 + 𝐹𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑡) − 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐶𝑎𝑤𝑎𝑛 𝐾𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔
𝑥 100%
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑆𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎

3.3.2.5 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Air


1) Timbang sebanyak 5 gram serbuk simplisia, masukan kedalam labu
bersumbat.
2) Serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml Klorofom P
(2,5 ml Klorofom P dalam 100 ml Aquadest ).
3) 6 jam pertama labu dikocok dan didiamkan kembali selama 18 jam.
4) Setelah 24 jam, hasil maserasi disaring dengan Cawan Buchner, 20 ml
filtrat diuapkan dalam cawan porselin diatas penangas air hingga kering.
5) Panaskan sisa pada suhu 1050C, kemudian hasil ditimbang.
6) Kadar dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan
diudara.
7) Hitung kadar sari larut air dengan rumus :
(𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐶𝑎𝑤𝑎𝑛 + 𝐹𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑡) − 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐶𝑎𝑤𝑎𝑛 𝐾𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔
𝑥 100%
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑆𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎

3.3.3 Pembuatan ekstrak etanol


Ekstraksi dilakukan dengan metode ekstraksi cara dingin, yaitu
dengan proses maserasi. Sebanyak 100 gram serbuk simplisia dimasukan ke
dalam toples 1 liter, kemudian ditambahkan pelarut etanol 75% dengan
perbandingan 1:7. Campuran didiamkan selama 24 jam pada suhu ruangan,
dilakukan beberapa kali pengadukan dan remaserasi sampai didapatkan
filtrat akhir yang agak bening. Filtrat hasil maserasi digabungkan kemudian
disaring dengan menggunakan kertas saring, selanjutnya dipekatkan
menggunakan rotary evaporator pada suhu 400C.
3.3.4 Identifikasi Metabolit Sekunder secara KLT
3.3.4.1 Identifikasi Senyawa Golongan Alkaloid
Fase diam : Silika gel 60 F254
Fase gerak : Toluene:etil asetat-diethylamine (70:20:10)
Penampang noda : Pereaksi Dragendorff
Hasil positif adanya golongan senyawa alkaloid ditunjukan jika:
a) Dilihat pada sinar UV 365 nm akan timbul warna biru sebelum
diberikan Penampak noda (Wagner,2001).
b) Setelah disemprot dengan pereaksi Dragendorff, pada sinar tampak
akan timbul noda berwarna coklat atau atau jingga (Harbone, 1996).
3.3.4.2 Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid
Identifikasi senyawa golongan flavonoid menggunakan pembanding
standar quarcetin. Larutan pembanding dibuat dengan melarutkan serbuk
quarcetin sejumlah 5 mg kedalam 25 ml metanol.
Fase diam : Silika gel 60 F254
Fase gerak : Toluene-aceton-asam format (4,5:4,5:1)
Penampang noda : Larutan AlCl3 5% dalam etanol
Hasil positif adanya senyawa golongan flavonoid ditunjukam jika:
a) Setelah disemprot menggunakan larutan AlCl3 5% pada sinar UV 365
nm akan timbul fluoresensi hijau kekuningan (Harbone, 1996).
b) Pada sinar tampak setelah disemprot dengan larutan AlCl3 5% akan
terlihat noda berwarna kuning (Handayani, 2014) .
3.3.4.3 Identifikasi Senyawa Golongan Triterpenoid/Steroid
Fase diam : Silika gel 60 F254
Fase gerak : Toluene-kloroform-etanol (40:40:10)
Penampang noda : Larutan AS-H2SO4 reagent
Hasil positif adanya senyawa golongan Triterpenoid/Steroid ditunjukan
jika:
a) Apabila diamati pada sinar tampak akan timbul warna violet atau
biru, setelah disemprot larutan AS-H2SO4 reagent. Kemudian
dipanaskan dengan oven suhu 1100C selama 10 menit , menunjukan
adanya senyawa triterpenoid (Wagner,2001)
3.3.4.4 Identifikasi Senyawa Golongan Tanin
Fase diam : Silika gel 60 F254
Fase gerak : Metanol-air (5:5)
Penampang noda : Larutan FeCl3 3% dalam metanol
Hasil positif adanya senyawa golongan tanin ditunjukan jika:
a) Timbulnya noda berwarna abu-abu kecoklatan pada sinar tampak,
setelah disemprot dengan penampak noda (Banu dan Nagarajan,
2014).
b) Noda berwarna hitam jika diamati pada sinar tampak, setelah
disemprot dengan Penampak noda larutan FeCl3 3%dalam etanol
(Harbone, 1996).
3.3.4.5 Identifikasi Senyawa Golongan Kuinon
Fase diam : Silika gel 60 F254
Fase gerak : Benzen-etil asetat-asam asetat (75:24:1)
Penampang noda : larutan KOH 10% dalam metanol
Hasil positif adanya senyawa golongan Kuinon ditunjukan jika:
a) Dilihat pada sinar tampak muncul noda berwarna merah, sebelum
disemprot dengan larutan Penampak noda (Wagner, 2001).
b) Setelah disemprot larutan KOH 10% dalam metanol, pada sinar UV
365 nm akan terlihat noda berwarna merah, ungu, hijau, atau
lembayung (Harbone, 1996).
3.3.4.6 Identifikasi Senyawa Golongan Saponin
Fase diam : Silika gel 60 F254
Fase gerak : Etil asetat-metanol-air (100:13,5:10)
Penampang noda : Larutan AS-H2SO4 reagent
Hasil positif adanya senyawa golongan Saponin ditunjukan jika:
a) Pada sinar tampak setelah disemprot larutan AS-H2SO4 reagent dan
dipanaskan dengan oven suhu 1100C selama 10 menit, akan muncul
noda berwarna violet, merah kekuningan, atau coklat (Wagner,2001).
b) Penyinaran noda pada lempeng KLT pada UV 365 nm menjadi
berwarna biru terang, violet, atau hijau berfluoresensi, setelah
disemprot larutan AS-H2SO4 reagent dan dipanaskan dengan oven
suhu 1100C selama 10 menit (Wagner,2001).
3.3.4 Pengolahan dan Analisis Data
Metabolit sekunder dianalisis dengan menggunakan metode
deskriptif laboratories, yaitu melakukan observasi pada ekstrak aerial
part daun telang, dan pemisahan secara KLT untuk mengetahui profil
KLT dari ekstrak tersebut. Dari hasil penelitian ini data ditampilkan
dalam bentuk gambar dan tabel. Penarikan kesimpulan dilakukan
dengan membandingkan hasil dengan teori pada literatur.
BAB 4
BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN

4.1 Anggaran Biaya


No. Jenis Pengeluaran Biaya (Rp)
1 Peralatan penunjang Rp. 5.900.000

2 Bahan habis pakai Rp. 3.375.000

3 Perjalanan Rp. 740.000

4 Lain-lain Rp. 2.225.000

Jumlah Rp. 12.240.000

4.2 Jadwal Kegiatan

No Kegiatan Bulan
1 2 3 4 5
1. Persiapan
2. Pelaksanaan penelitian
3. Analisis data
4. Penyusunan laporan akhir

DAFTAR PUSTAKA

Andry Handayani. 2014. Pengaruh Pendekatan Science, Environment, Technology


and Society (SETS). Denpasar. Elementary School of Education.
BPOM. 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Persyaratan Mutu Obat
Tradisional. BPOM: Jakarta.
Cronquist, A. 1981. An Integrated System of Classification of Flowering Plants.
Columbia University Press. New York.
Harborne JB. 2006. Metode Fitokimia. Edisi ke-2. Terjemahan Kosasih Padmawinata
& Iwang Soediro. ITB: Bandung.
Harbone, J, B. 1996. Metode Fitokimia, Edisi kedua. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Kristanti, Alfinda Novi., dkk. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Airlangga University Press.
Surabaya.
Menteri Kesehatan RI. 2003. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1076/Menkes/SK/VII/2003, Tentang Penyelenggaraan Pengobatan
Tradisional. Menkes RI: Jakarta.
Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB & Gagas ulung. 2014. Sehat Alami dengan Herbal.
PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Saefudin, A., Viesa, R., dan Hilwan, Y. T. 2011. Standarisasi Bahan Obat Alam. Graha
Ilmu: Yogyakarta.
Soegihardjo, C. J. 2013. Farmakognosi. Intan Sejati: Yogyakarta.
Tim Penyusun Kamus. 2007. Kamus Besar Bali-Indonesia. TT.
Verma, R. K., G. Mishra, P. Singh, K. K. Jha, R. L. Khosa. 2011. Alpinia galanga- An
Important Medicinal Plant. Der Pharmacia Sinica. Vol. 2, No. 1, p. 143.
Wagner, H., Bladt, S. 2001. Plant Drug Analysis: A Thin Layer Chromatography Atlas
2nd ed., (Scott, Th. A., Penerjemah), Springer-Verlag Berlin Heidelberg,
Jerman.
Zoutmulder & Robson. 2006. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai