Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI FARMASI SEDIAAN PADAT

“PEMBUATAN SUPPOSITORIA”

Dosen Pembimbing :
1. Erni Rustiani, M.Farm., Apt 5. Cynthia Wahyuningrum, M.Farm., Apt
2. Septia Andini M.Farm., Apt 6. Wilda Nurhikmah, S.Si., M.Farm., Apt
3. Dra.Dwi Indriati, M.Farm., Apt 7. Asry Wulandari, S.Farm
4. Rini Ambarwati, M.Si., Apt
Asisten Dosen :
1. Aulia Rahmi 6. Futriani
2. Kiki Ismawati 7. Dewi Puspita
3. Ade Ike Mardiyati 8. Siti Maryam R
4. Siti Kholilah 9. Fadilah Saumi
5. Hermina Silitonga
Disusun Oleh : Kelas G Kelompok 4
1. Okeu Indiyani (066118229) 6. Devi A.A (066118252)
2. Mitta Kurniati (066118233) 7. Faradila N (066118256)
3. Novita K (06611237) 8. Iffat Zhannisa Y (066118262)
4. Billy Iskandar (066118241) 9. Lisa Fransiska (066118266)
5. Bella Almira H (066118248)

LABORATORIUM FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang telah diberikan kepada kita semua, sehingga penyusun bisa
menyelesaikan Laporan Praktikum Teknologi Sediaan Padat ini. Adapun tujuan
disusunnya laporan Praktikum ini adalah sebagai syarat untuk memenuhi
praktikum mata kuliah Teknologi Sediaan Padat.

Tersusunnya laporan ini tentu bukan karena buah kerja keras kami semata,
melainkan juga atas bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, kami ucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan laporan
praktikum ini, diantaranya:

1. Seluruh dosen pengampu pada praktikum mata kuliah teknologi sediaan


padat.
2. Seluruh asisten dosen pada praktikum mata kuliah teknologi sediaan padat.
3. Seluruh petugas laboratorium Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Pakuan.
4. Orang tua, sahabat, kerabat, dan pihak-pihak lainnya yang tidak bisa
penyusun sebutkan satu persatu.

Kami selaku penyusun menyadari bahwa laporan ini belum bisa dikatakan
sempurna. Untuk itu, kami menerima kritik dan saran yang membangung dari
pembaca sekalian, agar kedepannya Laporan Praktikum ini dapat disempurnakan.
Semoga laporan praktikum ini bermanfaat untuk kita semua.

Bogor, 29 Mei 2020

Kelompok 4

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………..


1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………..…
1

1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………….…


2

1.3 Tujuan ………………………………………………………..……….


2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………..……. 3

BAB III DATA PREFORMULASI …………………………………..…….…..


13

BAB IV METODOLOGI KERJA …………………………………………...….


14

4.1 Alat dan Bahan ………………………………………………………


14

4.2 Formulasi …………………………………………………….…..…. 14

4.3 Prosedur Pembuatan …………………………………………………


15

4.4 Evaluasi …………………………………………………………….. 15

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………..……… 26

5.1 Hasil Pengamatan …………………………………………………... 26

5.2 Pembahasan ………………………………………………...……… 29

BAB VI PENUTUP ………………………………………………….…...…… 33

6.1 Kesimpulan ………………………………………………………… 33


DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….……. 34
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat tradisional sudah dikenal oleh masyarakat sejak jaman dahulu. Namun
penggunaanya terbatas dalam bentuk-bentuk sederhana seperti pil, seduhan,
ataupun rebusan. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi mulailah dikembangkan penggunaan sediaan obat bahan alam dalam
bentuk sediaan farmasetis yang lebih mudah penggunaanya, lebih praktis, serta
dengan dosis yang seragam misalnya tablet. Tablet merupakan sediaan farmasi
yang banyak digunakan oleh masyarakat, karena tablet mempunyai beberapa
kelebihan yang tidak dimiliki oleh bentuk sediaan lain baik dalam segi produksi,
penyimpanan, distribusi maupun pemakaiannya. Tablet adalah bentuk sediaan
obat yang sampai saat ini sangat populer diseluruh dunia. Hal ini terbukti dengan
adanya kenyataan bahwa hampir separuh dari permintaan resep dokter berupa
tablet yang dikempa (Parrott, 1971).
Di Indonesia bahan alam yang digunakan dalam pengobatan menunjukkan
peningkatan dalam penggunaannya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
percaya terhadap khasiat dari obat yang berasal dari tanaman. Pemanfaatan obat
herbal di Indonesia sudah cukup luas, meskipun masih terbatas penggunaannya.
Produk tanaman obat dari tahap pertama yaitu simplisia berubah posisi menjadi
ekstrak yang digunakan sebagai bahan dasar obat dari produk sediaan.
Obat bahan alam semakin memegang peranan penting dalam kehidupan kita.
Untuk menjamin efektifitas sediaan obat bahan alam maka prinsip farmasi fisika
dan teknologi farmasi harus dilakukan. Hal tersebut menyangkut perubahan
misalnya dari bentuk serbuk menjadi bentuk sediaan modern seperti tablet
(Fudholi, 2001).
Metode pembuatan tablet dapat dilakukan dengan cara kempa langsung dan
granulasi (Armstrong, 1994).

1
Pada metode granulasi basah dilakukan penambahan cairan pengikat. Cairan
pengikat yang digunakan harus bersifat non toksik dan mudah menguap sehingga
mudah diuapkan dalam pengeringan. Diserahkan: 13 Mei 2018, Diterima 10 Juni
2018 Farmaka Volume 16 Nomor 1 34 Cairan yang digunakan dapat berupa air,
etanol, turunan selulosa, larutan gelatin, musilago amili dan lainnya (Rudnic,
1996).
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana cara pembuatan tablet Bahan Alam dengan metode granulasi
basah?
b. Apa saja komposisi tablet Bahan Alam?
c. Bagaimana cara evaluasi tablet Bahan Alam dari hasil metode granulasi
basah?

1.3 Tujuan
Dapat membuat tablet bahan alam dengan metode granulasi basah.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Suppositoria


Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur
berbentuk torpedo, dapat melunak, melarut atau meleleh pada suhu tubuh.
Suppositoria adalah sediaan padat, melunak, melumer, dan larut pada suhu
tubuh, digunakan dengan cara menyisipkan kedalam rectum berbentuk
sesuai dengan maksud penggunaannya, umumnya berbentuk torpedo. Jadi,
suppositoria adalah suatu sediaan padat yang berbentuk torpedo yang
biasanya digunakan melalui rectum dan dapat juga melalui lubang di area
tubuh, sediaan ini ditujukan pada pasien yang mudah muntah, tidak sadar
atau butuh penanganan cepat. (Ansel,1989)

2.2 Macam-macam suppositoria


a. Suppositoria untuk rectum (rectal)
Suppositoria untuk rectum umumnya dimasukkan dengan jari
tangan. Biasanya suppositoria rectum panjangnya ±32 mm(1,5 inch)
dan berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam. Bentuk suppositoria
rectum antara lain bentuk peluru, torpedo atau jari-jari kecil,
tergantung pada bobot jenis bahan obat dan basis yang digunakan.
Menurut USP berarnya sebesar 2 g untuk yang menggunakan basis
oleum cacao.
b. Suppositoria untuk vagina (vaginal)
Suppositoria untuk vagina disebut juga pessarium biasanya
berbentuk bola lonjong atau seperti kerucut. Beratnya sekitar 5 g bila
basis yang digunaka oleum cacao
c. Suppositoria untuk saluran urin (uretra)
Suppositoria untuk saluran urin disebut juga bougie, bentuknya
ramping seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan ke dalam saluran

3
urin pria atau wanita. Suppositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-
6 mm dengan panjang ±140 mm.
walaupun ukuran ini masih bervariasi anatara satu dengan yang lain.
Apabila basisnya oleum cacao beratnya ±4 g. Suppositoria untuk
saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari ukuran untuk pria,
panjang ±70 mm dan beratnya 2 g ini berlaku jika basis yang
digunakan oleum cacao.
d. Suppositoria untuk hidung dan telinga
Suppositoria untuk hidung dan telinga yang disebut juga kerucut
telinga, keduanya berbentuk sama dengan suppositoria saluran urin
hanya ukuran panjangnya lebih kecil. Biasanya 2 mm, suppositoria
telinga umumnya diolah dengan suatu basis gelatin yang mengandung
gliserin. Seperti dinyatakan sebelumnya, suppositoria untuk obat
hidung dan telinga jarang digunakan.
(Anief,2000)

2.3 Keuntungan dan kerugian sediaan suppositoria


a. Keuntungan suppositoria :
 Dapat menghindari terjadinya iritasi lambung.
 Dapat menghibdari kerusakan obat oleh enzim pencernaan dan
asam lambung.
 Obat dapat masuk langsung kedalam saluran darah sehingga obat
dapat menimbulkan efek lebih cepat daripada penggunaan obat
peroral.
 Baik untuk pasien yang mudah muntah ataupun tidak sadar
(pingsan).
b. Kerugian suppositoria :
 Pemakaiannya tidak menyenangkan.
 Tidak dapat disimpan dalam suhu ruang.

2.4 Persyaratan suppositoria

4
Sediaan suppositoria memiliki persyaratan sebagai berikut :
a. Suppositoria sebaiknya melebur dalam beberapa menit dalam suhu
tubuh atau melarut (persyaratan kerja obat)
b. Pembebasan dan response obat yang baik.
c. Daya tahan da daya penyimpanan yang baik.
d. Daya serap terhadap cairan lipofil dan hidrofil.

2.5 Tujuan penggunaan suppositoria


a. Untuk tujuan local, seperti pada pengobatan wasir atau hemorrhoid
dan penyakit infeksi lainnya.
b. Suppositoria juga dapat digunakan untuk tujuan sistemik karena dapat
diserap oleh membrane mukosa dalam rectum. Hal ini dilakukan
terutama bila penggunaan obat peroral tidak memungkinkan seperti
pada pasien yang mudah muntah atau pingsan.
c. Untuk memperoleh kerja awal yang lebih cepat. Kerja awal akan lebih
cepat karena obat diserap oleh mukosa rectal dan langsunng masuk
kedalam sirkulasi pembuluh darah.
d. Untuk menghindari perusakan obat oleh enzim didalam saluran
gastrointestinal dan perubahanobat secara biokimia didalam hati.

2.6 Basis suppositiria


Sediaan suppositoria ketika dimasukkan kedalam lubang tubuh akan
melebur, melarut, dan terdispersi. Dalam hal ini, basis suppositoria
memainkan peranan penting. Maka dari itu, basis suppositoria harus
memenuhi syarat utama, yaitu basis harus selalu padat dalam suhu ruangan
dan akan melebur maupun melunak dengan mudah pada suhu tubuh
sehingga zat aktif atau obat yang dikandungnya dapat melarut dan
didispersikan merata kemudian menghasilkan efek terapi local maupun
sistemik. Basis suppositoria yang ideal juga harus mempunyai beberapa
sifat seperti berikut :
a. Tidak beracun dan tidak menimbulkan iritasi.

5
b. Dapat bercampur dengan macam-macam obat.
c. Stabil dalam penyimpanan, tidak menunjukkan perubahan warna dan
bau serta pemisahan obat.
d. Kadar air mencukupi.
e. Untuk basis lemak, maka bilangan asam, bilangan iodium dan
bilangan penyabunan harus diketahui jelas.

Adapun macam-macam basis suppositoria, diantaranya:


a. Basis berlemak, contohnya oleum cacao.
b. Basis lain, pembentuk emulsi dalam minyak : campuran tween dengan
gilserin laurat.
c. Basis yang bercampur atau larut dalam air, contohnya gliserin-gelatin,
PEG (polietilen glikol).
(Syamsuni,2012)
2.7 Bahan dasar suppositoria
a. Bahan dasar berlemak (oleum cacao)
Lemak coklat merupakan trigliserida berwarna kekuningan,
memiliki bau yang khas dan bersifat polimorf (mempunyai bentuk
kristal). Jika dipanaskan pada suhu sekitar 30°C akan mulai mencair
dan biasanya meleleh sekitar 34°-35°C, sedangkan dibawah 30°C
berupa massa semipadat. Jika suhu pemanasannya tinggi, lemak coklat
akan mencair sempurna seperti minyak dan akan kehilangan semua
inti Kristal menstabil.
Keuntungan oleum cacao :
 Dapat melebur pada suhu tubuh.
 Dapat memadat pada suhu kamar.

Kerugian oleum cacao :


 Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi (cairan pengeluaran).

 Titik leburnya tidak menentu, kadang naik an kadang turun apabila


ditambahkan dengan bahan tertentu.

 Meleleh pada udara panas.

6
b. Polietilenglikol (PEG)
PEG merupakan etilenglikol terpolimerisasi dengan bobot molekul
antara 300-6000. Dipasaran terdapat PEG 400 (carbowax 400), PEG
1000 (carbowax 1000) dan PEG 6000 (carbowax 6000). PEG dibawah
1000 berbentuk cair, sedangkan PEG diatas 1000 berbentuk padat
lunak seperti mala. Formlua PEG yang dipakai sebagai berikut :
 Bahan dasar tidak berair : PEG 4000 4 % (25%) dan PEG 1000
96% (75%).
 Bahan dasar berair : PEG 1540 30%, PEG 6000 50% dan aqua +
obat 20%. Titik lebur PEG antara 35°-63°C, tidak meleleh pada
suhu tubuh tapi larut dalam cairan sekresi tubuh.

Keuntungan penggunaan PEG adalah :


 Tidak mengiritasi atau merangsang.
 Tidak ada kesulitan dengan titik leburnya, jika dibandingkan
dengan oleum cacao.
 Tetap kontak dengan lapisan mukosa karena tidak meleleh pada
suhu tubuh.

Kerugian penggunaan PEG adalah :


 Menarik cairan dari jaringan tubuh setelah dimasukkan sehingga
timbul rasa yang menyengat. Hal ini dapat diatasi dengan cara
mencelupkan suppositoria kedalam air sebelum digunakan.
 Dapat memperpanjang waktu disolusi sehingga menghambat
pelepasan obat.
Pembuatan susppositoria dengan bahan dasar PEG dilakukan
dengan melelehkan bahan dasar lalu dituang kedalam cetakan seperti
pembuatan suppositoria berbahan dasar lemak.

2.8 Pengujian zat aktif suppositoria


a. Titik lebur

7
Titik lebur adalah suhu dimana zat yang akan diuji pertama kali
melebur atau meleleh seluruhnya yang ditunjukkan pada saat fase padat
cepat hilang. Dalam analisa farmasi, titik lebur untuk menetapkan
karakteristik senyawa dan identifikasi adanya pengotor. Untuk uji titik
lebur dibutuhkan alat pengukuran titik lebur yaitu, Melting Point
Apparatus (MPA) alat ini digunakan untuk melihat atau mengukur
besarnya titik lebur suatu zat.
b. Bobot jenis
Bobot jenis adalah perbandingan bobot jenis udara pada suhu 25°
terhadap bobot air dengan volume dan suhu yang sama. Bobot jenis
suatu zat adalah hasil yang diperoleh dengan membagi bobot jenis
dengan bobot air dalam piknometer. Lalu dinyatakan lain dalam
monografi keduanya ditetapkan pada suhu 25°. Bobot jenis dapat
digunakan untuk :
 Mengetahui kepekaan suatu zat.
 Mengetahui kemurnian suatu zat.
 Mengetahui jenis zat.
Piknometer untuk menentukan bobot jenis zat padat dan zat cair.
Zat padat berbeda dengan zat cair, zat padat memiliki pori dan rongga
sehingga berat jenis tidak dapat terdefinisi dengan jelas, berat jenis
sejati merupakan berat jenis yang dihitung tanpapori atau rongga
ruang. Sedangkan beat jens nyata merupakan berat jenis yang dihitung
sekaligus dengan porinya.

2.9 Evaluasi sediaan suppositoria


a. Uji homogenitas
Uji homogenitas ini bertujuan untuk mengetahui apakah bahan
aktif dapat terca,pur rata dengan bahan dasar suppo atau tidak, jika
tidak dapat tercampur maka akan mempengaruhi proses absorbsi dalam
tubuh. Obat yang terlepas akan memberikan terapi yang berbeda. Cara
uji homogenitas yaitu dengan cara mengambil 3 titik bagian suppo

8
(atas-tengah-bawah) masing-masing diletakkan pada kaca objek
kemudian diamati dibawah mikroskop, cara selanjutnya dengan
mebguji kadarnya dapat dilakukan dengan cara titrasi.
b. Bentuk
Bentuk suppositoria juga perlu diperhatika karena jika bentuknya
tidak seperti sediaan pada umumnya, maka sesorang yang tidak tahun
akan mengira bahwa sediaan tersebut bukanlah obat. Untuk itum bentuk
juga sangat mendukung karena akan memeberikan keyakinan pada
pasien bahwa sediaan tersebut merupakan sediaan padat yang
mempunyai bentuk torpedo.
c. Uji waktu hancur
Uji waktu hancur ini dilakukan untuk mengetahui berapa lama
sediaan tersebut dapat hancur dalam tubuh. Cara uji waktu hancur
dengan dimasukkan kedalam air yang diset sama dengan suhu tubuh
manusia, kemudian pada sediaan yang berbahan dasar PEG 1000 waktu
hancurnya ±15 menit, sedangkan untuk oleum cacao dingin 3 menit.
Jika melebihi syarat diatas maka sediaan tersebut belum memenuhi
syarat untuk digunakan dalam tubuh. Air digunakan sebagai media
dikarenakan sebagian besar tubuh manusia mengandung cairan.
d. Keseragaman bobot
Keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui apakah bobot tiap
sediaan sudah sama atau belum, jika belum maka perlu dicatat.
Keseragaman bobot akan mempengaruhi terhadap kemurnian suatu
sediaan karena dikhawatirkan zat lain akan ikut tercampur.caranya
dengan timbang seksama 10 suppositoria satu persatu kemudian
dihitung berat rata-ratanya. Dari hasil penetapan kadar yang diperoleh
dalam masing-masing monografi hitung jumlah zar aktif dari masing-
masing 10 suppositoria dengan anggapan zat aktif terdistribusi
homogen. Jika terdapat sediaan yang beratnya melebihi rata-rata maka
suppositoria tersebut tidak memenuhi syarat dalam keseragaman bobot.
Karena keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui kandungan

9
yang terdapat dalam masing-masing suppositoria tersebut sama dan
dapat memberikan efek terapi yang sama.
e. Uji titik lebur
Uji ini dilakukan sebagai simulasi untuk mengetahui waktu yang
dibutuhkan sediaan suppositoria yang dibuat melebur dalam tubuh.
Dilakukan dengan cara menyiapkan air dengan suhu ±37°c. Kemudian
dimasukkan suppositoria kedalam air dan diamati waktu lenurnya.
Untuk basis oleum cacao dingin persyaratan leburnya , adalah 3 menit,
sedangkan untuk PEG 1000 adalah 15 menit.
f. Kerapuhan
Suppositoria sebaiknya jangan terlalu lembek maupun terlalu keras
yang menjadikannya sukar meleleh. Untuk uji kerapuhan dapat
digunakan uji elastilitas. Suppositoria dipotong horizontal kemudian
ditandai kedua titik pengukuran melalui bagian yang melebar, dengan
jarak tidak kurang dari 50% dari lebar bahan yang datar, kemudain
diberi beban seberat 20N (2 kg) dengan cara menggerakan jari atau
batang yang dimasukkan kedalam tabung.

2.10 Paracetamol
Parasetamol (asetaminofen) adalah turunan senyawa sintetis dari
drivat p-aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik/analgesik. Senyawa
ini mempunyai nama kimia N-asetil-paminofenol atau p-asetamidofenol
atau 4 hidroksiasetanilid, bobot molekul 151,16. (Depkes RI,1979).
Paracetamol utamanya digunakan untuk menurunkan panas badan
yang disebabkan oleh karena infeksi atau sebab yang lainnya. Disamping
itu, paracetamol juga dapat digunakan untuk meringankan gejala nyeri
dengan intensitas ringan sampai sedang. Ia aman dalam dosis standar,
tetapi karena mudah didapati, overdosis obat baik sengaja atau tidak
sengaja sering terjadi. Obat yang mempunyai nama generik acetaminophen
ini, dijual di pasaran dengan ratusan nama dagang. Beberapa diantaranya
adalah Sanmol, Pamol, Fasidol, Panadol, Itramol dan lain lain.

10
Paracetamol bekerja dengan menghambat sistem siklooksigenase
yangmenyebabkan asam arakhidonat dan asam-asam C 20 tak jneuh lainnya
menjadiendoperoksida siklik. Endoperoksida siklik merupakan prazat dari
prostaglandin.Prostaglandin merupakan zat yang terlibat dalam terjadinya
nyeri dan demam,serta reaksi-reaksi radang. Parasetamol dimetabolisme oleh
tubuh terutama didalam hati, di mana sebagian besar (95%) dikonversikan
menjadi campuran non-aktif oleh proses konjugasi dengan sulfat dan
glukuronida, yang kemudiandikeluarkan, yang kemudian dikeluarkan oleh
ginjal. Hanya sebagian kecil yaitukurang dari 5% dosis terapi (disebut
metabolit minor) yang dimetabolisme melaluisistem enzim hepatik sitokrom
P450. Metabolit minor yang dihasilkan olehParasetamol, yaitu N-asetil-p-
benzokuinon yang bersifat sangat aktif jika dalamdosis besar sehingga dapat
menyebabkan kerusakan pada hati dan ginjal. Jikadalam jumlah kecil,
metabolit ini dapat dieksresikan melalui ginjal dengan adanyakosubstrat
endogen yang disebut glutation (GSH) yang kerjanya tergantung padaenzim
sitokrom P450 (Rachdiati, 2008).

11
BAB III
DATA PREFORMULASI

 Paracetamol (Farmakope Indonesia ed IV Hal 649 - 651)

Rumus molekul : C8H9NO2


Berat molekul : 151,16
Pemerian : Serbuk hablur putih, rasa sedikit pahit, tidak
berbau
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, larut dalam 7 bagian
etanol 95%, larut dalam 13 bagian aseton P, dalam
40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilen
glikol P, larut dalam alkali hidroksida dalam
Natrium hidroksida 1 N
Titik lebur : Antara 168 dan 172℃
Bobot jenis : 271,4
pH : 3,8 - 6,1
Stabilitas : Stabil dalam larutan air
Sisa pemijaran : Tidak lebih dari 0,1%
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya
Khasiat : Analgetik, antipiretik
 Polietilen glikol 6000
Rumus molekul : H(O-CH2-CH2)n OH
Pemerian : Serbuk yang mudah mengalir, putih, bau manis
yang smar/sedikit
Titik leleh : 56 – 61 ℃
Kelarutan : Larut dalam air dan dapat bercampur dalam semua
proporsi dengan polietilen glikol lainnya, larut
dalam aseton, diklorometana, etanol, dan methanol,
agak sukar larut dalam hidrokarbon alifatik dan eter,

12
tidak larut dalam lemak, fixed oil, dan minyak
mineral
Stabilitas : PEG secara kimia stabil di udara dan dalam
larutan, walaupun PEG>2000 higroskopis. PEG
tidak rentann terhadap pertumbuhan mikroba dsan
tidak mudah menjadi tengik.
Khasiat : Basis salep, pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

 Polietilen glikol 4000 (Farmakope Indonesia ed III Hal 506)


Rumus molekul : H(O-CH2-CH2)n OH
Berat molekul : 3000-3700
Pemerian : Serbuk licin putih atau potongan putih kuning
gading,praktis tidak berbau, tidak berasa
Kelarutan : Mudah larut dalam air, dalam etanol (95%) P
Titik lebur : 50℃ - 58℃
OTT : Tidak bercampur dengan beberapa zat pewarna
Stabilitas : Dapat disterilkan dengan autoklaf, filtrasi dan
penyinaran sinar gamma
Khasiat : Basis salep, pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

13
BAB IV
METODOLOGI KERJA
4.1 Alat dan Bahan
4.1.1. Alat
1. Batang pengaduk
2. Beker glass
3. Cawan uap
4. Kompor elektrik
5. Penangas
6. Pipet tetes
7. Stopwatch
8. Timbangan
9. Wadah suppositoria

4.1.2. Bahan
1. PCT
2. PEG 4000
3. PEG 6000

4.2 Formulasi
No Nama Zat Formula
1 PCT 50 mg
2 PEG 1 bagian
3 PEG 2 bagian

4.2.1. Perhitungan
No Jenis zat Formula Jumlah per tablet Jumlah per batch
(50 mg + 5%) x
¿
1 Zat Aktif Paracetamol PCT 50 mg 50 sup = 2625 mg
= 2, 625 g

14
1 mg mg
x 1950 = 650 x 50 sup
3 ¿ ¿
2 Basis PEG 4000 1:3 = 32.500 mg =
650 mg 32,5 gr
¿
2
x 1950 mg = 1.300 mg x 50
3 ¿ ¿
3 Basis PEG 6000 2:3 sup = 65.000 mg
mg
1.300 = 65 gr
¿

4.2.2. Penimbangan
1. PCT = 2,626 g
2. PEG 4000 = 32,5 gr
3. PEG 6000 = 65 gr

4.3 Prosedur Pembuatan


a. Dilelehkan basis suppositoria hingga benar-benar meleleh dan
homogenkan.
b. Di dispersikan zat aktif ke dalam basis yang telah meleleh
menggunakan pengaduk atau mikser hingga homogen sambil tetap
dihangatkan.
c. Dituang campuran yang telah homogen ke dalam cetakan
suppositoria.
d. Dimasukan cetakan ke dalam freezer hingga benar-benar
membeku.
e. Dilakukan suppositoria yang telah membeku dari cetakan untuk di
evaluasi.

4.4 Evaluasi
a. Uji organoleptik
Warna Tidak berwarna (bening)
Bentuk Seperti torpedo
Aroma Tidak berbau karena basisnya PEG
b. Uji keseragaman bobot

15
Perc Bobot (g) Perc Bobot (g) Perc Bobot (g) Perc Bobot (g)
1 2,15 6 2,12 11 2,09 16 2,06
2 2,18 7 2,10 12 2,15 17 2,08
3 2,06 8 2,20 13 2,08 18 2,10
4 2,08 9 2,12 14 2,10 19 2,16
5 2,04 10 2,16 15 2,08 20 2,24

42,35
rata-rata = =2,1175 gram (memenuhi persyaratan)
20
syarat = 2± 0,1→ 2+0,1=2,1 gram
2 – 0,1 = 1,9 gram
c. Uji waktu hancur
Percobaan Waktu hancur
1 48 menit 36 detik
2 52 menit 14 detik
Syarat: basis air <60 menit Basis lemak < 30 menit
48 menit 36 detik + 52menit 14 detik
Rata- rata :
2
: 50 menit 25 detik
( memenuhi syarat, karena menggunakan basis air dan waktu
hancurnya <60 menit)

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

16
5.1. Data Pengamatan
1. Uji Penampilan

Warna Tidak berwarna (bening)


Bentuk Seperti torpedo
Aroma Tidak berbau karena basisnya PEG

2. Keseragaman Bobot

Perc Bobot (g) Perc Bobot (g) Perc Bobot (g) Perc Bobot (g)
1 2,15 6 2,12 11 2,09 16 2,06
2 2,18 7 2,10 12 2,15 17 2,08
3 2,06 8 2,20 13 2,08 18 2,10
4 2,08 9 2,12 14 2,10 19 2,16
5 2,04 10 2,16 15 2,08 20 2,24

3. Uji Waktu Hancur

Percobaan Waktu hancur


1 48 menit 36 detik
2 52 menit 14 detik

5.2. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan suppositoria
mengguakan zat aktif paracetamol. Suppositoria merupakan sediaan padat
yang diberikan melalui rute rektal,vaginal atau uretra sesuai dengan bentuk
dan tujuan pemakaiannya. Suppositoria biasanya digunakan untuk
mencapai efek terapi yang cukup cepat, serta diabsorpsi langsung oleh
pembuluh pada rektum/vagiinal/uretra sesuai sediaannya. Suppositoria
tidak diabsorpsi melalui saluran cerna sehingga menghindari terjadi nya
kerusakan sediaan,zat aktif pada saluran cerna terutama lambung selain itu
juga dapat digunakan untuk pasien yang tidak dapat menelan atau tidak
sadar.

17
Pada formulasi yang dibuat basis yang digunakan adalah Polietilen
Glikol (PEG). PEG merupakan basis yang dapat bercampur dengan air,
kelebihan PEG terutama pada penyimpanan yang mudah pada suhu
dingin/lemari pendingin serta penggunaannya yang tidak mudah melunak
pada suhu ruang karena memiliki titik lebur yang tinggi dan kepadatan
pada sediaan yang baik. (Ansel, 1989)
Pembuatan suppositoria kali ini menggunakan metode cetak tuang,
metode ini sering digunakan pada pembuatan suppositoria secara umum
baik skala kecil maupun skala besar.
Selain pembuatan, dilakukan pengujian suppositoria untuk menguji
kualitas dan penggunaannya. Adapun evaluasi sediaan suppositoria
meliputi :
1. Uji Penampilan / Organoleptik
Pengujian menggunakan panca indra yaitu seperti bau, warna dan
tampliannya. Didapatkan hasil Suppositoria tidak berbau hal ini karena
digunakan basis PEG dan merupakan basis yang tidak berbau.
Suppositoria berwarna putih bening dan berbentuk seperti peluru/topedo,
bentuk ini merupakan bentuk suppositoria pada umumnya dan yang paling
banuak digunakan,bentuk peluru juga dimaksud kan agar mudah dalam
pemakaiannya. Serta didapatkan permukaan suppositoria yang halus dan
rata sehingga dapat dikatakan suppositoria yang diperoleh memiliki hasil
yang baik dari aspek organoleptik.
2. Uji Keseragaman Bobot
Pada uji keseragaman bobot diperoleh bobot rata-rata yang
dihasilkan suppositoria adalah 2,1 gram. Menurut British Pharmacopoeia
(1980) dinyakatkan bahwa tidak boleh lebih dari 2 suppositoria yang
memiliki penyimpangan bobot lebih dari 10% . Sehingga dapat dikatakan
suppositoria yang dihasilkan tidak melebihi batas/ketentuan tersebut dan
memenuhi syarat.
3. Uji Waktu Hancur

18
Pengujian waktu hancur suppositoria diuji pelarutannya dan
melarut dalam kurun waktu <60 menit. Hal ini dikarenakan basis yang
digunakan adalah basis PEG yang larut dalam air dan kombinasi PEG
6000 dengan PEG 4000 dimana konsentrasi basis padatan lebih besar
sehingga waktu hancur akan lebih lama. (Lachman, 2008)

BAB VI

19
PENUTUP

6. 1 Kesimpulan
Setelah dilakukan praktikum pembuatan tablet antalgin dengan metode
graulasi basah dapat disimpulkan bahwa :
1. Suppositoria yang dibuat memenuhi syarat uji keseragaman bobot.
2. Suppositoria yang dibuat memenuhi syarat waktu hancur.
3. Suppositoria dibuat menggunakan basis kombinasi PEG yang bersifat
dapat larut/bercampur dengan air.

DAFTAR PUSTAKA

20
Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press
Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. diterjemahkan oleh
Ibrahim, F. Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI
Lachman, Lieberman. 2008. Teori dan Praktik Farmasi Industri. Jakarta : UI
Press
Rachdiati, Henny., Hutagaol, Ricson P., dan Rosdiana, Erna,. 2008. Penentuan
Waktu Kelarutan Parasetamol Pada Uji Disolusi. Jurnal Nusa Kimia
Vol.8 / Bandung
Syamsuni, 2012. Ilmu resep. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

21

Anda mungkin juga menyukai