Anda di halaman 1dari 10

Laporan Praktikum Farmakologi II

Tanggal : Senin, 18 maret 2013


Kelompok : 13 (14.30-17.00)
Dosen : Siti Sa’diah M.Si

OBAT STIMULANSIA SISTEM SYARAF PUSAT

Oleh :

1. Rifdah Septiani Putri (B04170037) (…………….)


2. Idho Anugrah Al-Kholik (B04170039) (…………….)
3. Nicolas Edward CK (B04170043) (…………….)
4. Nanda Delvia Meisani (B04170047) (…………….)
5. Rizqi Zufar Rizaldo (B04170146) (…………….)

DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Obat-obatan stimulan sistem saraf pusat adalah obat-obatan yang dapat
bereaksi secara langsung ataupun secara tidak langsung pada SSP. Yang termasuk
obat stimulan SSP adalah amphetamine, methylphenidate, pemoline, cocaine,
efedrin, amfetamin, metilfenidat, MDMA, dan modafinil. Stimulan yang paling
ideal dan paling sering digunakan adalah dextroamphetamine (Dexedrine) , Obat-
obat stimulan tersebut termasuk dalam kelompok II adalah obat yang termasuk
golongan obat terlarang karena mengakibatkan pengguna menjadi orang yang
bersifat dan berkelakuan melawan hukum dan ketagihan.(Sunardi, 2006)
Stimulan mempercepat aktivitas sistem saraf pusat. Dalam dosis sedang,
obat stimulant menghasilkan perasaan senang, percaya diri, dan kegembiraan atau
euphoria. Dalam dosis besar, obat-obat ini membuat seseorang merasa cemas dan
gugup. Dalam dosis yang sangat besar, obat-obat ini dapat menyebabkan kejang-
kejang, gagal jantung, dan kematian (Wade dan Tarvis 2008). Obat stimulant dapat
menyebabkan komplikasi seperti bertambahnya kegelisahan dan kegugupan. Efek
samping jangka pendek utama meliputi anoreksia, nyeri perut bagian atas, dan sulit
tidur. Efek samping stimulansia jangka panjang dapat meliputi peningkatan
frekuensi jantung dan supresi pertumbuhan ( Behrnman dan Arvin 2000).
Kardiazol merupakan obat yang bekerja pada medulla oblongata. Obat
golongan ini dapat menyebabkan hiperaktivitas, peningkatan frekuensi pernapasan
dan jantung serta tremor. Konvulsi yang ditimbulkan oleh obat ini adalah spontan
atau tanpa rangsangan, asimetris, dan klonis (Gunawan 2007).
Menurut Wade dan Tarvis (2008), efek umum yang didapatkan dari kafein
yaitu keterjagaan, kewaspadaa, dan waktu reaksi yang lebih pendek. Sedangkan
menurut Sinclair (2003), kafein adalah stimulan SSP yang meningkatkan denyut
jantung dan turut berperan terhadap terjadinya takikatdi supraventikular serta
kondisi kurang tidur. Sedangkan konsumsi kafein menyebabkan tidak dapat
beristirahat, insomnia, otot yang tegang, detak jantung tidak teratur, dan tekanan
darah tinggi. Penggunaan kafein dengan dosis yang berlebih pada orang yang
sensitive dapat menimbulkan efek samping gelisah, gugup, indomnia, tremor,
palpitasi, dan kejang (Herwana et al. 2005).
Amfetamin adalah obat sintesis yang dikonsumsi dalam bentuk pil, disuntik,
dihisap, atau dihirup (Wade dan Tarvis 2008). Menurut Kee dan Hayes (1996),
amfetamin merangsang pelepasan neurotransmitter, norepinefrin dan dopamine,
dari otak dan sistem saraf simpatis (terminal saraf tepi). Amfetamin menyebabkan
euphoria dan kesiagaan tetapi, juga mengakibatkan tidak dapat tidur, gelisah
tremor, dan iritabilitas. Masalah-masalah kardiofaskular, seperti meningkatnya
denyut jantung, palpitasi, aritmia jantung, dan meningkatnya tekanan darah, dapat
timbul pada pemakaian yang terus menerus dari amfetamin Kee dan Hayes (1996).
Amfetamin merupakan obat yang bekerja pada cortex cerebri.
Striknin merupakan obat stmulansia yang bekerja pada medulla spinalis.
Konvulsi yang ditimbulkan bersifat aspontan, simetris, dan tetanis. Striknin
terdapat dalam biji-biji Strycnos nux-vomica yang telah masak. Biji-biji ini
mengandung sektar 1-1.5% striknin yan dapat diperoleh dengan cara ekstraksi.
Kristal striknin berbentuk prisma, tak berbau, rasa pahit, toksik, dan stabil di udara.
Titik lebur striknin 268-290OC, bergantung pada kecepatan pemanasan. Secara
kualitatif, striknin dapat dibuktikan dengan penambahan asam sulfat pekat dan
Kristal kalium bikromat sehingga terbentuk warna biru, ungu, merah, dan akhirnya
hijau. Pemakaian striknin yang penting antara lain utnuk denaturasi alcohol,
pemisahan campuran rasemat, pemberantasan binatang pengerat, dan antidote
beberapa keracunan (Sumardjo 2006).

Tujuan
Tujuan praktikum kali ini adalah mengetahui prinsip kerja dari obat
stimulansia SSP dan gejala klinis yang menyertainya.

METODOLOGI

a. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan adalah spuid 1 mL, jam dan kandang hewan. Bahan
yang digunakan yaitu katak, mencit, caffein, striknin, cardiazol dan amfetamin.
b. Cara Kerja
1. Stimulansia cortex cerebri
Di awali dengan pemeriksaan fisiologis katak normal (posisi tubuh,
reflek, rasa nyeri, tonus, frekuensi napas dan jantung). Caffein disuntikan
secara SC pada daerah abdominal melalui saccus limphaticus femoralis
dengan dosis bertingkat mulai 0,05 mL, 0,1 mL, 0,2 mL dan seterunya.
perubahan fisiologis katak diamati setiap 10 menit pada setiap dosis
penyuntikan. Pemberian obat dan pengamatan dihentikan setelah terjadi
konvulsi pada katak. Bagian otak dari katak dirusak satu per satu mulai dari
cortex cerebri, medulla oblongata dan medulla spinalis untuk mengetahui
titik tangkap kerja dari obat tersebut.
2. Stimulansia cortex cerebri
Dilakukan pemeriksaan fisiologis mencit normal (aktivitas motorik
tubuh, reflek, salivasi, defekasi, tonus otot, frekuensi napas dan jantung).
Kemudian amphetamin disuntikan secara SC pada daerah punggung dengan
dosis bertingkat mulai 0,05 mL, 0,1 mL, 0,2 mL dan seterunya. perubahan
fisiologis mencit diamati setiap 10 menit pada setiap dosis penyuntikan.
3. Stimulansia medulla oblongata
Diawali dengan pemeriksaan fisiologis katak normal (posisi tubuh,
reflek, rasa nyeri, tonus, frekuensi napas dan jantung). Lalu cardiazol
disuntikan secara SC pada daerah abdominal melalui saccus limphaticus
femoralis dengan dosis bertingkat mulai 0,05 mL, 0,1 mL, 0,2 mL dan
seterunya. Perubahan fisiologis katak diamati setiap 10 menit pada setiap
dosis penyuntikan. Pemberian obat dan pengamatan dihentikan setelah
terjadi konvulsi pada katak. Kemudian bagian otak dari katak dirusak satu
per satu mulai dari cortex cerebri, medulla oblongata dan medulla spinalis
untuk mengetahui titik tangkap kerja dari obat tersebut.
4. Stimulansia medulla spinalis
Dilakukan pemeriksaan fisiologis katak normal (posisi tubuh, reflek,
rasa nyeri, tonus, frekuensi napas dan jantung). Kemudian strighnin
disuntikan secara SC pada daerah abdominal melalui saccus limphaticus
femoralis dengan dosis bertingkat mulai 0,05 mL, 0,1 mL, 0,2 mL dan
seterunya. Fisiologis katak diamati perubahan setiap 10 menit pada setiap
dosis penyuntikan. Pemberian obat dan pengamatan dihentikan setelah
terjadi konvulsi pada katak. Bagian otak dari katak dirusak satu per satu
mulai dari cortex cerebri, medulla oblongata dan medulla spinalis untuk
mengetahui titik tangkap kerja dari obat tersebut.

PEMBAHASAN

A. Stimulansia cortex cerebri (caffein)


Tabel 1. Pengaruh caffeine pada katak
Dosis Posisi Rasa Tonus Frekuensi Frekuensi
Menit Refleks Konvulsi
(ml) tubuh nyeri otot napas jantung
0 0.05 + + + + 96 72 ‒
5 0.1 + ++ ++ + 96 80 ‒
10 0.2 + +++ + + 120 92 ‒
15 0.4 ++ ++ + ++ 72 lemah +
20 0.8 ‒ + + +++ lemah lemah +
Keterangan:
- : Tidak ada
+ : Sedang
++ : Kuat
+++ : Sangat kuat
Sediaan caffeine pada dosis terapi dapat meningkatkan daya pikir,
mengurangi rasa lelah, dan meningkatkan kewaspadaan. Namun pemberian
caffeine dengan dosis berlebih dapat memberikan efek insomnia, tremor, palpitasi,
kejang, serta kecemasan (Arifin et al. 2012). Caffeine bekerja dengan menjadi
inhibitor kompetitif dari adenosine, sehingga menyebabkan peningkatan sekresi
dopamine, noradrenaline, dan glutamat yang memberikan efek stimulan (Lopez-
Cruz et al. 2018).
Katak yang diberi caffeine tidak menunjukkan banyak perubahan pada
menit-menit awal. Hal ini dapat disebabkan oleh onset dari caffeine yang lebih
panjang dari waktu injeksi. Caffeine mulai memberikan efek pada menit ke-5
dengan mulai meningkatnya refleks katak terhadap rangsangan dari luar. Katak
mencapai puncak kewaspadaan pada menit ke-10 dengan dosis 0.35ml. Katak pada
dosis ini memiliki frekuensi napas dan jantung yang secara signifikan lebih tinggi
dari keadaan fisiologisnya. Pemeberian dosis di atas 0.35ml memberikan efek
peningkatan tonus otot hingga konvulsi yang menyebabkan kelelahan pada katak
hingga katak tersebut mati. Katak dengan tonus otot yang sangat tinggi mengalami
penurunan frekuensi napas dan jantung akibat otot-otot polos yang mulai melemah.
Caffeine dapat menginduksi keluarnya kalsium dari retikulum endoplasma yang
memodulasi terjadinya kontraksi otot. Dosis caffeine yang tinggi mengakibatkan
otot kontraksi berlebihan yang berujung konvulsi (Cappelletti et al. 2015).
Dosis yang dapat memberikan efek stimulansia terapi pada katak adalah
0.35ml dengan onset selama 10 menit. Pemberian caffeine pada katak di atas dosis
terapi memberikan efek konvulsi, kelemahan pernapasan, dan kelemahan jantung
dan dapat berujung kematian.
B. Stimulansia cortex cerebri (amphetamine)

Tabel 2. Sebelum pemberian amfetamin


Aktitas Refleks Rasa Tonus Frekuensi Frekuensi konvulsi
tubuh nyeri otot napas jantung
(kali/menit) (kali/menit)
+ + Ada + 172 196 -
Tabel 3. Setelah pemberian amfetamin

Menit Dosis Aktivutas Refleks Rasa Tonus Frekuensi Frekuensi konvulsi


(mL) tubuh nyeri otot napas jantung
0-5 0,05 +++ + Ada + 176 200 +
Keterangan:
- : Tidak ada
+ : Sedang
++ : Kuat
+++ : Sangat kuat
Salah satu dari stimulan yang disalahgunakan secara luas adalah amfetamin,
karena mempunyai efek yang poten dalam meningkatkan aktivitas tubuh dan sistem
saraf pusat, melalui stimulasi berbagai neurotransmiter (Wiraagni 2019). Hasil
percobaan menunjukkan, mencit mengalami peningkatan aktivitas, hal ini sesuai
dengan literatur yang didapatkan bahwa obat stimulansia dapat meningkatkan
aktivitas tubuh dan mental. Selain itu obat stimulansia juga mampu meningkatkan
konsentrasi, membuat lebih siaga serta dapat meminimalisir kelelahan (Sujatno
2001). Pada awal penggunaan obat ini, sipengguna merasa segar, penuh percaya
diri, kemudian berlanjut menjadi susah tidur, perilaku hiperaktif, agresif, denyut
jantung jadi cepat, dan mudah tersinggung (Sastro dan Elin 2008). Setelah
pemberian amphetamine tikus menjadi lebih hiperaktif, agresif serta terjadi
peningkatan denyut jantu hal tersebut sesuai dengan literatur yang didapatkan.
Efek yang dapat muncul setelah penggunaan amfetamin tergantung dari
jumlah amfetamin yang dikonsumsi dan cara. Efek penggunaan amfetamin dengan
rokok atau injeksi akan lebih cepat dibandingkan dengan secara oral atau hirup.
Pemberian secara oral atau hirup menimbulkan efek yang lebih lambat dan diserap
di dalam tubuh lebih lambat. Waktu paruh amfetamin mencapai 8-13 jam (Scott
et.al 2007). pemberian amfetamin dengan cara diinjeksikan melalui subkutan pada
praktikum memiliki onset yang sangat cepat yaitu 5 menit. Hal tersebut sesuai
dengan literatur yang mengatakan bahwa pemberian injeksi lebih cepat daripada
oral. Penggunaan dosis yang lebih tinggi secara terus-menerus akan menyebabkan
efek menyenangkan dari amfetamin menjadi semakin berkurang dan akan
meningkatkan efek toksiknya (Scott et.al 2007). Efek toksik yang terjadi pada
praktikum kali ini, yaitu mencit mengalami kejang dan kemudian mati setelah
diinjeksikan amfetamin.
C. Stimulansia medulla oblongata (cardiazole)
Tabel 3. Stimulansia medulla oblongata (cardiazole)

Posisi Rasa Frek. Frek. Konvul


Menit Dosis Reflek Tonus
tubuh nyeri napas jantung si

Normal 0 + + + + 80 92 -

0 0,05 + ++ + + 104 72 -

5 0,1 ++ ++ ++ + 104 68 -

10 0,2 - +++ ++ +++ 136 64 +

Keterangan: Perhitungan Dosis:


- : Tidak ada
+ : Sedang [𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 %]𝑥 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 = [𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑚𝑔]
++ : Kuat
+++ : Sangat kuat 100𝑚𝑔
[ ] 𝑥 0,35𝑚𝑙 = [𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑚𝑔]
𝑚𝑙

[𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑚𝑔] = 35 𝑚𝑔

Cardiazole merupakan analeptika yang menstimulasi pusat pernafasan dan


pusat vasomotor dalam medulla oblongata. Pada dosis tinggi, cardiazole dapat
menyebabkan konvulsi. Mekanisme kerja obat dapat dipengaruhi oleh konsentrasi
obat, spesies hewan, faktor endogen (usia, berat badan, jenis kelamin, kesehatan
hewan). Diet terkait dengan komposisi pakan, cara pemberian, temperatur serta
musim (Gunawan 2007). Cardiazol stabil terhadap panas, mudah larut, cepat
diserap dan tidak kumulatif. Kualitas daya serap yang luar biasa menjadikannya
praktis dan efektifnya baik diberikan secara subkutan ataupun intravena (Niall
2006).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dengan pemberian cardiazole
terjadi peningkatkan frekuensi pernafasan tetapi tidak terjadi peningkatan pada
frekuensi jantung. Pada pemberian dosis tinggi terjadi konvulsi, dimana adanya
emprosthotonus dan spasmus otot. Hasil ini sesuai dengan Barker dan Levine
(1928) dimana mereka melaporkan efek stimulasi pada pusat pernafasan katak,
tikus, dan kelinci, baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan tertekan
(kloroform). Respirasi yang ditekan oleh morfin juga mengalami peningkatan.
Dilakukan juga perusakan pada medulla oblongata dengan menggunakan sonde saat
katak mengalami konvulsi. Setelah medulla oblongata dirusak tanda-tanda konvulsi
hilang. Hal ini membuktikan bahwa cardiazol bekerja pada pusat pernafasan yaitu
medulla oblongata.

D. Stimulansia medulla spinalis (striknin 0,01%)


Tabel 4. Sebelum pemberian striknin

Menit Dosis Posisi Refleks Rasa Tonus Frekuensi Frekuensi konvulsi


(mL) Tubuh nyeri otot napas jantung
0 0 + + Ada + 104 108 -
Tabel 5. Setelah pemberian striknin
Menit Dosis Posisi Refleks Rasa Tonus Frekuensi Frekuensi konvulsi
(mL) Tubuh nyeri otot napas jantung
0 0.05 +++ +++ +++ +++ 120 76 +++
Keterangan:
- : Tidak ada
+ : Sedang
++ : Kuat
+++ : Sangat kuat
Strikinin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica, biji tanaman
Strychnos nux vomica. Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk
menjelaskan fisiologi dan farmakologi susunan saraf. Obat ini menduduki tempat
utama diantar obat yang bekerja secara sentral. (Sunaryo, 1995)
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap
transmitor penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pasca
sinaps.Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini
merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba
konvulsi ini berupa ekstensi tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambaran
konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang
langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi
ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu
pendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada
hewan yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga merangsang
medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan
kerjnya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal
(Sunaryo,1995).
Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku ototmuka dan
leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat. Pada
sta dium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya terjadi
konvulsi tetanik. Episode kejang ini terjadi berulang, frekuensi dan hebatnya kejang
bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot ini menimbulkan
nyeri hebat, dan penderita takut mati dalam serangan berikutnya ( Sunaryo, 1995 ).
Obat yang paling bermanfaat untuk mengatasi hal ini adalah diazepam 10
mg IV, sebab diazepam dapat melawan kejang tanpa menimbulkan potensiasi
terhadap depresi post ictal, seperti yang umum terjadi pada penggunaan barbiturat
atau depresan non selektif lainnya ( Sunaryo, 1995 ).
Hasil pengamatan praktikum menunjukan efek striknin sebagai obat
stimulansia medulla spinalis bekerja sangat cepat. Pada injeksi pertama diberi
striknin dengan dosis 0.05 mL pada katak, dalam rentang waktu 0-10 menit segala
aktivitas tubuh menunjukan peningkatan stimulansia yang sangat cepat. Injeksi
striknin sebanyak 0.05 mL dalam waktu 0-10 sudah mampu meberikan efek paling
maksimal pada katak, sehingga penyuntikan pada dosis yang lebih besar tidak
dilakukan. Hal ini dikarenakan striknin merupakan konvulsan kuat dengan sifat
kejang yang khas. Pada hewan coba konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan
dan semua anggota gerak. Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan
konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari
kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh
rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan, dan perabaan. Konvulsi
seperti ini juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis secara
langsung. Atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula
spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal. Terjadi konvulsi spontan,
simetris, dan kronik sesekali dalam waktu pengamatan.

SIMPULAN
Cafein dan amphetamine bekerja pada cortex cerebri. Cafein dapat
menembus sawar otak dan mempengaruhi pembuluh darah di otak, sehingga badan
dan otak “tidak bisa tidur”, menyebabkan pelepasan adrenalin ke tubuh dan
membuat sel-sel selau aktif dan terjaga srhingga menghasilkan perasaan tenang dan
“melayang”. Amphetamine dapat menghilangkan rasa kelelahan dan penat,
Amphetamine memicu pelepasan noradrenalin dan menghambat re-uptakenya.
Cardiazole bekerja pada medulla oblongata dengan menghambat sistem GABA-
nergik, sehingga akan meningkatkan eksibilitas sistem syaraf pusat. Sedangkan
striknin bekerja pada medulla spinalis. Striknin bekerja pada medulla spinalis
dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmiter
penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan postsinaps dan merupakan
konvulsan kuat dengat sifat kejang yang khas.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin H, Benny, Elisma. 2012. Kajian efek stimulansia beberapa minuman energi
kemasan botol yang beredar di pasaran. Jurnal Farmasi Higea. 4(2): 120-
132.
Barker MH, Levine SA. 1928. Cardiazol some experimental effects of this drug on
the cardiorespiratory mechanism. Arch Intern Med (Chic). 42(1):14-22.
Behrnman K, Arvin N. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol 1 Edisi
Kelimabelas. Wahab S, penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Nelson Textbook of Pediatrics
Fifteenth Edition.
Cappelletti C, Daria P, Sani G, Aromatario M. 2015. Caffeine: cognitive and
physical performance enhancer or psychoactive drug? Current
Neuropharmacology. 13(1): 71-88.
Gunawan SG. 2007. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. Jakarta (ID): Gaya Baru.
Herwana E, Pudjiadi LL, Wahab R, Nugroho D, Hendrata T, Setiabudy R,. 2005.
Efek pemberian minuman stimulant terhadap kelelahan pada tikus.
Universa Medicina. Vol 24 (1) : 8-14.
Kee JL, Hayes ER. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Anugerah
P, penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan
dari : Pharmacology : A Nursing Process Approach.
Lopez-Cruz L, Salamone JD, Correa M. 2018. Caffeine and selective adenosine
receptor antagonists as new therapeutic tools for the motivational symptoms
of depression. Front. Pharmacol. 9: 526.
Niall M. 2006. ‘A violent thunderstorm’: Cardiazol treatment in British mental
hospitals. History of Psychiatry. 17(1): 67–90.
Sastro, Ellyn C. 2008. Uji Efek Stimulan Ekstrak Daun Poko (Mentha arvensis L)
pada Mencit. [Undergraduate thesis] Widya Mandala Catholic University :
Surabaya
Scott JC, Woods SP, Matt GE, Meyer RA, Heaton RK. 2007. Neurocognitive
effects of methamphetamine: A critical review and meta-analysis.
Neuropsychol Rev. 17:275-97.
Sinclair C. 2003. Buku Saku Kebidanan. Komalasari R, penerjemah. Jakarta (ID):
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari : A Midwife’s Handbook.
Sujatno M., 2001. Pengaruh penggunaan doping terhadap penampilan atlet pada
Pekan Olah Raga Nasional XIV/1996 dan South East Asian Games
XIX/1997 di Jakarta. JKM. 1 (1) : 32-38.
Sumardjo D. 2006. Pengantar Kimia : Buku Panduan Kuliah Mahasiswa
Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta.Jakarta (ID) :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sunaryo. (1995). Perangsang Susunan Saraf Pusat, dalam Farmakologi Dan
Terapi. Editor Sulistia G. Ganiswara. Edisi Keempat. Jakarta (ID): Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Utama, Hendra, Vincent HS Gan. (1995). Antikonvulsan, dalam Farmakologi dan
Terapi Bab 12. Editor Sulistia G. Ganiswara. Edisi Keempat. Jakarta (ID):
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Wade C, Travis C. 2008. Psikologi Edisi 9. Widyasinta B, penerjemah. Jakarta (ID)
: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari : Psikologi Ninth Edition.
Wiraagni IA. 2019. Amphetamine detection in human blood plasma with
LC_MS/MS. Jurnal Forensik dan Medikolegal Indonesia 1 (1) : 1-5.

Anda mungkin juga menyukai