Kelompok
Dosen Pembimbing
B04070016
B04130062
B04120127
B04130098
B04138020
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Stimulansia
merupakan
obat
yang
efek
utamanya
menyebabkan
perangsangan pada Sistem Saraf Pusat (SSP). Perangsangan SSP obat pada
umumnya melalui dua mekanisme, yaitu mengadakan blokade system
penghambat
dan
meninggikan
rengsangan
sinaps.
Terdapat
dua
tipe
1.2 TUJUAN
Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui prinsip kerja dari obat
stimulansia SSP dan gejala klinis yang menyertainya.
1.3 TINJAUAN PUSTAKA
Kafein merupakan hasil turunan dari xantin, yaitu alkaloid yang terdapat
dalam tumbuhan. Kafein terdapat di dalam kopi. Jenis-jenis dari turunan xantin
adalah kafein, teofilin, dan teobromin. Di antara ketiga turunan tersebut, kafein
memiliki kerja psikotonik paling kuat. Kafein sering diminum secara teratur oleh
banyak orang. Setelah mengonsumsi kopi, kerja kafein terjadi relatif cepat, setelah
sekitar 30 menit akan mencapai maksimum dan akan hilang perlahan-lahan dalam
waktu 2-3 jam (Mutschler 1991).
Kafein bekerja pada sistem saraf pusat, otot (termasuk otot jantung), dan
ginjal. Pengaruh pada sistem saraf pusat terutama pada pusat-pusat yang lebih
tinggi, yang menghasilkan peningkatan aktivitas mental dan tetap terjaga atau
bangun. Kafein meningkatkan kinerja dan hasil kerja otot, merangsang pusat
pernapasan, meningkatkan kecepatan dan kedalaman napas. Daya kerja sebagai
diuretika dari kafein, didapat dengan beberapa cara seperti meningkatkan aliran
darah dalam ginjal dan kecepatan filtrasi glomerulus, tapi terutama sebagai akibat
pengurangan reabsorpsi tubuler normal.
Amphetamine merupakan obat stimulansia SSP yang menstimulasi bagian
korteks cerebri. Efek samping dari amphetamine terhadap SSP dan SSP perifer
bersifat tidak langsung, artinya tergantung pada peningkatan kadar transmitter
pada ruang sinap. Amphetamine memberikan efek ini karena melepaskan depot
intraselular katekolamin. Karena amfetamin juga menghambat monoamine
oksidase (MAO), kadar katekolamin yang tinggi mudah dilepaskan kedalam ruang
sinaps (Mycek 2001).
Penyebab utama efek amphetamine diperkirakan karena pelepasan
dopamine bukan norepinefrin. Amphetamine memacu sumbu serebrospinalis
keseluruhan, korteks, batang otak (sambungan otak), dan medulla. Akibatnya
kesadaran meningkat, keletihan berkurang, nafsu makan menurun, dan insomnia.
Efek samping yang tidak diinginkan termasuk insomnia, irritable, lemah, pusing,
Dosis
Posisi
(mL)
tubuh
Normal
0
0,05
10
0,1
20
0,2
30
0,4
Refleks
Rasa
nyeri
Tonus
Frek.
Frek.
nafas
jantung
Konvulsi
450
+++
+++
+++
92
56
+++
+++
+++
88
96
+++
++
++
56
88
+++
++
++
80
80
++
+++
45
45
45
55
Dosis
Aktivit
Refleks
Salivasi / defekasi /
Tonus
Frek
Frek
Konvulsi
as
(mL)
urinasi
tubuh
+++
Normal
0
0,05
++++
+++
+++
10
0,1
+++++
++++
20
0,2
++
++
nafas
jantun
+++
+++
160
220
g
196
180
++++
++++
+++
konvulsi pada menit ke 20 pada penyuntikan amphetamin sebesar 0.2 ml. Ciri
konvulsi pada saat itu terjadi loncat-loncat pada hewan coba, dan hypersalivasi.
Amphetamin merupakan senyawa yang termasuk psikostimulansia, senyawa ini
dapat menghilangkan rasa kelelahan dan penat, serta meningkatkan kemampuan
konsentrasi dan kapasitas yang bersangkutan. Senyawa ini tidak memiliki khasiat
antipsikotik. Pada dosis yang berlebih merupakan racun kejang. Obat-obat dari
kelompok dari amphetamin terutama memicu pelepasan noradrenalin dan
menghambat re-uptakenya. Akibatnya terjadi peningkatan frekuensi jantung dan
tekanan darah. Hal tersebut sudah terlihat sesaat setelah mencit disuntikkan
amphetamine dengan dosis 0,05ml.
c. Stimulansia medulla oblongata (katak-cardiazol)
Menit
Dosis
Posisi
(mL)
tubuh
Normal
0
10
20
30
0,05
0,1
0,2
0,4
Refleks
Rasa
nyeri
Tonus
Frek.
Frek.
nafas
jantung
Konvulsi
450
+++
+++
+++
104
108
+++
+++
+++
96
96
++++
++++
++++
108
92
+++
+++
+++
80
80
--
+++
+++
45
55
55
58
Dosis
Posisi
(mL)
tubuh
Refleks
Rasa
nyeri
Tonus
Frek.
Frek.
nafas
jantung
Konvulsi
Normal
0
0,05
450
+++
+++
+++
120
80
550
++++
+++
+++
60
+++ (menit
ke 40
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Obat stimulansia SSP bekerja pada korteks cerebri, medulla oblongata, dan
medulla spinalis, tergantung titik tangkap kerjanya masing-masing. Obat yang
bekerja pada korteks cerebri menimbulkan gejala klinis berupa konvulsi aspontan,
simetris, dan klonis, contohnya kafein dan amphetamine. Obat yang bekerja pada
medulla oblongata menimbulkan gejala klinis berupa konvulsi spontan, simetris,
dan klonis, contohnya cardiazol. Obat yang bekerja pada medulla spinalis
menimbulkan gejala klinis berupa konvulsi aspontan, simetris, dan tetanis,
contohnya adalah striknin.
3.2 SARAN
Proses konvulsi cenderung berlangsung singkat dan biasanya hewan coba
segera mati beberapa saat kemudian. Oleh karena itu, sebaiknya praktikan segera
merusak bagian SSP untuk mengetahui titik tangkap kerja obat.
DAFTAR PUSTAKA
Djojodibroto D. 2009. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: EGC.
Ganiswara SG. 2003. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.
Kasper DL. 2005. Harrisons Manual of Medicine. New York: Mc Graw Hill
Medical Publishing Division.
Martini, Frederich H. 2005. Anatomy & Physiology. Jurong, Singapore: Pearson
Education.
Mutschler E. 1999. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Ed-5. Bandung:
ITB.
Mycek MJ. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi ke-2. Jakarta: Widya
Medika.