Anda di halaman 1dari 11

Tanggal/Waktu Praktikum

Kelompok
Dosen Pembimbing

: Rabu, 27 April 2016/


14.30-17.00 WIB.
:2
: Drh. Huda Darusman.

STIMULANSIA SISTEM SARAF PUSAT


1. Dia Novia Hidyati
2. Diyah Septiriyanti
3. Noor Ihsan
4. Sulthan Rasyidrifai
5. Uma Maheswary

B04070016
B04130062
B04120127
B04130098
B04138020

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Stimulansia

merupakan

obat

yang

efek

utamanya

menyebabkan

perangsangan pada Sistem Saraf Pusat (SSP). Perangsangan SSP obat pada
umumnya melalui dua mekanisme, yaitu mengadakan blokade system
penghambat

dan

meninggikan

rengsangan

sinaps.

Terdapat

dua

tipe

penghambatan, yaitu penghambatan presinaps, contohnya pikrotoksin dan


penghambatan pasca sinaps, misalnya striknin. Perangsangan SSP dapat
merangsang pusat pernapasan, antara lain (1) perangsangan langsung pada pusat
napas, baik oleh obat atau karena adanya perubahan pH darah (2) perangsangan
dari impuls sensoris yang berasal dari kemoreseptor dan bahan karotis (3)
perangsangan dari impuls afferent terhadap pusat napas, dan (4) pengaturan dari
pusat yang lebih tinggi. Stimulasi SSP juga merangsang pusat vasomotor, tetapi
dalam hal ini belum ada obat yang selektif dapat merangsang pusat vasomotor.
Bagian ini akan ikut terangsang bila ada rangsangan terhadap medulla oblongata
oleh obat perangsang napas dan aneleptik. Selain itu, stimulasi SSP juga dapat
merangsang pusat muntah melalui Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di medulla
oblongata, misalnya apormorfin.
Daya kerja SSP dapat dibedakan berdasarkan lokasi titik tangkap kerjanya,
yaitu (1) stimulansia cortex cerebri yang dapat meningkatkan persepsi, respon,
tremor, gelisah, dan delirium. Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang
involuntas. Sifat konvulsan yang ditimbulkan adalah aspontan (ada rangsang
terlebih dahulu), simetris (tremor yang terjadi bersamaan pada anggota tubuh kiri
dan kanan), dan klonis (kontraksi ada fase istirahat), contohnya adalah cafein, (2)
stimulansia medulla oblongata yang dapat menyebabkan peningkatan frekuensi
pernapasan da jantung, serta menimbulkan tremor, sifat konvulsannya adalah
spontan (tidak perlu rangsangan), asimetris, dan klonis, misalnya cardiazol, (3)
stimulansia medulla spinalis, bagian lain dari SSP, serta memperngaruhi reflek,
sifat konvulsannya spontan, simetris, dan tetanus, contohnya adalah striknin.

1.2 TUJUAN
Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui prinsip kerja dari obat
stimulansia SSP dan gejala klinis yang menyertainya.
1.3 TINJAUAN PUSTAKA
Kafein merupakan hasil turunan dari xantin, yaitu alkaloid yang terdapat
dalam tumbuhan. Kafein terdapat di dalam kopi. Jenis-jenis dari turunan xantin
adalah kafein, teofilin, dan teobromin. Di antara ketiga turunan tersebut, kafein
memiliki kerja psikotonik paling kuat. Kafein sering diminum secara teratur oleh
banyak orang. Setelah mengonsumsi kopi, kerja kafein terjadi relatif cepat, setelah
sekitar 30 menit akan mencapai maksimum dan akan hilang perlahan-lahan dalam
waktu 2-3 jam (Mutschler 1991).
Kafein bekerja pada sistem saraf pusat, otot (termasuk otot jantung), dan
ginjal. Pengaruh pada sistem saraf pusat terutama pada pusat-pusat yang lebih
tinggi, yang menghasilkan peningkatan aktivitas mental dan tetap terjaga atau
bangun. Kafein meningkatkan kinerja dan hasil kerja otot, merangsang pusat
pernapasan, meningkatkan kecepatan dan kedalaman napas. Daya kerja sebagai
diuretika dari kafein, didapat dengan beberapa cara seperti meningkatkan aliran
darah dalam ginjal dan kecepatan filtrasi glomerulus, tapi terutama sebagai akibat
pengurangan reabsorpsi tubuler normal.
Amphetamine merupakan obat stimulansia SSP yang menstimulasi bagian
korteks cerebri. Efek samping dari amphetamine terhadap SSP dan SSP perifer
bersifat tidak langsung, artinya tergantung pada peningkatan kadar transmitter
pada ruang sinap. Amphetamine memberikan efek ini karena melepaskan depot
intraselular katekolamin. Karena amfetamin juga menghambat monoamine
oksidase (MAO), kadar katekolamin yang tinggi mudah dilepaskan kedalam ruang
sinaps (Mycek 2001).
Penyebab utama efek amphetamine diperkirakan karena pelepasan
dopamine bukan norepinefrin. Amphetamine memacu sumbu serebrospinalis
keseluruhan, korteks, batang otak (sambungan otak), dan medulla. Akibatnya
kesadaran meningkat, keletihan berkurang, nafsu makan menurun, dan insomnia.
Efek samping yang tidak diinginkan termasuk insomnia, irritable, lemah, pusing,

gemetar, dan refleks hiperaktif. Amphetamine juga menyebabkan konvusi,


delirium, panik, dan tendensi bunuh diri pada pasien sakit mental. Pada dosis
tinggi, dapat mengakibatkan kejang. Karena efek stimulansia pada SSP,
amphetamine dan derivatnya digunakan dalam terapi depresi, hiperaktivitas anak,
narkolepsi, dan pengatur nafsu makan (Mycek 2001).
Salah satu bagian dari sistem saraf pusat adalah medulla oblongata. Medulla
oblongata memiliki sentrum pengatur pernapasan. Sentrum pernapasan tersebut
berupa apneustic center dan pneumotaxic center (Djojodibroto 2009). Apneustic
center yang terletak lebih posterior berfungsi untuk mengirimkan sinyal agar
terjadi pernapasan yang terus menerus dan lancar (apneustic breathing) (Sircar
2008; Wyka et al. 2002). Pneumotoxic center merupakan pengatur kerja dan ritme
respirasi (Martini dan Frederich 2005).
Striknin termasuk obat yang bekerja sebagai stimulan medula spinalis dan
konvulsinya disebut konvulsi spinal. Striknin merupakan alkaloid utama dalam
nux vomica, tanaman yang banyak tumbuh di India. Striknin merupakan penyebab
keracunan tidak sengaja (Sumardjo 2008). Striknin bekerja dengan cara
mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmiter penghambatan yaitu
glisin di daerah penghambatan postsinaps. Striknin dapat mempengaruhi semua
bagian sistem saraf pusat. Obat ini merupakan konvulsan kuat dengat sifat kejang
yang khas. Pada hewan konvulsi berupa ekstensif tonik dari badan dan semua
anggota gerak.
METODE KERJA
2.1. Alat dan Bahan
Alat yang digunkan adalah spuid 1 ml, jam, dan kandang hewan. Bahan
yang digunakan yaitu katak, mencit, kafein, striknin, cardiazol, dan amfetamin.
2.2. Metodologi
A. Stimulansia cortex cerebri
1. Lakukan pemeriksaan fisiologis katak normal (posisi tubuh, reflek, rasa
nyeri, tonus otot, frekuensi nafas dan jantung).
2. Kafein disuntikkan secara SC pada daerah saccus limphaticus femoralis
dengan dosis bertingkat mulai dari 0.05 ml, 0.1 ml, 0.2 ml, dan seterusnya.
3. Diamati perubahan fisiologis katak setiap 10 menit pada setiap dosis
penyuntikan.

4. Pemberian obat dan pengamatan dihentikan setelah terjadi konvulsi pada


katak.
5. Bagian otak dari katak dirusak satu-persatu mulai dari cortex cerebri,
medulla oblongata, dan medulla spinalis untuk mengetahui titik tangkap
kerja obat tersebut.
B. Stimulansia cortex cerebri
1. Lakukan pemeriksaan fisiologis mencit normal (posisi tubuh, reflek, rasa
nyeri, tonus otot, frekuensi nafas dan jantung).
2. Amphetamin disuntikkan secara SC pada daerah punggung dengan dosis
bertingkat mulai dari 0.05 ml, 0.1 ml, 0.2 ml, dan seterusnya.
3. Diamati perubahan fisiologis katak setiap 10 menit pada setiap dosis
penyuntikan.
C. Stimulansia medulla oblongata
1. Lakukan pemeriksaan fisiologis katak normal (posisi tubuh, reflek, rasa
nyeri, tonus otot, frekuensi nafas dan jantung).
2. Cardiazol disuntikkan secara SC pada daerah saccus limphaticus femoralis
dengan dosis bertingkat mulai dari 0.05 ml, 0.1 ml, 0.2 ml, dan seterusnya.
3. Diamati perubahan fisiologis katak setiap 10 menit pada setiap dosis
penyuntikan.
4. Pemberian obat dan pengamatan dihentikan setelah terjadi konvulsi pada
katak.
5. Bagian otak dari katak dirusak satu-persatu mulai dari cortex cerebri,
medulla oblongata, dan medulla spinalis untuk mengetahui titik tangkap
kerja obat tersebut.
D. Stimulansia medulla spinalis
1. Lakukan pemeriksaan fisiologis katak normal (posisi tubuh, reflek, rasa
nyeri, tonus otot, frekuensi nafas dan jantung).
2. Striknin disuntikkan secara SC pada daerah saccus limphaticus femoralis
dengan dosis bertingkat mulai dari 0.05 ml, 0.1 ml, 0.2 ml, dan seterusnya.
3. Diamati perubahan fisiologis katak setiap 10 menit pada setiap dosis
penyuntikan.
4. Pemberian obat dan pengamatan dihentikan setelah terjadi konvulsi pada
katak.
5. Bagian otak dari katak dirusak satu-persatu mulai dari cortex cerebri,
medulla oblongata, dan medulla spinalis untuk mengetahui titik tangkap
kerja obat tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Stimulansia cortex cerebri (katak-kafein)


Menit

Dosis

Posisi

(mL)

tubuh

Normal
0

0,05

10

0,1

20

0,2

30

0,4

Refleks

Rasa
nyeri

Tonus

Frek.

Frek.

nafas

jantung

Konvulsi

450

+++

+++

+++

92

56

+++

+++

+++

88

96

+++

++

++

56

88

+++

++

++

80

80

++

+++

45
45
45
55

Katak yang diinjeksi dengan kafein terlebih dahulu diamati status


fisiologisnya yang meliputi posisi tubuh, refleks, rasa nyeri, tonus otot, frekuensi
napas, frekuensi jantung, dan konvulsi. Posisi tubuh katak adalah 45. Refleks,
rasa nyeri, dan tonus otot yang dimiliki katak masih dapat berfungsi dengan baik.
Selain itu, frekuensi napas katak adalah sebesar 92 kali/menit, sedangkan
frekuensi jantungnya adalah sebesar 56 kali/menit. Katak yang digunakan pada
praktikum sebelum diinjeksikan dengan kafein juga tidak menunjukkan adanya
gejala konvulsi. Kafein disuntikkan secara subkutan pada daerah abdominal
melalui saccus limphaticus femoralis dengan dosis bertingkat. Pada menit 0 saat
katak disuntikkan kafein dengan dosis 0,05ml terlihat pengaruh kafein dengan
adanya kenaikan frekuensi jantung. Selain itu kafein bekerja dengan menstimulasi
pada daerah cortex cerebri, hal ini dibuktikan saat katak mengalami konvulsi
dengan ciri-ciri kaki katak mengalami kekejangan secara asimetris pada menit ke
30 dengan dosis 0,4 ml maka dimulailah pengrusakan bagian otak katak dimulai
dari medulla oblongata dan didapatkan hasil bahwa katak tetap mengalami
konvulsi dimana salah satu kaki katak masih mengalami kekejangan. Pengrusakan
bagian otak katak diteruskan hingga mencapai cortex cerebri, dan didapatkan hasil
bahwa kaki katak tidak mengalami kekejangan lagi dan hal ini membuktikan
bahwa kafein bekerja dengan menstimulasi bagian cortex cerebri katak yang
menyebabkan katak mengalami konvulsi. Bila konvulsi diteruskan tanpa
penanggulangan, maka katak tersebut akan mengalami sesak nafas yang
mengakibatkan kifosis pada punggung katak.

b. Stimulansia cortex cerebri (mencit-amphetamine)


Meni

Dosis

Aktivit

Refleks

Salivasi / defekasi /

Tonus

Frek

Frek

Konvulsi

as

(mL)

urinasi

tubuh
+++

Normal
0
0,05

++++

+++
+++

10

0,1

+++++

++++

20

0,2

++

++

nafas

Sal/def/urin -/-/Sal/def/urin -/-/Sal/def/urin ++/++


+/Sal/def/urin+/-/-

jantun

+++
+++

160
220

g
196
180

++++

++++

+++

Mencit digunakan untuk praktikum stimulansia cortex cerebri dengan


penyuntikan subkutan secara bertingkat. Mencit yang diinjeksi dengan
amphetamin terlebih dahulu diamati status fisiologisnya yang meliputi aktivitas
tubuh, refleks, adanya salivasi/defekasi/urinasi, tonus otot, frekuensi napas,
frekuensi jantung, dan konvulsi. Refleks, rasa nyeri, dan tonus otot yang dimiliki
mencit masih dapat berfungsi dengan baik dan tidak ada salivasi/defekasi/urinasi.
Selain itu, frekuensi napas katak adalah sebesar 160 kali/menit, sedangkan
frekuensi jantungnya adalah sebesar 196 kali/menit. Katak yang digunakan pada
praktikum sebelum diinjeksikan dengan amphetamine juga tidak menunjukkan
adanya gejala konvulsi. Pada percobaan

amphetamin di sini terlihat terjadi

konvulsi pada menit ke 20 pada penyuntikan amphetamin sebesar 0.2 ml. Ciri
konvulsi pada saat itu terjadi loncat-loncat pada hewan coba, dan hypersalivasi.
Amphetamin merupakan senyawa yang termasuk psikostimulansia, senyawa ini
dapat menghilangkan rasa kelelahan dan penat, serta meningkatkan kemampuan
konsentrasi dan kapasitas yang bersangkutan. Senyawa ini tidak memiliki khasiat
antipsikotik. Pada dosis yang berlebih merupakan racun kejang. Obat-obat dari
kelompok dari amphetamin terutama memicu pelepasan noradrenalin dan
menghambat re-uptakenya. Akibatnya terjadi peningkatan frekuensi jantung dan
tekanan darah. Hal tersebut sudah terlihat sesaat setelah mencit disuntikkan
amphetamine dengan dosis 0,05ml.
c. Stimulansia medulla oblongata (katak-cardiazol)
Menit

Dosis

Posisi

(mL)

tubuh

Normal
0
10
20
30

0,05
0,1
0,2
0,4

Refleks

Rasa
nyeri

Tonus

Frek.

Frek.

nafas

jantung

Konvulsi

450

+++

+++

+++

104

108

+++

+++

+++

96

96

++++

++++

++++

108

92

+++

+++

+++

80

80

--

+++

+++

45
55
55
58

Katak yang diinjeksi dengan cardiazol terlebih dahulu diamati status


fisiologisnya yang meliputi posisi tubuh, refleks, rasa nyeri, tonus otot, frekuensi
napas, frekuensi jantung, dan konvulsi. Posisi tubuh katak adalah 45. Refleks,
rasa nyeri, dan tonus otot yang dimiliki katak masih dapat berfungsi dengan baik.
Selain itu, frekuensi napas katak adalah sebesar 104 kali/menit, sedangkan
frekuensi jantungnya adalah sebesar 108 kali/menit. Katak yang digunakan pada
praktikum sebelum diinjeksikan dengan cardiazol juga tidak menunjukkan adanya
gejala konvulsi. Saat awal pemberian dosis 0.05 ml cardiazol, menunjukan reflek
dan rasa nyeri yang masih cukup baik dan tonus otot yang normal, namun
frekuensi nafas dan frekuensi jantung mengalami penurunan yaitu 96 kali/menit
dan 96 kali/menit. Dilakukan penambahan dosis sebanyak 0.1 ml dengan
menunjukan gejala yaitu reflek yang agak meningkat, rasa nyeri yang juga
meningkat dan tonus otot juga meningkat, serta peningkatan kembali frekuensi
nafas dan jantung setelah sebelumnya terjadi penurunan. Setelah itu dilakukan
kembali penyuntikan dosis dengan dosis 0.2 ml dan refleks, tonus otot, serta rasa
nyeri terjadi penurunan sedikit dari pemberian dosis ke dua. Pada pemberian dosis
ini juga terjadi penurunan kembali frekuensi nafas dan jantung. Selanjutnya katak
disuntikkan kembali dengan dosis 0,4 ml dan katak mengalami konvulsi dan
segera dilakukan pengerusakan otak daerah cortek cerebri tetapi masih
menunujukan gejala konvulsi, lalu dilakukan pengerusakan kembali pada daerah
medulla oblongata dan menunujukan gejala konvulasi hilang.
Dari hasil percobaan menununjukan bahwa obat stimulant Cardiazol bekerja
pada daerah medulla oblongata dan juga meningkatkan frekuensi pernafasan serta
jantung, ini terjadi karena cardiazol merupakan agent pharmacentical yang
menampilkan aktivitas sebagai stimulant sistem pusat syaraf respiratory. Cardiazol
juga melibatkan kerja dari gamma aminobutiric acid yang mana berperan penting
dalam meregulasi neuronal yang dirangsang sekuruhnya pada system syaraf pusat
dan sebagai pusat penghambat neurotransmitter di system syaraf pusat pada
mamalia. Oleh karena itu obat cardiazol merupakan stimulant medulla oblongata.
d. Stimulansia medulla spinalis (katak-striknin)
Menit

Dosis

Posisi

(mL)

tubuh

Refleks

Rasa
nyeri

Tonus

Frek.

Frek.

nafas

jantung

Konvulsi

Normal
0

0,05

450

+++

+++

+++

120

80

550

++++

+++

+++

60

+++ (menit
ke 40

Katak yang diinjeksi dengan striknin terlebih dahulu diamati status


fisiologisnya yang meliputi posisi tubuh, refleks, rasa nyeri, tonus otot, frekuensi
napas, frekuensi jantung, dan konvulsi. Posisi tubuh katak adalah 45. Refleks,
rasa nyeri, dan tonus otot yang dimiliki katak masih dapat berfungsi dengan baik.
Selain itu, frekuensi napas katak adalah sebesar 120 kali/menit, sedangkan
frekuensi jantungnya adalah sebesar 80 kali/menit. Katak yang digunakan pada
praktikum sebelum diinjeksikan dengan striknin juga tidak menunjukkan adanya
gejala konvulsi. Setelah itu, katak diinjeksikan dengan striknin secara subkutan.
Dosis striknin yang diinjeksikan pada katak adalah sebesar 0.05 mL. Selanjutnya,
katak dibiarkan selama 10 menit untuk diamati perubahan fisiologis yang terjadi
dan pengamatan tersebut dihentikan ketika katak telah mengalami konvulsi.
Tubuh katak mulai terasa kaku pada menit pertama. Setelah itu, katak mengalami
konvulsi pada menit keempat. Sifat konvulsi yang muncul bersifat aspontan,
simetris, dan tetanis (tidak ada jeda tremor atau kontinu). Hal tersebut
menunjukkan bahwa striknin bekerja sangat cepat dalam menimbulkan konvulsi
dan dipengaruhi oleh lokasi, serta titik tangkap kerja obat. Striknin memiliki titik
tangkap kerja di medulla spinalis yang mengatur respon refleks, sehingga
mengakibatkan terjadinya efek tremor yang lebih cepat dan kuat. Sifat khas
lainnya dari konvulsi striknin ialah adanya kontraksi ekstensor yang simetris dan
diperkuat oleh rangsangan sensorik, yaitu pendengaran, penglihatan dan perabaan.
Hal tersebut mengakibatkan saat mengalami kejang, kaki dan ekstremitas katak
meregang, tetapi posisi kepalanya meningkat menjadi 55 o. Setelah itu, dilakukan
perusakan terhadap cerebrum dan medulla oblongata katak. Akan tetapi, katak
tetap berada dalam keadaan kaku dan selanjutnya katak menjadi lemas ketika
medulla spinalisnya dirusak. Perubahan katak yang menjadi lemas ketika
dilakukan perusakan terhadap medulla spinalis menandakan bahwa striknin
memiliki titik tangkap kerja di medulla spinalis.

PENUTUP

3.1 SIMPULAN
Obat stimulansia SSP bekerja pada korteks cerebri, medulla oblongata, dan
medulla spinalis, tergantung titik tangkap kerjanya masing-masing. Obat yang
bekerja pada korteks cerebri menimbulkan gejala klinis berupa konvulsi aspontan,
simetris, dan klonis, contohnya kafein dan amphetamine. Obat yang bekerja pada
medulla oblongata menimbulkan gejala klinis berupa konvulsi spontan, simetris,
dan klonis, contohnya cardiazol. Obat yang bekerja pada medulla spinalis
menimbulkan gejala klinis berupa konvulsi aspontan, simetris, dan tetanis,
contohnya adalah striknin.
3.2 SARAN
Proses konvulsi cenderung berlangsung singkat dan biasanya hewan coba
segera mati beberapa saat kemudian. Oleh karena itu, sebaiknya praktikan segera
merusak bagian SSP untuk mengetahui titik tangkap kerja obat.

DAFTAR PUSTAKA
Djojodibroto D. 2009. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: EGC.
Ganiswara SG. 2003. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.
Kasper DL. 2005. Harrisons Manual of Medicine. New York: Mc Graw Hill
Medical Publishing Division.
Martini, Frederich H. 2005. Anatomy & Physiology. Jurong, Singapore: Pearson
Education.
Mutschler E. 1999. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Ed-5. Bandung:
ITB.
Mycek MJ. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi ke-2. Jakarta: Widya
Medika.

Anda mungkin juga menyukai