Pendahuluan
Masyarakat awam seringkali menyebut
penyakit toxoplasmosis dengan sebutan penyakit
tokso saja. Penyakit ini menjadi suatu perhatian
khusus. Masyarakat awam seringkali menganggap
bahwa penyakit ini disebabkan oleh hewan piara.
Anggapan tersebut memang tidak sepenuhnya
salah, meskipun penyebab utama penyakit
toxoplasmosis ini adalah Toxoplasma gondii yang
merupakan sejenis protozoa. Menurut Nurchayo
(2011), prevalensi penyebaran Toxoplasma gondii di
Indonesia berkisar antara 2-63% pada manusia, 3573% pada kucing, 11-36% pada babi, 11-61% pada
kambing, 75% pada anjing, dan kurang dari 10%
pada ternak lain. Berikut (gambar 1) merupakan
gambaran mikroskopik dari toxoplasma.
Sumber Infeksi
Menurut Laksemi et al. (2013)
Toksoplasmosis
memberikan
dampak
terhadap kehidupan manusia. Dampak yang
diakibatkan oleh toksoplasmosis adalah
dampak sosio-ekonomi yang cukup tinggi
distribusi infeksi yang cukup luas dan
mudah.
Penyakit
ini
mengakibatkan
kecacatan
pada
anak-anak
seperti
keterbelakangan mental dan kebutaan.
Kasper (2008) mengatakan bahwa manusia
mengalami toksoplasmosis secara tidak
langsung melalui tertelannya ookista dari
Toxoplasma
gondii
yang
mencemari
lingkungan atau memakan ookista pada
daging hewan yang termasuk inang
perantara seperti ayam dan kambing. Pada
Keterangan
Wanita
JumPrelah
valenposisi (%)
tif
4
33.3
(12)
27
71.1
(38)
139
66.5
(209)
7
16.7
(42)
22
81.5
(27)
48
82.5
(63)
247
63.9
(386)
Donor
Jumlah
Positif
19
(65)
95
(231)
14
(38)
1
(22)
6
(24)
6
(24)
144
(404)
Prevalensi (%)
29.2
41.1
36.8
8.3
25.0
25.0
35.6
Tabel
Seropevalensi toksoplasmosis
berdasarkan kelompok umur pada
donor di Bali tahun 2009
Kelompok umur (tahun)%
Lokasi /
sampel yang positif (jumlah
Kabupasampel)
15- 2031- 4151ten
19 30
40
50
60
Badung
0% 30.8 26.
33.3
33.3
(0) %
3% %
%
(13) (19) (24)
(9)
Tabanan
0% 20% 57.
60%
25%
(0) (10) 9% (5)
(4)
(18)
Gianyar
0% 33.3 46.
80%
66.7
(0) %
2% (5)
%
(3)
(13)
(3)
Klungkun 0% 42.8 27.
40%
0%
g
(0) %
3% (5)
(0)
(7)
(11)
Denpasar 66. 46.3 47
45%
52.4
7% %
%
(80)
%
(3) (54) (83)
(21)
Bangli
0% 33.3 35.
0%
0%
(0) %
7% (0)
(0)
(3)
(14)
II.
2.
Transmisi
Toxoplasma gondii dapat menyerang
semua sel yang berinti sehingga dapat
menyerang semua organ dan jaringan tubuh
hospes kecuali sel darah merah. Bila terjadi
invasi oleh parasit ini yang biasanya di usus,
maka parasit ini akan memasuki sel hospes
ataupun difagositosis. Sebagian parasit yang
akan
terjadi
cicatrix.
Akibat
dari
pembentukan cicatrix ini maka akan dapat
terjadi atropi retina dan koroid disertai
pigmentasi. (Natadisastra D & Agoes R
2009, Gandahusada S dkk 2004, Neva FA &
Brown HH 1994).
Pada toxoplasmosis aquisita, infeksi
pada orang dewasa biasanya tidak diketahui
sebab jarang menimbulkan gejala, tetapi bila
infeksi primer terjadi pada masa kehamilan
maka akan terjadi toxoplasmosis kongenital
pada bayinya. Manifestasi klinis yang paling
sering terjadi pada toxoplasmosis aquisita
adalah limfadenopati, rasa lelah, demam dan
sakit kepala dan gejala ini mirip dengan
mononucleosis infeksiosa, kadang kadang
dapat terjadi eksantema (Markell EK et al.
1992).
III.
Gejala klinis
Toxoplasmosis
sistemik
pada
penderita dengan imunitas yang normal
dapat bermanifestasi dalam bentuk hepatitis,
perikarditis
dan
meningoencephalitis.
Penyakit ini dapat berakibat fatal walaupun
itu sangat jarang terjadi. Pada penderita
dengan
keadaan
immunocompromised
misalnya pada penderita HIV AIDS atau
pada orang orang yang mengonsumsi
imunosupresan, infeksi oleh parasit ini
mungkin dapat meluas yang ditandai dengan
ditemukannya proliferasi tachizoic di jaringan
otak, mata, paru, hati, jantung dan organ
organ lainnya sehingga dapat berakibat fatal.
Apabila infeksi oleh parasit ini tidak diobati
dengan baik dan penderita masih tetap
Sumber Infeksi
Bersumber dari ooskita yang keluar
bersama feses termakan oleh inang
perantara, yaitu tikus, burung, kambing dan
domba. Ookista akan berubah menjadi
bentuk tropozoid dicairan tubuh jika infeksi
akut, dan berbentuk kista pada kondisi kronis
di jaringan otot jantung, daging dan otak.
Perkembangan Toxoplasma gondii pada
hewan perantara
(Iskandar 2008).
II.
berlangsung
aseksual
Transmisi
Penularan toksoplasmosis dapat
terjadi secara horizontal dari inang perantara
yang satu ke inang perantara yang lainnya
dan ke inang definitif. Tikus yang makan
sisa-sisa makanan yang tercemar ookista
akan terinfeksi Toxoplasma gondii, tikus
penderita
toksoplasmosis
akut
mengekresikan tropozoit dalam biji-bijian
(pakan burung), dan bila dimakan oleh
burung,
burung
tersebut
menderita
toksoplasmosis. Bila burung atau tikus
dimangsa oleh kucing, kista Toxoplasma
gondii pada inang definitif, mengalami siklus
seksual dan aseksual, sedangkan pada
inang perantara Toxoplasma gondii hanya
mengalami siklus hidup aseksual (Okolo
1995).
Toxoplasma gondii berkembang biak
secara seksual dan aseksual, serta
berlangsung pada inang definitifnya yaitu
kucing dan sejenisnya. Diawali ketika kucing
memakan tikus atau burung yang terinfeksi
Toxoplasma gondii dalam bentuk kista,
didalam usus halus kista akan berubah
menjadi merozoit dan berkembang secara
seksual yang menghasilkan gametogoni
(mikrogamet dan makrogamet) dan akan
mengalami
fertilisasi
menjadi
skizon.
Kemudian skizon akan berkembang menjadi
ookista dalam jumlah yang banyak dan
keluar bersama tinja, akan bersporulasi pada
tempat yang kondusif (Levine 1985 dalam
Gambar
III.
Gejala Klinis
Toksoplasmosis pada hewan dan
manusia umumnya tanpa menunjukan
tanda-tanda klinis. Gejala klinis tergantung
dari organ yang terserang dan sifat infeksi
yang diperoleh secara bawaan atau
perolehan (Sasmita et al. 1988). Gejala yang
tampak diantaranya abortus, kejang-kejang,
spasmus otot, opistotonus, bahkan dapat
terjadi paralisa otot-otot tubuh.
Gejala pada anjing ditandai dengan
demam, anemia, susah bernafas dan diare.
Sedangkan untuk kucing terdapat dua
bentuk, yaitu akut dan kronis. Bentuk akut
dapat menimbulkan gejala demam yang
tinggi, anoreksia, dispnoe, anemia, diare dan
kadang-kadang dapat berakhir dengan
kematian. Bentuk kronis, gejalanya berupa
anoreksia, anemia, abortus, kemandulan dan
iritis (Iskandar 1998). Kambing dan domba
mempunyai gejala subakut sampai kronis.
Kambing yang bunting sering terjadi abortus,
kelahiran prematur dan vaginitis. Janin yang
dilahirkan mengalami ensefalitis, oedema
subkutan, tetapi kadang-kadang janin yang
mati tidak dikeluarkan melainkan tetap di
dalam uterus dan mengalami mumifikasi.
Gejala akut biasanya berupa demam,
abortus,
kelahiran
prematur,
hidung
mengeluarkan cairan eksudat dan hal ini
dapat
berakhir
dengan
kematian.
Toksoplasmosis pada babi dewasa ditandai
D. Diagnosa
Secara klinis, toksoplasmosis tidak memiliki
gejala yang khas sehingga penetapan diagnosis
berdasarkan gejala klinis tidak dapat dijadikan tolak
ukur. Oleh sebab itu, peneguhan diagnosis untuk
toksoplasmosis
umumnya
dilakukan
secara
serologis, baik pada hewan maupun manusia.
Beberapa uji serologis untuk penetapan diagnosa
toksoplasmosis, diantaranya adalah uji warna
Sabin- Feldman, indirect immunofluorescent
antibody test (IFAT), latex agglutination test (LAT),
indirect hemagglutination (IHA), dan the enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) yang memiliki
spesifisitas dan sensitivitas tinggi.
Beberapa teknik diagnosa serologis tersebut
sangat bermanfaat, namun beberapa diantaranya
memiliki kelemahan baik dari sensitivitas maupun
akurasi, kesederhanaan dan kemudahan aplikasi
terutama di lapang. Beberapa contoh antara lain
adalah uji warna Sabin-Feldman yang merupakan
golden standard pengujian serologis toksoplasmosis
namun teknik ini mengharuskan menggunakan
parasit hidup yang virulen. Teknik uji warna hanya
sesuai untuk pengujian di laboratorium referen yang
telah memiliki fasilitas baik dan lengkap. Adapun uji
aglutinasi latek (UAL) memiliki kemudahan aplikasi
Pencegahan
II.
Pengendalian
Daftar Pustaka
Fatoni M. 2015. Evaluasi Pengobatan pada Pasien
Toksoplasmosis di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta Serta RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro
Klaten.
Fakultas
Farmasi
Universitas Muhamadiyah Surakarta
Jones J, Lopez A, Wilson M. 2003. Congenital
Toksoplasmosis. American Family Physician.
67(10):2131-2138
Kasper HL. 2008. Harrisons Principles of Internal
Medicine. 17 th Ed. New York (US) : Mc
Graw Hill.
Laksemi DAAS, Artama WT, Wijayanti MA. 2013.
Seroprevalensi yang Tinggi dan FaktorFaktor Risiko Tokosoplasmosis pada Daerah
Donor dan Wanita di Bali. Jurnal Veteriner
Vol 14(2):204-212.
Natadisastra D dan Agoes R. 2009. Parasitologi
Kedokteran di Tinjau dari Organ Tubuh yang
Diserang. EGC. Hal. 233 - 247 Neva A and
Brown HW. 1994. Basic Clinical Parasitology.
6 th edition. Prentice- Hall Intenational Inc.
pp. 44 50
Subekti DT
dan Kusumaningtyas E. 2011.
Perbandingan Uji Serologi Toksoplasmosis
dengan Uji Cepat Imunostik, Elisa dan
Aglutinasi Lateks. JITV 16(3):224-233
Sundar P, Mahadevan, Jayshree RS, Subhakrishna
DK, Shankar SK. 2007. Toxoplasma
Seroprevalence in Healthy Voluntary Blood
Donors From Urban Karnataka. Indian J Med
Research 126:50 55
Terazawa A, Mulyono R, Susanto L, Margono SS,
Konishi E. 2003. High Toxoplasma antibody
prevalence among inhabitants in Jakarta,
Indonesia. Japan J Infect Ds 56:107 109.
Torrey FE and Yolken RH. 2006. Toxoplasma gondii
and Schiszophrenia. Webster JP.2007. The
Effect of Toxoplasma gondii on Animal
behavior : Playing Cat and Mouse.
Schizophrenia Bulletin.Vol 33(3):752-756.
_________. 2014. Identifikasi Toksoplasmosis pada
Feses Kucing Secara Mikroskopis dan
Serologis. Jurnal Kedokteran HewanIndonesian. 8(2).