Anda di halaman 1dari 8

Tanggal/Jam Praktikum : Senin, 3 Maret/ 11.00-17.

00 WIB
Kelompok :7
Dosen Pembimbing : Dr. drh. Min Rachminiwati, MS

OBAT DEPRESAN SISTEM SYARAF PUSAT

1. Ankgie Herris S. B04110018 ( )


2. Rifa Rinaldi B04110019 ( )
3. Ridzky Pratama B04110022 ( )
4. Hastjarjo Fleuryantari B04110023 ( )

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
Pendahuluan
Obat depresan merupakan obar yang menekan sistem tubuh. Dewasa ini obat-
obatan jenis depresan untuk sistem saraf pusat banyak dipakai menjadi obat bius untuk
keperluan klinis dan juga operasi. Obat-obat depresan SSP bekerja dengan melalui
beberapa tahapan.
Untuk mengamati tahapan dari obat-obatan depresan SSP, obat tersebut dapat
diberikan pada hewan coba. Pengaplikasian obat dapat dilakukan dengan injeksi
parenteral, yaitu dengan subkutan pada tikus dan intraperitoneal pada katak. Dengan
dosis bertingkat, kita dapat mengamati perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh
hewan setelah diberikan obat depresan SSP.

Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui daya kerja obat-obatan depresan SSP,
yang bersifat analgesic kuat, relaksan kuat maupun anastetikum kuat melalui gejala
klinis yang ditimbulkan.

Tinjauan Pustaka
Depresan adalah senyawa yang dapat mendepres/menekan sistem tubuh. Depresan
SSP berarti senyawa yang dapat mendepres atau menurunkan aktivitas fungsi SSP. Obat
ini bekerja dengan menekan pusat kesadaran, rasa nyeri, denyut jantung, dan
pernapasan. Depresansia terbagi atas golongan obat sedative, hipnotika, dan anestetik
umum. Pada dosis terapeutik berfungsi sebagai anaesthetikum yang menyebabkan
hilangnya rasa nyeri dan muscle relaxant (Rahminiwati 2014).
Sedativa adalah obat yang dalam dosis lebih rendah dari terapi yang diberikan
pada siang hari untuk tujuan menenangkan. Sedativa termasuk ke dalam kelompok
psikoleptika yang mencakup obat-obat yang menekan atau menghambat sistem saraf
pusat. Sedativa berfungsi menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan, dan
menenangkan penggunanya (Lullmann 2000).
Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapeutik
diperuntukkan untuk mempermudah atau menyebabkan tidur. Hipnotika menimbulkan
rasa kantuk, mempercepat tidur, dan sepanjang malam mempertahakan keadaan tidur
yang yang menyerupai tidur alamiah. Secara ideal obat tidur tidak memiliki aktivitas
sisa pada keesokan harinya (Tjay dan Rahardja 2002).
Hipnotika dan sedativa merupakan golongan obat pendepresi Susunan Saraf
Pusat(SSP). Efeknya bergantung dosis, mulai dari ringan, yaitu menyebabkan tenang
atau kantuk, menidurkan, hingga berat yaitu kehilangan kesadaran, keadaan anestesi,
koma, dan mati. Obat-obatan hipnotika dan sedativa adalah istilah untuk obat-obatan
yang mampu mendepresi sistem saraf pusat. Sedativa adalah substansi yang memiliki
aktivitas moderate yang memberikan efek menenangkan, sementara hipnotika adalah
substansi yang dapat memberikan efek mengantuk dan dapat memberikan onset, serta
mempertahankan tidur (Tjay dan Rahardja 2002).
Efek hipnotika meliputi depresi Sistem Saraf Pusat yang lebih kuat daripada
sedasi, hal ini dapat dicapai dengan semua obat sedativa dengan peningkatan dosis.
Depresi Sistem Saraf Pusat yang bergantung pada tingkat dosis merupakan karakteristik
dari hipnotika dan sedativa. Dengan peningkatan dosis yang diperluka untuk hipnotika
dapat mengarah kepada keadaan anestesi umum. Masih pada dosis yang tinggi, obat
hipnotika dan sedativa dapat mendepresi pusat-pusat pernafasan dan vasomotor di
medulla, yang dapat mengakibatkan koma dan kematian (Katzung 2002).
Bentuk yang paling ringan dari penekanan Sistem Saraf Pusat adalah sedasi,
dimana penekanan Sistem Saraf Pusat tertentu dalam dosis yang lebih rendah dapat
menghilangkan respon fisik dan mental, tetapi tidak mempengaruhi kesadaran. Sedativa
terutama digunakan pada siang hari, dengan meningkatkan dosis dapat menimbulkann
efek hipnotika. Jika diberikan dalam dosis yang tinggi, obat-obat hipnotika dan sedativa
mungkin dapat mencapai anestesi, sebagai contoh adalah barbiturat dengan masa kerja
yang sangat singkat yang digunakan untuk menimbulkan anestesi, natrium thiopental
(Pentothal) (Katzung 2002).

Alat dan bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah timbangan, syringe, dan pipet
tetes. Sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah MgSO4,
Kloralhidrat, phenobarbital, dan hewan coba (mencit dan katak)
Metodologi
Praktikum terdiri dari dua percobaan. Percobaan pertama pada mencit yang
diinjeksi phentotal, serta percobaan kedua pada katak yang diinjeksi dengan
chloralhidrat. Pada mulanya menimbang mencit dengan tujuan untuk menentukan dosis
yang akan diinjeksikan, kemudian memeriksa keadaan fisiologis mencit, diantaranya
kesadaran, rasa nyeri, pernafasan, frekuensi nafas, frekuensi jantung, dan tonus otot.
Kemudian menyuntikan phenobarbital dengan volume awal sebanyak 0,05 cc. Setelah
10 menit, mengamati perubahan yang terjadi dan menyuntikan kembali dengan dosis
bertingkat hingga mencit mati.
Pada percobaan kedua, mula-mula ditimbang dua ekor katak untuk menentukan
dosis yang akan diinjeksikan. Kemudian diperiksa keadaan fisiologis katak, diantaranya
kesadaran, rasa nyeri, pernafasan, frekuensi nafas, frekuensi jantung, dan tonus otot.
Setelah itu menyuntikan katak pertama dengan MgSO4 dan katak kedua dengan
Chloralhidat dengan volume injeksi awal sebanyak 0,05 cc. Setelah 10 menit,
mengamati perubahan yang terjadi dan menyuntikan kembali dengan dosis bertingkat
sampai katak mati.

Hasil
Tabel 1. Fisiologis mencit selama pemberian phenobarbital
Menit Dosis Aktivitas Refleks Salivasi/ Tonus Frekuensi Frekuensi Konvulsi ket
(mL) tubuh ( defekasi/ otot nafas ( jantung (
kotak/ urinasi kali/ kali/
menit) menit) menit)
0 0,05 4 +++ - +++ 152 - - -
10 0,1 8 +++ Defekasi +++ 184 320 - -
20 0,2 1 +++ Defekasi ++ 148 360 - Sedasi
30 0,4 3 ++ Defekasi + 140 160 - -
40 0,8 - + - + 140 166 - Anasthesi
50 1,6 - - - - 92 36 - -

Tabel 2. Fisiologis katak selama pemberian MgSO4


Menit Dosis Posisi Refleks Rasa Tonus Frekuensi Frekuensi Konvulsi ket
(mL) tubuh nyeri otot nafas ( jantung (
kali/ kali/
menit) menit)
0 0,05 +++ +++ 1s +++ 100 80 - -
10 0,1 +++ ++ 1s ++ 100 72 - -
20 0,2 ++ + 2s + 56 88 - -
30 0,4 + + 5s + 64 64 - -
40 0,8 + + 4s + 32 28 - -
50 1,6 - - 33 s - - 4 - -

Tabel 3. Fisiologis katak selama pemberian Kloralhidrat


Menit Dosis Posisi Refleks Rasa Tonus Frekuensi Frekuensi Konvulsi ket
(mL) tubuh nyeri otot nafas ( jantung (
kali/ kali/
menit) menit)
0 0,05 +++ +++ 1s +++ 92 92 - -
10 0,1 +++ ++ 1s +++ 104 92 - -
20 0,2 +++ ++ 2s + 76 60 - -
30 0,4 ++ ++ 3s + 52 64 - -
40 0,8 + + 3s + 28 32 - -
50 1,6 - - - - - 2 - -

Pembahasan

Depresan sistem saraf pusat merupakan senyawa yang dapat menurunkan


aktivitas fungsi sistem saraf pusat. Depresansia dibagi menjadi golongan obat sedative,
hipnotika, dan anestetik umum. Golongan anestetik umum dapat menghilangkan rasa
sakit (analgesia) seluruh tubuh secara sentral disertai hilangnya kesadaran (sedasi),
hilangnya memori (amnesia), dan relaksasi yang bersifat reversible (Setyo 2012). Untuk
melakukan anestesi umum ini dibutuhkan obat untuk induksi, dan obat induksi yang
digunakan bermacam-macam. Contoh obat induksi yang sering digunakan diantaranya
yaitu pentothal. Obat pentothal 2% inilah yang digunakan dan diinjeksikan secara
subcutan pada mencit dalam praktikum ini.
Pentothal merupakan obat anestesi golongan barbiturate dan termasuk golongan
ultra short acting. Pada mulanya mencit diinjeksi pentothal 2% dengan volume 0,05cc
secara subcutan. Mencit masih memiliki aktivitas yang tinggi dengan refleks, tonus otot,
frekuensi nafas dalam keadaan normal. Frekuensi nafas per menit sebesar 152 kali
termasuk dalam range normal apabila disesuaikan dengan literatur (MGI 2014) yang
menyatakan bahwa frekuensi nafas normal mencit antara 94-163 napas per menit.
Frekuensi jantung mencit tidak terhitung oleh praktikan karena terlalu cepat dan diduga
faktor stress dari mencit. Namun fisiologis secara keseluruhan mencit pada awal injeksi
masih normal karena konvulsi pun tidak terjadi. Setiap 10 menit perubahan mencit
diamati dengan disuntik kembali pentothal dengan dosis bertingkat. Pada penyuntikan
dengan dosis 0,1 cc terjadi peningkatan dari aktivitas mencit dan keadaan fisiologis
secara keseluruhan, sebab disini terjadi fase induksi. Namun setelah penyuntikan
selanjutnya yaitu dosis 0,2 cc, mencit mulai memasuki fase sedasi dimana aktivitas
tubuh, tonus otot, dan frekuensi nafas mulai berkurang, walaupun frekuensi jantung
terhitung meningkat dan refleks masih baik. Pada penyuntikan dosis 0,8 cc mulai
terlihat perbedaan yang cukup signifikan. Mencit tidak lagi berjalan/ beraktivitas,
refleks masih ada ketika dilakukan pencubitan pada ekstremitas kaki, namun tonus otot
sudah sangat berkurang. Pada fase inilah mencit sudah mulai teranesthesi. Penyuntikan
terakhir dilakukan dengan dosis 1,6 cc. Frekuensi nafas dan jantung mencit turun secara
drastis, yakni masing-masing sebesar 92 kali/menit dan 36 kali/ menit. Aktivitas mencit
dari penyuntikan sebelumnya sudah tidak ada, dengan refleks serta tonus otot pun sudah
tidak ada lagi.
Pentothal menghasilkan efek hipnotik sedatif karena interaksinya dengan
penghambat neurotransmiter Gamma Aminobutiryc Acid (GABA) pada susunan saraf
pusat (SSP). Pada sistem kardiovaskuler, obat ini menimbulkan depresi otot jantung,
vasodilatasi perifer dan turunnya curah jantung. Dalam dosis tinggi menyebabkan
penurunan darah arteri, volume sekuncup, dan curah jantung yang efeknya bergantung
pada dosis. Ini terutama disebabkan oleh efek depresinya terhadap miokardium dan
meningkatkan kapasitas vena dengan meningkatkan perubahan periferal total. Pada
sistem respirasi, pentothal juga merupakan depresan pernafasan yang potensial, yang
dapat menurunkan kepekaan pusat nafas di medula terhadap karbondioksida (Soenarjo
2010). Oleh sebab itu, secara keseluruhan perinjeksi pentothal 2% pada mencit
menurunkan aktivitas sistem saraf pusat, termasuk frekuensi nafas dan jantung.
Pada praktikum ini digunakan MgSO₄ yang diberikan secara parenteral. Dahulu
MgSO₄ dalam jumlah yang banyak secara parenteral digunakan sebagai obat anestesi,
tetapi pengunaannya sebagai obat anestesi tidak bertahan lama karena sempitnya waktu
antara terjadinya anestesi dan depresi pernapasan (Ganiswarna 1995).
Ion magnesium pada MgSO₄ dapat menekan saraf pusat sehingga menimbulkan

anestesi dan mengakibatkan penurunan reflek fisiologis. Pengaruhnya terhadap system

syaraf perifer mirip dengan ion kalium, yaitu menyebabkan kelemahan otot. Hal ini

disebabkan karena adanya hambatan pada neuromuskular perifer. MgSO₄ menghambat


pelepasan asetilkolin dan menurunkan kepekaan motor endplate maka

MgSO mempunyai pengaruh potensial, sinergis dan memperpanjang pengaruh dari
obat-obat pelemas otot non depolarisasi dan depolarisasi sehingga kerja obat-obat
tersebut akan lebih kuat dan lebih lama (Tjay dan Rahardja 2002)
Kloralhidrat merupakan senyawa organic dengan rumus C2H2Cl3O2. Dahulu kala
senyawa ini digunakan sebagai sedative dan hipnotik. Saat ini, kloralhidrat digunakan
sebagai reagen kimia dan precursor dalam laboratorium. Penggunaannya sebagai obat
bius digantikan oleh barbiturate dan benzodiazepine. Kloralhidrat memiliki jarak yang
sangat sempit untuk melakukan terapi atau operasi, oleh karena itu obat ini sangat sulit
untuk digunakan (Ganiswarna 1995).
Selain itu ion magnesium menimbulkan efek pada susunan saraf pusat yang
spesifik. Pemberian magnesium sulfat akan menekan timbulnya letupan neuron. Derajat
penekanan akan bertambah seiring dengan meningkatnya kadar magnesium plasma dan
akan berkurang dengan menurunnya kadar magnesium. Katak pada pemberian senyawa
ini menunjukkan hilangnya kesadaran dan relaksasi muskular pada dosis 0,4 ml.
Magnesium dapat menyebabkan depresi pernapasan bila kadarnya lebih dari 10
meq/liter bahkan dapat menyebabkan henti napas bila kadarnya mencapai 15 meq/liter
(Ganiswarna 1995). Katak yang diberi perlakuan dengan MgSO₄ mengalami kematian
karena hilang pernafasan pada dosis 1,6 ml.
Pada saat sebelum perlakuan didapat status fisiologis katak normal yaitu posisi
tubuh, reflek, rasa nyeri, tonus, frekuensi napas 100 kali/menit, dan frekuensi jantung 80
kali/menit. Penyuntikan chloralhidrat dosis 0.2 ml terjadi penurunan posisi tubuh,
frekuensi napas menjadi 76 kali/menit, dan frekuensi jantung 60 kali/menit, sedangkan
reflek, rasa nyeri, tonus secara umum masih normal. Kemudian penyuntikan
chloralhidrat dengan dosis 0.4 ml terlihat rasa nyeri, tonus otot, posisi tubuh turun dan
frekuensi napas menjadi 52 kali/menit serta frekuensi jantung 64 kali/menit. Pada
penyuntikan dosis 0,8 posisi tubuh , frekuensi napas dan jantung menjadi tidak stabil
tetapi reflek, rasa nyeri, dan tonus masih ada. Pada pemberian dosis chloralhidrat 1,6
reflek dan tonus katak hilang, lalu frekuensi napas tidak teramati dan frekuensi jantung
menjadi 2 kali/menit dan akhirnya katak mengalami kematian.
Simpulan
Obat-obatan depresan SSP merupakan obat yang menekan fungsi dari sistem
saraf pusat. Pemberian phentotal pada mencit mengakibatkan peningkatan aktivitas pada
dosis 0,1 ml, fase sedasi pada dosis 0,2 ml dan fase anestesi pada dosis 0,8 ml.
Pemberian MgSO4 pada dosis 0,4 ml mengakibatkan hilang kesadaran dan penurunan
fungsi otot. Kloralhidrat menyebabkan penurunan frekuensi nafas dan jantung pada
dosis 0,2 ml. Kedua obat tersebut menyebabkan kematian pada katak pada dosis 1,6 ml.
Dapat disimpulkan bahwa obat-obat tersebut memiliki daya kerja yang kuat sebagai
obat-obatan depresan SSP.

Daftar Pustaka

[MGI] Mouse Genome Informatics. 2014. Mouse Facts – Mouse Physiology [internet].
[diunduh 2014 Mar 14]. Tersedia pada
http://www.informatics.jax.org/mgihome/other/mouse_facts1.shtml
Ganiswarna. G Sulistia,.1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: Gaya
baru.P.109.

Katzung, G.Bertram. 2002. Basic & Clinical Pharmacology-10th Ed. The McGraw-Hill
Companies.Inc,New York.
Lullman, Heinz, et al. 2000. Color Atlas of Pharmacology 2nd Ed. Thieme. New York.
Rahminiwati, Min, et al. 2014. Panduan Praktikum Farmakologi Veteriner II. Bogor:
Bagian Farmakologi dan Toksikologi.
Tjay, T.H. dan Rahardja K. 2002. Obat-Obat Penting. Edisi Kelima Cetakan
Kedua.Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Setyo, D. 2012. Perbedaan Pengaruh Pemberian Propofol Pentothal dan Etomidat
Terhadap Kadar Leukosit pada Operasi Masektomi. Jurnal Media Medika
Soenarjo, H. 2010. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi. Universitas
Diponegoro

Anda mungkin juga menyukai