Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEK OBAT

KELAS : 5 D
GELOMBANG : 1
KELOMPOK : 4

ASRI AMINAH TANJUNG : 1104015360


DEWI PUSPA : 1104015064
DEWI PUSPITA DEWANTARI : 1104015065
DIAZ ILMAN ROZA : 1104015073
NURFITRIYANI : 1104015227

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF DR HAMKA
JAKARTA 2013
BAB 1

PENDAHULUAN

Obat merupakan terapi primer yang berhubungan dengan penyembuhan


penyakit.Tidak peduli dimanapun klien menerima pelayanan kesehatan,rumah
sakit,klinik,atau di rumah,perawat memegang peranan penting dalam persiapan dan
pemberian obat,mengajarkan cara menggunakan obat dan mengevaluasi respons
klien terhadap pengobatan.
Pada masa perawatan dan penyembuhan,perawat memegang peranan penting
dalam memberikan obat secara tepat waktu kepada klien,serta memastikan klien
atau keluarganya telah mengerti dan siap memberikan obat jika klien dipulangkan
ke rumah. Di setiap tatanan pelayanan kesehatan, perawat bertanggung jawab
mengevaluasi efek obat terhadap kesehatan klien,mangajari klien tentang obat dan
efek sampingnya,memastikan kepatuhan terhadap regimen obat,serta mengevaluasi
kemampuan klien dalam menggunakan obat sendiri. Pada beberapa kasus, perawat
secara langsung mengajarkan dan mengevaluasi anggota keluarga klien yang
mampu memberikan obat

TUJUAN PRAKTIKUM

1. Mengetahui sifat kerja obat


2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi kerja obat
3. Mengetahui rute pemberian obat
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Sifat Kerja Obat

Obat bekerja menghasilkan efek terapeutik yang bermanfaat. Sebuah obat tidak
menciptakan suatu fungsi di dalam jaringan tubuh atau organ, tetapi mengubah
fungsi fisiologis.obat dapat melindungi sel dari pengaruh agens kimia
lain,meningkatkan fungsi sel,atau mempercepat atau memperlambat proses kerja
sel.obat dapat menggantikan zat tubuh yang hilang(contoh insulin,hormon
tiroid,dan estrogen).

Aksi Obat Dapat Melalui Beberapa Cara :


1. Mengadakan stimulasi atau depresi fungsi spesifik dari sel
2. Mengadakan campur tangan aktifitas seluler dari sel asing terhadap sel tuan
rumah, misalnya pemberian antibiotik untuk membunuh sel bakteri; pemberian
obat untuk membunuh sel kanker.( obat-obat kemoterapi )
3. Merupakan terapi pengganti, misalnya pemberian suplemen Kalium, pemberian
hormon atau vitamin untuk mencapai dosis fisiologis sehingga diperoleh aksi.

Penggunaan Obat dapat menghasilkan lebih dari satu efek, yaitu :


1. Efek terapi ( utama ).
Terapi obat dapat bertujuan untuk : (a) terapi kausal ; (2) terapi simtomatik dan
(3) terapi substitusi

2. Efek samping : adalah efek yang tidak diinginkan, atau efek obat yang tidak
termasuk kegunaan terapi, misalnya : Efek terapi pemberian morfin adalah
sebagai analgesik, tapi mempunyai efek samping depresi pernapasan dan
konstipasi..
3. Efek teratogen :
Adalah efek obat yang pada dosis terapetik untuk ibu hamil, mengakibatkan cacat
pada janin, misalnya : tangan dan kaki seperti kepunyaan anjing laut atau bentuk-
bentuk lain yang tidak normal.
4. Efek toksik :
Adalah aksi tambahan dari obat yang lebih berat dari efek samping dan
merupakan efek yang tidak diinginkan. Efek ini disebabkan oleh dosis yang
berlebih

5. Idiosinkrasi :
Efek obat yang secara kualitatif berlainan sekali dengan efek terapi normalnya.

6. Fotosensitisasi :
Adalah efek kepekaan yang berlebihan terhadap cahaya yang timbul akibat
penggunaan obat, misalnya penggunaan obat Bithionol sebagai antiseptika lokal.

Efek obat pengulangan atau penggunaan obat yang lama :


1. Hipersensitif :
Adalah suatu reaksi alergik yang merupakan respons abnormal terhadap obat
dimana pasien sebelumnya telah kontak dengan obat tersebut hingga berkembang
timbul antibodi.

2. Kumulasi :
Suatu fenomena pengumpulan obat dalam badan akibat pengulangan penggunaan
obat, dimana obat diekskresi lebih lambat dibanding kecepatan absorpsinya.

3. Toleransi :
Suatu fenomena berkurangnya respon terhadap dosis obat yang sama, sehingga
untuk memperoleh respon yang sama , dosis harus diperbesar
4. Takhifilaksis :
Adalah fenomena berkurangnya kecepatan respons terhadap aksi obat pada
pengulangan penggunaan dosis yang sama (kurang sensitif). Respon semula tidak
terulang meskipun dengan dosis yang lebih besar.

5. Habituasi :
Suatu gejala ketergantungan psikhologik terhadap suatu obat. Kriterianya : (a)
selalu ingin menggunakan obat; (b) tanpa atau hanya sedikit kecenderungan untuk
menaikkan dosis; (c). memberikan efek yang merugikan pada suatu individu.

5. Adiksi :
Adalah suatu gejala ketergantungan psikhologik dan fisik terhadap obat. Kriteria :
(a) ada dorongan untuk selalu menggunakan obat; (b). ada kecenderungan untuk
menaikkan dosis; (c). timbul ketergantungan psikhik dan biasanya diikuti
ketergantungan fisik.; (d) merugikan terhadap individu maupun masyarakat.

6. Resistensi terhadap bakteri :


Pada penggunaan antibiotik untuk infeksi oleh bakteri, dapat terjadi obat tidak
mampu bekerja lagi untuk membunuh atau menghambat perkembangan bakteri
tertentu.

Efek penggunaan obat campuran :


Penggunaan obat campuran dapat nenyebabkan efek : (1) Adisi; (2) Sinergis; (3)
Potensiasi; (4) Antagonis dan (5) Interaksi.

1. Adisi :
Beberapa obat yang diberikan bersama-sama memberikan efek yang merupakan
penjumlahan dari efek masing-masing obat bila diberikan secara terpisah
2. Sinergis :
Beberapa obat mempunyai aksi yang hampir sama, bila diberikan bersama-sama
,memberikan efek yang lebih besar dari efek masing-masing obat yang diberikan
secara terpisah

3. Potensiasi :
Beberapa obat yang diberikan bersama-sama dengan aksi-aksi yang tidak sama,
memberikan efek yang lebih besar pada pasien, dari pada efek masing-masing
secara terpisah.

4. Antagonis :
Beberapa obat yang diberikan bersama-sama, salah satu obat mengurangi efek
dari obat yang lain

5. Interaksi obat :
Interaksi obat berlangsung dengan beberapa cara, yaitu : (a) Interaksi kimia ; (b)
Kompetisi untuk mengikat protein ( mendesak obat lain pada protein ); (c) Induksi
enzim ( menstimulasi pembentukan enzim di hati sehingga obat cepat
dibiotransformasi dan dieliminasi ); (d) Inhibisi enzim ( mengganggu fungsi hepar
dan enzim-enzimnya, sehingga memperkuat kerja obat lain ).

Faktor-faktor yang mempengaruhi aksi obat yaitu :


1. Berat badan
2. Umur
3. Jenis kelamin
4. Kondisi patologik pasien
5. Genetik ( Idiosinkrasi )
6. Cara pemberian obat :
(a) yang memberikan efek sistemik : - oral; sublingual; bukal;-parenteral;-
implantasi subkutan; rektal;
(b) yang memberikan efek lokal :- inhalasi; -topikal ( pada kulit ) : salep, krim ,
lotion ; - obat-obat pada mukosa : tetes mata, tetes telinga,
Mekanisme Kerja
Obat menghasilkan kerja dengan mengubah cairan tubuh atau membran sel
atau dengan berinteraksi dengan tempat reseptor.jel aluminium hidroksida obat
nengubah zat kimia suatu cairan tubuh (khususnya dengan menetralisasi kadar
asam lambung).obat-obatan,misalnya gas anestesi umum,berinteraksi dengan
membram sel.setelah sifat sel berubah,obat mengeluarkan
pengaruhnya.mekanisme kerja obat yang paling umum adalah terikat pada tempat
reseptor sel.reseptormelokalisasi efek obat.tempat reseptor berinteraksi dengan
obat karena memiliki bentuk kimia yang sama.obat dan reseptor saling berikatan
seperti gembok dan kuncinya.ketika obat dan reseptor saling berikatan,efekt
terapeutik dirasakan.setiap jaringan atau sel dalam tubuh memiliki kelompok
reseptor yang unik.misalnya,reseptor pada sel jantung berespon terhadap preparat
digitalis.

1. Farmakokinetik
Farmakokinetik adalah ilmu tentang cara obat masuk kedalam tubuh,mencapai
tempat kerjanya,dimetabolisme,dan keluar dari tubuh.dokter dan perawat
menggunakan pengetahuan farmakokinetiknya ketika memberikan obat,memilih
rute pemberian obat,menilai resiko perubahan kerja obat,dan mengobservasi respon
klien.
2. Farmakodinamik
a. Absorpsi
Absorpsi adalah cara molekul obat masuk ke dalam darah.kebanyakan
obat,kecuali obat yang di gunakan secara topikal untuk memperoleh efek
lokal,harus masuk ke dalam sirkulasi sistemik untuk menghasilkan efek yang
terapeutik.faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat antra lain rute
pemberian obat,daya larut obat,dan kondisi di tempat absorpsi.
setiap rute pemberian obat memiliki pengaruh yang berbeda pada absorpsi
obat,bergantung pada struktur fisik jaringan. Kulit relatif tidak dapat ditembus zat
kimia, sehingga absorpsi menjadi lambat. Membran mukosa dan saluran napas
mempercepat absorpsi akibat vaskularitas yang tinggi pada mukosa dan
permukaan kapiler-alveolar. Pencernaan untuk diabsorpsi, kecepatan absorpsi
secara keseluruhan melambat. Injeksi intravena menghasilkan absorpsi yang
paling cepat karena dengan rute ini obat dengan cepat masuk kedalam sirkulasi
sistematik.
Daya larut obat yang diberikan per-oral setelah di ingesti sangat bergantung
pada bentuk atau preparat obat tersebut. Larutan dan suspensi yang tersedia dalam
bentuk cair, lebih mudah diabsorpsi dari pada tablet atau kapsul. Bentuk dosis
padat harus dipecah terlebih dahulu untuk memajankan zat kimia pada sekresi
lambung dan usus halus. Obat yang asam melewati mukosa lambung dengan
cepat. Obat yang bersifat basa tidak terabsorpsi sebelum mencapai usus halus.
Kondisi di tempat absorpsi memengaruhi kemudahan obat masuk kedalam
sirkulasi sistemik. Apabila kulit tergores,obat topikal lebih mudah diabsorpsi.
Obat topikal yang biasanya diprogramkan untuk memeroleh efek lokal dapat
menimbulkan reaksi yang serius ketika diabsorpsi melalui lapisan kulit. Adanya
edema pada membran mukosa memperlambat absorpsi obat karena obat
membutuhkan waktu yang lama untuk berdifusi kedalam pembuluh darah.
Absorpsi obat parenteral yang diberikan bergantung pada suplai darah dalam
jaringan. Sebelum memberikan sebuah obat melalui injeksi, perawat harus
mengkaji adanya faktor lokal, misalnya edema, memar atau adanya jaringan parut
bekas luka, yang menurunkan absorpsi obat. Karena otot memiliki suplai darah
yang lebih banyak dari pada jaringan subkutan (SC), obat yang diberikan per
intramuskular(melalui otot)diabsorpsi lebih cepat dari pada obat yang disuntikkan
per subkutan. Pada beberapa kasus, absorpsi subkutan yang lambat lebih dipilih
karena menghasilkan efek yang dapat bertahan lama. Apabila perfusi jaringan
klien buruk, misalnya pada kasus syok sirkulasi, rute pemberian obat yang
tetrbaik adalah melalui intravena. Pemberian obat intravena menghasilkan
absorpsi yang paling cepat dan dapat diandalkan.
Obat oral lebih mudah diabsorpsi, jika diberikan diantara waktu makan. Saat
lambung berisi makanan, isi lambung secara perlahan diangkut ke duodenum,
sehingga absorpsi obat melambat. Beberapa makanan dan antasida membuat obat
berikatan membentuk kompleks yang tidak dapat melewati lapisan saluran cerna.
Contoh, susu menghambat absorpsi zat besi dan tetrasiklin. Beberapa obat hancur
akibat peningkatan keasaman isi lambung dan pencernaan protein selama makan.
Selubung enterik pada tablet tertentu tidak larut dalam getah lambung. Sehingga
obat tidak dapat dicerna di dalam saluran cerna bagian atas. Selubung juga
melindungi lapisan lambung dari iritasi obat.
Rute pemberian obat diprogramkan oleh pemberi perawatan kesehatan.
Perawat dapat meminta obat diberikan dalam cara atau bentuk yang berbeda,
berdasarkan pengkajian fisik klien. Contoh, bila klien tidak dapat menelan tablet
maka perawat akan meminta obat dalam bentuk eliksir atau sirup. Pengetahuan
tentang faktor yang dapat mengubah atau menurunkan absorpsi obat membantu
perawat melakukan pemberian obat dengan benar. Makana didalam saluran cerna
dapat mempengaruhi pH, motilitas, dan pengangkutan obat kedalam saluran
cerna. Kecepatan dan luas absorpsi juga dapat dipengaruhi oleh makanan. Perawat
harus mengetahui implikasi keperawatan untuk setiap obat yang diberikan.
Contohnya, obat seperti aspirin,zat besi, dan fenitoin natrium(dilantin) mengiritasi
saluran cerna dan harus diberikan bersama makanan, atau segera setelah makan.
Bagaimanapun, makanan dapat mempengaruhi absorpsi, misalnya kloksasilin
natrium dan penilisin. Obat-obatan tersebut harus diberikan sampai dua jam
sebelum makan atau dua sampai tiga jam setelah makan. Sebelum memberikan
obat, perawat harus memeriksa buku obat keperawatan, informasi obat, atau
berkonsultasi dengan apoteker rumah sakit mengenai interaksi obat dan nutrien.
b. Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat didistribusikan didalam tubuh ke jaringan dan organ
tubuh dan akhirnya ketempat kerja obat tersebut. Laju dan luas distribusi
bergantung pada sifat fisik dan kimia obat dan struktur fisiologis individu yang
menggunakannya.
c. Metabolisme
-Setelah mencapai tempat kerjanya, obat dimetabolisasi menjadi bentuk tidak
aktif, sehingga lebih mudah di eksresi
-Sebagian besar biotransformasi berlangsung di bawah pengaruh enzim yang
mendetoksifikasi, mengurai (memecah), dan melepas zat kimia aktif secara
biologis.
Kebanyakan biotransformasi berlangsung di dalam hati, walaupun paru-paru,
ginjal, darah dan usus juga memetabolisasi obat.
- Hati sangat penting karena strukturnya yang khusus mengoksidasi dan
mengubah banyak zat toksik
- Hati mengurai banyak zat kimia berbahaya sebelum didistribusi ke jaringan
- Penurunan fungsi hati yang terjadi seiring penuaan atau disertai penyakit hati
mempengaruhi kecepatan eliminasi obat dari tubuh.
- Perlambatan metabolisme yang dihasilkan membuat obat terakumulasi di dalam
tubuh, akibatnya klien lebih berisiko mengalami toksisitas obat.
d. Eksresi
- Setelah dimetabolisme, obat keluar dari tubuh melalui ginjal, hati, usus dan
kelenjar eksokrin.
- Kelenjar eksokrin mengekskresi obat larut lemak, ketika obat keluar melalui
kelenjar keringat, kulit dapat mengalami iritasi
- Perawat membantu klien melakukan praktik hygiene yang baik untuk
meningkatkan kebersihan dan intergritas kulit
- Apabila obat keluar melalui kelenjar mamae, bayi yang disusui dapat
mengabsorpsi zat kimia obat tersebut, resiko pada bayi yang menerima obat dan
resiko pada ibu yang tidak mendapatkan obat harus dipertimbangkan dengan
cermat.
- Saluran cerna adalah jalur lain eksresi obat. Banyak obat masuk kedalam
sirkulasi hati untuk dipecah oleh hati dan dieksresi kedalam empedu. Setelah zat
kimia masuk kedalam usus melalui saluran empedu, zat tersebut diabsorpsi
kembali oleh usus
- Faktor-faktor yang meningkatkan peristaltic, misalnya laksatif dan enema,
mempercepat eksresi obat melalui feses, sedangkan factor-faktor yang
memperlambat misalnya tidak melakukan aktivitas atau diet yang tidak tepat akan
memperpanjang efek obat.
- Ginjal adalah organ utama eksresi obat, apabila fungsi ginjal menurun, yang
merupakan perubahan yang umum terjadi dalam penuaan, risiko toksisitas
meningkat
- Apabila ginjal tidak dapat mengeluarkan obat secara adekuat dosis obat perlu
dikurangi
- Apabila asupan cairan yang normal dipertahankan, obat akan dieliminasi dengan
tepat

2.3 Faktor Yang Memengaruhi Kerja Obat


Akibat perbedaan cara dan tipe kerja obat,respon terhadap obat sangat
bervariasi.Faktor selain karakteristik obat juga mempengaruhi kerja obat.Klien
mungkin tidak memberi respon yang sama terhadap setiap dosis obat yang
diberikan.Begitu juga obat yang sama dapat menimbulkan respons yang berbeda
pada klien yang berbeda.
1. Perbedaan Genetik
Susunan genetik memepengaruhi biotransformasi obat.Pola metabolik
dalam keluarga seringkali sama.Faktor genetik menentukan apakah enzim yang
terbentuk secara alami ada untuk meembantu penguraian obat.Akibatnya anggota
keluarga sensitif terhadap suatu obat.
2. Variabel Fisiologi
Perbedaan hormonal antara pria dan wanita mengubah metabolisme obat
tertentu.hormon dan obat saling bersaing dalam biotransformasi karena kedua
senyawa tersebut terurai dalam proses metabolik yang sama..Variasi diurnal pada
sekresi estrogen bertanggung jawab untuk fluktuasi siklik reaksi obat yang dialami
wanita.Usia berdampak langsung pada kerja obat.Bayi tidak memiliki banyak
enzim yang diperlukan untuk metabolisme obat normal.Sejumlah perubahan
fisiologis yang menyertai penuaan memengaruhi respon terhadap terapi
obat.Sistem tubuh mengalami perubahan fungsi dan struktur yang mengubah
pengaruh obat.Perawat harus berupaya untuk meminimalkan efek obat yang
berbahaya dan meningkatkan kapasitas fungsi yang tersisa pada kien.Apabila status
nutrisi klien buruk,sel tidak dapat berfungsi dengan normal,sehingga
biotransformasi tidak berlangsung.seperti semua fungsi tubuh,metabolisme obat
bergantung pada nutrisi yang adekuat untuk membentuk enzim dan
protein.Kebanyakan obat berikatan dengan protein sebelum didistribusi ke tempat
kerja obat. Setiap penyakit yang merusak fungsi organ yang bertanggung jawab
untuk farmakoniketik normal juga merusak kerja obat. Perubahan integritas kulit,
penurunan absorpsi atau motilitas saluran cerna, dan kerusakan fungsi ginjal dan
hati hanya beberapa kondisi penyakit yang berhubungan dengan kondisi yang dapat
mengurangi kemanjuran obat atau membuat klien berisiko mengalami toksikasi
obat.
3. Kondisi Lingkungan
Stres fisik dan emosi yang berat akan memicu respons hormonal yang pada
akhirnya menggangu metabolisme obat pada klien. Radiasi ion menghasilkan efek
yang sama dengan mengubah kecepatan aktivitas enzim. panas dan dingin dapat
memengaruhi respons terhadap obat. Klien hipertensi diberi vasodilator untuk
mengatur tekanan darahnya. Pada cuaca panas,dosis vasodilator perlu di kurangi
karnar suhu yang tinggi meningkatkan efek obat. Cuaca dingin cenderung
meningkatkan vasokontriksi, sehingga dosis vasolidator perlu di tambah. Reaksi
suatu obat bervariasi, bergantung pada lingkungan obat tersebut digunakan. Klien
yang dilindungi dalam isolasi dan diberi analgesik memperoleh efek peredaan nyeri
yang lebih kecil dibanding klien yang dirawat di ruang tempat keluarga dapat
mengunjungi klien. Contoh lain ialah jika minum alkohol sendirian; efek yang
timbul hanya mengantuk. Namun. Minum bersama sekelompok teman membuat
individu menjadi ceria dan bergaul.
4. Faktor Psikologis
Sejumlah faktor psikologis memengaruhi penggunaan obat dan respons
terhadap obat. Sikap seseorang terhadap obat berakar dari pengalaman sebelumnya
atau pengaruh keluarga. Melihat orangtua sering menggunakan obat-obatan dapat
membuat anak menerimat obat sebagai bagian dari kehidupan normalnya.Makna
obat atau signifikansi mengonsumsi obat mempengaruhi respon klien terhadap
terapi.Sebuah obat dapat digunakn sebagai cara untuk mengatasi rasa tidak
aman.Pada situasi ini ,klien bergantung pada obat sebagai media koping dalam
kehidupan .Sebaliknya jika klien kesal terhadap kondisi fisik mereka ,rasa marah
dan sikap bermusuhan dapat menimbulkan reaksi yang diinginkan terhadap
obat.Obat seringkali memberi rasa aman .penggunaan secara teratur obat tanpa
resep atau obat yang dijual bebas.misalnya vitamin,laksatif,dan aspirin,banyak
orang merasa mereka dapat mengontrol kesehatannya.Prilaku perawat saat
memberikan obat dapat berdampak secara signifikan pada respon klien terhadap
pengobatan.Apabila perawat memberi kesan bahwa obat dapat membantu
pengobatan kemungkinan akan memberi efek yang positif.Apabila perawat terlihat
kurang peduli saat klien merasa tidak nyaman,obat yang diberikan terbuktif relatif
tidak efektif.
5. Diet
Interaksi obat dan nutrien dapat mengubah kerja obat atau efek nutrien dapat
mengubah kerja obat atau efek nutrien.Contoh vitamin K(terkandung dalam
sayuran hijau berdaun)merupakan nutrien yang melawan efek warfarin
natrium(Coumadin)mengurangi efeknya pada mekanisme pembekuan darah
.Minyak mineral menurunkan absorbsi vitamin larut lemak.Klien membutuhkan
nutrisi tambahan ketika mengonsumsi obat yang menurunkan efek nutrisi
.Menahan konsumsi nutrien tertentu dapat menjamin efek terapeutik obat.
BAB 3

METODOLOGI PRAKTIKUM

ALAT

 Alat suntik ( rute intra peritoneal)


 Timbangan hewan
 Wadah pengamatan
 Stopwatch

BAHAN

 Mencit jantan 2 ekor, mencit betina 2 ekor berat badan sekitar 20 g


 Obat : diazepam dosis 25 mg/kgbb
 Alkohol 95 %

PROSEDUR PENGERJAAN

 Siapkan hewan coba: 2 mencit jantan 2 mencit betina


Timbang hewan, catat. Hitung dosis VAO : BB(kg) x dosis
(mg/kgbb)/konsentrasi obat yang dipakai (lihat disediaan) ; volume obat
yang disuntikan ke hewan percobaan
 Suntikkan obat melalui rute pemberian secara intra peritonea, sebelumnya
daerah yang akan disuntikkan di oleskan alkohol.
 Setelah penyuntikkan obat, masing-masng mencit jantan dan betina)
ditempatkan pada tempat terpisah dan amati responnya
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

Tanggal praktikum 10 oktober 2013

Perhitungan VAO hewan coba


Mencit I :

𝑚𝑔
25 𝑋 0.028 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏
𝑚𝑔 = 0,4 ml
5
𝑚𝑙

Mencit II :

𝑚𝑔
25 𝑋 0.029 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏
𝑚𝑔 = 0,145 ml
5
𝑚𝑙

Mencit III :

𝑚𝑔
25 𝑋 0.030 𝑘𝑔
𝑘𝑔𝑏𝑏
𝑚𝑔 = 0,15 ml
5
𝑚𝑙

1. Mencit jantan
Mencit BB (kg) Dosis t(waktu) Respon
(VAO) menit ke-
1 0,033 0,165 ml 3 Resisten

2 0,028 O,145 ml 6 Resisten

2. Mencit betina
Mencit BB (kg) Dosis t(waktu) Respon
(VAO) menit ke-
1 0,027 0,135 ml 18 Resisten

2 0,030 O,15 ml 3,6 Peka


PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini adalah meliat efek kerja obat terhadap perbedaan jenis
kelamin. Berasarkan data diatas terlihat efek kerja obat cepat di respn oleh mencit
jantan no.1 dengan memberikan efek resisten terhadap rangsangan. Sementara efek
kerja obat yang direson paling lama diberikan oleh mencit betina no.1 yang pada
menit ke 18 baru memberikan efek yaitu resisten terhadap rangsangan. Pada
literatur efek kerja obat dapat dipengaruhi oleh faktor kelamin, berdasarkan hasil
pengamatan mencit jantan memberikan efek paling cepat dibanding mencit betina.

KESIMPULAN

Intraperitonial tidak mengalami fase absorpsi tapi langsung ke dalam pembuluh


darah.Sementara pemberian secara oral, obat akan mengalami absorpsi terlebih
dahulu lalu setelah itu masuk ke pembuluh darah dan memberikan efek.

· Semakin tinggi dosis yang diberikan akan memberikan efek yang lebih cepat

· Onset of action dari rute pemberian obat secar IP lebih cepat diperoleh
daripada rute pemberian obat yang lainnya.

Faktor Yang Mempengaruhi Efek Obat

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi efek obat di dalam tubuh. Faktor-
faktor tersebut adalah :

 Faktor Kondisi Fisiologis : ditentukan oleh usia, berat badan, luas permukaan
tubuh, atau kombinasi dari hal-hal ini.
 Faktor Kondisi Patologik : kondisi penyakit yang diderita oleh pasien dapat
mempengaruhi kerja obat.
 Faktor Toleransi : menurunnya efek akibat pemberian yang berulang-ulang.
 Faktor Interaksi Obat : obat dapat meningkat atau menurun efeknya apabila
berinteraksi dengan senyawa obat lain di dalam tubuh.
 Faktor Genetik : setiap orang memiliki struktur genetik yang berbeda yang
memungkinkan terjadinya variasi respon terhadap obat.
DAFTAR PUSTAKA

Potter&perry,1999, Fundamental Keperawatan, Edisi 4, Jakarta: EGC


http://www.farmasiku.com/index.php?target=pages&page_id=Cara_Menyimpan_
Obat

http://zianarmie.wordpress.com/2011/02/09/pemberian-obat/

http://nikenprawesti.blogspot.com/2012/09/cara-pemberian-obat.html

http://diajengdianhusada.blogspot.com/2013/04/makalah-sifat-kerja-obat-rute-
pemberian.html

Anief, M., 1993, Farmasetika, Yogyakarta : Gadjah mada University Press


Marbawati , Dewi., dan Bina Ikawati, “Kolonisasi Mus musculus albino Di
Laboratorium loka Litbang P2B2 Banjarnegara”, Balaba Vol. 5, No.01
Priyanto, 2008, Farmakologi Dasar Edisi II, Depok: Leskonfi
Tim Penyusun, 2007, Farmakologi dan Terapi Edisi V, Jakarta : Departemen
Farmakologi FKUI

Anda mungkin juga menyukai