Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI I

“TOKSIKOLOGI AMFETAMIN DAN SIANIDA”

DISUSUN OLEH :

NAMA : MAYANG UTARI

NIM : 1900070

PRODI : D-III 3B

HARI PRATIKUM : SABTU (11.00-14.00)

DOSEN PEMBIMBING : Apt, NOVIA SINATA,M.Si

ASISTEN DOSEN :

 HANIFAH ROHADATUL AISYI


 WINDA YUSMA AMELIAH

PROGRAM STUDI D-III FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIVERSITAS RIAU

2020
OBJEK V

TOKSIKOLOGI AMFETAMIN DAN SIANIDA

I. TUJUAN
1. Mengenal secara praktis beberapa manifestasi keracunan sebagai akibat
dari kontak obat atau racun dengan manusia.
2. Menyadari pentingnya factor-faktor tertentu seperti tindakan mekanis dan
sifat farmakologi antidote dalam mengatasi keracunan.
3. Melihat secara langsung gejala keracunan serta perubahan sikap dan
mental pada pemberian amfetamin pada hewan percobaan.
4. Memahami bahaya penggunaan amfetamin dan obat sejenis
5. Mengetahui dan memahami mekanisme terjadinya manifestasi keracunan
sianida dan gejala-gejala keracunan sianida.
6. Mengerti mekanisme kerja antidotum untuk sianida.
7. Agar mahasiswa terampil menangani kasus CN dengan memilihkan
antidote yang tepat.

II. PRINSIP PERCOBAAN

Prinsip pengujian efek toksisitas secara eksperimental pada hewan


percobaan dengan melihat gejala gejala keracunan dari hewan uji yang diberikan
Amfetamin dan Sianida lalu membandingkannya dengan hewan control yang
diberi NaCl fisiologis.

III. TINJAUAN PUSTAKA

Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari racun. Pengertian lain yaitu


semua substansi yang digunakan, dibuat, atau hasil dari suatu formulasi dan
produk sampingan yang masuk ke lingkungan dan punya kemampuan untuk
menimbulkan pengaruh negative bagi manusia. Keracunan dapat ditimbulkan oleh
zat kimia (zat industri, obat, kosmetik, BTM), insektisida, tumbuhan (jamur), dan
hewan (bisa ular/lebah). Semua zat adalah racun yang tergantung dari dosis dan
lama kontak. Zat bersifat racun yang berada dalam tubuh belum tentu bersifat
racun karena sangat tergantung dari kadar zat tersebut dalam tubuh. Konsentrasi
zat yang kontak dalam waktu lama dan tidak menimbulkan efek toksik disebut
ambang batas. Pada dasarnya, pengujian uji toksikologi terbagi atas 2 golongan,
yaitu uji ketoksikan tidak khas dan uji ketoksikan yang khas. Uji ketoksikan tidak
khas adalah uji ketoksikan yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau
spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam hewan uji. Dimana pada
pengujian ini dilakukan pengujian uji ketoksikan akut, uji ketoksikan subkronis
dan uji ketoksikan kronis. Sedangkan untuk uji ketoksikan khas adalah uji
ketoksikan yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek khas suatu
senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Pengujian yang termasuk dalam
pengujian tipe ini adalah uji potenisasi, uji ketengikan, uji reproduksi, pengujian
pada kulit dan mata dan uji perilaku (Mahar, 2007).
Amfetamine merupakan suatu senyawa sintetik analog dengan epinefrin
dan merupakan suatu agonis katekolamin tak langsung. Struktur kimia penting
yang berikatan dengan efek farmakologis biokimia amfetamine yaitu tidak
digantinya cincin fenil kelompok alfa metil, dua rantai karbon diantara cincin fenil
dan nitrogen serta kelompok amino utama. Manipulasi dari struktur dasar molekul
amfetamine bertujuan untuk menurunkan efek yang tidak diinginkan dan
menonjolkan atau melemahkan variasi aksi dari amfetamine dan komponen
sejenisnya. Amfetamine dapat membuat seseorang merasa energik, termasuk
diantaranya rasa dalam peningkatan kepercayaan diri. Perasaan yang demikian
dapat bertahan selama ± 12 jam (Tjay dan Rahardja, 2003).
Amfetamine adalah kelompok obat psikoaktif sintetis yang disebut sistem
saraf pusat (SSP) stimulants. Amfetamin merupakan satu jenis narkoba yang
dibuat secara sintetis dan kini terkenal di wilayah Asia Tenggara. Amfetamin
dapat berupa bubuk putih, kuning, maupun coklat, atau bubuk putih kristal kecil.
Senyawa ini memiliki nama kimia α–methylphenethylamine merupakan suatu
senyawa yang telah digunakan secara terapetik untuk mengatasi obesitas,
attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD), dan narkolepsi. Amfetamin
meningkatkan pelepasan katekolamin yang mengakibatkan jumlah
neurotransmiter golongan monoamine (dopamin, norepinefrin, dan serotonin) dari
saraf pra-sinapsis meningkat. Amfetamin memiliki banyak efek stimulan
diantaranya meningkatkan aktivitas dan gairah hidup, menurunkan rasa lelah,
meningkatkan mood , meningkatkan konsentrasi, menekan nafsu makan, dan
menurunkan keinginan untuk tidur. Akan tetapi, dalam keadaan overdosis, efek-
efek tersebut menjadi berlebihan. Cara yang paling umum dalam menggunakan
amfetamin adalah dihirup melalui tabung. Zat tersebut mempunyai mempunyai
beberapa nama lain: ATS,SS, ubas, ice, Shabu, Speed, Glass, Quartz, Hirropon
dan lain sebagainya (Mahar, 2007).
Efek yang timbul dari penggunaan amfetamine adalah cenderung
hiperaktif, merasa gembira, harga diri meningkat, namun cenderung paranoid dan
menimbulkan halusinasi. Di sisi lain, amfetamine memiliki dampak jangka
pendek maupun jangka panjang yang negatif. Apabila penggunaan mengalami
putus zat, maka efek yang ditimbulkan adalah perubahan alam perasaan, rasa
lelah, letih, gangguan tidur, dan mimpi yang bertambah sehingga menganggu
kenyamanan tidur. Efek pemakaian yang dapat meningkatkan harga diri dan
percaya diri, serta dampak putus zat yang menganggu fisik dan emosional dapat
menjadi sebagian besar alasan remaja menjadi ketergantungan terhadap
amfetamine. Cara penggunaan amfetamine adalah dapat dengan tiga cara.
Penggunaan amfetamine dapat digunakan secara suntikam, inhalasi, dihisap dan
dihirup. Dapat diminum peroral dalam bentuk tablet. Dalam bentuk kristal,
dibakar dengan menggunakan kertas aluminium foil dan asapnya dihisap
(intranasal) atau dibakar dengan menggunakan botol kaca yang dirancang khusus
(bong). Dalam bentuk kristal yang dilarutkan, dapat melalui intravena (Kusuma,
2013).
Mekanisme kerja amfetamine pada susunan saraf dipengaruhi oleh
pelapisan biogenik amine yaitu dopamin, norepinefrin, atau serotonin atau
pelepasan ketiganya dari tempat penyimpanan pada persinap yang terletak pada
akhiran saraf. Pada dopamin didapati bahwa amfetamine menghambat re uptake
dopaminergik dan sinapstosom di hipotalamus dan secara langsung melepaskan
dopamin yang baru disintesa. Pada norepinefrin, amfetamine memblok re uptake
norepinefrin dan juga menyebabkan pelepasan norepinefrin baru, penambahan
atau pengurangan karbon diantara cincin fenil dan nitrogen melemahkan efek
amfetamine pada pelepasan re uptake norepinefrin. Sedangkan pada serotonin,
derivat metamafetamin dengan elektron kuat yang menarik penggantian pada
cincin fenil akan mempengaruhi sistem serotoninergik. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa ketiga kerja reseptor biogenik tersebut saling mempengaruhi
satu sama lain (Triswara dan Carolia, 2017).
Pengaruh amfetamine terhadap fungsi otak berhubungan dengan pelepasan
dopamin, norepinefrin dan serotonin. Ketiga neurotransmitter tersebut dihasilkan
di dalam sel-sel neuron yang terletak di otak tengah dan batang otak serta
terproyeksi pada hampir seluruh bagian otak. Para pengguana amfetamine
berbagai studi menunjukkan adanya peningkatan performa kognitif, khususnya
kecepatan memproses informasi, fungsi psikomotor dan atensi, dengan pemberian
akut amfetamine dalam dosis teraupetik, namun tetap berisiko tinggi untuk
mengalami ketergantungan. Penggunaan amfetamine yang mengalami gangguan
tidur dan menunjukkan adanya perbaikan performa setelah menggunakan
amfetamine. Dopamin dihasilkan di substansia nigra dan area ventral tegmental
yang merupakan jalur Mesokor-tikolimbikdopaminergik. Substansia nigra
terproyeksi ke dorsal striata, sehingga kerusakan pada daerah ini akan
menyebabkan terjadinya penyakit parkinson (Miratulhusda, et al., 2015).
Metamfetamin adalah narkotika yang tergolong dalam golongan
amfetamine. Metamfetamin sendiri dikenal sebagai kristal meth atau ice dan di
Indonesia biasa disebut sabu-sabu. Sabu-sabu memiliki kemampuan untuk dapat
meningkatkan secara dramatis “reserve power”. Senyawa aktif dalam sabu-sabu
dapat merangsang sistem syaraf pusat (Mahar, 2007).
Psikotropika adalah zat atau obat yang bukan termasuk narkotik baik
secara alamiah atau sintetis yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas normal dan perilaku. Kecenderungan yang paling mengkhawatirkan
adalah penyebaran cepat amphetamine. (Miratulhusda, et al., 2015).
Sianida merupakan racun yang bekerja cepat, berbentuk gas tak berbau
dan tak berwarna yaitu hydrogen sianida(HCN) atau berbentuk kristal berupa
potasium sianida (KCN). Akibat keracunan sianida tergantung pada jumlah
paparan dan cara masuk tubuh, lewat peernapasan atau pencernaan. Racun ini
menghambat sel tubuh meendapatkan oksigen sehingga paling berpengaruhadalah
jantung dan otak. Paparan dalam jumlah kecil mengakibatkan napas cepat,
gelisah, pusing, lemah, sakit kepala, mual dan muntah serta detak jantung
meningkat. Paparan dalam jumlah besar dapat menyebabkan kejang, tekanan
darah rendah, detak jantung melambat, kehilangan kesadaran, gangguan paru serta
gagal napas hingga korban meninggal (Utama,2006)

Selain dari makanan, sianida juga dapat berasal dari rokok, bahan kimia
yang digunakan pada proses pertambangan dan sumber lainnya, seperti pada sisa
peembakaran produk sintesis yang mengandung karbon dan nitrogen seperti
plastic yang akan melepaskan sianida. Pada perokok pasif dapat diteemukan
sekitar 0,06 mcg/ml sianida dalam darahnya(Utama,2006)

Gejala yang paling cepat muncul setelah keracunan sianida adalah iritasi
pada lidah dan membrane mucus serta suara desir darah tidak teratur. Gejala dan
tanda awal yang erjadi setelah menghirup HCN atau menelan garam sianida
adalah kecemasan, sakit kepala, mual, bingung, vertigo dan hypornoea, yang diiuti
dyspnea, sianosis, hipotensi, bradikardi dan sinus atau aritmea AV nodus. Dalam
keracunan stadium kedua, tampak kecemasan berlebihan, koma, dan terjadi
kejang, nafas teersengal-sengal, kolaps kardiovaskular, kulit emenjadi dingin,
berkeringat dan leembab. Nadi menjadi lemah dan lebih cepat, tanda terakhir dai
toksisitas sianida meliputi hipotensi, aritmia kompleks,gagal jantung, udem pada
paru-paru dan kematian.(Utama, 2006)

Antidotum sianida diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama sesuai


dengan mekanisme aksi utamanya,yaitu: detoksifikasi dengan sulfur untuk
membentuk ion tiosianat yang lebih tidak toksik, pembentukan metheemoglobin
dan kombinasi langsung.(Meredith,1993)
IV. ALAT DAN BAHAN
Toksisitas Amfetamin
Hewan yang digunakan : mencit
Bahan yang digunakan : amfetamin 10 dan 20 mg/kgbb secara ip,
NaCl fisiologis.
Alat yang digunakan : timbangan hewan, stopwatch, alat suntik
dan alat gelas lainnya.
Toksisitas Sianida
Hewan yang digunakan : mencit
Bahan yang digunakan : NaCl fisiologis. NaNO2 0,2 %, NaCN, Na2S2O3
Alat yang digunakan : timbangan hewan, stopwatch, alat suntik
dan alat gelas lainnya.

V. CARA KERJA

Prosedur Kerja Pengujian Toksisitas Amfetamin

1. Timbang hewan dan tandai untuk tiap kelompok.


2. Hitung dosis untuk masing-masing hewan. Untuk kelompok 1 diberi NaCl
dan kelompok 3,4 adalah 10mg/kgbb sedangkan untuk kelompok 4 dan 5
sebanyak 20 mg/kgbb.
3. Untuk kelompok 1,2,3,5 tempatkan keempat ekor hewan dalam kandang
terpisah yang masing-masingnya berisi satu hewan untuk kelompok 2,3,5
ditambah perlakuan diberi music dan pada kelompok 4 diletakkan
berkelompok dan diberi music.
4. Amati dan catat waktu terjadinya manifestasi efek amfetamin pada
percobaan, seperti tercantum pada tabel.
5. Bahas dan tarik kesimpulan dari percobaan ini.
Prosedur Kerja Pengujian Toksisitas Sianida

1. Timbang hewan dan tandai.


2. Selanjutnya lakukan hal seperti tercantum pada tabel.
3. Amati gejala yang timbul, catat waktu timbulnya gejala tersebut.
4. Tabelkan hasil percobaan saudara.
5. Bahas dan ambil kesimpulannya.

Kel Mencit
I KCN (Oral).
II KCN (Sc)
III KCN (Oral) + NaNO2 (Sc).
IV NaNO2 (Sc) + KCN (Sc)
V KCN (Oral) + Na2S203 (Ip)

Beberapa gejala yang akan diamati :

1. Tenang
2. Nafas sesak
3. Mencacahkan perut
4. Mata redup, ekor pucat
5. Geliat
6. Hiperaktif
7. Mengusap muka
8. Diam ditempat
9. Perut dan dada
10. Letih nafas perut
11. Menggaruk mulut
12. Gemetaran
13. Biru,mulut kering
14. Telinga menempel
15. Respon sakit berkurang
16. Urinasi
17. Tremor
18. kejang
VI. HASIL

DATA HASIL TOKSISITAS AMFETAMIN


GEJALA YANG DIAMATI
KLP PERLAKUAN BB VAO
AKTIVITAS MOTORIK LAJU PERNAPASAN GROOMING BERTENGKAR TREMOR KONVULSI MATI
1 Kontrol Nacl 1% 23 g 0.23 - - 04.53-05.34 - - - -
2 Amfetamin 10mg/kg 25 g 0.13 1.4 2.15 - - 3.45 - -
3 Amfetamin 10mg/kg 27 g 0.14 3.08 4.35 5.49 - - - -
4 Amfetamin 20mg/kg 21 g 0.21 4.03 5.02 9.09 10.42 - - -
5 Amfetamin 20mg/kg 21 g 0.21 2.33 1.03 4.27 - 20.4 - -
Keterangan: C Amfetamin 2 mg/ml
Kelompok 1 : individu
Kelompok 2 : individu
Kelompok 3 : individu + music
Kelompok 4 : kelompok + music
Kelompok 5 : individu + music

DATA HASIL TOKSISITAS SIANIDA


WAKTU GEJALA DIAMATI
MATA
KLP PERLAKUAN BB VAO LETIH BIRU,
NAFAS MENCACAHKAN MENGUSAP REDUP DIAM MENGGARUK TELINGA RESPON SAKIT
TENANG GELIAT HIPERAKTIF NAPAS GEMETARAN MULUT URINASI TREMOR KEJANG MATI
SESAK PERUT MUKA EKOR DITEMPAT MULUT MENEMPEL BERKURANG
PERUT KERING
PUCAT
1 KCN (Oral) 22 g 0.22 1.4 0.32 0.13 0.1 0.18 0.23 1.12 1.2 1.33 - 0.27 - 1.44 - - 1.35 1.48 1.55
2 KCN (Sc) 24 g 0.24 2.3 5.4 1.18 2.05 1 0.3 1.55 2.15 2.17 1.48 1.07 - 0.37 2.18 4 4.02 5.08 -
KCN (Oral) +
3 22 g 0.22 0.54 1.1 2 2.25 - 2.15 - 1.39 2.57 3.45 3.21 - - - 2.45 2.25 3.57 4.04
NaNO2 (Sc)
NaNO2 (Sc) +
4 21 g 0.21 0.59 0.31 1.42 - - 0.04 - 1.37 1.4 0.07 1.47 - - - - 2.1 1.57 2.35
KCN (Sc)
KCN (Oral) +
5 23 g 0.23 3 0.01 - 0.03 0.04 0.01 0.05 0.05 - 0.01 0.03 3.45 - - 3 0.47 0.47 3.46
Na2S203 (Ip)

Dosis Sianida: 20
C Sianida: 0,2% mg/kgbb
Natrium nitrit: Natrium nitrit: 20
0,2% mg/kgbb
Natrium tiosulfat Natrium tiosulfat 20
0,2% mg/kgbb
VII. PEMBAHASAN

Toksisitas adalah kemampuan suatu zat kimia dalam menimbulkan


kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam
lingkungan. Uji toksisitas bertujuan untuk mengetahui efek toksik dan
menentukan batasan keamanan suatu senyawa yang terdapat dalam zat-zat kimia,
termasuk dalam tumbuhan-tumbuhan
Pada percobaan kali ini dilakukan uji toksisitas sianida dan amfetamin
dengan menggunakan masing-masing 5 ekor tikus. Yang pertama dilakukan
pengujian toksisitas Amfetamin. Amfetamin merupakan suatu senyawa sintetik
analog dengan epinefrin dan merupakan suatu agonis katekolamin tak langsung.
Struktur kimia penting yang berkaitan dengan efek farmakologis biokimia
amfetamin yaitu tidak digantinya cincin fenil kelompok alfa metil, dua rantai
karbon diantara cincin fenil dan nitrogen serta kelompok amino utama
Amfetamin merupakan campuran dari isomer d-amfetamin (dekstro-
amfetamin) dan l-amfetamin (levo-amfetamin). D-amfetamin bekerja dengan cara
membebaskan klopamin ke celah sinaptik, sedangkan l-amfetamin bekerja dengan
cara membebaskan norepineprin. L-amfetamin memiliki aktivitas yang lebih
lemah karena pada l-amfetamin memiliki halogen sterik yang lebih besar
dibandingkan dengan d-amfetamin utnuk berikatan dengan reseptor
Mekanisme kerja amfetamin pada susunan syaraf dipengaruhi oleh
pelepasan biogenic aine yaitu dopamine, norepinefrin, ataupun serotonin atau
pelepasan ketiganya dari tempat penyimpanan pada prasinap yang terletak pada
akhiran syaraf. Pada dopamine, didapati bahwa amfetamin menghambat re-uptake
dopaminergic dan sinapstrosom di hipotalamus dan secara langsung melepaskan
dopamine y\ang baru disintesa. Pada norepineprin, kerja amfetamin memblok re-
uptake norepinefrin dan juga menyebabkan pelepasan norepinefrin baru,
penambahan atau pengurangan karbon diantara cincin fenil dan nitrogen sehingga
melemahkan efek amfetamin pada pelepasan norepinefrin. Sedangkan, pada
serotonin, derivate metamfetamin dengan elektron kuat yang menarik pergantian
pada cincin fenil akan mempengaruhi sistem seratogenik. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa ketiga kerja reseptor biogenik tersebut saling mempengaruhi
satu sama lain
Efek yang timbul dari penggunaan amfetamin adalah cenderung hiperaktif,
merasa gembira, meningkatkan percaya diri, namun cenderung paranoid dan
menimbulkan halusinasi. Disisi lain amfetamin memiliki dampak jangka pendek
maupun jangka panjang yang negatif. Apabila penggunaan mengalami putus zat,
maka efek yang ditimbulkan adalah perubahan alam perasaan, rasa lelah, letih,
ganggguan tidur, dan mimpi yang bertambah sehingga menggangu kenyamanan
tidur, dan mimpi yang betambah. Pengaruh jangka panjang amfetamin adalah
akan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi dan penyakit, kekurangan
gizi, mengalami gangguan jiwa (delusi, halusinasi, paranoid, tingkah laku aneh),
dan ketergantungan
Secara klinis, efek amfetamin sangat mirip dengan kokain, akan tetapi
memiliki waktu paruh yang lebih panjang yaitu +/- 10-15 jam dan durasi efek
euforianya adalah 4-8 kali lebih lama dibandingkan dengan kokain.
Berdasarkan pengamatan, mencit pertama diberikan NaCl fisiologis
seebagai control dimana tidak menunjukkan gejala-gejala seperti aktivitas motoric
dan lainnya , mencit tampak normal .mencit yang diberikan amfetamin
menghasilkan gejala-gejala seperti sktifitas motorik meningkat, laju pernafasan
meningkat, grooming, melompat, bertengkar, rangsangan terhadap bunyi
meningkat, dan akan membentuk aktivtas tremor. Terdapat perbedaan antara
mencit yang sendiri dengan mencit yang dikelompokkan, dimana pada mencit
yang sendiri diberikan pemberian amfetamin dengan dosis 10 mg/kgBB dan 20
mg/kg BB secara IP, sedangkan pada mencit yang dikelompokkan diberikan
amfetamin dengan dosis 20 mg/kg BB secara IP.
Pada mencit yang ditempatkan sendiri, tampak aktivitasnya makin aktif.
Hal ini dapat ditunjukkan dengan hilangnya rasa takut mencit. Sedangkan pada
mencit yang dikelompokkan, memiliki peningkatan aktiviatas juga, mencit juga
menjadi cenderung bertengkar satu dengan lainnya, sehingga keadaan lingkungan
juga berpengaruh terhadap aktivitas amfetamin. Dan juga terlihat pada mencit
kelompok 3 yang diberi amfetamin 10 mg/kgBB dan mencit kelompok 5 yang
diberi amfetamin 20mg/kgBB dengan perlakuan yang sama diberi music dan
diletakkan secara individu terlihat gejala-gejala seperti aktifitas motoric ,laju
pernapasan dan grooming yang terlihat pada mencit kelompok 5 lebih cepat
terjadi, umumnya kecepatan obat bertransformasi bertambah apabila konsentrasi
obat meningkat. Hal ini berlaku sampai titik dimana konsentrasi menjadi
sedemikian tinggi sehingga seluruh molekul enzim yang melakukan metabolism
berikatan terus menerus dengan obat dan tercapai kecepatan biotransformasi yang
konstan
Pada pengamatan yang dilakukan mencit yang diberikan amfetamin tidak
sampai mengalami konvulsi dan mati,. Amfetamin termasuk kedalam golongan
stimulansia. Stimulant ini bersifat menstimulasi sistem syaraf simpatik malalui
pusat hipotalamus sehingga meningkatkan kerja organ-organ tubuh. Misalnya,
meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, mengecilkan pupil dan
menungkatkan gula darah. Jadi, stimulant memberikan rangsangan pada
pemakainya untuk tujuan meningkatkan tenaga agar lebih cepat dan tidak
merasakan sakit. Stimulant dapat berupa kafein, amfetamin, dll
Menurut Mahar (2007), dalam penggunaan jangka panjang penggunaan
amfetamin secara teratur akan ditemukan tanda-tanda efek samping jangka
panjang yang biasanya terdiri dari:
- Pandangan kabur
- Pusing
- Peningkatan detak jantung
- Sakit kepala
- Tekanan darah tinggi
- Kurang nafsu makan
- Nafas cepat
- Gelisah
Pada penggunaan zat terus menerus akhirnya akan menimbulkan gangguan
gizi dan gangguan tidur. Pengguna akan lebih rentan untuk sakit apapun karena
kondisi kesehatan yang secara keseluruhannya buruk.

Pada percobaan berikutnya dilakukan percobaan uji antidote yang mana


pada praktikum kali ini kami menggunakan KCN sebagai zat penyebab toksik dan
menggunakan antidotum Na thiosulfate dan natrium nitrit .Percobaan terapi
antidotum metode tidak khas antidotum bertujuan agar mahasiswa mampu
memahami strategi terapi antidotum spesifik berdasarkan contoh kemampuan dari
natrium thiosulfate dan natrium nitrit dalam menawarkan racun sianida.Sebelum
digunakan untuk pengujian, hewan uji sebaiknya tidak diberi makan terlebih
dahulu minimal 18 jam dengan tetap diberi minum secukupnya.Hal ini dilakukan
dengan harapan agar efek yang di timbulkan oleh racun sianida dan antidotumnya
menjadi lebih optimal dan tidak di pengaruhi oleh factor makanan.

Pada percobaan ini ,tikus yang disuntik sediaan KCN secara subkutan dan
sesaat kemudian tikus mengalami sesak nafas. Efek utama yang dihasilkan oleh
sianida adalah mempengaruhi pernapasan, di mana oksigen dalam darah terikat
oleh senyawa sianida dan terganggunya sistem pernapasan, badan mencit terasa
lemas, kejang, ekor pucat, diam ditempat, letih nafas perut, gemetaran, biru mulut
kering dan kejang.

Wujud efek toksis sianida merupakan perubahan biokimia karena adanya


hambatan respirasi sel dan gangguan pasok eneergi dari sianida didalam sel yang
juga dipengaruhi oleh keadaan biologis. Meskipun demikian berdasarkan
mekanisme dan efek toksik yang timbul selama pemberian sianida maka
keemungkinan lain terjadi dujud toksik beerupa udem pada paru-paru yang diduga
sebagai perubahan fungsional pernafasan dan pemicu kematian.

Racun sianida yang terpejan dalam tubuh dapat breaksi dengan komponen
besi dalam enzim sitokrom oksidase mitokondria, sehingga enzim tersebut
menjadi tidak aktif (dengan pembantukan kompleks antara ion sianida dengan
besi bervalensi tiga, akan memblok kerjaenzim sitokrom mitokondria, sehingga
oksigen darah tidak dapat lagi diambil oleh sel), padahal system enzim tersebut
sangat di perlukan dalam berlangsungnya metabolisme aerob.

Karena itu wujud/gejala keracunan yang timbul oleh keracunan sianida


berturut-turut adalah: sianosis,kejang, gagal nafas, koma, dan berakhir pada
kematian. Gejala sianosis dapat terlihat darimembirunya pembuluh darah di
ekor tikus.Gejala kejang dapat diamati dari gerakan tikus yang menggosokkan
perutnya kebawah dengan kaki belakang ditarik kebelakang atau jika tikus merasa
sangat kekurangan O2, maka gejala yang terlihat adalah mencit melompat-lompat
atau hiperaktif.Karena kekurangan O2 dalam tubuh maka gejala selanjutnya
adalah gagalnafas(ambilan nafas yang sangat cepat), dan koma.

Terapi antidotum spesifik yang dilakukan adalah dengan pemberian


Na2S2O3 secara intra peritoneal agar efek penghambatan racun dapat dicapai
dengan cepat.Sianida yang terpejan didalam tubuh dapat bereaksi dengan
komponen besi dalam enzim sitokrom oksidase mitokondria.

Pemberian antidote untuk keracunan sionida dalam penelitian ini


membandingkan cara pemberian dan juga keefektifannya. Sebagai antidotum,
natrium tiosulfat memiliki jarak ketoksikan dosis lebih lebar bila dibandingkan
dengan natrium nitrit. Dari table terlihat bahwa pada mencit yang diberikan KCN
secara oral mengalami kematian dan gejala keracunan lebih cepat dibandingkan
yang lainnya yang diberikan antidote, namun juga terlihat pada mencit yang
diberikan KCN secara subcutan tidak mati, padahal tidak diberikan antidote, hal
itu kemungkinan terdapat kesalahan selama percobaan, seharusnya efek toksik
pemberian KCN dan tidak diberi antidot pada hewan uji lebih kuat dari pada yang
diberikan antidote.

Hasil reaksi pada saat pemberian antifot ialah reaksi oksidasi, dimana hasil
reaksi tersebut adalah pigmen berwarna coklat kehijauan sampai hitam yang
disebut methehemoglobin. Ion Feri Sianida dalam methehemoglobin akan
berikatan dengan sianida dalam plasma membentuk sian-methemoglobin yang
menyebabkan ikatan sianida dalam sitokrom oksidase terputus sehingga enzim
pernafasan yang semua terblok tersebut menjadi tere-generasi kembali. Dimana
NaCl lebih berperan dalam pembebasan hemoglobin padafase absorbsi. Dan NaCl
berperan dalam pembebasan hemoglobin pada fase distribusi.
Dimana fase distribusi di tandai pada saat mencit tersebut kejang dan fase
absorbsi di tandai pada saat tikus tersebut sudah mengalami sianosis yaitu pada
saattikus tersebut berwarna biru karena sudah banyaknya darah yang sudah
terikat dengansianida.
Dari hasil pengamatan pada tabel diperoleh bahwa pada pemberian
antidotum NaNO2 di peroleh hasil bahwa pada pemberian antidotum NaNO2
adalah terlambat hal ini menunjukkan tidak dapat dapat menolong keracunan
dalam fase distribusi karena untuk menentukan perbedaan antarasianosis dan
kejang sangat tipis sekali, sehingga sianida yang diperkirakan sudah menyebar
keseluruh tubuh mencit .
Terlihat pada mencit kelompok 3 diberikan KCN secara oral dan NaNO2
secara subcutan sebagai antidote nya dan pada mencit kelompok 4 terlebih dahulu
diberikan antidote yaitu NaNO2 secara subcutan kemudian diberikan sianida
(KCN) secara subkutan dan mencit kelompok 5 diberikan KCN secara oral dan
NaS2O3 secara intraperitonial.Dari hasil yang diperoleh gejala keracunan paling
cepat terlihat pada mencit kelompok 5 namun mencit yang mati terlebih dahulu
mati ialah mencit kelompok 4.
Rute pemberian merupakan salah satu factor yang mempengaruhi efek dari
suatu obat atau racun , karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan
biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini
berbeda karena jumlah suplai yang berbeda. Hal ini mengakibatkan jumlah zat atif
yang masuk dan mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda,
tergantung dari rute pemberiannya. Disini digunakan rute secara oral dimana obat
mengalami proses ADME terlebih dahulu dan secara subcutan yaitu obat
disuntikan dibawah kulit didaerah punggung atau didaerah perut dan secara
intraperitonial suntikan dimasukkan kedaeerah abdomen. Seharusnya melalui rute
pemberian antidote secara subcutan dan intraperitonial lebih efektif untuk
mengurangi keracunan pada mencit yang diberikan KCN. Karna tidak
melibatkann proses penyerapan, zat yang terdapat pada natrium nitrit dan natrium
tiosulfat langsung masuk ke peredaran darah dan menuju sisi reseptor.
Factor lain yang mempengaruhi hasil peercobaan juga bisa karna variasi
biologis seperti usia,berat badan sifat genetic status kesehatan dan nutrisi serta
factor kesalahan selama melakukan peercobaan.
Adapun kesalahan-kesalahan yang mengakibatkan pengambilan data tersebut
kurang baik antara lain: kesalahan pada saat penyuntikan secara peritonial
kemungkinankesalahan yangmungkin terjadi adalah penyuntikan secara peritonial
yanag salah. Suntikan tersebut tidak masuk dalam rongga perut tapi masuk secara
subkutan sehingga antidotum tersebut pun menjadi kurang berarti.kesalahan lain
yang mengakibatakan datamenjadi kurang baik adalah kesalahan pada saat
pemberian antidotum tersebut, karena perbedaan antara sianosis dan kejang sangat
tipis sehinggakemungkinan kesalahan pemberian sehingga pada pemberian Na
Nitrit tersebut menjadi tidak berarti karenasianida sudah masuk dalam tahap
distribusi.
Kesalahan pencatatan waktu juga mungkin terjadi karena perbedaan tiap
gejala efek toksik sangan tipis sehingga pencatata waktuyang kurang tepat juga
dapat mengakibatkan data yang di dapat menjadi kurang baik.Mekanisme kerja
dari racun sianida yaitu menghambat oksidasi glukosa dalamsel dengan
membentuk kompleks stabil dengan sitokrom oksidase.
Didalam tubuh, sianida langsung dinetralkan oleh sulphur (S) sehingga
terbentuk iontiosianat (CNS). Namun pembentukan CNS ini akan mempengaruhi
penyerapan iodiumoleh kelenjar tiroid.Sianida merupakan garam yang bersifat
racun keras. Sianida jika diberikan kedalam tubuh maka akan membentuk ion
kompleks dengan ion Ferri yang menyebabkangagalnya pernafasan sel dan akan
menimbulkan kematian.Toksisitas sianida disebabkan karena kemampuannya
untuk membentuk kompleks dengan ion feri dari sitokrom oksidase. dalam
keadaan normal enzim sitorom oksidase berfungsi dalam sirkulasi oksigen dalam
darah dan jaringan.
Bila kerja enzim tersebut terganggu , maka pertukaran oksigen dengan
karbondioksida dari darah kejaringan terganggu sehingga kadar karbondioksida
dalam jaringan meningkat dan mengakibatkan jaringan kekurangan oksigen ( yang
berfungsi untuk faal tubuh).Metahemoglobin adalah hormone yang
berkemampuan untuk mengikat sianidasehingga sianida bebas sitokrom oksidase
sehingga membentuk sianmethemoglobin yang berwarna kemerahan. Kemampuan
tergantung pada afinitasnya dimana aktivitas methemoglobin lebih tinggi untuk
mengikat sianida dibandingkan sitokrom oksidase sehingga methemoglobin dapat
memecah ikatan-ikatan sianida sitokrom oksidase dan membentuk ikatan sianida
methemoglobin.
Pada praktikum ini obat yang dapat membentuk methemoglobin atau
sebagaian antidotum adalah Na2S203 dan tujuan dari perlakuan ini adalah untuk
menghasilkan konsentrasi methemoglobin yang tinggi dengan pemberian
nitrit.dan methemoglobin berkompetisi dengan sitokrom oksidase untuk berikatan
dengan sianida. detoksikasi yang sebenarnya dicapai dengan pemberian tiosulfat
yang dibawah pengaruh enzim rhodonase bereaksi dengan sianida membentuk
tiosulfat (CSN),senyawa yang relative tidak toksik dan segera dieksresikan dalam
urin.
Menurut Katzung (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas
amfetamin adalah sebagai berikut:

1. Konsentrasi obat: umumnya, kecepatan obat bertransformasi bertambah


apabila konsentrasi obat meningkat. Hal ini berlaku sampai titik dimana
konsentrasi menjadi sedemikian tinggi sehingga seluruh molekul enzim yang
melakukan metabolism berikatan terus menerus dengan obat dan tercapai
kecepatan biotransformasi yang konstan.
2. Fungsi hati: pada gangguan fungsi hati, metabolisme dapat berlangsung lebih
cepat atau lebih lambat, sehingga efek obat menjadi lebih lemah atau kuat dari
yang diharapkan.
3. Usia: pada orang berusia lanjut, banyak proses fisiologis telah mengalami
kemunduran antara lain fungsi ginjal, enzim-enzim hati, jumlah albumin
serum berkurang. Hal ini menyebabkan terhambatnya biotransformasi obat
yang berakibat keracunan.
4. Genetik: ada orang-orang yang tidak memiliki faktor genetika tertentu,
misalnya enzim untuk asetilasi sufanamida atau INH, akibatnya metabolism
obat-obat lambat sekali.
5. Pemakaian obat lain: banyak obat, terutama yang bersifat lipofil atau larut
lemak dapat menstimulir pembentukan dari aktivitas enzim-enzim hati. Hal ini
disebut induksi enzim. Sebaliknya, dikenal pula obat yang menghambat atau
menginaktifasi enzim hati yang biasa disebut inhibisi enzim.
VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang racun. Pengertian lain
yaitu semua subtansi yang digunakan, dibuat, atau hasil dari suatu formulasi
dan produk sampingan yang masuk ke lingkungan dan punyakemampuan
untuk menimbulkan pengaruh negative bagi manusia.
2. Mekanisme kerja terjadinya efek dan toksisitas amfetamin, yaitu dengan
meningkatkan pelepasan katekolamin yang megakibatkan jumlah
neurotransmitter golongan monoamine (dopamine, norepinefrin, dan
serotonin) dari syaraf prasinapsis yang meningkat jika digunakan secara
berlebihan dan mengakibatkan ketergantunga. Pengaruh lingkungan terhadap
toksisitas amfetamin yaitu dapat meningkatkan aktivitas motoric dari mencit
sehingga menjadi lebih aktif dan cenderung bertengkar dengan sesamanya.
3. NaCN dengan dosis 0,2 %( untuk mencit ) sudah mampu menimbulkan
efek toksik terhadap hewan uji tikus. Gejala- gejala keracunan sianida yang
teramati pada hewan uji mencit berturut-turutyaitu: sianosis, kejang, gagal
nafas, dan mati. Tanda awal dari keracunan sianida adalah hiperpnea
sementara, nyeri kepala,dispnea,kecemasan, perubahan perilaku seperti agitasi
dan gelisah, berkeringat banyak, warnakulit kemerahan, tubuh terasa lemah
dan vertigo juga dapat muncul
4. Antidotum yang dapat digunakan yaitu : Natrium TiosulfatBerupa hablur
besar, tidak berwarna, atau serbuk hablur kasar. Mengkilap dalam udara
lembab dan mekar dalam udara kering pada suhu lebih dari33°C.
5. Natrium Nitrit (NaNO menyebabkan methemoglobin dengan sianida
membentuk substansi nontoksik sianmethemoglobin
6. Kegunaan nitrit sebagai antidota sianida bekerja dalam dua cara, yaitu : nitrit
mengoksidasi hemoglobin, yang kemudian akan mengikat sianida bebas, dan
cara yang kedua yaitu meningkatkan detoksifikasi sianidaendothelial dengan
menghasilkan vasodilasi. Inhalasi dari satu ampul amil nitrit menghasilkan
tingkat methemoglobin sekitar 5%. Pemberian dosis tunggal nitrit secara
intravena dapat menghasilkan tingkat methemoglobin sekitar 20-30%.
IX. DAFTAR PUSTAKA

Katzung, B. G. 2002. Farmakologi Dasar Dan Klinik Edisi II. Jakarta: Salemba
Medika.
Kusuma, E. P. 2013. Analisis Praktik Klinik Keperawaatan Kesehatan Masyarakat
Perkotaan Berduka Disfungsional Pada Klien Remaja Dengan
Ketergantungan Amfetamin Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat. Jurnal
Analisis Praktik. Vol. 6(1).
Mahar, M. 2007. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru.
Miratulhusda, N. W., Noor, C., dan Fadillaturrohmah. 2015. Studi Retrospektif
Penyalahgunaan Obat Pada Pasien Ketergantungan Obat Di rumah Sakit
Jiwa Sambang Lihum. Jurnal Media Farmasi. Vol. 12(2).
Tjay, T. H., dan F. Rahardjo. 2003. Obat obat Penting, Kkhasiat, Penggunaan
dan Efek efek Sampingnya Edisi ke 6. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Triswara, R., dan N. Carolina. 2017. Gangguan Fungsi Kognitif Akibat
Penyalahgunaan Amfetamin. Jurnal Majority. Vol. 7(1).
X. LAMPIRAN
XI. JAWABAN DARI PERTANYAAN

Jawaban Pertanyaan Toksisitas Amfetamin

1. Jelaskan mekanisme kerja yang mendasari efek farmakologi amfetamin


Jawaban :
Sistem saraf utama yang dipengaruhi oleh amfetamin sebagian besar terlibat
dalam sirkuit otak.Selain itu, neurotransmiter yang terlibat dalam jalur berbagai
hal penting di otak tampaknya menjadi target utama dari amfetamin. Salah satu
neurotransmiter tersebut adalah dopamin, sebuah pembawa pesan kimia sangat
aktif dalam mesolimbic dan mesocortical jalur imbalan. Tidak mengherankan,
anatomi komponen jalur tersebut-termasuk striatum, yang nucleus accumbens,
dan ventralstriatum telah ditemukan untuk menjadi situs utama dari tindakan
amfetamin. Fakta bahwa amfetamin mempengaruhi aktivitas neurotransmitter
khusus di daerah terlibat dalam memberikan wawasan tentang konsekuensi
perilaku obat, seperti timbulnya stereotip euforia. Amphetamine telah ditemukan
memiliki beberapa analog endogen,yaitu molekul struktur serupa yang ditemukan
secara alami di otak. l-Fenilalanin dan β - phenethylamine adalah dua contoh,
yang terbentuk dalam sistem saraf perifer serta dalam otak itu sendiri. Molekul-
molekul ini berpikir untuk memodulasi tingkat kegembiraan dan kewaspadaan,
antara lain negara afektif terkait.
2. Factor- factor apa saja yang mempengaruhi toksisitas amfetamin
Jawaban :
 Konsentrasi Obat : Umumnya kecepatan biotransformasi obat bertambah bila
konsentrasi obat meninggi. Hal ini berlaku sampai titik dimana konsentrasi
menjadi sedemikian tinggi sehingga seluruh molekul enzim yang melakukan
metabolisme berikatan terus menerus dengan obat dan tercapai kecepatan
biotransformasi yang konstan.
 Fungsi Hati: Pada gangguan fungsi hati, metabolsime dapat berlangsung lebih
cepat atau lebih lambat, sehingga efek obat menjadi lebih lemah atau lebih kuat
dari yang diharapkan
 Usia: Pada bayi baru lahir (neonatus) belum semua enzim hati terbentuk, maka
reaksi metabolisme obat lebih lambat (terutama pembentukan glukoronida
antara lain untuk reaksi konjugasi dengan kloramfenikol, sulfonamida,
diazepam, barbital, asetosal, petidin). Untuk menghindari keracunan maka
pemakaian obat-obat ini untuk bayi sebaiknya dihindari, atau dikurangi
dosisnya.Pada orang usia lanjut banyak proses fisiologis telah mengalami
kemunduran antara lain fungsi ginjal, enzim-enzim hati, jumlah albumin serum
berkurang. Hal ini menyebabkan terhambatnya biotrnasformasi obat yang
seringkali berakibat akumulasi atau keracunan.
 Genetik: Ada orang orang yang tidak memiliki faktor genetika tertentu
misalnya enzim untuk asetilasi sulfonamida atau INH, akibatnya metabolisme
obat-obat inilambat sekali.
 Pemakaian Obat lain: Banyak obat, terutama yang bersifat lipofil (larut lemak)
dapat menstimulir pembentukan dan aktivitas enzim-enzim hati. Hal ini disebut
induksi enzim. Sebaliknya dikenal pula obat yang menghambat atau
menginaktifkan enzim hati disebut inhibisi enzim.
3. jelaskan efek apa yang terlihat pada mencit setelah pemberian amfetamin
dan bagaimana gejala keracunan pada amfetamin
Jawaban :
Meningkatkan suhu tubuh, Kerusakan sistem kardiovaskular,
Paranoia,Meningkatkan denyut jantung, Meningkatkan tekanan darah, Menjadi
hiperaktif,Mengurangi rasa kantuk, Tremor, Menurunkan nafsu makan, Euforia,
Mulut kering,Dilatasi pupil, Mual, Sakit kepala, Perubahan perilaku seksual.

4. Bila terjadi keracunan, obat apa yang daapat digunakan untuk mengatasinya?
Jelaskan
Jawaban :
Antidotum yaitu zat yang memiliki daya kerja bertentangan dengan racun,dapat
mengubah sifat kimia racun, atau mencegah absorbsi racun. Jenis antidotum
yangdigunakan pada keracunan :
a.Keracunan insektisida (alkali fosfat), asetilkolin, muskarin : atropine,reaktivator
kolinesteras (pralidoksin, obidoksin).
b.Keracunan sianida : 4 dimetilaminofenol HCl (4-DMAP) dan natrium tiosulfat.
c.Keracunan methanol dengan etanol.
d.Keracunan methenoglobin : tionin.
e.Keracunan besi : deferoksamin
f.Keracunan As,Au, Bi, Hg, Ni, Sb : dimerkaprol(BAL =british anti lewisit).
g.Keracunan glikosida jantung : antitoksin digitalis.
h.Keracunan Au,Cd,Mn,Pb,Zn : kalsium trinatrium pentetat.

5. Jelaskan mekanisme kerja mengapa dengan jalan memperbanyak ekskresi


gejala racunamfetamin dapat dihilangkan
Jawaban :
Ginjal merupakan organ yang penting untuk ekskresi obat.Obatdiekskresikan
dalam struktur tidak berubah atau sebbagai metabolit melalui ginjal dalam urine.
Obat yang diekskresikan bersama feses berasal dari :
1.Obat yang tidak diabsorbsi dari penggunaan obat melalui oral.
2.Obat yang diekskresikan melalui empedu dan tidak direabsorbsi dari usus.Obat
dapat diekskresikan melalui paru-paru, air ludah, keringat atattu dalam air susu.
Obat dalam badan akan mengalami metabolisme dan ekskresi. Maka
dalam penggunaan obat pada pasien perlu diperhatikan keadaan pasien yang
fungsi hati atauginjalnya tidak normal.Perlu diketahui apakah obat yang diberikan
dapatdimetabolismekan atau tidak, rute ekskresinya dan sebagainya.Pengeluaran
obat daritubuh melalui organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil
biotransformasi atau dalam bentuk asalnya.Ekskresi suatu obat dan atau
metabolitnya menyebabkan penurunankonsentrasi zat berkhasiat dalam tubuh.
Ekskresi dapat terjadi bergantung pada sifatfisikokimia (bobot molekul, harga
pKa, kelarutan, tekanan gas) senyawa yangdiekskresi, melalui
1.ginjal (dengan urin)
2.empedu dan usus (dengan feses) atau,
3.paru-paru (dengan udara ekspirasi)Ekskresi melalui kulit dan turunannya
tidak begitu penting. Sebaliknya pada ibu yangmenyusui, eliminasi obat dan
metabolitnya dalam ASI dapat menyebabkan intoksikasiyang membahayakan
bayi
6. Obat apa yang digunakan untuk mengendalikan gejala-gejala kardiovaskular
yang disebabkan amfetamin
 Jawaban : berikan atropine 2 mg secara IV perlahan-lahan ddan
diulangi secara IM setiap 24 jam sampai kesukaran bernafas dapat
diatasi.
 Infuse Na 1-1,5 mmol per kgBB per hari apabila ada gangguan
elktrolit dan asam basa.
 Kolaboratif thiamine 100 mg IV untuk profilaksis mencegah
terjadinya wernick ensefalopati.
 Pemberian 5 mg dextrose 5 % IV dan 0,4-2 mg naloksone jika klien
memiliki riwayat pemsakaian opioid.
 Jika klien agresif bisa diberikan haloperidol IM.

Jawaban Pertanyaan Toksisitas Amfetamin

1. Apakah semua obat-obat lain yang segolongan dengan asetanilida secara kimia
dan farmakologi mempunyai toksisitas sama dengan asetanilida dalam dosis
yang setara
Jawaban : Obat-obat yang segolongan dengan asetanilida mempunyai
toksisitas yang berbeda dengan asetanilida yang lainnya. Hal ini terkait dengan
dosis pemberian, interval serta frekuensi pemberian pada setiap obat. Sebagai
contoh pada pemberian parasetamol, Kejadian toksik pada hati
(hepatotoksisitas) akan terjadi pada penggunaan 7,5-10 gram dalam waktu 8
jam atau kurang. Kematian bisa terjadi (mencapai 3-4% kasus) jika
parasetamol digunakan sampai 15 gram.
2. Jelaskan dengan ringkas mekanisme kerja CN dalam menimbulkan gejala
keracunan dan kaitannya dengan obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi
keracunan pada percobaan ini.
Jawaban: Sianida menjadi toksik bila berikatan dengan trivalen ferric
(Fe+++).Tubuh yang mempunyai lebih dari 40 sistem enzim dilaporkan
menjadi inaktif olehcyanida.Yang paling nyata dari hal tersebut ialah non aktif
dari dari sistem enzimcytochrom oksidase yang terdiri dari cytochrom a-a3
komplek dan sistem transportelektron. Bilamana cyanida mengikat enzim
komplek tersebut, transport elektron akanterhambat yaitu transport elektron
dari cytochrom a3 ke molekul oksigen di blok.Sebagai akibatnya akan
menurunkan penggunaan oksigen oleh sel dan mengikut racunPO2.Sianida
dapat menimbulkan gangguan fisiologik yang sama dengan kekuranganoksigen
dari semua kofaktor dalam cytochrom dalam siklus respirasi. Sebagai
akibattidak terbentuknya kembali ATP selama proses itu masih bergantung
pada cytochromoksidase yang merupakan tahap akhir dari proses phoporilasi
oksidatif.Selama siklusmetabolisme masih bergantung pada sistem transport
elektron, sel tidak mampumenggunakan oksigen sehingga menyebabkan
penurunan respirasi serobik dari sel. Haltersebut menyebabkan histotoksik
seluler hipoksia. Bila hal ini terjadi jumlah oksigenyang mencapai jaringan
normal tetapi sel tidak mampu menggunakannya.Hal iniberbeda dengan
keracunan CO dimana terjadinya jarinngan hipoksia karena kekurangan jumlah
oksigen yang masuk.Jadi kesimpulannya adalah penderita keracunan
cyanidadisebabkan oleh ketidak mampuan jaringan menggunakan oksigen
tersebut.

3. Apakah perbedaan rute pemberina racun dan obat berpengaruh pada efek
toksin CNyang diamati? Jelaskan
Jawaban: Intravena (IV) : suntikan intravena adalah cara pemberian obat
parenteral yan sering dilakukan. Untuk obat yang tidak diabsorbsi secara oral,
sering tidak ada pilihan. Dengan pemberian IV, obat menghindari saluran cerna
dan oleh karena itu menghindari metabolisme first pass oleh hati. Rute ini
memberikan suatu efek yang cepat dan kontrol yang baik sekali atas kadar obat
dalam sirkulasi. Namun, berbeda dari obat yang terdapat dalam saluran cerna,
obat-obat yang disuntukkan tidak dapat diambil kembali seperti emesis atau
pengikatan dengan activated charcoal. Suntikan intravena beberapa obat dapat
memasukkan bakteri melalui kontaminasi, menyebabkan reaksi yang tidak
diinginkan karena pemberian terlalu cepat obat konsentrasi tinggi ke dalam
plasma dan jaringan-jaringan.Pemberian secara intravena adalah saat obat
disuntikkan ke dalam pembuluh darah vena. Rute intravena biasanya
dilakukan untuk mendapatkan efek obat yang cepat, karena tidak diperlukan
adanya proses absorbsi seperti pada pemberian secara oral dimana melalui
ADME dan efeknya pun lebih lama bekerja dari pada melalui intravena.
Sebab, obat langsung masuk ke peredaran darah. Jika Anda menerima obat
secara intravena, obat dapat diberikan dalam suntikan langsung (bolus), atau
diinfuskan terus menerus.

4. Sebutkan sumber-sumber racun sianida dalam kehidupan sehari-hari


Jawaban: Sumber racun sianida berasal dari Ketela Pohon Bagian dalam
umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan
simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai
dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang
bersifat meracun bagi manusia.Umbi ketela pohon merupakan sumber energi
yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein. Sumber protein yang
bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino
metionina.

Sumber sianida lainnya :

 Asap yang berasal dari kebakaran atau terbakarnya alat-alat sepert karet,
plastik, dan sutera membentuk asap yang mengandung sianida.
 Sianida yang digunakan untuk fotografi, penelitian kimia, plastik sintetis,
proses pengolahan logam, dan industri electroplatting.
 Tanaman yang mengandung sianida seperti tanaman aprikot dan tanaman
singkong. Untungnya, keracunan sianida hanya terjadi kalau Anda
terpapar secara parah oleh tanaman-tanaman tersebut.
 Laetrile, komponen yang mengandung amygladin (bahan kimia yang dapat
ditemukan di buah mentah, kacang-kacangan, dan tumbuhan) sudah sering
digunakan untuk pengobatan kanker. Salah satu efek samping dari
penggunaan laetrile ini adalah racun sianida. Sampai saat ini FDA (US
Food and Drug Administration) tidak menyetujui penggunaan laetrile
sebagai pengobatan kanker. Akan tetapi, di negara lain, di Meksiko
misalnya, laetrile ini sudah digunakan sebagai pengobatan kanker dengan
nama obat “laetrile/amygdalin”.
 Jenis-jenis kimia, setelah masuk ke tubuh Anda dan dicerna oleh tubuh
Anda, dapat dikonversi oleh tubuh Anda menjadi sianida. Kebanyakan,
bahan kimia ini sudah dilarang untuk beredar di pasaran. Akan tetapi
beberapa bahan kimia seperti penghapus kuteks dan cairan pengolahan
plastik mungkin saja masih mengandung sianida ini.
 Asap rokok adalah sumber sianida paling umum. Sianida secara natural
terdapat pada tembakau.

5. Dalam praktek apakah ada pendekatan untuk mencegah keracunan seperti


yang saudarakerjakan. Jelaskan
Jawaban : Antidota adalah sebuah substansi yang dapat melawan reaksi
peracunan, ataudengan kata lain antidotum ialah penawar racun.Dalam arti
sempit, antidotum adalah senyawa yang mengurangi atau
menghilangkantoksisitas senyawa yang diabsorpsi.Sementara keracunan
adalah masuknya zat yang berlaku sebagai racun, yang memberikan gejala
sesuai dengan macam, dosis, dan cara pemberiannya

Anda mungkin juga menyukai