Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM

BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA

Nama : Duta Nugraha Febrianto


NIM : 1901086
Hari Praktikum : Selasa, 5 Oktober 2021 (08.00 – 11.00)
Dosen Pengampu : Dr. Apt. Wira Noviana Suhery, M.Farm.
Asisten Dosen : Fintolin Jaya Putri
Regina Allaya, S. Farm
Yanto

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2021
PERCOBAAN II
DIFUSI DAN PENETRASI SECARA TRANSDERMAL
I. TUJUAN PRAKTIKUM
A. Mengetahui dan memahami faktor yang berpengaruh pada proses difusi pasif pada
sediaan semisolid
B. Mengetahui dan memahami proses difusi pasif yang terjadi pada kulit
II. TINJAUAN PUSTAKA
Kulit merupakan organ tubuh yang paling penting yang merupakan permukaan
luar organisme dan membatasi lingkungan dalam tubuh dengan lingkungan luar
organism dan membatasi lingkungan dalam tubuh dengan lingkungan luar.
• Melindungi jaringan terhadap kerusakan kimia dan fisika, terutama kerusakan
mekanik dan terhadap masuknya mikroorganisme.
• Mencegah terjadinya pengeringan berlebihan, akan tetapi penguapan air
secukupnya tetap terjadi (perspiration insensibilis).
• Bertindak sebagai pengatur panas denga melakukan kontriksi dan dilatasi
pembuluh darah kulit serta pengeluaran keringat.
• Dengan pengeluaran keringat ikut menunjang kerja ginjal, dan
• Bertindak sebagai ala pengindera dengan reseptor yang dimilikinya yaitu reseptor
tekan, suhu dan nyeri. (Mutschler, 1991)
Kulit terdiri dari :
• Bagian endoterm, yaitu epidermis (kulit luar) dan kelengkapannya (kelenjar,
rambut dan kuku)
• Bagian jaringan ikat, yaitu korium (kulit jangat )
Epidermis terdiri dari beberapa lapisan yaitu stratum corneum (lapisan tanduk).
Stratum lucidum (lapisan keratohialin, hanya terdapat pada telapak kaki dan tangan),
stratum granulosum (lapisan bergranul) dan stratum germativum (lapisan yang
bertumbuh) yang dapat dibagi lagi menjadi stratum spinosum (lapisan berduri) dan
stratum basal (lapisan basal). (Mutschler, 1991)
Bagian alas kulit yang disebut stratum korneum terdiri atas sel tak berinti yang
disusun oleh brick (komponen selnya) dan mortasr (kandungan lipid intraseluler).
Stratum korneum dapat ditembus oleh senyawa obat atau zat kimia yang diaplikasikan
kepermukaannya disebut pemberian obat secara perkutan. Tujuan pengobatan obat
secara perkutan dapat ditunjukkan untuk pengobatan lokal hanya dipermukaan kulit
atau pada jaringan yang lebih dalam seperti otot dan dapat pula ditujukan untuk
pengobatan sistemik. (ansel,1989)
Mekanisme kerja obat pemberian secara perkutan harus mampu berpenetrasi
kedalam kulit melalui stratum korneum, terjadi proses difusi pasif. Difusi pasif dapat
terjadi melalui stratum korneum (jalur transdermal) atau dapat juga melalui kelenjar
keringan, minyak atau melalui folikel rambut (jalur transfolikular). Difusi pasif
merupakan proses perpindahan masa dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke tempat
yang berkonsentrasi rendah. (Shargel, 2005)
Faktor yang mempengaruhi difusi zat melalui kulit :
• Sifat fisikokimia dari zat aktif (bobot molekul, kelarutan, koefisien partisi)
• Karakteristik sediaan
• Karakteristik basis
• Zat – zat tambahan dalam sediaan, untuk meningkatkan penembusan zat aktif
(penetrant enchancer), contohnya golongan sulfoksid (omso) alkohol, asam lemak,
surfaktan.
• (Tjay, 2007)

Mekanisme peningkatan penetrasi tersebut dapat melalui beberapa jalur.


Kemungkinan pertama adalah melalui interaksi antara kepala polar lipid. Enhancher
yang bersifat hidrofilik akan menimbulkan gangguan pada kepala polar lipid dan
menginduksi gangguan susunan lipid, kemudian pada akhirnya menyebabkan fasilitasi
transpor obat hidrofilik. Gangguan kepala polar lipid tersebut juga menimbulkan
pengaruh terhadap bagian hidrofobik lipid dan menyebabkan penataan ulang pada
susunan lipid bilayer. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan penetrasi untuk obat
lipofilik. (Wade, 1994)
Kemungkinan lain adalah interaksi antara enhancer lipofilik dengan rantai
hidrokarbon lipid bilayer. Gangguan pada hidrokarbon lipid tersebut menyebabkan
terjadinya fluidisasi rantai hidrokarbon dan memfasilitasi penetrasi obat lipofilik.
Perubahan tersebut juga mempengaruhi susunan kepala polar sehingga juga dapat
meningkatkan penetrasi obat-obat hidrofilik. (Alache, 1982)
Absorbsi perkutan suatu obat umumnya disebabkan oleh penetrasi obat melalui
stratum korneum yang terdapat kurang lebih dari 40% protein (pada umumnya keratin)
dan 40% air dengan lemak berupa trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol dan fosfat
lemak. Stratum korneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran
buatan yang semi permeabel dan molekul obat mempenetrasi dengan cara difusi pasif,
jadi jumlah obat yang pindah menyebrangi lapisan kulit tergantung pada konsentrasi
obat. Bahan – bahan yang mempunyai sifat larut dalam minyak dan air merupakan
bahan yang baik untuk difusi melalui stratum korneum seperti melalui epidermis dan
lapisan – lapisan kulit. Prinsip absorbsi obat melalui kulit adalah difusi pasif yaitu
proses dimana suatu substansi bergerak dari daerah suatu sistem ke daerah lain dan
terjadi penurunan kadar gradien diikuti bergeraknya molekul. (Devissaguet,1993)
Absorbsi perkutan adalah masuknya molekul obat dari kulit ke dalam jaringan
dibawah kulit kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah dengan mekanisme difusi
pasif. Istilah perkutan menunjukan bahwa penembusan terjadi pada lapisan epidermis
dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda beda. Penentuan
molekul dari bagian luar ke bagian dalam kulit secara nyata dapat terjadi baik melalui
penetrasi transpidermal dan transpendegeal (Swarbick dan Boylan. 1995).
Untuk memasuki sistem sistemik, tahapan pada absorpsi perkutan dapat melalui
penetrasi pada permukaan stratum corneum di bawah gradien konsentrasi, difusi
melalui stratum corneum, epidermis dan dermis, kemudian masuknya molekul ke
dalam mikrosirkulasi (Ansel. 2008)
a. Penetrasi Transepidermal
Sebagian obat berpenetrasi melintasi stratum korneum melalui ruang
melalui transepidermal dibandingkan transapendegeal. Pada prinsipnya masuknya
penetran ke dalam stratum korneum adalah adanya koefisien partisi dari penetran
obat-obatan yang bersifat hidrofilik akan berpartisi melalui jalur transseluler
sedangkan obat- obat yang bersifat lipofilik akan masuk kedalam stratum korneum
melalui intraseluler (Swarbick dan Boylan. 1995).
b. Penetrasi Transapendegeal
Penetrasi melalui rute transapendegeal adalah penetrasi melalui kelenjar
folikel yang ada pada kulit. Dimana penetrasi transapendegeal akan membawa
senyawa obat melalui kelenjar keringat dan kelenjar rambut yang berhubungan
dengan kelenjar sabapeus. Pada rute ini, dapat menghasilkan difusi yang cepat dan
segera setelah penggunaan obat karena dapat menghilangkan waktu yang
diperlukan obat untuk melewati stratum korneum (Swarbrick et al, 1995).
Saat ini, penghantaran obat secara transdermal merupakan metode yang paling
menjanjikan. Semakin banyak zat aktif obat yang dapat memberikan efek terapinya
secara sistemik melalui kulit. (Resa, 2018)
Rute transdermal memiliki beberapa keuntungan diantaranya mencegah first
pass metabolism, durasi aktivitas dapat diperkirakan, meminimalisir efek samping,
dapat menggunakan obat dengan waktu paruh pendek, meningkatkan respon fisiologis
dan farmakologis, mencegah fluktuasi konsentrasi obat, dan meningkatkan kenyamanan
pasien. Namum, kendala utama dari rute transdermal adalah rendahnya laju penetrasi
melalui lapisan terluar kulit. Maka, diperlukan senyawa enhancer untuk meningkatkan
laju penetrasi tersebut. (Resa,2018)
Piroksikam merupakan salah satu AINS dengan struktur baru yaitu oksikam,
derivate enolat (Clarke, 2004). AINS mampu mengahmbat sintesis mediator nyeri
prostaglandin dan sangat bermanfaat sebagai anti nyeri. Khasiat AINS sangat
ditentykan kemampuan menghambat sintesis prostaglandin melalui hambatan aktifitas
COX. Dari berbagai uji klinik pada penderita osteoarthritis ditunjukkan bahwa AINS
baik yang non selektif maupun yang selektif menghambat aktifitas COX-2 berkhasiat
dalam mengurangi nyeri rematik. (Kumar,2011).
Makin lebih selektif suatu AINS menghambat COX-1 makin berkurang
khasiatnya sebagai antiinflamasi dan sebaliknya dengan sediaan yang makin lebih
selektif menghambat COX-2. Penggunaan COX-2 sebagai obat analgetika tunggal akan
menunjukkan efek mengatap. Waktu paruh dalam plasma lebih dari 45 jam sehingga
dapat diberikan hanya sekali sehari. Absorbs berlangsung cepat dilambung, terikat 99%
pada protein plasma. Kira – kira sama dengan kadar cairan sinovia. Efek samping
tersering adalah gangguan saluran cerna, antara lain yang berat adalah tukak lambung.
Efek samping tersering adalah pusing, tinnitus, nyeri kepala dan eritema kulit.
Piroksikam tidak dianjurkan diberikan pada wanita hamil, pasien tokak lambung dan
pasien yang sedang minum antikoagulan indikasi piroksikam hanya untuk penyakit
inflamasi sendi misalnya arthritis momatoid, osteoarthritis, sponditis ankilosa. Dosis
10-20 mg sehari. (Syarif,2007)
Piroksikam merupakan antiinflamasi non steroid (AINS) emmpunyai sifat tidak
larut dalam air, asam-asam encer dan sebagian besar pelarut organic, sehingga perlu
diupayakan untuk menaikkan kelarutannya dengan penambahan surfaktan.(kumar,
2011)
Prinsip kelarutan piroksikam adalah stabilitas yang sangat baik pada pH 7,5
dengan pKa 6,3. Factor yang mempengaruhi laju degradasi antara lain pH, dapar, suhu,
media reaksi dan adanya bahan tambahan seperti surfaktan. (Kumar,2011)
III. PROSEDUR KERJA
a. Alat
Franz Diffusion Cell, Hot plate magnetic stirrer, pH meter, buret, statif dan klem,
pipet volum, labu takar, beker gelas, stopwatch, cawan petri, pipet tetes
b. Bahan
1. Uji difusi asam salisilat ke dalam medium agar
• 1 bungkus agar-agar serbuk tidak berwarna
• Krim asam salisilat 1% tipe m/a
• Krim asam salisilat 1% tipe a/m
• Salep asam salisilat 1%
• FeCl3 1%
2. Uji penetrasi gel piroxicam menggunakan franz diffusion cell

c. Prosedur
A. Uji difusi asam salisilat ke dalam medium agar
1. Siapkan 2 cawan petri yang telah berisi media agar yang telah didinginkan
2. Tambahkan FeCl3 kedalam masing-masing cawan petri secara merata
hingga menutupi semua permukaan agar
3. Diamkan selama 2 menit, kemudian sisa FeCl3 dituang dan dikeringkan
dengan kertas saring
4. Buat 6 lubang pada masing-masing cawan petri
5. Letakkan sampel/sediaan uji dengan jumlah yang sama pada cawan petri
yaitu :
- 2 lubang untuk salep asam salisilat
- 2 lubang untuk krim asam salisilat tipe a/m
- 2 lubang untuk krim asam salisilat tipe m/a
6. Lakukan hal yang sama pada cawan petri ke 2
7. Simpan cawan petri di dalam kulkas selama 30 menit, amati perubahan
warna yang terjadi, kemudian biarkan pada suhu kamar selama 30 menit,
amati perubahan warna yang terjadi
Keterangan warna :
3 = ungu kuat
2 = ungu
1 = ungu lemah
0 = bening
8. Ukur diameter penyebaran zat pada masing-masing cawan petri dengan
jangka sorong
9. Menurut anda apakah ketajaman warna pada agar berbanding lurus
dengan jumlah salisilat yang lepas dari basisnya???
10. Beri penjelasan anda terkait pelepasan obat dari basis bila dilihat dari jenis
basinya.
B. Uji penetrasi gel piroxicam
Uji difusi
a) Pembuatan dapar fosfat pH 7,4
Kalium dihydrogen fosfat 0,2 M sebanyak 50 ml dimasukkan kedalam
labu ukur 200 ml lalu ditambahkan 39,1 ml natrium hidroksida 0,2 N dan
dicukupkan volumenya dengan aqua dest. Kemudian diukur pH pada nilai
7,4
b) Pembuatan Larutan Baku Piroxicam
Piroxicam ditimbang sebanyak 20 mg, dimasukkan kedalam labu ukur 100
ml dilarutkan dengan etanol sebanyak 15 ml, kemudian ditambahkan
dapar fosfat 7,4 untuk memperoleh konsentrasi 200 µg/ml
c) Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum Piroxicam
Dari laruta baku dipipet o,5 ml kemudian dipindahkan kedalam labu ukur
10 ml dan ditambahkan dapat fosfat pH 7,4 sampai tanda batas. Kemudian
diukur serapannya pada Panjang gelombang 200-400 nm dan sebagai
blanko digunakan dapar fosfat pH 7,4
d) Pembuatan Kurva Kalibrasi Piroxicam
Dari larutan baku dipipet 0,1;0,2;0,3;0,4;0,5; dan 0,6 ml. dipindahkan ke
dalam labu ukur 10 ml dan dilarutkan dengan dapar fosfat 7,4 untuk
memperoleh konsentrasi 2, 4, 6, 8, 10, 12 µg/ml. kemudian diukur dengan
absorbansi larutan pada rentang nilai 0,2-0,8. Tentukan persamaan
regresinya.
e) Uji difusi gel piroxicam
1) Penyediaan kulit mencit sebagai membrane penetrasi
Mencit yang telah dikorbankan diambil seluruh kulitnya kecuali
bagian kepala dan kaki dengan bantuan gunting bedah. Bagian kulit
yang telah dipotong dibersihkan dari lemak-lemak yang menempel,
rambutnya digunting dan dicukur dengan hati-hati sampai mencit
tersebut bersih. Kemudian kulit dibersihkan dengan air suling dan
dibilas dengan larutan dapar fosfat pH 7,4
2) Uji daya penetrasi
Kompartemen cairan penerima diisi dengan bantuan larutan dapar
fosfat pH 7,4 sebanyak 100 ml. sediaan ditimbang sebanyak 2 gram
lalu dioleskan secara merata pada kulit mencit yang diletakkan pada
alat difusi franz. Setelah itu dibagian tepi dari daerah pengolesan tadi
ditutup dengan gelas yang dilengkapi dengan penjepit. Sel difusi franz
ini diletakkan pada bejana kaca berisi air yang dilengkapi
thermometer untuk pengaturan suhu. Suhu air pada bejana diatur 370C
± 10C, pengambilan sampel dilakukan pada menit ke 15, 30, 45, 60,
75, 90, 105, 165, 180, 195, 210, 225, dan 240. Pengambilan sampel 5
ml dari setiap kali pengambilan sampel, jumlah yang diambil dignti
dengan 5 ml dapar fosfat pH 7,4. Ukur absorban sampel dengan
spektrofotometer UV pada Panjang gelombang maksimal, tentukan
kadar piroxicam dengan menggunakan persamaan regresi.

Rumus untuk menentukan penetrasi gel piroxicam

𝐶𝑡 𝑥 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑐𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛
% kadar penetrasi = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑖𝑟𝑜𝑥𝑖𝑐𝑎𝑚 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑜𝑙𝑒𝑠𝑘𝑎𝑛 𝑥 100 %
IV. HASIL

DIFUSI AGAR
Suhu ruang Diameter (mm)
Sampel
1 2 3 4 5 6
Salep 1 0,32 0,25 0,83 0,46 0,50 0,87
Salep 2 0,33 0,36 0,94 0,63 0,53 0,75
Krim a/m 1 0,50 0,48 0,874 0,95 0,885 0,57
Krim a/m 2 0,741 0,46 1,052 0,46 0,77 0,67
Krim m/a 1 0,86 0,92 1,5 1,16 0,85 1,37
Krim m/a 2 1,11 0,96 1,53 1,26 0,80 1,17

Suhu dingin Diameter (mm)


Sampel
1 2 3 4 5 6
Salep 1 0,523 0,513 0,86 0,44 0,48 0,68
Salep 2 0,40 0,57 0,82 0,35 0,53 0,68
Krim a/m 1 0,55 0,31 0,92 1,03 0,645 0,61
Krim a/m 2 0,64 0,35 1,02 0,45 0,77 0,68
Krim m/a 1 1,03 1,08 1,37 1,42 0,85 1,36
Krim m/a 2 1,03 1,07 1,47 2,04 0,90 1,38

Suhu
Sampel Suhu ruang
dingin
Ungu
Ungu lemah
Salep 1 lemah
Ungu
Ungu lemah
Salep 2 lemah
Krim a/m 1 Ungu kuat Ungu kuat
Krim a/m 2 Ungu kuat Ungu kuat
Krim m/a 1 Ungu Ungu
Krim m/a 2 Ungu Ungu
1. Uji penetrasi gel Piroksikam
- Pembuatan larutan baku piroksikam
200 mg/100 ml = 20.000 mg/100 ml
Masukkan kedalam labu ukur 100 ml kemudian dilarutkan dengan etanol
sebanyak 15 ml tambahkan dapar fosfat 7,4 ad tanda batas
- Penentuan panjang gelombang maksimum
Pengenceran 200 ppm
V1. N1 = V2. N2
0,5 . 200 ppm = 10 ml x N2
N2 = 10 ppm ( konsentrasi sampel untuk penentuan panjang gelombang
maksimum)
Kemudian ukur absorban pada panjang gelombang 200 – 400 nm untuk
menentukan panjang gelombang maksimum
1. Kurva kalibrasi uji penetrasi piroxicam
Persamaan regresi x = 0,0649 x + 0,081
R2 = 0,9928
Perhitungan seri konsenrasi
2 ppm 6 ppm
V1.C1=V2.C2 V1.C1=V2.C2
V1 200 ppm = 10 ml x 2 ppm V1 200 ppm = 10 ml x 6 ppm
V1= 0,1 ml V1= 0,3 ml
4 ppm 8 ppm
V1.C1=V2.C2 V1.C1=V2.C2
V1 200 ppm = 10 ml x 4 ppm V1 200 ppm = 10 ml x 8 ppm
V1= 0,2 ml V1= 0,4 ml
10 ppm 12 ppm
V1.C1=V2.C2 V1.C1=V2.C2
V1 200 ppm = 10 ml x 10 ppm V1 200 ppm = 10 ml x 12 ppm
V1= 0,5 ml V1= 0,6 ml

Persamaan regresi
y = 0,0649x + 0,081
R² = 0,9928
𝐶𝑡 𝑥 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐶𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛
kadar penetrasi = 𝑥 100 %
jumlah piroxicam yang dioleskan

konsentrasi piroxicam dalam sediaan 0,5 %


jumlah piroxicam yang ditimbang 2 g
piroxicam = 0,5 / 100 x 2000 mg = 10.000 mcg

Perhitungan kadar piroxicam


Sampel pada waktu 10 menit , Absorbansi 0,0035
y = 0,0649x + 0,081
0,0035 = 0,0649x + 0,081
0,081 − 0,0035
X= = 1,19419 µg/ml
0,0649

1,19419 µg/ml 𝑥 100 𝑚𝑙


% kadar penetrasi = 𝑥 100 % = 1,19419 %
10.000 µg

Sampel pada waktu 20 menit , Absorbansi 0,0298


y = 0,0649x + 0,081
0,0298 = 0,0649x + 0,081
0,081 − 0,0298
X= = 0,7889 µg/ml
0,0649

0,7889 µg/ml 𝑥 100 𝑚𝑙


% kadar penetrasi = 𝑥 100 % = 0,7889 %
10.000 µg

Sampel pada waktu 30 menit , Absorbansi 0,0336


y = 0,0649x + 0,081
0,0336 = 0,0649x + 0,081
0,081 − 0,0336
X= = 0,7303 µg/ml
0,0649

0,7303 µg/ml 𝑥 100 𝑚𝑙


% kadar penetrasi = 𝑥 100 % = 0,7303 %
10.000 µg

Sampel pada waktu 60 menit , Absorbansi 0,066


y = 0,0649x + 0,081
0,066 = 0,0649x + 0,081
0,081 − 0,066
X= = 0,234 µg/ml
0,0649

0,234 µg/ml 𝑥 100 𝑚𝑙


% kadar penetrasi = 𝑥 100 % = 0,234 %
10.000 µg

Sampel pada waktu 90 menit , Absorbansi 0,1059


y = 0,0649x + 0,081
0,1059 = 0,0649x + 0,081
0,081 − 0,1059
X= = 0,3836 µg/ml
0,0649

0,3836 µg/ml 𝑥 100 𝑚𝑙


% kadar penetrasi = 𝑥 100 % = 0,3836 %
10.000 µg

Perhitungan rata-rata difusi agar (suhu dingin dan suhu ruang)

- Sampel salep asam salisilat (suhu ruang)


0,32+0,25+0,03+0,46+0,50+0,87
Cawan 1 : = 0,53 𝑚𝑚
6
0,33+0,36+0,94+0,63+0,53+0,75
Salep 2 : = 0,59 𝑚𝑚
6
0,53+0,5
Rata-rata : = 0,56 𝑚𝑚
2
- Sampel salep asam salisilat (suhu dingin)
0,523+0,513+0,86+0,44+0,48+0,68
Cawan 1 : = 0,58 𝑚𝑚
6
0,40+0,57+0,82+0,35+0,53+0,68
Cawan 2 : = 0,55 𝑚𝑚
6
0,58+0,55
Rata-rata : = 1,13𝑚𝑚
2
- Sampel krim A/M (suhu ruang)
0,50+0,48+0,874+0,95+0,885
Cawan 1 : = 0,70 𝑚𝑚
6
0,741+0,46+1052+0,46+0,77+0,67
Cawan 2 : = 0,69 𝑚𝑚
6
0,70+0,69
Rata-rata : = 0,69 𝑚𝑚
2
- Sampel krim M/A (suhu ruang)
0,86+0,92+1,151+1,16+0,85+1,37
Cawan 1 : = 1,4 𝑚𝑚
6
1,4+0,96+1,53+1,26+0,80+1,17
Cawan 2 : = 1,13 𝑚𝑚
6
1,4+1,13
Rata-rata : = 1,12𝑚𝑚
2
- Sampel krim M/A (suhu dingin)
1,037+1,08+1,37+1,42+0,85+1,36
Cawan 1 : = 1,18𝑚𝑚
6
1,03+1,07+1,47+2,04+0,98+1,38
Cawan 2 : = 1,31 𝑚𝑚
6
1,18+1,31
Rata-rata : = 1,24𝑚𝑚
2

V. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan difusi dan penetrasi secara
transdermal dengan menggunakan salep asam salisilat, krim asam salisilat a/m dan m/a
untuk diuji difusi pada media agar dan uji penetrasi gel piroxicam pada kulit mencit
dengan alat sel difusion frans.
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui dan memahami faktor yang
berpengaruh pada proses difusi pasif pada sediaan semisolid, mengetahui dan
memahami proses difusi pasif yang terjadi pada kulit, melihat proses difusi dan
penetrasi secara transdermal suatu sediaan farmasi pada saat melewati membran sel.
Dengan kata lain, melihat kemampuan zat tersebut apa dapat berdifusi dengan baik
pada saat melewati membran sel atau tidak. Apabila mampu berdifusi dengan baik,
maka sediaan tersebut akan mampu memberi efek terapi yang diinginkan. Pemberian
obat melaui rute transdermal akan membuat pelepasan obat ke tubuh melalui kulit. Rute
tersebut memberikan kita beberapa keuntungan, seperti, mengurangi metabolisme lintas
pertama obat (first pass effect), di mana obat tidak akan mendalami degradasi
gastrointestinal yang membuat konsentrasi obat berkurang, kemudian penghantaran
obat jangka panjang, dan penghantaran obat terkontrol. Namun, hanya sedikit obat yang
dapat diformulasikan dengan rute ini melalui patch transdermal karena permeabilitas
kulit yang sangat rendah, di mana pada kulit terdapat penghalang utama berupa lapisan
stratum korneum yang mempunyai struktur kompak dan sulit ditembus. Setelah obat
kontak dengan stratum korneum maka obat akan menembus epidermis dan masuk ke
dalam sirkulasi sistemik secara difusi pasif. Difusi pasif merupakan proses perpindahan
zat dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah hingga
mencapai kesetimbangan.
Untuk percobaan difusi, sampel yang akan diuji yaitu salep asam salisilat, krim
asam salisilat tipe A/M dan krim asam salisilat tipe M/A dalam media difusi agar yang
telah kita tambahkan FeCl3. Tujuan penambahan FeCl3 untuk memberi warna sehingga
penyebaran difusi lebih jelas karena jika berwarna akan memudahkan pengamatan dan
juga sebagai indikator warna dalam percobaan yaitu untuk parameter intensitas warna.
Adapun parameter yang akan kita lihat pada hasil pengamatan adalah diameter
persebaran difusi dan kepekatan/intensitas warna dan diameter sebaran warna yang
terbentuk. Perubahan warna diamati mulai dari ungu tua, ungu, dan ungu lemah.
Semakin kuat warna yang dihasilkan maka semakin baik difusi zat tersebut kedalam
medium. Pengamatan ini dilakukan pada setiap sampel dan pengukuran diameter
sebaran diukur dengan menggunakan jangka sorong, dimana semakin luas penyebaran
nya maka semakin baik difusi serta pelepasan obat dari basis ke membran. Uji ini kita
lakukan pada dua macam suhu yaitu suhu dingin dan suhu ruang untuk melihat
pengaruh suhu pada difusi. Adapun tujuan membran difusi agar uji coba ini berfungsi
sebagai sawar yang memisahkan sediaan daya cairan disekitar.
Pada data hasil diameter, dapat dilihat ada beberapa cawan petri yang digunakan
dan diamati pada suhu yang berbeda (suhu dingin dan suhu ruang). Perlu diketahui juga
bahwa suhu mempengaruhi laju difusi sampel. Semakin tinggi suhu, maka pergerakan
partikel dan molekul obat semakin cepat maka semakin cepat pula berdifusi. Secara
teori harusnya diameter difusi suhu ruang lebih besar daripada suhu dingin. Namun dari
hasil percobaan pada pengukuran salep dan krim m/a diperoleh suhu dingin lebih besar
diameternya daripada suhu ruang, seperti salep pada suhu ruang diameter rata-ratanya
0,56 cm sedang pada suhu dingin adalah 0,565 cm kemudian pada krim m/a diameter
rata-ratanya 1,124 cm (suhu ruang) dan 1,25 cm (suhu dingin). Sedangkan tipe krim
a/m sudah sesuai teori yaitu suhu ruang diameternya lebih besar daripada suhu dingin
dimana diameter rata-rata suhu ruangnya 0,700 cm dan suhu dingin 0,664 cm.
Kemungkinan terdapat beberapa faktor kesalahan yang terjadi selama praktikum
sehingga hasilnya tidak begitu sesuai dengan teori seharusnya.
Terkait pelepasan obat dari basis jika kita lihat dari jenis basisnya, diameter
sebaran difusi pada krim m/a menunjukkan hasil difusi yang lebih baik pada media agar
yaitu 1,124 cm (suhu ruang) dan 1,25 cm (suhu dingin), hal ini disebabkan oleh krim
m/a bersifat lebih polar dan dihrofilik karena basisnya air yang sesuai dengan media
agarnya sehingga sampel m/a lebih mudah berdifusi. Pada krim a/m yaitu krim dengan
basis minyak, diameternya lebih kecil yaitu 0,700 cm (suhu ruang) dan 0,664cm (suhu
dingin). Namun pada dasarnya, kandungan air pada krim lebih besar daripada salep,
sesuai dengan pengertian krim pada farmakope, krim merupakan sediaan semisolid
dengan kandungan air tidak kurang dari 60% sehingga meskipun basisnya berupa
minyak, hasil diameter nya akan lebih besar daripada sediaan salep. Dari hasil
percobaan difusi penyebaran paling rendah ditemukan pada salep asam salisilat. Salep
memiliki sifat non polar dan lipofilik sehingga lebih sulit berdifusi pada medium agar
yang bersifat polar dan hidrofilik, hal ini dapat dilihat dari hasil diameter rata-rata salep
yaitu 0,56 cm (suhu ruang) dan 0,565 cm (suhu dingin). Untuk itu, hasil pada
praktikum ini sudah sesuai dengan teorinya.
Dari hasil yang didapatkan salep asam salilisat warnanya adalah ungu lemah yang
dinilai =1. Pada krim asam salisilat (m/a) warnanya adalah ungu dengan nilai =2.
Sedangkan pada krim asam salisilat (a/m) warnanya adalah ungu kuat dengan nilai =3.
Keterangan dari warna yang terbentuk tersebut adalah jika semakin pekat/tajam
intensitas warna, maka menandakan bahwa semakin banyak zat asam salisilat yang
berdifusi ke media agar. Seharusnya, jika kita lihat berdasarkan basisnya, krim asam
salisilat m/a merupakan basis air (hidrofilik) yang harusnya lebih mudah berdifusi
dengan memberi warna paling tajam/pekat dalam media agar yang juga hidrofilik.
namun pada data diperoleh bais a/m atau minyak yang memberi intensitas kepekatan
warna paling pekat/tajam yaitu ungu kuat atau 3. Padahal bila kita lihat dari rata-rata
diameternya, difusi tipe m/a lebih besar daripada tipe a/m. Hal ini kemungkinan
disebabkan adanya kesalahan pada pembuatan FeCl3 sebagai pemberi warna, atau
terkait prosedur pewarnaannya yang kurang tepat sehingga diperoleh hasil yang tidak
sesuai dengan teori. Namun, untuk hasil intensitas warna pada salep, sudah sesuai
dengan teori yaitu ungu lemah = 1, yang menunjukkan salep paling sedikit berdifusi.
Jika kita ibaratkan pada kulit, sebenarnya yang dapat diabsorbsi oleh kulit dan
memberikan efek yang baik adalah non polar seperti salep ini, sesuai dengan sifat
permukaan dan lapisan kulit kita.
Adapun percobaan selanjutnya yaitu uji penetrasi gel piroksikam dengan
menggunakan kulit mencit sebagai membran penetrasi. Penggunaan kulit mencit di sini
dikarenakan kulit mencit memiliki struktur fisiologis hampir sama dengan kulit
manusia. Tujuan percobaan ini untuk melihat kadar piroksikam yang menembus
membran sel sehingga masuk ke dalam cairan kompartemen yang diibaratkan sebagai
aliran darah di dalam tubuh. Gel tersebut akan melewati membran sel pada menit ke 10,
20, 30, 60 dan 90. Percobaan ini digunakan menggunakan alat difusi franz dengan
prinsip kerjanya meletakkan membran semi permeabel di antara kompartemen donor
dan reseptor, kemudian senyawa-senyawa yang masuk ke dalam cairan reseptor diukur
kadarnya. Pada pengujian suhu diatur hingga 37oC, suhu ini dijaga agar konstan agar
uji sesuai dengan suhu tubuh orang normal. Dan digunakan dapar fosfat pH 7,4 sebagai
pelarut yang bertujuan untuk mengkondisikan cairan seperti pH tubuh normal yaitu
tubuh manusia mempunyai kisaran pH 7,35 sampai 7,45.Dari data yang diperoleh pada
menit ke – 10 % kadar penetrasi adalah 1,19419 %Pada menit ke – 20 % kadar
penetrasi adalah 0,7889 %.Pada menit ke – 30 % kadar penetrasi adalah 0,7303 %.
Pada menit ke – 60 % kadar penetrasi 0,234 %. Dan terakhir, Pada menit ke – 90 %
kadar penetrasi 0,3836 %Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa semakin
lama waktu maka konsentrasi atau kadar penetrasi zat aktif menembus membran
semakin tinggi atau meningkat.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


a. Kesimpulan
1. Pada uji difusi, dilakukan pada salep asam salisilat, krim asam salisilat tipe
M/A, dan pada krim asam salisilat tipe A/M dengan perubahan warna berturut-
turut adalah ungu lemah, ungu, dan ungu kuat yang pada hasil ini kurang
sesuai dengan teorinya
2. Pada praktikum ini dilakukan uji difusi asam salisilat ke dalam medium agar
dan uji penetrasi gel piroksikam.
3. Diameter difusi yang terbesar diberikan oleh sedian krim asam salisilat tipe
M/A, hal ini sesuai dengan teorinya di mana basis sediaan adalah air/hidrofilik
dan begitu pula dengan basis media agar yang juga hidrofilik, sehingga difusi
lebih mudah dan cepat.
4. Suhu mempengaruhi persebaran diameter difusi karna suhu merupakan faktor
penentu kecepatan difusi. Semakin tinggi suhu maka laju difusinya pun
semakin tinggi karena pergerakan partikelnya lebih cepat. Namun pada hasil,
terdapat beberapa hal yang kurang sesuai dengan teori.
5. Sediaan salep asam salisilat paling rendah laju difusinya pada media agar, baik
dilihat dari intensitas warnanya yang ungu lemah dan diameternya yang paling
kecil, hal ini karena salep merupakan sediaan semisolid nonpolar yang akan
sulit berdifusi pada media agar yang polar dan hidrofil
6. Pada pengujian penetrasi gel piroksikam digunakan media kulit tikus yang
telah dibersihkan dari kulit dengan alat difusi franz
7. Pada hasil penetrasi semakin lama waktu penetrasi, semakin tinggi persen
penetrasi, artinya semakin banyak gel yang berpenetrasi kedalam kulit mencit.
Didapat % kadar penetrasi tiap menit meningkat
b. Saran
1. Pada saat uji penetrasi dilakukan menggunakan membran kulit manusia untuk
mendapatkan hasil yang lebih akurat
2. Pengerjaan pada saat praktikum lebih teliti agar hasil yang didapatkan sesuai
dengan teori

VII. DAFTAR PUSTAKA


Alache. 1982. Biofarmasetika. Diterjemahkan oleh Widi Soerati edisi II. Jakarta :
Airlangga Press
Ansel,H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi 4. Penerjemah : Farida
Ibrahim. Jakarta : Universitas Indonesia Press
Clarke, E. G. C., Moffat, A. C., Osselton, M. D., Widdop, B. 2004. Clarke’s Analysis
of Drugs and Poisons. London : Pharmaceutical Press.
Devissaguet J. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasi Edisi 2. Surabaya : Airlangga
University Press
Kumar, Vivek R. dan Satish Kumar. 2011. Formulation and evaluation of Mimosa
pudica gel. Int. J. Pharm Pharm. Scie. 3(1): 55-57. Massey et. al. 2010. Topical
NSAIDs for Acut Pain in Adults.Http://www.thecochranelibrary.com Paye
Marc. Barel O, Andre. Maibach I. Howard (Editor). Handbook of Cosmetic
Science and Technology, Second Edition. New York
Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Bandung : ITB
Resa,H, dkk. 2018. Strategi Baru Sistem Penghantaran Obat Transdermal. Journal
farmaka volume 15 no. 15 Februari 24 – 36
Shargel.L & Andrew B.C.Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmakoterapi Terapi.
Surabaya : Airlangga Universitas Press
Swarbrick, J. dan Boylan, J., 1995, Percutaneous Absorption, in Encyclopedia of
Pharmaceutical. Technology, Volume 11, Marcel Dekker Inc., New York
Tjay,H.T, & Rahardja,K. 2007. Obat – Obat Penting Edisi 6. Jakarta : PT. Elex Media
Gramedia
Wade,A. & Weller, P.J. 1994. Handbook of Pharmaceutical Excipient (2th ed). London
: The Pharmaceutical Press

Anda mungkin juga menyukai