Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI FARMASI SEDIAAN PADAT

Oleh :
WIDYA FERANIKA
1701089 / S1-VI B
GRUP 3

Dosen Pembimbing Praktikum :

Wildan Khairi,M.Farm.,Apt

Asisten Dosen :
Dhea Ananda
Nabila Nada Islami

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2020

1
PERCOBAAN 6
DISOLUSI

I. Tujuan Praktikum
I.1 Mahasiswa mampu melakukan evaluasi tablet untuk uji disolusi dan keseragaman
ukuran.
I.2 Mahasiswa mengerti prinsip pengerjaan disolusi.

II. Tinjauan Pustaka


Uji disolusi dilakukan untuk mennetukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi
yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet atau kapsul, kecuali
pada etiket dinyatakan bahwa tablet hancur kunyah (Arif, 2005).
Pelepasan zat aktif di suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisiko kimia
zat aktif dari bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif dari biasanya ditetapkan oleh
kecepatan pelepasan zat aktif dan bentuk sediaannya yang biasanya ditentukan oleh
kecepatan melarut dalam media di sekelilingnya (Arif, 2005).
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan
transfer masa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh seluruh pelarut dari
permukaan padat. Teori disolusi umum, diantaranya adalah :
1. Teori film (model difusi lapisan).
2. Teori pembaharuan permukaan dari Danclewes (teori penettrasi).
3. Teori inerfisial.
(Lachman, 2006)
Kecepatan disolusi suatu sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari
kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat yang sangat penting pada zat
aktif dalam tubuh jika disolusi makin cepat maka absorpsi makin cepat juga. Zat-zat aktif
dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, suppositoria) sediaan sitem terdispersi
(suspensi dan emulsi) atau sediaan semi solid ( salep, krim, pasta) mengalami disolusi
dalam media cairan biologis kemudian diinkubasi absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi
sistemik (Lachman, 2006).

2
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan pada
tempat absorpsi. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah
medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam
lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel,
1989).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat atau jika obat
diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang
terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggunpannya menembeus pembatas
membrane. Tetapi, jika disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin
karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan, proses disolusinya sendiri
akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi (Ansel, 1989)
Penentuan kecepatan pelarutan suatu zat dapat dilakukan dengan metode :
1. Metode suspensi
Bubuk zatpadat ditambahkan pada pelarut tanpa pengontrolan yang eksak
terhadap luas pemukaan partikelnya. Sample diambil pada waktu-waktu
tertentu dan jumlah zat yang terlarut ditentukan dengan cara yang sesuai.
2. Metode permukaan konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya, sehingga
variable perbedaan luas permukaan efektif dapat dihilangkan. Biasanya zat
dibuat tablet terlebih dahulu. Kemudian sampel ditentukan seperti pada
metode suspensi.
Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat,
koefisien difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t.
Kecepatan pelarutan ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan
zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan
bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari
bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam
media sekelilingnya disolusi (Ansel, 1985).
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam cairan
pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam
bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam

3
cairan  pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan
suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan
dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu
obat disebut disolusi (Ansel, 1985).
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh
kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk
sediaan biasanya ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya
(Amir, 2007).
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan
transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke pelarut dari
permukaan padat. Teori disolusi yang umum adalah: (Amir, 2007).
1. Teori film (model difusi lapisan)
2. Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)
3. Teori Solvasi terbatas/Inerfisial
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan
utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi
zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif
yang terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan
kompisisi media yang dibakukan  (Shargel, 1988).
Tes  kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif
dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai
indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi
dari “batch” satu ke “batch” lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan
kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan
ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Shargel, 1988).
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari
kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif
yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan
besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi
makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan

4
system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid
(salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis kemudian diikuti
absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Voigt, 1995).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna, obat
tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut tidak
dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan
granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi,
deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat
dari bentuk dimana obat tersebut diberikan (Martin, 1993).
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau reaktivitas
partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami dua langkah berturut-
turut: (Roth, Hermann 1988)
1. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap atau
film disekitar partikel
2. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair.
Langkah pertama,. larutan berlangsung sangat singkat. Langka kedua, difusi lebih lambat
dan karena itu adalah  langkah terakhir.
Pada waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul-molekul obat pada
permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obat-
larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal
sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati
cairan yang melarut dan berhubungan dengan membrane biologis serta absorbsi terjadi.
Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut
diganti dengan obat  yang dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorbsi
tersebut berlanjut (Martin, 1993).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat
diberikan  sebagai suatu larutan  dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang
terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus  menembus
pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi  untuk suatu partikel obat lambat, misalnya
mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan , proses
disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi.

5
Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-
obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang
tidak diabsorbsi setelah pemberian ora, karena batasan waaktu alamiah bahwa obat bisa
tinggal dalam lambung atau saluran usus halus (Martin, 1993).
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada kenyataan
bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan berhubungan dengan tersedianya obat
di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur hanya waktu yang diperlukan tablet
untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan dan lewatnya partikel melalui saringan.
Uji ini tidak memberi jaminan bahwa partikel-partilkel tersebut akan melepas bahan obat
dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Untuk itulah sebabnya uji disolusi dan
ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet  (Martin, 1993).
Obat-obat yang diberikan dalam bentuk larutan biasanya diabsorpsi lebih cepat
dibandingkan pemberian dalam bentuk padat, karena tidak membutuhkan prose melarut
(Ansel, 1989).
Disolusi dari suatu partikel obat dikontrol oleh beberapa sifat fisika-kimia,
termasuk bentuk kimia, kebiasaan kristal, ukuran partikel, kelarutan, luas permukaan, dan
sifat-sifat pembasahan. Bila data kelarutan kesetimbangan dirangkaikan, maka
eksperimen disolusi dapat membantu mengidentifikasi daerah masalah bioavailabilitas
potensial (Lachman, 1994).
Obat dapat diubah dalam system saluran cerna menjadi berbagai bentuk yang
menjadikannya kurang atau lebih lambat tersedia untuk diabsorpsi. Perubahan ini
mungkin disebabkan oleh penggabungan atau berikatannya obat-obat dengan beberapa
bahan lain yang mungkin berupa suatu unsure yang normal dari system saluran cerna atau
suatu bahan makanan atau bahan obat lain. (Ansel, 1989)
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi adalah luas permukaan,
bentuk obat kristal dan amorf, bentuk garam, atau faktor lainnya yaitu keadaan hidrasi
dari suatu obat dapat mempengaruhi kelarutan dan pola absorpsi. Biasanya bentuk
anhidrat dari suatu molekul organic lebih mudah larut daripada anhidratnya (Ansel,
1989).
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan
menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan : (Ansel, 1989).

6
a. Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam
model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila
dikembangkan suatu model yang berhasil meniru situasi invivo
b.  Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan
sifat disolusi dan absorbsinya sesuai.
c. Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian
mutu untuk produk akhir.
d. Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari
bentuk sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan
hayati telah ditetapkan.
e. Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan
manufaktur.
f. Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat
disolusi zat aktif yang baru.
g. Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat
sistem  invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh
karena itu keuntungan dalam biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan
dengan penggunaan sistem 

III. Alat dan Bahan


 Alat
- Alat uji disolusi
- Pipet ukur 1 ml
- Gelas beker
- Labu ukur 50 ml
- Spektrofotometer UV
 Bahan
- 6 tablet ofloxacin
- Medium disolusi HCL 0,1 N

IV. Cara Kerja

7
A. CARA KERJA
A. Disolusi tablet ofloxacin
1. Sebanyak enam tablet dimasukkan satu persatu ke dalam masing-masing 6 labu
disolusi yang telah berisi 900 ml medium disolusi (HCl 0,1 N) yang bersuhu 37°C
±0,5°C, lalu alat dayung diputar dengan kecepatan 50 rpm selama 60 menit.
2. Pada interval waktu 5, 10, 15, 30, 45, dan 60 menit, larutan dipipet sebanyak 1 ml
pada daerah pertengahan antara permukaan medium disolusi dan bagian atas dari alat
dayung serta tidak kurang dari 1 cm dari dinding wadah.
3. Cairan yang diambil diganti dengan medium disolusi dengan suhu dan volume yang
sama.
4. Larutan hasil pemipetan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml lalu diencerkan dengan
HCl 0,1 N sampai tanda batas.
5. Serapan larutan diukur dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang serapan
maksimum.
B. Disolusi tablet kaptopril
1. Sebanyak enam tablet dimasukkan satu persatu ke dalam masing-masing 6 labu
disolusi yang telah berisi 900 ml medium disolusi (HCl 0,1 N) yang bersuhu 37°C
±0,5°C, lalu alat dayung diputar dengan kecepatan 50 rpm selama 60 menit.
2. Pada interval waktu 5, 10, 15, 30, 45, dan 60 menit, larutan dipipet sebanyak 5 ml
pada daerah pertengahan antara permukaan medium disolusi dan bagian atas dari alat
dayung serta tidak kurang dari 1 cm dari dinding wadah.
3. Cairan yang diambil diganti dengan medium disolusi dengan suhu dan volume yang
sama.
4. Larutan hasil pemipetan dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml lalu diencerkan
dengan HCl 0,1 N sampai tanda batas.
5. Serapan larutan diukur dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang
serapan maksimum.

V. Hasil dan Pembahasan


a. Hasil
Hasil Pengujian Disolusi

8
No Konsentrasi (ppm) Absorban
1. 2 0,171
2. 4 0,321
3. 6 0,442
4. 8 0,579
5. 10 0,716

Hitunglah persamaan kurva kalibrasi tablet di dalam pelarut


HCl 0,1 N dengan menggunakan data di atas

Kurva kalibrasi
0.8
0.7
f(x) = 0.07 x + 0.04
0.6 R² = 1

0.5
Absorbansi

0.4
0.3
Linear ()
0.2
0.1
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
konsentrasi

Y= 0,0674x + 0,0414
R² = 0,9992

Tablet ofloxacin

9
Waktu (menit) Absorbansi

0 0
5 0,260
10 0,375
15 0,458
30 0,476
45 0,488
60 0,492

 Menit ke-5

Y= 0,0674x + 0,0414
0,260 =0,674x + 0,0414
X = 3,24 mcg/ml

Q = 3,24 µg/ml x 900 ml


= 2916 µg

Koreksi Q = 3,24 µg/ml x 5 ml


= 16,2 µg

Komulatif koreksi = 16,2 µg

Q terkoreksi = 16,2 µg + 2916 µg


= 2932,2 µg
= 2,9322 mg

%kadar = 2,93 mg/ 400 mg x 100 %

10
= 0,73 %

 Menit ke 10

Y = 0,375
Y = 0,0674x + 0,0414
0,375 = 0,0674x + 0,0414
X = 4,949 µg/ml

Q = 4,949 µg/ml x 900 ml


= 4454,1 µg
Koreksi Q = 4,949 µg/ml x 5 ml
= 24,754 µg
Komulatif koreksi = 24,754 µg +16,2 µg
= 40,954 µg
Q terkoreksi = 40,954 µg + 4454,1 µg
= 4495,054 µg
= 4,49 mg
% kadar = 4,49 mg/ 400 mg x 100 %
= 1,122 %

 Menit ke 15
Y= 0,458
Y = 0,0674x + 0,0414
0,458 = 0,0674x + 0,0414
X = 6,181 µg/ml

Q = 6,181 µg/ml x 900 ml


= 5562,9 µg

Koreksi Q =6,181 µg/ml x 5 ml

11
= 30,905 µg
Komulatif koreksi = 30,905 µg + 40,954 µg
= 71,859 µg
Q terkoreksi = 71,859 µg + 5562,9 µg
= 5634,759µg
= 5,634 mg
% kadar = 5,634 mg/ 400 mg x 100 %
= 1,408 %

 Menit ke 30

Y= 0,476
Y = 0,0674x + 0,0414
0,476 = 0,0674x + 0,0414
X = 6,434 µg/ml

Q = 6,434 µg/ml x 900 ml


= 5790,6 µg

Koreksi Q = 6,434 µg/ml x 5 ml


=32,17 µg

Komulatif koreksi = 32,17 µg +71,859 µg


=104,029 µg
Q terkoreksi = 104,029 µg + 5790,6µg
= 5894,62 µg
= 5,894 mg

% kadar = 5,894 mg/ 400 mg x 100 %


= 1,48 %

12
 Menit ke 45

Y= 0,488
Y = 0,0674x + 0,0414
0,488 = 0,0674x + 0,0414
X = 6,626 µg/ml

Q = 6,626 µg/ml x 900 ml


= 5963,4 µg

Koreksi Q = 6,626 µg/ml x 5 ml


=33,13 µg

Komulatif koreksi = 33,13 µg +104,029 µg


=137,16 µg
Q terkoreksi = 137,16 µg + 5963,4 µg
= 6073,56µg
= 6,073 mg

% kadar = 6,073 mg/ 400 mg x 100 %


= 1,52 %

 Menit ke 60

Y= 0,492
Y = 0,0674x + 0,0414
0,492 = 0,0674x + 0,0414
X = 6,685 µg/ml

13
Q = 6,685 µg/ml x 900 ml
= 6016,91 µg

Koreksi Q = 6,685 µg/ml x 5 ml


=33,425 µg

Komulatif koreksi = 33,425 µg +137,16 µg


= 170,585 µg
Q terkoreksi = 170,585 µg + 6016,91 µg
= 6187,48 µg
= 6,187 mg

% kadar = 6,187 mg / 400 mg x 100 %


= 1,546 %

jumlah
kadar vol. kumulatif Q
absorbans vol. koreks obat
waktu terukur Lab Q (μg) koreksi terkoreksi
i Sampling i (Q) terlepas
(μg/ml) u (μg) (μg)
(%)
3,24 900
5 0,26 2916 μg 5 ml 16,2 16,2 μg 2932,2 μg 0,73%
μg/ml ml
4,94 900 4454,1 4495,05
10 0,375 5 ml 24,75 40,95 μg 1,12%
μg/ml ml μg μg
6,181 900 5562,9
15 0,458 5 ml 30,905 71,85 μg 5634 μg 1,40%
μg/ml ml μg
6,434 900 5790,6 104,02 5894,62
30 0,476 5 ml 32,17 1,48%
μg ml ml μg μg μg
6,626 900 5963,4 6073,56
45 0,488 5 ml 33,13 137,16 1,52%
μg/ml ml μg μg
6,685 900 6016,9
60 0,492 5 ml 33,425 170,585 6187,5μg 1,54%
μg/ml ml 1 μg

jumlah obat terlepas (%) vs waktu


jumlah obat terlepas (%)

2.00%

1.50%

1.00% jumlah obat terlepas (%)


0.50%
14
0.00%
0 10 20 30 40 50 60 70
waktu
b. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan uji disolusi tablet oflaxacin. Adapun tujuan
dan pengujian disolusi ini adalah untuk mengetahui jumlah zat terlarut yang akan
memberikan efek terapi terhadap tubuh. Pengujian dilakukan untuk menjamin
keseragaman kelarutan tablet antar batch (antar proses produksi). Uji disolusi untuk
mengetahui seberapa cepat kelarutan tablet oflaxacin ketika kontak dengan cairan
tubuh sehingga dapat ditentukan seberapa cepat keekktifan obat yang diberikan
tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pelarutan suatu zat aktif adalah
temperatur, viskositas, pH, pelarut, pengadukan, ukuran partikel, poliformisme, dan
sifat permukaan zat aktif.
Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang maksimum,
karena pada panjang gelombang maksimum menunjukkan nilai absorbansi terbesar
sehingga akan menunjukkan nilai kepekaan atau ketelitian yang terbesar karena
terjadi perubahan absorbansi yang paling besar. Selain itu, pada panjang gelombang
maksimum, bentuk kurva absorbansi memenuhi hukum Lambert-Beer. Hal ini perlu
diperhatikan pada panjang gelombang maksimum yaitu absorbansi yang terbaca
hendaknya berada pada kisaran 0,2-0,8 karena pada rentang ini kesalahan pembacaan
absorbansi sebesar 0,005% atau <0,5% (kesalahan fotometrik).
Uji disolusi dilakukan dengan alat disolusi tester yang diatur dengan
kecepatan 50 rpm, kecepatan 50 rpm diilustrasikan seperti kerja peristaltik
pencernaan manusia suhu yang diatur 37°C ± 0,5°C disesuaikan karena mengikuti
suhu tubuh manusia normal. Medium disolusi digunakan dapar posfat pH 5,8
diasumsikan kerja tablet oflaxacin diusus yang bersifat sedikit basa daripada
lambung. Pengambilan larutan sampel dalam labu disolusi diambil pada bagian
tengah, tidak terlalu keatas atau terlalu kebawah agar diperoleh konsentrasi larutan
yang mewakili seluruh larutan (terlalu kebawah, maka konsentrasi akan tinggi atau

15
terlalu keatas maka konsesntrasi akan rendah). Setiap pengambilan dilakukan dengan
mengganti dengan dapar posfat dengan volume yang sama untuk menjaga volume
tetap konstan dan tidak terjadi kejenuhan dibawah medium disolusi.
Secara umum mekanisme disolusi suatu sediaan dalam bentuk tablet yaitu
tablet yang ditelan akan masuk ke dalam lambung dan di dalam lambung akan
dipecah, mengalami disintegrasi menjadi granul-granul yang kecil yang terdiri dari
zat-zat aktif dan zat-zat tambahan yang lain. Granul selanjutnya dipecah menjadi
serbuk dan zat-zat aktifnya akan larut dalam cairan lambung atau usus, tergantung di
mana tablet tersebut harus bekerja.
Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan
disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan
kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah.
Uji disolusi dapat digunakan untuk menentukan persentasi ketersediaan obat
dalam sirkulasi sistemik pada waktu tertentu, hal ini berhubungan dengan bio-
availabilitas yang dapat menjadi parameter efikasi (kemanjuran) dan mutu suatu
produk obat. Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk 
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya
karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut
melarut  ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Pengukuran dilakukan pada λ maksimum supaya dihasilkan serapan yang
maksimum juga. Untuk melakukan pengukuran dengan metode spektrofotometri UV,
sampel dimasukkan ke dalam kuvet. Alat spektrofotometri yang digunakan memiliki dua
tempat kuvet (double beam). Kuvet pertama berfungsi untuk tempat blanko. Kuvet kedua
berfungsi untuk tempat sampel. Sampel kemudian diukur absorbansinya. Pengukuran
absorbansi hendaknya dimulai dari sampel yang konsentrasinya kecil agar tidak
mempengaruhi pengukuran konsentrasinya lainnya. Setiap akan mengganti sampel
dengan konsentrasi yang berbeda, kuvet hendaknya dibilas dengan larutan sampel agar
tidak ada sisa sampel yang sebelumnya yang dapat mempengaruhi nilai dari absorbansi.
Setelah dilakukan pengukuran absorbansi dengan berbagai variasi konsentrasi
senyawa baku, maka dari data yang ada dibuat persamaan regresi linearnya. Persamaan
regresi linear yang didapat dari hasil pengukuran adalah y = 0,0674x + 0,0414 Persamaan

16
regresi linear yang didapat ini nantinya digunakan untuk mencari konsentrasi tablet
ofloxacin yang telah diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV.
Pada uji disolusi ini diakukan pengujian terhadap kadar tablet ofloxacin. Pada
etiket dicantumkan berat ofloxacin sebanyak 400 mg. Setelah semua cuplikan sampel
diukur absorbansinya, maka hasil absorbansi yang didapat diplotkan ke dalam persamaan
regresi linier untuk dicari konsentrasi pada masing-masing cuplikan. Hasil yang didapat
adalah konsentrasi pada menit 5 sebesar 3,24 μg/ml, pada menit 10 sebesar 4,94 μg/ml,
pada menit 15 sebesar 6,18 μg/ml, pada menit ke 30 sebesar 6,44 μg/ml, pada menit ke
45 sebesar 6,62 μg/ml dan pada menit ke 60 sebesar 6,68 μg/ml.
Dari hasil didapat kadar piroksikam pada menit ke 5 adalah 2,93 mg dengan %
terdisolusi 0,73%. Pada menit ke 10 diperoleh kadar sebesar 4,48 mg dengan %
terdisolusi 1,12% Kemudian pada menit ke 15 diperoleh kadar 5,63 mg dengan %
terdisolusi 1,40% Pada menit ke 30 kadar 5,9 mg dengan % terdisolusi 1,48% Menit 45
kadar menjadi 6,09 mg dan dengan % terdisolusi 1,52% waktu menit 60 kadar yang
didapatkan adalah 6,18 mg dan % terdisolusi nya 1,54%. Terjadi peningkatan kadar juga
peningkatan dari % terdisolusinya,
Persyaratan disolusi tablet ofloxacin yaitu sudah harus larut lebih dari 80%
sebelum menit ke 30 berdasaran united states pharmacopeia edisi 32 tahun 208. dimana
dapat kita liat dari hasil percobaan ini tidak memenuhi persyaratan disolusi tablet
ofloxacin karena menit ke 15 berada pada % disolusi dibawah 80% yaitu 1,40%.
Faktor-faktor kesalahan yang mungkin mempengaruhi hasil yang diperoleh antara
lain :
 Suhu larutan disolusi yang tidak konstan.
 Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet beberapa ml.
 Terjadi kesalahan pengukuran pada waktu pengambilan sampel menggunakan
pipet volume.
 Terdapat kontaminasi pada larutan sampel.
 Ketidaktepatan pembuatan larutan paracetamol standar
 Pengenceran larutan sampel yang tidak akurat
 Ketidaktepatan penimbangan
 Kesalahan pembacaan pada penggunaan spektrofotometer

17
 Faktor lingkungan

VI. Kesimpulan
- panjang gelombang maksimum untuk ofloxacin adalah 294 nm, Persamaan regresi
yang di dapat :
Y= 0,0674x + 0,0414
R² = 0,9992
- Dari hasil pengujian semua persentase kandungan tablet termasuk dalam range yang
ditetapkan Farmakope.
- Disolusi obat adalah suatu proses hancurnya obat (tablet) dan terlepasnya zat-zat
aktif dari tablet ketika dimasukkan ke dalam saluran pencernaan dan terjadi kontak
dengan cairan tubuh.
- Agar suatu obat dapat masuk ke dalam sirkulasi darah dan menghasilkan efek
terapeutik, obat tersebut tentunya harus memiliki daya hancur yang baik dan laju
disolusi yang relatif cukup cepat.
- Dari hasil uji disolusi yang diperoleh tidak memenuhi persyaratan disolusi tablet
ofloxacin karena menit ke 15 berada pada % disolusi dibawah 80% yaitu 1,40%
yang seharusnya Persyaratan disolusi tablet ofloxacin yaitu sudah harus larut lebih
dari 80% sebelum menit ke 30
- Adapun ketidak sesuaian hasil praktikum ini dengan literatur, hal ini disebabkan
beberapa faktor kesalahan antara lain yaitu kesalahan dalam melakukan uji disolusi,
suhu yang tidak tepat, dan pengamatan yang kurang teliti

18
VII. Daftar Pustaka

Ansel, C Howard. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.

Ditjen POM, 1979, Farmakope Indonesia Edisi III, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.

Lachman, Leon. 1994.Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jilid III.Edisi III. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.

Martin, Alfred . 1990 . Farmasi Fisika Edisi I . Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Roth, Hermann, J . 1988 . Analisis Farmasi . Yogyakarta : UGM-Press

Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika Terapan.


Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti    Sjamsiah, Apt. Surabaya :
Airlangga University Press.

Voigt, 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : Universitas Gadjah


Mada   Press. .

19

Anda mungkin juga menyukai