LAPORAN
PRAKTIKUM BIOFARMASI - FARMAKOKINETIKA
ANALISIS BIOEKIVALEN (BE) IN VITRO :
UJI DISOLUSI TERBANDING
Hari / Tanggal Praktikum : Rabu, 27 Februari 2019
Tanggal Laporan : Rabu, 6 Maret 2018
Kelompok / Kelas : I / Konversi 2018
Laporan Ke :1
I. TUJUAN
Mempelajari tentang profil disolusi berbagai obat generik yang sudah
beredar dan membandingkan kemiripan bioekivalen (BE) antar obat generik
tersebut dengan inovator.
II. PRINSIP
Berdasarkan nilai F2 (faktor similaritas) sama dengan 50 atau lebih besar 50
sampai 100 menunjukan kesamaan atau ekivalensi kedua kurva yang berarti
kemiripan profil disolusi kedua produk dan nilai F1 (faktor perbedaan) atau nilai
lebih kecil dari 15 (nilai rentang 0 sampai 15) menunjukkan perbedaan antara
kedua produk dengan menggunakan metode uji disolusi terbanding UDT.
III. TEORI
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting
artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat
tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan
obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat, seperti
kapsul, tablet atau salep (Ansel, 1985).
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam
cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara
oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-
partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus.
Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau
medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan
dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukan ke dalam beaker glass
yang berisi air atau dimasukan ke dalam saluran cerna (saluran gastrointestinal),
obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padanya. Kalau tablet
tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi
granul-granul, dan granul-granul mengalami pemecahan menjadi partikel halus.
Disintegrasi, deagregrasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan
melepasnya suatu obat di tempat obat tersebut diberikan (Martin, 2008).
Sejumlah metode untuk menguji disolusi dari tablet dan granul secara in
vitro dapat digunakan metode keranjang dan dayung. Uji hancur pada suatu tablet
didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah menjadi partikel- partikel
kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan
berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji
hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah
kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan bahwa partikel-
partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang
seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi
hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang
diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju
larut obat dalam tablet (Martin, 2008).
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obat
dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat
berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas
dari berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu
tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila berada di saluran cerna,
menjadi minat utama dari para ahli farmasi (Martin, 2008). Agar suatu obat
diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam cairan pada tempat
absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam bentuk
tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel- partikel obat larut dalam
cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana
kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat
tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus.
Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna,
obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet
tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi
granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-
partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara
serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut
diberikan (Martin, 1993).
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau reaktivitas
partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami dua langkah
berturut-turut (Gennaro, 1990):
a. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap
atau film disekitar partikel.
b. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika
obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju
obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus-
menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat
lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang
diberikan , proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan
laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa
diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya
diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi setelah
pemberian oral, karena batasan waktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam
lambung atau saluran usus halus (Martin, 1993).
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada
kenyataan bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan berhubungan
dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur
hanya waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang
ditetapkan dan lewatnya partikel melalui saringan. Uji ini tidak memberi jaminan
bahwa partikel-partilkel tersebut akan melepas bahan obat dalam larutan dengan
kecepatan yang seharusnya. Untuk itulah sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji
dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet (Martin, 1993).
Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet
diperoleh dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa
penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan
untuk merencanakan, melakukan, dan mengitepretasi; tingginya keterampilan
yang diperlukan bagi pengkajian pada manusia; ketepatan yang rendah serta
besarnya penyimpangan pengukuran; besarnya biaya yang diperlukan; pemakaian
manusia sebagai obyek bagi penelitian yang “nonesensial”; dan keharusan
menganggap adanya hubungan yang sempurna antara manusia yang sehat dan
tidak sehat yang digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in
vitro dipakai dan dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai
untuk mengukur bioavabilitas obat, terutama pada penentuan pendahuluan dari
faktor-faktor formulasi dan berbagai metoda pembuatan yang tampaknya akan
mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji in vitro, sangat penting untuk
menghubungkan uji disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro (Ansel, 1989).
Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk
menunjukkan (Ansel, 1989):
1. Pelepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%.
2. Laju pelepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju
penglepasan dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif
secara klinis.
Suplemen 3 dari USPXX/NFXV menetapkan bahwa salah satu dari dua alat
yang dicantumkan harus digunakan dalam pada penentuan laju larut (laju
disolusi). Toleransi uji dinyatakan sebagai persen jumlah atau kadar di etiket obat
dari obat yang larut selama batas waktu. Tes kecepatan melarut telah didesain
untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke
dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat
memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch” satu ke
“batch” lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan
melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan
ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Ansel, 1989).
Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi
tahap pembatasan kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat
ada dalam saluran cerna, mama terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan
kecepatan zat aktif tersebut, yaitu (Martin, 2008):
1. Zat aktif mula-mula harus larut.
2. Zat aktif harus dapat melewati membran saluran cerna.
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis
yang penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi
telah masuk persyaratan wajib USP untuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak
tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi disolusi in vivo dengan
disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien
terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat memberikan
informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk (Martin, 2008).
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi in vitro untuk mengevaluasi dan
menggambarkan disolusi dan absorbsi in vitro bertujuan (Martin, 2008):
1. Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada
dalam model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo
apabila dikembangkan suatu model yang berhasil meniru situasi invivo.
2. Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan
sifat disolusi dan absorbsinya sesuai.
3. Sistem uji disolusi in vitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian
mutu untuk produk akhir.
4. Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda
dari bentuk sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan
ketersdiaan hayati telah ditetapkan.
5. Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan
manufaktur.
6. Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat
disolusi zat aktif yang baru.
7. Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat
sistem invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh
karena itu keuntungan dalam biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat
diberikan dengan penggunaan sistem.
V. PROSEDUR
5.1. Pembuatan Dapar Fosfat
Dicampur 250 mL kalium fosfat monobasa 0,2 M dengan 112 mL NaOH
0,2 N kemudian diencerkan dengan air hingga 1000 mL.
b. NaOH 0,2 N
𝑔𝑟𝑎𝑚 1000
0,2 = 𝑥
𝑀𝑟 𝑉
𝑔𝑟𝑎𝑚 1000
0,2 = 𝑥
40 112
0,2𝑥 40𝑥112
𝑔𝑟𝑎𝑚 =
1000
= 0, 896 𝑔𝑟𝑎𝑚 ~ 0,9 𝑔𝑟𝑎𝑚
0.3
0.2
0.1
0
0 1 2 3 4 5
6.3 Hasil Uji Disolusi Terbanding
a. Panadol
mg Terdisolusi vs Waktu
PANADOL
30.00
25.00
mg Terdisolusi
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
0 10 20 30 40 50
Timepoint
b. Fasidol
mg Terdisolusi vs Waktu
FASIDOL
30.00
25.00
mg Terdisolusi
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
0 10 20 30 40 50
Timepoint
c. Emturnas
Mg Terdisolusi vs Waktu
EMTURNAS
30.00
25.00
mg Terdisolusi
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
0 10 20 30 40 50
Timepoint
Panadol - Fasidol
6.000
5.000
4.000
%Terdisolusi
3.000
2.000
1.000
0.000
0 10 20 30 40 50
Timepoint
b. Panadol – Emturnass
Panadol - Emturnas
6.000
5.000
%Terdisolusi
4.000
3.000
2.000
1.000
0.000
0 10 20 30 40 50
Timepoint
6.5 Persen (%) Terdisolusi Panadol Berbagai Dapar dari Beberapa Kelas
PERBANDINGAN % TERDISOLUSI
Kelas A Kelas B Kelas C Kelas Sore Kelas Konversi
200
150
100
50
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Keterangan :
a. Kelas A : Dapar HCl pH 0,1
b. Kelas B : Dapar Fosfat pH 6,8
c. Kelas C : Dapar Asetat pH 5
d. Kelas Sore : Dapar HCl pH 1,2
e. Kelas Konversi : Dapar Fosfat pH 6,8
VII. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini dilakukan uji disolusi terbanding antara tablet
parasetamol innovator dan generiknya. Tablet inovator yang digunakan adalah
Panadol dan generiknya adalah Fasidol dan Emturnas. Uji disolusi pada tablet
parasetamol dilakukan menggunakan alat uji disolusi tipe II pada kecepatan 50
rpm, dengan volume media 900 ml larutan dapar pH 5,8. Syarat uji disolusi tablet
parasetamol adalah Q30 = 80% atau dalam waktu 30 menit harus larut tidak
kurang dari 80% dari jumlah yang tertera pada etiket (Depkes, 2014). Tujuan dari
praktikum ini yaitu untuk mengetahui perbedaaan disolusi dari berbagai produk
parasetamol yang sudah beredar dipasaran dan membandingkan kemiripan dari
Panadol, Fasidol dan Emturnas dengan pH yang berbeda dari literatur yaitu dapar
fosfat pH 6,8 dan untuk mengetahui pengaruh perbedaan dapar HCl 0,1 M dan
dapar fosfat 6,8 terhadap hasil kadar obat yang terdisolusi (%).
Uji disolusi ini sebagai parameter dalam pengembangan mutu sediaan obat
yang didasarkan pada pengukuran kecepatan pelepasan dan pelarutan zat aktif dari
sediaannya. Uji disolusi digunakan untuk uji bioavailabilitas secara in vitro,
karena hasil uji disolusi berhubungan dengan ketersediaan hayati obat dalam
tubuh (Banakar, 1992). Uji disolusi penting sebagai (1) petunjuk untuk
pengembangan formulasi dan produk obat, (2) kontrol kualitas selama proses
produksi, (3) memastikan kualitas bioekuivalen in vitro antar batch, dan (4)
regulasi pemasaran produk obat (Ansel dan Allen, 2005).
Sebelum melakukan pengujian, dibuat kurva baku parasetamol dengan
berbagai konsentrasi hingga diperoleh nilai regresi linier 0,9993 dengan
persamaan y = 0,1394x – 0,0887. Kurva baku merupakan standar dari sampel
tertentu yang dapat digunakan sebagai pedoman ataupun acuan untuk sampel
tersebut. Pembuatan kurva standar bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
konsentrasi larutan dengan nilai absorbansinya sehingga konsentrasi sampel dapat
diketahui. (Underwood, 1990)
Pengujian dilakukan dengan memasang wadah disolusi kemudian
dimasukkan larutan dapar fosfat. Volume media disolusi yang digunakan
sebanyak 900 ml lebih besar dari volume yang diperlukan untuk melarutkan obat
secara sempurna agar media tidak jenuh dengan obat. Dapar yang digunakan yaitu
dapar fosfat pH 6,8, hal ini sesuai dengan simulasi cairan intestinal tanpa enzim.
Suhu pada dissolution tester dipastikan mencapai 37˚C, hal ini sesuai dengan suhu
fisiologis tubuh manusia dan atur putaran dayung dengan kecepatan putaran 50
rpm karena setara dengan kecepatan gerak peristaltik usus. Fungsi adanya
pengadukan dengan dayung akan mempertipis stagnant layers yang terbentuk
serta akan memperluas permukaan partikel yang kontak dengan pelarut sehingga
berdampak pada peningkatan kecepatan pelarutan obat (Shargel, 2004). Alat yang
digunakan pada uji disolusi kali ini berbentuk dayung yang terletak tepat di
tengah-tengah media agar tidak terjadi turbulensi aliran. Tinggi dasar dayung ke
dasar media adalah 2,5 cm tujuannya untuk memperkecil kemungkinan tablet
melayang antara dasar media dengan dasar dayung bergesekan dengan alat uji.
Pada praktikum, cuplikan diambil sebanyak 5 ml dan segera diganti dengan
5 ml larutan dapar fosfat pH 6,8. Hal ini bertujuan untuk tetap menjaga sink
condition pada larutan. Sink condition adalah suatu istilah yang merujuk pada
suatu volume media yang berlebih yang memungkinkan obat padat untuk melarut
secara terus-menerus. Jika larutan obat menjadi jenuh, pelarutan obat lebih lanjut
tidak akan terjadi (Shargel, 2004).
Pengujian dilanjutkan dengan pengambilan cuplikan setiap 5 menit hingga
menit ke-45, Pada 5 menit pertama, pengambilan cuplikan dilakukan setiap per-1
menit. Hal ini bertujuan untuk mengetahui waktu tercepat yang diperlukan obat
untuk terdisolusi. Pengujian dilebihkan 15 menit untuk memastikan hingga 45
menit obat telah terdisolusi, kemudian dilanjutkan dengan pengecekan
spektrofotometer UV-Vis untuk mendapatkan absorbansi, karena Parasetamol
memiliki gugus kromofor sehingga dapat dideteksi dengan spektrofotometer
(Sudjadi dan Rohman, 2012).
Dari pengecekan hasil absorbansi pada setiap interval waktu dimasukkan
kedalam persamaan regresi linier, sehingga didapatkan kadar zat aktif dalam ppm,
dan perhitungan dilanjutkan hingga didapatkan persen terdisolusi. Pengujian
disolusi terbanding dilakukan pada obat Panadol, Fasidol, dan Emturnas pada
media dapar fosfat 6,8.
Perbandingan profil disolusi in vitro dapat menggunakan parameter
similarity factor (f2) dan difference factor (f1). Parameter f2 dapat
menggambarkan kedekatan antara dua produk dan merupakan metode paling
sederhana untuk menginvestigasi perbandingan profil disolusi. Difference
factor atau f1 terfokus pada selisih antara persen disolusi antara produk uji dan
pembanding pada interval waktu tertentu (Shargel, 2004).
Berdasarkan data pengamatan, bioekivalensi antara Fasidol (generik)
terhadap tablet Panadol (innovator) didapatkan f1 sebesar 10,023 dan f2 sebesar
80,794, hal ini menujukkan f1 masuk kedalam rentang yang dipersyaratkan yaitu
kurang dari 15% dimana pada selisih antara persen disolusi antara produk uji
dan pembanding pada interval waktu tertentu tidak jauh berbeda, dan f2 masuk
ke dalam rentang yang dipersyaratkan yaitu 50-100 dimana menggambarkan
kedekatan profil disolusi antara Panadol dan Fasidol. Pada kurva persen
terdisolusi antara Panadol dan Fasidol menujukkan adanya kemiripian dari kurva
yang terbentuk atau hampir sejajar sehingga nilai f1 dan f2 memenuhi syarat.
Pengujian bioekivalensi antara Emturnas (generik) terhadap tablet Panadol
(innovator) didapatkan f1 sebesar 16,623 dan f2 sebesar 70,214, hal ini
menujukkan f1 tidak memenuhi rentang yang dipersyaratkan atau selisih antara
persen disolusi antara produk uji dan pembanding pada interval waktu
tertentu berbeda. Sedangkan f2 masuk ke dalam rentang yang dipersyaratkan
yaitu 50-100. Pada menit ke 0-5, kurva persen terdisolusi antara Panadol dan
Emturnas menujukkan adanya perbedaan profil sehingga nilai perbedaan (f1) tidak
memenuhi syarat. Ada banyak faktor yang dapat menjadi penyebab perbedaan
profil disolusi antara obat innovator dan generiknya, antara lain formulasi, cara
pembuatan tablet, jumlah dan jenis eksipien yang dipakai (Jones, 2008).
Data pengujian dilanjutkan dengan membandingkan persen terdisolusi
Panadol berbagai dapar, yaitu dapar fosfat pH 6,8 dari dua kelompok , dapar HCl
pH 0,1, dapat HCl pH 1,2, dan dapar Asetat pH 5. Pada persen terdisolusi Panadol
pada dapar HCl pH 0,1, Q30-nya sebesar 96,75% atau pada menit ke-30 Panadol
telah terdisolusi sebesar 96,75%, hal ini menujukkan bahwa tablet Panadol sesuai
dengan pengujian kadar terdisolusi Tablet Paracetamol pada Farmakope yaitu Q30
= 80%.
Data selanjutnya membandingkan persen terdisolusi tablet Panadol pada
dapar fosfat pH 6,8 antara dua kelompok. Pada kelompok pengujian pertama Q30
sebesar 5,709% yang tidak memenuhi syarat sedangkan pada kelompok pengujian
kedua Q30 sebesar 81,21% memenuhi syarat.Pada Panadol dengan media HCl pH
1,2, Q30-nya sebesar 187.89% sehingga kadar ini tidak memenuhi syarat karena
melebihi 80%, selanjtunya dengan media dapar Asetat pH 5, Q30-nya sebesar
1.94% sehingga tidak memenuhi syarat.
Perbedaan ini dapat dikarenakan kurva baku yang digunakan pada
kelompok pengujian Panadol dengan media dapar fosfat 6,8 kelas konversi terlalu
sempit sehingga pada pengujian dengan absorbansi yang terlalu kecil maupun
terlalu besar tidak masuk ke dalam rentang kurva baku. Pada uji disolusi dengan
pelarut HCl pH 0,1. Pada suasa asam kuat, parasetamol akan terhidrolisis menjadi
asam asetat dan p-aminophenol sehingga hal ini menyebabkan Q30-nya pada
medium HCl pH 0,1 menjadi lebih besar dibandingkan dengan medium dapar
fosfat.
VIII. KESIMPULAN
Uji disolusi terbanding bertujuan untuk membandingkan profil disolusi
antara tablet innovator yaitu Panadol dan dengan tablet generiknya yaitu Fasidol
dan Emturnass. Pada uji disolusi terbanding Fasidol terhadap Panadol
menunjukkan adanya similaritas, sedangkan pada Emturnas terhadap Panadol
menunjukkan faktor perbedaannya tidak masuk kedalam syarat sedangkan faktor
similaritasnya masuk kedalam rentang syarat. Pada pengujian Q30 tablet Panadol
memenuhi syarat pada dapar Fosfat pH 6,8 kelas B yaitu Q30 sebesar 81,21%
sedangkan pada dapar HCl pH 0,1 dan pH 1,2 kadarnya melebihi 80%, dan pada
dapar asetat pH 5 dan dapar fosfat pH 6,8 kelas konversi Q30-nya kurang dari
80%.
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C., dan Allen, L.V. 2005. Ansel’s Pharmaceutical Dosage Form and
Drug Delivery System 8th Ed. Philadelphia : Lippincot Williams and
Wilkins
Ansel, Howard C.. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi . Jakarta: UI Press.
Ansel, H. C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Empat. Jakarta:
UI Press.
BPOM, 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI
Nomor HK.00.05.3.1818 tentang Pedoman Uji Bioekivalensi. Jakarta :
BPOM
Departemen Kesehatan RI. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI
Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi ke IV. Jakarta Hal. 648-651
Genaro, R. A. 1990. Remington’s Pharmaceutical Science Edisi 18. USA: Macle
Printing Company.
Jones, D. 2008. Pharmaceutics – Dosage Form and Design. London:
Pharmaceutical Press
Martin, A., J. Swarbrick, dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik: Dasar-dasar
Farmasi Fisik dalam Ilmu Farmasetik. Edisi Ketiga.Penerjemah: Yoshita.
Jakarta: UI-Press.
Martin, A. 2008. Farmasi Fisika Dasar-Dasar Farmasi Fisik dalam Ilmu
Farmasetik Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta : UI Press
Munson, J.W. (1984). Pharmaceutical Analysis Modern Methods. Penerjemah:
Harjana. (1991). Analisis Farmasi Metode Modern. Surabaya: Airlangga
University Press..
Shargel, L. 2004. Generic Drug Product Development : Solid Oral Dosage Form.
New York : Marcel Dekker Inc
Sudjadi., dan Rohman, A. (2008). Analisis Kuantitatif Obat. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press. Hal. 49-51
Sudjadi, dan Rohman, A. 2012. Analisis Farmasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tarigan, E.A. 2013. Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Pt. Clinisindo
Laboratories Jl. Ulujami Raya No 12 Jakarta Selatan
Periode 1 Maret – 30april 2013
Underwood, A.L. 1990. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta : Penerbit Erlangga
LAMPIRAN
mg
Time Mg faktor Terdisolusi
PPM % terdisolusi
point terdisolusi koreksi (setelah
dikoreksi)
0 0.39 0.35 0.00 0.35 0.07
1 14.43 12.99 0.07 13.06 2.61
2 77.47 69.72 0.39 70.18 14.04
3 147.20 132.48 0.74 133.67 26.73
4 238.49 214.64 1.19 217.03 43.41
5 348.23 313.41 1.74 317.54 63.51
10 408.38 367.54 2.04 373.71 74.74
15 434.02 390.62 2.17 398.96 79.79
20 511.92 460.73 2.56 465.45 93.09
25 483.80 435.42 2.42 448.74 89.75
30 433.96 390.57 2.17 406.06 81.21