Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

ABSORPSI OBAT SECARA IN VITRO

Hari / Jam Praktikum : Rabu / 13.00-16.00

Tanggal Praktikum : 10 Maret 2021

Kelompok :1

Asisten : 1. Nadira Hasna Putri Gunawan

2. Nurul Afrianti Yusuf

Nama Anggota NPM Tugas


Sunani 260110180002 Perhitungan
Maya Andani 260110180003 Teori Dasar
Asilla Mauri R.K 260110180004 Editor, Tujuan, Prinsip
Nyai Ayu S.S.P.H 260110180005 Hasil, Data Pengamatan
Kaila Keyshia M 260110180006 Pembahasan
Nisrina Nurfadilah 260110180007 Pembahasan
Yunitasya Guspira 260110180008 Alat, Bahan, Prosedur
Anugerah Yu’tika 260110180009 Pembahasan
Grace Natasya H 260110180010 Perhitungan
Kurniawati Rahayu 260110180011 Teori Dasar

LABORATORIUM TEKNOLOGI DAN FORMULASI

FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR

2021
I. Tujuan

Mempelajari pengaruh pH terhadap absorpsi obat melalui saluran


pencernaan secara in vitro

II. Prinsip

2.1. Absorpsi Obat

Proses senyawa obat dipindahkan dari tempat absorpsinya ke


dalam sirkulasi sistemik. Proses ini tergantung pada karakteristik
tempat absorpsi, aliran darah di tempat absorpsi, sifat fisiko-kimia
obat dan karakteristik produk (bentuk sediaan) (Aslam et al, 2003).

2.2. Derajat Ionisasi

Derajat ionisasi merupakan n banyaknya obat yang dapat terionkan


saat dilarutkan dalam pelarut. Derajat ionisasi ini ditentukan oleh
sifat asam-basa dari pelarutnya. Untuk obat yang memiliki sifat
asam lemah maka akan lebih banyak terionisasi dalam kondisi basa
dan begitupun sebaliknya (Ikawati, 2009).

2.3. Persamaan Handerson-Hasselbalch

Persamaan ini dapat digunakan untuk menghitung perbandingan


jumlah terion dan tak terion suatu senyawa asam lemah atau basa
lemah pada pH tertentu. Menurut persamaan ini senaya yang
bersifat asam lemah akan memiliki bentuk tak terion lebih banyak
pada pH lingkungan yang asam, sedangkan pada pH basa jumlah
bentuk tak terion akan menurun (Avis et al., 1992).
2.4. Difusi Pasif

Difusi merupakan proses perpindahan suatu massa molekul zat oleh


gerakan molekular secara acak yang berhubungan dengan perbedaan
konsentrasi aliran molekul melalui suatu pembatas (Martin et al.,
1993). Molekul obat umumnya berdifusi secara pasif yaitu dari
daerah konsentrasi tinggi (cairan gastrointestinal) ke daerah dengan
konsentrasi rendah (darah) (Swarbrick, 1970).

III. Teori Dasar

Absorbsi obat merupakan suatu proses pergerakan obat dari


tempat pemberian kedalam sirkulasi umum di dalam tubuh. Absorbsi
obat dari saluran pencernaan kedalam darah umumnya terjadi setelah
obat tersebut larut dalam cairan di sekeliling membrane tempat terjadinya
absorbsi. Absorbsi obat akan lebih baik jika obat tersebut memiliki
kelarutan yang baik dalam lemak. Faktor utama yang dapat
mempengaruhi absorbsi obat adalah karakteristik sifat fisika kimia
molekul obat, property dan komponen cairan gastrointestinal serta sifat
membrane absorbsi (Banker dan Rhodes, 2002). Menurut Noviani dan
Nurliawati (2017), obat yang diadministrasikan melalui rute intravena
tidak mengalami proses absorpsi. Menurut Hukum Fick tentang difusi
senyawa melalui membran, transport obat melalui membran usus hanya
dipengaruhi oleh faktor luas permukaan, permeabilitas, gradien
konsentrasi, dan tebal membran (Won dan Ramkrishna, 2019).

Studi in-vitro merupakan teknik yang dilakukan dengan


melakukan prosedur pengujian pada kondisi yang terkontrol. Pengujian
in-vitro dilakukan diluar tubuh dari mahluk hidup (Purnama dan Soraya,
2016). Metode uji absorpsi per oral yang telah dikembangkan dan
diaplikasikan adalah metode usus terbalik. Pada pengujianya digunakan
hewan uji tikus, lebih tepatnya dilakukan pada segmen usus sepanjang
20 cm. Penggunaan usus tikus sebagai membran uji transport obat secara
in vitro tidak dapat terhindarkan, karena relatif murah dan mudah
diperoleh, sehingga sangat efisien. Variasi panjang usus dapat
dipengaruhi oleh faktor fisik seperti berat badan tikus, namun tidak
disebutkan bahwa hal ini akan menyebabkan perbedaan ketebalan usus
secara signifikan, khususnya pada segmen usus yang masih sama, misal
pada jejunum. Perbedaan signifikan mungkin terjadi antara segmen yang
berbeda, misal antara duodenum, jejunum, dan ileum. Sebelum
dilakukan pengujian, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 20-24 jam
dengan hanya diberikan air masak (Natalijah, 2020).

Absorpsi suatu obat dapat ditentukan dengan beberapa metode,


antara lain metode in-vitro, metode in-situ, dan metode in-vivo
(Ganiswara, 1999). Studi in-vitro merupakan teknik yang dilakukan
dengan melakukan prosedur pengujian pada kondisi yang terkontrol.
Pengujian in-vitro dilakukan diluar tubuh dari makhluk hidup (Purnama
dan Soraya, 2016). Saat pengujian secara in vitro menggunakan metode
usus terbalik, maka digunakan usus yang memiliki panjang 20 cm, lalu
akan dibagi dua yaitu 10 cm untuk pengujian sampel dan 10 cm untuk
kontrol blanko (Natalijah, 2020). Pada metode in-situ, dibuat lubang pada
usus sebagai tempat kanula. Metode ini digunakan untuk mempelajari
berbagai faktor yang berpengaruh terhadap permeabilitas dinding usus
(Ganiswara, 1999). Oleh karena itu, absorpsi secara in situ ini
berdasarkan atas penentuan kecepatan hilangnya obat dari lumen usus
halus setelah larutan obat dengan kadar tertentu dilewatkan melalui
lumen usus halus secara perfusi dengan kecepatan tertentu. Cara ini
dikenal dengan teknik perfusi, karena usus dilubangi untuk masuknya
ujung kanal, satu kanal di bagian ujung atas usus untuk masuknya sampel
cairan percobaan dan bagian bawah untuk keluarnya cairan tersebut
(Nurahmanto et al, 2013).
Obat yang diabsorbsi tidak semuanya mencapai sirkulasi
sistemik, sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus atau
mengalam first pass metabolism or elimination. Obat yang demikian
mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun
absorbsi senyara oral mungkin hampir sempurna. Dengan demikian
istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan, kelengkapan absorbsi
sekaligus metabolisme sebelum mencapai sirkulasi sistemik
(Ganiswarna, 2007).
Pada umumnya obat memilika sifat asam lemah atau basa lemah.
Obat-obat yang bersifat asam lemah umumnya tidak akan terion pada
cairan lambung (asam) dan hampir semua akan terion pada cairan usus
(basa). Sebaliknya untuk obat-obat yang bersifat basa lemah maka tidak
akan terion pada cairan usus (basa) dan akan terion pada cairan lambung
(asam) (Aulton, 2002).
Proses absorbsi suatu obat dapat dipengaruhi oleh derajat ionisasi
obat tersebut saat berhadapan dengan membrane. Membrane sel akan
lebih permeabel pada obat yang memiliki sifat terionkan dibandingkan
dengan bentuk obat terionkan. Derajat ionisasi suatu obat bergantung
pada pH suatu larutan dan pKa obat tersebut. Hal ini dapat dilihat pada
persamaan Henderson-Hasselbalch, yaitu:

(Senozan, 2001).
IV. Alat dan Bahan

4.1. Alat
a. Alat sentrifugasi
b. Batang pengaduk
c. Cuvet
d. Gelas beaker
e. Gelas ukur
f. Kaca arloji
g. Magnetic stirrer
h. Spatel
i. Spektrofotometri UV
j. Syringe
k. Tabung Crane dan Wilson
l. Tabung sentrifugasi
m. Timbangan analitik
n. Vial

4.2. Bahan
a. Alkohol
b. Ba(OH)2
c. Cairan lambung buatan tanpa pepsin (pH 1,2)
d. Caiiran usus buatan tanpa pankreatin (pH 7,5)
e. Eter
f. Gas oksigen
g. NaCl 0,9% b/v
h. Paracetamol
i. Usus tikus putih jantan
j. ZnSO4
V. Prosedur

Hewan percobaa dipuasakan selama 20-24 jam, tapi diberi


minum air masak. Tikus dibunuh dengan eter, kemudian dibuka
perutnya di sepanjang linea mediana dan usus dikeluarkan. Usus
sepanjang 15 cm dibawah pylorus dibuang dan 20 cm dibawahnya
dipotong untuk percobaan.
Usus dibagi dua bagian sama panjang, kemudian dibersihkan.
Bagian anal digunakan sebagai kontrol. Ujung anal dari potongan usus
tersebut diikat dengan benang, kemudian dengan menggunakan batang
gelas yang berdiameter 2 mm usus tersebut dibalik, sehingga bagian
mukosa terletak di luar. Kanula dimasukkan ke ujung oral dari usus
yang belum terikat.
Usus diukur dengan panjang efektif 7 cm yang sebelumnya diisi
dengan cairan serosal 1,4 ml yang terdiri dari larutan natrium klorida
0,9 % b/v. Kantong usus yang sudah diisi cairan serosal ini dimasukkan
ke dalam tabung yang sudah diisi cairan mucosal 75 ml (yang
mengandung bahan obat) pada suhu 37° C. Kantong usus untuk kontrol
dilakukan dengan cara yang sama, tetapi dengan menggunakan cairan
mucosal tanpa obat. Selama percobaan berlangsung, seluruh bagian
usus dijaga agar dapat terendam dalam cairan mucosal dan selalu dialiri
gas oksigen dengan kecepatan kira-kira 100 gelembung per menit.
Pada waktu tertentu kadar obat dalam cairan serosal ditentukan.
Untuk penentuan ini seluruh cairan serosal diambil melalui kanula dan
segera dicuci dengan larutan 0,9 % b/v natrium klorida, kemudian diisi
lagi dengan 1,4 ml larutan 0,9 % b/v natrium klorida.
Cara analisisnya dengan diambil 1 ml sampel kemudian
ditambah dengan 2 ml larutan seng sulfat 5 % dan 2 ml barium
hidroksida 0,3 N. Larutan dikocok dan dipusingkan selama 5 menit.
Ambil bagian yang jernih, kemudian dibaca pada panjang gelombang
maksimum.
VI. Data Pengamatan dan Hasil

6.1. Data Pengamatan

No Perlakuan Hasil

a. Penentuan Absorpsi pada Usus Halus Tikus

1. Disiapkan alat dan bahan yang Alat dan bahan yang


akan digunakan. digunakan telah siap.

2. Dipuasakan hewan percobaan Tikus telah dipuasakan.


selama 20-24 jam namun tetap
diberi minum air masak.

3. Tikus dibunuh dengan Didapat usus tikus


menggunakan eter, kemudian sepanjang 20 cm.
dibuka perutnya di sepanjang
linea mediana dan usus
dikeluarkan. Usus sepanjang 15
cm dibawah pylorus dibuang
dan 20 cm di bawahnya
dipotong untuk percobaan.
4. Usus dibagi dua bagian sama Didapatkan usus yang
panjang kemudian dibersihkan telah dibalik dengan
Bagian anal digunakan sebagai bantuan batang gelas
kontrol. Ujung anal dari atau dapat digunakan
potongan usus tersebut diikat isi pulpen.
dengan benang, kemudian
dengan menggunakan batang
gelas yang berdiameter 2 mm
usus tersebut dibalik, sehingga
bagian mukosa terletak di
luar.Kanula dimasukkan ke
ujung oral dari usus yang belum
terikat.

5. Usus diukur dengan panjang Didapatkan kantong


efektif 7 cm yang sebelumnya usus yang berada di
diisi dengan cairan serosal 1,4 dalam waterbath
ml yang terdiri dari larutan dengan suhu 37° C.
natrium klorida 0,9 % b/v.
Kantong usus yang sudah diisi
cairan serosal ini dimasukkan
ke dalam tabung yang sudah
diisi cairan mukosal 75 ml
(yang mengandung bahan obat)
pada suhu 37° C. Kantong usus
untuk kontrol dilakukan dengan
cara yang sama, tetapi dengan
menggunakan cairan mucosal
tanpa obat.
6. Ditentukan kadar obat dalam Didapatkan cuplikan
cairan serosal pada waktu sampel cairan serosal
15,30, 45 dan 60 menit. Untuk pada waktu 15,30, 45
penentuan ini seluruh cairan dan 60 menit sebanyak
serosal diambil melalui kanula 1 mL.
dan segera dicuci dengan
larutan 0,9 % b/v natrium
klorida, kemudian diisi lagi
dengan 1,4 ml larutan 0,9 % b/v
natrium klorida.

b. Cara Analisis

1. Diambil 1 ml sampel kemudian Didapatkan cuplikan


ditambah dengan 2 ml larutan sampel cairan serosal
seng sulfat 5 % dan 2 ml barium yang siap untuk di ukur
hidroksida 0,3 N. larutan absorbansinya.
dikocok dan dipusingkan
selama 5 menit. Diambil bagian
yang jernih, kemudian dibaca
pada panjang gelombang
maksimum.
1.1. Hasil

Lag time paracetamol pada pH 1,2 (asam) yaitu 7,62323


menit dan Lag time parasetamol pada pH 7,5 (basa) yaitu 8,48736
menit. Bahan obat yang memiliki lag time kurang dari 15 menit
biasanya tidak menimbulkan masalah pada proses transport
melalui membran biologis. Bahan obat yang memiliki lag time
kurang dari 15 menit biasanya tidak menimbulkan masalah pada
proses transport melalui membran biologi karena obat cepat
dilepaskan dari sediaan dan segera mengalami absorpsi (Shargel,
2005).

Tetapan kecepatan absorpsi (Ka) parasetamol pada pH 1,2


adalah sebesar 0,0284 µg/mm2 menit sedangkan Ka parasetamol
pada pH 7,5 adalah 0,0277 µg/mm2 menit. Tetapan kecepatan
absorpsi (Ka) pada pH 1,2 lebih besar dibanding pada pH 7,5 yang
berarti pada pH 1,2 akan lebih banyak obat yang
ditranspor/absorpsi dibanding pada pH 7,5.

Permeabilitas membran (Pm) pada pH 1,2 adalah 0,01873


mm/detik sedangkan pada pH 7,5 sebesar 0,01827 mm/detik.
Permeabilitas membran pada kondisi pH 1,2 lebih tinggi dibanding
permeabilitas membran (Pm) pada pH 7,5 sehingga dapat
disimpulkan bahwa proses transpor dan absorpsi obat parasetamol
lebih optimal pada pH 1,2.

Paracetamol merupakan obat yang bersifat asam lemah


dengan nilai pKa sebesar 9,38 (NCBI, 2021). Karena parasetamol
bersifat asam maka akan terabsorpsi lebih banyak pada pH
lingkungan asam, karena pada pH tersebut obat bersifat asam tidak
akan terionkan/terionisasi (Bernal et al., 2017). Hal ini sesuai
dengan hasil perhitungan pada percobaan ini, dilihat dari nilai
tetapan kecepatan absorpsi (Ka) serta nilai banyaknya obat yang
ditranspor persatuan luas permukaan tempat absorpsi (Qkum/A)
pada pH 1,2 yang lebih besar dibanding pH 7,5.

II. Pembahasan

Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian terhadap absorpsi obat


parasetamol secara in vitro, yang bertujuan untuk mempelajari
pengaruh pH terhadap absorpsi obat melalui saluran pencernaan secara
in vitro. Metode in vitro merupakan metode yang dilakukan dengan
menggunakan tubuh hewan tetapi dilakukan diluar tubuh hewan uji itu
sendiri. Kondisi luar tubuh ini harus disesuaikan sehingga menyerupai
kondisi seperti berada didalam tubuh hewan uji. Organ tubuh hewan uji
yang digunakan yaitu usus halus dan obat yang digunakan yaitu
parasetamol yang digunakan sebagai obat analgesic. Usus halus
digunakan pada pengujian absorpsi obat karena usus halus memiliki
bentuk yang berlipat-lipat yang memiliki banyak vili dan memiliki luas
permukaan yang luas sehingga proses absorpsi akan berjalan dengan
cepat. Usus halus hewan uji ini perlu dibalik sehingga bagian didalam
usus halus yang mengandung mikrovili tepat dimana absorpsi terjadi
berada di luar.
Paracetamol merupakan obat yang bersifat asam lemah yang
memiliki nilai pKa yaitu 9,38. Sifat asam dari parasetamol ini
menyebabkan parasetamol lebih banyak terabsorpsi pada pH
lingkungan asam karena pada pH tersebut obat yang memiliki sifat
asam tidak akan terionisasi (terionkan). Apabila suatu obat asam lemah
atau basa lemah dalam bentuk yang tidak terionisasi maka obat tersebut
dapat terabsorpsi dengan baik. Selain dalam bentuk yang tidak
terionisasi, obat yang memiliki kelarutan bersifat asam lemak akan
dengan mudah ditembus membrane biologis. Parasetamol ini bersifat
asam lemah sehingga akan terabsorpsi di lambung.
Sebelum percobaan, tikus uji dipuasakan 24 jam untuk menjaga
kondisi usus apabila terdapat sisa makanan yang akan mempengaruhi
pH membran. Pertama-tama tikus dibunuh terlebih dahulu, kemudian
dibuka perutnya di sepanjang linea mediana (linea mediana adalah garis
yang melintas tepat di tengah tubuh dengan arah lintasan atas
bawah/vertikal) dan usus dikeluarkan. Usus sepanjang 15 cm di bawah
pilorus (pilorus adalah daerah atau bagian lambung bawah yang
berhubungan dengan bagian atas duodenum/usus duabelas jari) dibuang
dan 20 cm di bawahnya dipotong untuk percobaan. Usus dibagi dua
bagian sama panjang, kemudian dibersihkan. Ujung anus dari potongan
usus tersebut diikat dengan benang, kemudian dengan menggunakan
pensil kecil usus tersebut di balik secara perlahan agar usus tidak sobek,
sehingga bagian mukosa terletak diluar. Usus yang diperoleh dari
hewan uji yang telah dikorbankan dan dibedah, kemudian dibersihkan
dari kotoran-kotoran yang ada dengan NaCl dan direndam agar fungsi
fisiologisnya tetap berjalan. Usus yang digunakan adalah usus yang
berada 15 cm dibawah bagian pilorus, karena pada bagian ini terjadi
proses absorpsi yang maksimal disebabkan oleh kecilnya kemungkinan
kontaminasi usus oleh cairan lambung.
Kemudian percobaan dilanjutkan dengan menganalisis, persiapan
yaitu dengan menyiapkan 5 tabung centrifuge dan 5 vial sebagai wadah
yang digunakan untuk sampling dan untuk pengukuran
spektrofotometer. Sebelum melakukan sampling tiap menit, pada 5
tabung centrifuge diisi larutan 2 ml Ba(OH)2 dan 2 ml Larutan ZnSO4
5%, Fungsi barium hidroksida dan seng sulfat adalah untuk
mengekstraksi asam salisilat dan memisahkan asam salisilat dari
senyawa-senyawa lain yang mungkin terikut dengan cara di
sentrifugasi, sehingga hanya asam salisilat yang akan dianalisis
menggunakan spektrofotometri UV.
Terdapat data variabel uji berupa kadar awal obat parasetamol yaitu
0,01 M selain itu terdapat data berupa nilai C (konsentrasi) dari sampel
parasetamol pada pH 1,2 dan pada pH 7,5 yang diambil pada waktu 15,
30, 45 dan 60 menit, kemudian dilakukan perhitungan nilai Q yaitu
jumlah obat dalam larutan uji dengan mengkalikan konsentrasi dengan
faktor pengenceran dan didapat nilai Q parasetamol pada pH 1,2 (asam)
berturut turut yaitu 110,838 µg, 197,148 µg, 222,852 µg, dan 233,352
µg. selain itu didapat nilai Q parasetamol pada Ph 7,5 (basa) berturut
turut yaitu 101,598 µg, 181,65 µg, 214,284 µg dan 223,986 µg. Hasil
jumlah obat dalam larutan uji (Q) tersebut digunakan untuk perhitungan
jumlah obat kumulatif pada larutan uji (Qkum) dengan menjumlahkan
nilai Q pada menit tertentu dengan nilai Qkum menit sebelumnya.
Nilai Qkum/A yaitu jumlah obat dalam larutan uji per luas
permukaan usus dengan A=500mm2 pada PH 1,2 (Asam) berturut-turut
yaitu 0,221676 µg/mm2, 0,615972 µg/mm2, 1,061676 µg/mm2, dan
1,49238 µg/mm2. Sedangkan nilai Qkum/A parasetamol pada pH 7,5
(basa) didapatkan berturut-turut yaitu 0,203196 µg/mm2, 0,566496
µg/mm2, 0,995064 µg/mm2, dan 1,443036 µg/mm2 pada menit ke 15,
30, 45, dan 60 menit.
Lag time paracetamol pada pH 1,2 (asam) yaitu 7,62323 menit dan
Lag time parasetamol pada pH 7,5 (basa) yaitu 8,48736 menit. Bahan
obat yang memiliki lag time kurang dari 15 menit biasanya tidak
menimbulkan masalah pada proses transport melalui membran biologis.
Bahan obat yang memiliki lag time kurang dari 15 menit biasanya tidak
menimbulkan masalah pada proses transport melalui membran biologi
karena obat cepat dilepaskan dari sediaan dan segera mengalami
absorpsi (Shargel, 2005).
Pada percobaan kali ini juga dilakukan perhitungan dalam
menentukan tetapan kecepatan absorpsi (Ka) dari obat paracetamol
yakni masuknya senyawa bioaktif ke dalam sirkulasi sistemik dari
tempat absorpsinya. Tetapan kecepatan absorpsi (Ka) dari obat
paracetamol yang mana pada pH 1,2 didapat sebesar 0,0284 µg/mm2
menit sedangkan pada kecepatan absorpsi (Ka) parasetamol pada pH
7,5 adalah 0,0277 µg/mm2 menit. Oleh karena itu, tetapan kecepatan
absorpsi (Ka) pada pH 1,2 lebih besar dibanding pada pH 7,5 yang
berarti pada pH 1,2 akan lebih banyak obat yang ditranspor/absorpsi
dibanding pada pH 7,5.
Kemudian dilakukan juga perhitungan terhadap penentuan
permeabilitas membrane (Pm) obat paracetamol. Pm adalah parameter
yang menggambarkan potensi membrane absorpsi untuk dapat dilalui
suatu zat. Pada percobaan kali ini nilai Pm paracetamol yang yang telah
diamati yaitu pada pH 1,2 adalah 0,01873 mm/detik sedangkan pada
pH 7,5 sebesar 0,01827 mm/detik. Permeabilitas membran pada kondisi
pH 1,2 lebih tinggi dibanding permeabilitas membran (Pm) pada pH 7,5
sehingga dapat disimpulkan bahwa proses transpor dan absorpsi obat
parasetamol lebih optimal pada pH 1,2. Paracetamol merupakan obat
yang bersifat asam lemah dengan nilai pKa sebesar 9,38. Oleh karena
itu, parasetamol bersifat asam maka akan terabsorpsi lebih banyak pada
pH lingkungan rendah (asam), karena pada pH tersebut obat bersifat
asam tidak akan terionkan/terionisasi. Bentuk molekul lebih bersifat
non polar dibandingkan dengan bentuk ion, maka akan lebih mudah
diabsorpsi. Semakin kontras beda pH obat dengan pH lokal maka akan
semakin banyak yang ter-ion maka obat asam lemah akan diabsorpsi
optimal di lambung sedangkan obat basa lemah akan diabsorpsi optimal
di usus. Namun pada faktanya absorpsi obat asam maupun basa lebih
banyak terjadi di usus karena luas permukaan dan fungsi fisiologisnya
(terdapat fili).

III. Kesimpulan

Didapatkan hasil percobaan pengaruh pH terhadap absorpsi obat


paracetamol melalui saluran pencernaan secara in vitro berupa obat
dengan sifat asam lemah maka akan terabsorpsi lebih banyak pada pH
lingkungan yang asam (1,2), dimana akan lebih banyak bentuk molekul
obat yang akan mudah menembus membrane mukosa lambung
dibandingkan dengan obat yang terabsorpsi pada pH basa (7,5). Hal ini
sesuai dengan hasil perhitungan pada percobaan ini, dilihat dari nilai
tetapan kecepatan absorpsi (Ka) serta nilai banyaknya obat yang
ditranspor persatuan luas permukaan tempat absorpsi (Qkum/A) pada
pH 1,2 lebih besar dibanding pH 7,5.
LAMPIRAN

PERHITUNGAN

Perhitungan Q, Qkum dan Qkum/A (pH 1,2)


A. Perhitungan kadar obat (Q)
Rumus: Q= C/100 x (FPx Cuplikan) X 1000
• t= 15
Q= 2,639 /100 x (3 x 1,4) X 1000
Q= 110,838 µg
• t=30
Q= 4,694 /100 x (3 x 1,4) X 1000
Q=197,148 µg
• t=45
Q= 5,306 /100 x (3 x 1,4) X 1000
Q=222,852 µg
• t=60
Q= 5,556 /100 x (3 x 1,4) X 1000
Q=233,352 µg

B. Perhitungan kadar obat komulatif (Qkum)


Rumus: Qkum = Q+ Akumulasi sebelumnya
• t= 15
Qkum = 110,838 + 0
Qkum = 110,838 µg
• t=30
Qkum = 197,148 + 110,838
Qkum = 307,986 µg
• t=45
Qkum = 222,852 + 307,986
Qkum = 530,838 µg
• t=60
Qkum = 233,352 + 530,838
Qkum = 746,19 µg

C. Qkum/A
Rumus: Qkum/A
• t= 15
Qkum/A = 110,838 µg/ 500 = 0,221676 µg/mm²
• t=30
Qkum/A = 307,986 µg/ 500 = 0,615972 µg/mm²
• t=45
Qkum/A = 530,838 µg/ 500 =1,061676 µg/mm²
• t=60
Qkum/A = 746,19 µg/ 500 = 1,49238 µg/mm²

Perhitungan Q, Qkum dan Qkum/A (pH 7,5)


A. Perhitungan Kadar obat (Q)
Rumus : Q = C/100 x (FP x V cuplikan) x 1000
• t=15
Q = 2,419/100 x (3 x 1,4) x 1000
Q = 101,598 µg
• t=30
Q = 4,325/100 x (3 x 1,4) x 1000
Q = 181,65 µg
• t=45
Q = 5,102/100 x (3 x 1,4) x 1000
Q = 214,284 µg
• t=60
Q = 5,333/100 x (3 x 1,4) x 1000
Q = 223,986 µg
B. Perhitungan Kadar Obat Kumulatif (Qkum)
Rumus : Q = Q + akumulasi sebelumnya
• t=15
Qkum = Q15’ = 101,598 µg
• t=30
Qkum = Q30’ + Q15’ = 181,65 µg + 101,598 µg =283,248 µg
• t=45
Qkum = Q45’ + Q30’ = 214,284 µg + 283,248 µg = 497,532 µg
• t=60
Qkum = Q60’ + Q45’ = 223,986 µg + 497,532 µg = 721,518 µg

C. Qkum/A
• t=15
Qkum/A = 101,598 µg/500 mm² = 0,203196 µg/mm²
• t=30
Qkum/A = 283,248 µg/500 mm² = 0,566496 µg/mm²
• t=45
Qkum/A = 497,532 µg/500 mm² = 0,995064 µg/mm²
• t=60
Qkum/A = 721,518 µg/500 mm² = 1,443036 µg/mm²

Perhitungan Ka, pm, dan lag time (pH 1.2)


a. Kecepatan Absorpsi (Ka)

y = mx +b y = 0,0284x - 0.2165

Nilai Ka = (a) slope = 0.0284 µg/mm2 menit

b. Permeabilitas (Pm)

𝐾𝑎 𝐾𝑎 𝐾𝑎 0,0284
Pm = 𝐶𝑔 = 𝑀 𝑥 𝑀𝑟 = 0,01 𝑥 151,16 = 1,516
= 0,01873 mm/menit

c. Lag Time
𝑏 0,2165
Lag time = 𝑎 = 0,0284 = 7,62323 menit

Perhitungan Ka, pm, dan lag time (pH 7.5)


a. Kecepatan Absorpsi (Ka)

y = mx +b y = 0,0277x - 0.2351

Nilai Ka = (a) slope = 0.0277 µg/mm2 menit

b. Permeabilitas (Pm)

𝐾𝑎 𝐾𝑎 𝐾𝑎 0,0277
Pm = 𝐶𝑔 = 𝑀 𝑥 𝑀𝑟 = 0,01 𝑥 151,16 = = 0,01827 mm/menit
1,516

c. Lag Time

𝑏 0,2351
Lag time = 𝑎 = 0,0277 = 8,48736 menit
DAFTAR PUSTAKA

Aulton, M. 2002. Pharmaceutics The Science of Dosage From Design Second,


Edition 530. ELBDS Fonded by British Goverment.

Avis, K.E., Lieberman, H.A.,and Lachman, L.1992. Pharmaceutical Dosage


Forms : Parenteral Medication, Volume 1, Second Edition. New York :
Marcel Dekker, Inc. P.177-179.

Banker, G. dan Rhodes, C. 2002. Modern Pharmaceutics. New York: Marcel


Dekker Inc.

Ganiswara, S.G. 1999. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: UI Press.

Ganiswarna, 2007. Farmakologi dan Terapi: Edisi 4. Jakarta: UI Press.

Ikawati. 2009. Pharmacokinetic. Tersedia online di


http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/. [Diakses pada 12 Maret 2021].

Martin A, Swarbrick J, Cammarata A. 1993. Farmasi Fisik: dasar-dasar kimia fisik


dalam ilmu farmasetika. Jakarta: UI Press.

Natalijah. 2020. Optimalisasi penggunaan hewan uji tikus (Rattus norvegicus)


dalam uji in vitro absorpsi obat per oral menggunakan metode usus terbalik.
Indonesian Journal of Laboratory. Vol. 3(1): 15-19.

Noviani, N. dan V. Nurilawati. 2017. Farmakologi: Bahan Ajar Keperawatan Gigi.


Jakarta: BPPSDMK Kemenkes.

Nurahmanto, D., dkk. 2013. Buku Petunjuk Praktikum Biofarmasetika. Tersedia


secara online di website
https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/23281/BUKU%20
PETUNJUK%20PRAKTIKUM%20BIOFARMASETIKA_01.pdf?sequence
=1&isAllowed=y [diakses pada tanggal 13 Maret 2021].

Purnama, H. dan Soraya, R. 2016. Review Artikel: Studi In-Vitro Ketoprofen


Melalui Rute Transdermal. Farmaka: Vol. 14 (1): 70-81.
Ritschel, W. A. 1986. Handbook of Basic Pharmacokineticks 3 rd Edition.
Hamilton : Drug Intelligence Publications Inc.

Senozan, N. 2001. The Henderson-Hasselbalch Equation: Its History and


Limitations. Journal of Chemical Education. Vol. 78(11): 1499-1503.

Shragel, L. dan Yu, A.B.C. 1985. Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics


2 nd Edition. Norwalk : Appelton-Century-Crofts.

Swarbrick, J. 1970. Current Concepts in the Pharmaceutical Sciences :


Biopharmaceutics. Philadelphia : Lea & Febiger.

Wagner, J. G. 1970. Biopharmaceutics and Relevant Pharmacokinetics. Hamilton


: Drug Intelligence Publications Inc.

Won, Y. Y dan Ramkrishna, D. 2019. Revised Formulation of Fick’s, Fouriers’s,


and Newton’s Laws for spatially Varying Linear Transport Coefficients. ACS
Omega. Vol.4(1):11215-11222.

Anda mungkin juga menyukai