Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM

BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA

Dosen Pengampu
Erwin Samsul, S.Farm., M. Si., Apt.

Disusun Oleh :
Kelompok 20
Rizka Dhilla Dwi P 1913016023
Nur Jihan Nabillah 1913016046
Nugra Ilmahdi 1913016068
Siti Nour Azizah 1913016090
Wulandari 1913016106
Muhammad Hafiz 1913016134
Icha Safitri 1913016156
Militani Zebaothi I.DG 1913016172

LABORATORIUM KLINIK DAN KOMUNITAS


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2021
A. Judul Praktikum
Absorbsi Obat Secara In-Vitro

B. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui cara preparasi dan prinsip pengujian absorpsi secara
in vitro menggunakan usus terbalik.
2. Mahasiswa dapat mengetahui cara menghitung kadar obat terabsorbsi dengan
menggunakan usus.

C. Alat dan Bahan


1. Alat
a. Alkohol
b. Asam salisilat
c. Eter
d. Gas oksigen
e. Larutan dapar fosfat pH 6,8
f. Marmut jantan
g. NaCl fisiologis 0,9%
h. Seng sulfat dan Ba(OH)2

2. Bahan
a. Alat-alat gelas
b. Alat-alat operasi
c. Kalkulator
d. Spektrofotometer Uv Vis
e. Tabung Crane dan Wilson yang dimodifikasi
f. Timbangan analitik
g. Waterbath (penangas air)
D. Prosedur Kerja
a. Penentuan absorbsi pada usus halus tikus

Dilakukan penentuan ƛ maksimum dan dilakukan penentuan kurva baku

Dipuasakan marmut selama 20-24 jam dan dibunuh dengan eter

Dibuka perut marmut dan dikeluarkan ususnya

Diambil 15 cm usus marmut dan dipotong

Dibagi dua usus sama panjang, 1 untuk uji dan 1 untuk kontrol

Diikat ujung usus dengan benang kemudian dibalik dengan bantuan batang gelas
atau pulpen 2 mm sampai mukosa berada diluar

Dihubungkan ujung usus dengan kanula dengan panjang efektif usus 7 cm yang
sebelumnya diisi cairan serosal 1,4 ml

Dimasukkan kontrol usus ke cairan 7,5 ml

Dijaga usus agar selalu terendam dan dialiri gas oksigen

Ditentukan kadar obat dalam cairan serosal dalam waktu tertentu dengan cara
diambil cairan serosal melalui kanula dan dicuci dengan larutan dapar fosfat pH 6,8
dan kemudian diisi dengan 1,4 ml larutan dapar fosfat pH 6,8

Dilakukan analisis sampel, diambil 1 ml sampel + 2 ml larutan seng sulfat 5% dan


2 ml Ba(OH)2 0,3 N

Dikocok dan sentrifugasi selama 5 menit dan diambil bagian jernih untuk dibaca
pada ƛ maks
E. Hasil Pengamatan
a. Data asam salisilat

Nama bahan obat : Asam Salisilat

Cairan Serosal : Larutan Buffer Fosfat 6,8, 2 buah volume 1,4 ml

Medium cairan mukosal : NaCl fisiologi 0,9% volume 7,5 ml

Kadar obat : 0,01 M – 180 mg

Data penentuan kadar obat secara spektrofotometris dilakukan pada ƛmax = 235
nm

Kurva baku dengan persamaan garis : y = 48,9218x + 0,1546, r = 0,9967

Jenis larutan Waktu (menit) Pengenceran Absorbansi


0 10 0,256
Kontrol 3 5 0,377
5 10 0,348
10 5 0,345
15 5 0,379
0 10 0,305
Sampel (obat) 3 20 0,432
5 20 0,529
10 20 0,771
15 50 0,417

b. Perhitungan asam salisilat


A. Kontrol
• Pada menit 0
0,256−0,1546
Kadar asam salisiat (x) = 48,9218
𝑥 10 = 2,07 𝑥 10−2 𝑝𝑝𝑚

• Pada menit ke 3
0,377−0,1546
Kadar asam salisiat (x) = 𝑥 5 = 2,27 𝑥 10−2 𝑝𝑝𝑚
48,9218

• Pada menit ke 5
0,348−0,1546
Kadar asam salisiat (x) = 𝑥 10 = 3,95 𝑥 10−2 𝑝𝑝𝑚
48,9218
• Pada menit ke 10
0,345−0,1546
Kadar asam salisiat (x) = 48,9218
𝑥 5 = 1,95 𝑥 10−2 𝑝𝑝𝑚

• Pada menit ke 15
0,379−0,1546
Kadar asam salisiat (x) = 𝑥 5 = 2,29 𝑥 10−2 𝑝𝑝𝑚
48,9218

B. Sampel (obat)
• Pada menit ke 0
0,305−0,1546
Kadar asam salisiat (x) = 𝑥 10 = 3,07 𝑥 10−2 𝑝𝑝𝑚
48,9218

• Pada menit ke 3
0,432−0,1546
Kadar asam salisiat (x) = 𝑥 20 = 1,13 𝑥 10−1 𝑝𝑝𝑚
48,9218

• Pada menit ke 5
0,529−0,1546
Kadar asam salisiat (x) = 𝑥 20 = 1,53 𝑥 10−1 𝑝𝑝𝑚
48,9218

• Pada menit ke 10
0,771−0,1546
Kadar asam salisiat (x) = 𝑥 20 = 2,52 𝑥 10−1 𝑝𝑝𝑚
48,9218

• Pada menit ke 15
0,417−0,1546
Kadar asam salisiat (x) = 𝑥 50 = 2,68 𝑥 10−1 𝑝𝑝𝑚
48,9218

▪ Pada t = 0 menit
• Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 3,07. 10−2 − 2,07 . 10−2
= 1,00 . 10−2 𝑝𝑝𝑚
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
• Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
1,00 𝑥 10−2
= 𝑥 1,4
100

= 1,40 . 10−4 𝑚𝑔
▪ Pada t = 3 menit
• Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 1,13 . 10−1 − 2,27 . 10−2
= 9,03 . 10-2 ppm
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
• Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
9,03 𝑥 10−2
= 100
𝑥 1,4

= 1,26 . 10-3 mg
▪ Pada t = 5 menit
• Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 1,53. 10−1 − 3,95 . 10−2
= 1,14 . 10−1 𝑝𝑝𝑚
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
• Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
1,14 𝑥 10−1
= 𝑥 1,4
100

= 1,59 . 10−3 𝑚𝑔
▪ Pada t = 10 menit
• Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 2,52. 10−1 − 1,95 . 10−2
= 2,33 . 10−1 𝑝𝑝𝑚
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
• Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
2,33 𝑥 10−1
= 𝑥 1,4
100

= 3,26 . 10−3 𝑚𝑔
▪ Pada t = 15 menit
• Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 2,68. 10−1 − 2,29 . 10−2
= 2,5. 10−1 𝑝𝑝𝑚
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
• Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
2,5 𝑥 10−1
= 𝑥 1,4
100

= 3,5 . 10−3 𝑚𝑔
c. Data furosemide

Nama Bahan Obat : Furosemid

Cairan Serosal : Larutan Dapar Fosfat pH 6,0, volume 1,4 mL

Medium cairan mukosal : NaCl fisiologi 0,9%

Kadar obat : 0,003 M

Data penentuan kadar obat secara spektrofotometris dilakukan pada ƛmax = 277
nm

Kurva baku dengan persamaan garis : y = 0,0634x + 0,0079, r2 = 0,9998

Jenis Waktu (menit) Pengenceran Absorbansi


larutan
5 3 0,0299
Kontrol 10 3 0,0131
15 3 0,0081
20 1,5 0,0117
25 1,5 0,0085
5 3 0,1058
Sampel 10 1,5 0,0140
(obat)
15 3 0,0269
20 3 0,0356
25 1,5 0,0187

d. Perhitungan furosemide
A. Kontrol
• Pada menit 5
0,0299−0,0079
Kadar Furosemid (x) = 𝑥 3 = 1,04 𝑝𝑝𝑚
0,0634

• Pada menit ke 10
0,0131−0,0079
Kadar Furosemid (x) = 𝑥 3 = 2,46 𝑥 10−1 𝑝𝑝𝑚
0,0634
• Pada menit ke 15
0,0081−0,0079
Kadar Furosemid (x) = 𝑥 3 = 9,46 𝑥 10−3 𝑝𝑝𝑚
0,0634

• Pada menit ke 20
0,0117−0,0079
Kadar Furosemid (x) = 𝑥 1,5 = 8,99 𝑥 10−2 𝑝𝑝𝑚
0,0634

• Pada menit ke 25
0,0085−0,0079
Kadar Furosemid (x) = 𝑥 1,5 = 1,41 𝑥 10−2 𝑝𝑝𝑚
0,0634

B. Sampel
• Pada menit 5
0,1058−0,0079
Kadar Furosemid (x) = 𝑥 3 = 4,63 𝑝𝑝𝑚
0,0634

• Pada menit ke 10
0,0140−0,0079
Kadar Furosemid (x) = 𝑥 3 = 2,88 𝑥 10−1 𝑝𝑝𝑚
0,0634

• Pada menit ke 15
0,0269−0,0079
Kadar Furosemid (x) = 𝑥 1,5 = 4,49 𝑥 10−1 𝑝𝑝𝑚
0,0634

• Pada menit ke 20
0,0356−0,0079
Kadar Furosemid (x) = 𝑥 3 = 1,31 𝑝𝑝𝑚
0,0634

• Pada menit ke 25
0,0187−0,0079
Kadar Furosemid (x) = 𝑥 1,5 = 2,56 𝑥 10−1 𝑝𝑝𝑚
0,0634

▪ Pada t = 5 menit
• Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 4,63 − 1,04
= 3,59 𝑝𝑝𝑚
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
• Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
3,59
= 𝑥 1,4
100

= 5,03 . 10−2 𝑚𝑔
▪ Pada t = 10 menit
• Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 2,88 . 10−1 − 2,46 . 10−1
= 4,2 . 10-2 ppm
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
• Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
4,2 𝑥 10−2
= 𝑥 1,4
100

= 5,88 . 10-4 mg
▪ Pada t = 15 menit
• Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 4,49 𝑥 10−1 − 9,46 . 10−3
= 4,40 . 10−1 𝑝𝑝𝑚
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
• Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
4,40 𝑥 10−1
= 𝑥 1,4
100

= 6,15 . 10−3 𝑚𝑔
▪ Pada t = 20 menit
• Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 1,31 − 8,99 . 10−2
= 1,22 𝑝𝑝𝑚
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
• Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
1,22
= 𝑥 1,4
100

= 1,71 . 10−2 𝑚𝑔
▪ Pada t = 25 menit
• Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 2,56 . 10−1 − 1,41 . 10−2
= 2,42 . 10−1 𝑝𝑝𝑚
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
• Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
2,42 𝑥 10−1
= 𝑥 1,4
100

= 3,39 . 10−3 𝑚𝑔
e. Poin Laporan
1. Apa yang dimaksud dengan absorbsi?
Jawab:
Absorbsi atau penyerapan adalah proses pengambilan zat dari permukaan
tubuh ke dalam sirkulasi darah (Arsyto, 2000).
2. Dimana dan organ apa saja yang terlibat dalam proses absorbsi?
Jawab:
Beberapa obat diabsorbsi di lambung. Namun, duodenum sering
merupakan jalan masuk utama ke sirkulasi sistemik karena permukaan
absorbsinya yang lebih besar. Kebanyakan obat diabsorbsi dari saluran cerna
dan masuk ke hati sebelum disebarkan ke sirkulasi umum. Metabolisme
langkah pertama yaitu oleh usus atau hati (Noviani, 2017).
3. Jelaskan prinsip percobaan ini?
Jawab:
Metode in vitro pada dasarnya menggunakan prinsip difusi bahan obat
melalui membran yang bersifat sebagai penentu kecepatan. Pada umumnya
obat diabsorpsi dari saluran pencernaan dengan mekanisme difusi pasif.
Molekul obat berdifusi dari daerah konsentrasi tinggi (cairan gastrointestinal)
ke daerah konsentrasi rendah (darah) (Tanojo, 1989).
4. Kenapa harus ditentukan panjang gelombang maksimum terlebih dahulu?
Jawab:
Penentuan panjang gelombang maksimum terlebih dahulu dilakukan
karena pada panjang gelombang maksimal tersebut kepekaannya juga
maksimal karena perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi sampel
(Sukmawati, dkk, 2018).
5. Fungsi kurva baku pada praktikum ini?
Jawab:
Fungsi kurva baku pada praktikum ini digunakan untuk mencari
persamaan regresi linear sehingga dapat digunakan dalam penetapan suatu
kadar obat yang absorbansinya sudah diukur (Budiarti dan Sumantri, 2016).
6. Selain marmut apakah boleh menggunakan hewan lain? Apa alasannya?
Jawab:
Boleh menggunakan hewan lain seperti tikus. Namun memerlukan hewan
uji yang cukup banyak karena replikasi dan komparasi dilakukan pada segmen
usus sepanjang total 15-20 cm pada lokasi yang sama dari hewan uji yang
berbeda. Supaya mempunyai panjang yang cukup untuk dihubungkan pada
tabung crane dan Wilson. Penggunaan lokasi yang sama pada segmen usus
halus ditujukan untuk memastikan validitas data yang didapatkan (Natalijah,
2020).
7. Alasan hewan dipuasakan 20-24 jam terlebih dahulu?
Jawab:
Hewan dipuasakan 20-24 jam terlebih dahulu bertujuan untuk
menghindari pengaruh makanan yang dapat mempengaruhi proses absorbsi
obat (Titihalawa dkk, 2018).
8. Jelaskan alasan pemilihan usus pada praktikum ini?
Jawab:
Metode uji absorbsi yang digunakan dalam percobaan ini adalah metode
usus terbalik secara in vitro atas asumsi bahwa obat yang dicobakan stabil,
tidak mengalami metbolisme dalam lumen usus, sehingga hilangnya obat dari
lumen usus akan muncul dalam darah atau plasma darah. Prinsip metode usus
terbalik dilakukan dengan cara membalik usus, membran mukosa bagian
dalam usus yang mengandung mikrovili berada diluar dan tetap mendapatkan
oksigen, sehingga proses absorpsi yang terjadi menyerupai proses absorpsi
yang terjadi dalam tubuh (Nurahmanto, 2013).
9. Kenapa ada kelompok control dan kelompok uji? Apa fungsinya?
Jawab:
Pada Penelitian Absorbsi Obat Secara In-Vitro yang diartikan sebagai
Penentuan Absorbsi pada usus halus tikus yang kemudian dianalisis. Dimana
pada pengujian ini terdapat dua kelompok yaitu kelas uji atau kelompok uji
dan kelas kontrol atau kelompok kontrol. Kelompok uji adalah kelompok yang
mendapat perlakuan sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak
mendapatkan perlakuan. Yang dimana kedua usus dibagi dua sama panjang
lalu dipisahkan menjadi kelompok uji dan kontrol hal ini bertujuan sebagai
pembanding agar diketahui hasil atau perbedaan yang terjadi jika usus yang
telah dibalik yang kemudian direndam pada larutan 7,5 mL yang mengandung
obat dan yang tidak mengandung obat agar diketahui perbedaan atau kadar
absorbsinya obat oleh filia bagian dalam usus pada perbedaan pH yang diatur
sesuai pH lambung dan pH usus secara in vitro (menggunakan instrumen yang
menyerupai bagian dalam tubuh) (Miller, 1971).
10. Kenapa usus harus diletakkan terbalik (bagian dalam ke luar atau sebaliknya)?
Jawab:
Metode ini digunakan dengan teknik usus harus yang dibalik agar bagian
villi berada pada bagian luar sehingga bagian yang mengabsorbsi obat berada
diluar dan terendam dengan cairan mukosal untuk melihat kemampuan
absorbsi obat di usus (Natalijah, 2020).
11. Apa perbedaan cairan mucosal dan cairan serosal? Jelaskan fungsinya?
Jawab:
Cairan mukosal merupakan cairan yang berisi cairan usus buatan tanpa
pankreatin dengan pH 7,5 yang berfungsi sebagai kompartemen saluran
pencernaan. Sedangkan cairan serosal yang merupakan larutan NaCl 0,9%
yang berfungsi sebagai larutan yang sesuai kondisinya dengan cairan tubuh
(Apriliani dkk., 2016).
12. Apa alasan pemilihan suhu sebesar 37⁰C pada percobaan?
Jawab:
Agar memberikan suhu yang menyerupai dan sama dengan suhu tubuh
pada manusia yang berkisar antara 36-38oC (Watson, 2005).
13. Apa alasan dialirkan oksigen pada percobaan?
Jawab:
Alasan dialirkannya oksigen pada percobaan adalah agar sel-sel usus tetap
hidup. Sehingga fisiologis usus tetap sama seperti fisiologis usus yang masih
pada tikus yang hidup (Shargel dan yu, 1988)
14. Apa fungsi larutan seng gulfat dan Ba(OH)2?
Jawab:
Fungsi larutan seng sulfat dan Ba(OH)2 adalah digunakan sebagai
deprotenisasi darah untuk serum dan plasma, mengendapkan antikoagulan
yang akan mengganggu pada saat proses identifikasi. Dengan demikian,
penambahan seng-barium merupakan metode yang digunakan untuk
pemurnian (Somogyi, 1945).
15. Keuntungan dan kekerungan metode usus terbalik?
Jawab:
Keuntungannya adalah penggunaan usus yang dibalik untuk pengujian
absorpsi in vitro akan sama dengan keadaan proses absorpsi pada manusia.
Hal ini dikarenakan usus dibalik sehingga mikrovili berada diluar dan tetap
akan diberikan oksigen sehingga menyerupai kondisi manusia (Aminah dkk,
2010). Metode ini juga dianggap lebih mudah karena dapat dilihat kemampuan
absorpsi usus dengan mengukur banyaknya zat/obat yang akan berpindah dari
medium ke dalam usus (Prihapsara,2015), Obat dapat berkontak baik dengan
mukosa usus terbalik (Liu dkk, 2016). Sedangkan kerugiannya adalah, usus
hewan coba sangat tipis sehingga rentan terjadinya kerusakan pada saat usus
akan dibalik (Liu dkk, 2016).
16. Kenapa pada hasil terdapat pengenceran? Apa fungsinya?
Jawab:
Dilakukannya pengenceran pada hasil adalah jika absorbansi larutan
sampel adalah >0,8 atau lebih dari absorbansi larutan blanko. Hal ini
dikarenakan, pengukuran absorbansi blanko di awal bertujuan agar dapat
dilakukannya perbandingan antara konsentrasi blanko dan konsentrasi sampel
melalui nilai absorbansi yang didapatkan. Namun, jika nilai absorbansi larutan
sampel lebih besar dibanding absorbansi larutan blanko maka nilai konsentrasi
sampel juga akan melebihi konsentrasi blanko. Akibatnya nilai konsentrasi
sampel tidak dapat ditentukan sehingga harus dilakuknnya pengenceran (Bax,
2004).
17. Apa perbedaan proses absorpsi aktif dan pasif?
Jawab :
Pada absorpsi aktif, proses transport aktif membutuhkan energi untuk
menggerakkan obat dari daerah dengan konsentrasi obat rendah ke daerah
dengan konsentrasi obat tinggi. Sedangkan pada absorpsi pasif, proses
transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan proses difusi
obat dapat berpindah dari daerah dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah
dengan konsentrasi rendah. Transport pasif dapat terjadi selama
molekulmolekul kecil dapat berdifusi sepanjang membran dan berhenti bila
konsentrasi pada kedua sisi membran seimbang. (Nita dkk, 2017).
18. Apa fungsi NaCl Fisiologis 0,9% dan buffer fosfat pH 6,8?
Jawab :
NaCl fisiologis berfungsi sebagai pengencer dan bukan sebagai
antikoagulan(Triyani, 2018). Sedangkan buffer fosfat berfungsi sebagai
pelarut yang dapat menarik pigmen lebih kuat dari dalam sel untuk
mempertahankan kondisi asam maupun basa (Ridlo, 2016).
19. Apakah ada hubungan antara absorbs dan T ½ jika dilihat pada hasil
percobaan ini ?
Jawab :
Absorbs dan T1/2 memiliki hubungan dalam percobaan ini. Bisa kita lihat
pada proses inhibisi Ketika t1/2 menurun dan absorbsinya tetap konsisten
sehingga metabolism nya dapat berjalan dengan kecepatan yang cepat. Pada
administrasi oral, onset dari efek obat akan ditentukan dari laju dan lama
absorbs dari traktus gastrointestinal. Fraksi bioavailabilitas merupakan laju
absorbsi dan T1/2. Pada persamaan dalam jumlah obat pada sirkulasi sistemik
setelah absorpsi tingkat pertama dari tingkat penyimpanan, dideskripsikan dari
tempat penyimpanan seperti lambung, injeksi intramuskuler, kulit, ataupun
bahkan dosis epidural. (Sianipar, 2007)
20. Jelaskan apa yang dimaksud dengan in vitro dan in vivo!
Jawab :
In vitro merupakan teknik yang dilakukan denga melakukan prosedur
pengujian pada kondisi yang terkontrol yang dilakukan di luar tubuh makhluk
hidup (Purnama, 2016). Sedangkan In vivo merupakan teknik penelitian
sebelum diaplikasikan kepada manusia atau primata lainnya dengan
menggunakan bahan hidup seperti hewan coba dan biakkan jaringan.
(Nugroho, 2018)
21. Bandingkan hasil dari obat yang kalian tentukan sendiri absorbansinya!
Jawab :
Terdapat perbedaan dari absorbansi yang didapat dari hasil percobaan
dan dari absorbansi yang berbeda pada percobaan lain. Pertama dikarenakan
dari larutan kontrol yang digunakan berbeda dari jumlah volume dan
konsentrasi serta pH yang digunakan, kemudian pada lamanya waktu yang
dibutuhkan serta pengenceran yang digunakan akan sangat berpengaruh dalam
kadar sampel, dan jumlah obat. Karena dalam rumus perhitungan terdapat nilai
absorbansi yang harus dimasukkan, oleh karena itu apabila terdapat perubahan
pada nilai absorbansi nya maka akan berpengaruh dalam perubahan kadar
sampel dan jumlah obat yang terdapat dalam percobaan tersebut (Sianipar,
2007).
22. Simpulkan hubungan antara absorbsi dan kelarutan?
Jawab :
Absorbsi adalah peristiwa suatu zat aktif yang dapat melewati jalur
pemberian obat masuk ke dalam system peredaran darah, penyerapan obat
terjadi secara langsung dengan mekanisme perlintasan membrane. Sedangkan
kelarutan merupakan factor fisikokimia yang dapat memberikan pengaruh
pada penyerapan dan efektivitas daripada terapi obat. Zat aktif yang
mempunyai kelarutan buruk akan membuat bioavailabilitas yang rendah pada
tubuh. Dikarenakan sebelum terjadinya absorbsi, obat akan melewati tahap
desintegrasi, deagregasi, dan disolusi. Disolusi merupakan proses pelasnya zat
aktif obat dari bentuk sediaannya ke dalam medium disolusi. Laju dari disolusi
tersebut akan dipengaruhi dari kelarutan obat tersebut sehingga menjadi tahap
penentu absorbsi obat. Seperti yang terlihat dari hasil dari percobaan pada obat
metal salisilat. Semakin tinggi pengenceran yang dilakukan akan menurunkan
hasil dari absorbsi dan semakin lama waktu yang dibutuhkan maka nilai
absorbansi akan semakin tinggi. Dikarenakan pada saat pengenceran maka
kelarutan akan berkurang sehingga mengurangi kualitas absorbsi obat tersebut.
Kesimpulan yang bisa diambil adalah apabila kelarutan dari suatu obat
tersebut baik, maka proses absorpsi akan berjalan lancar dan cepat, begitu pula
sebaliknya (Kumar et al., 2014).
F. Kesimpulan
Pada percobaan dengan judul Absorbsi Obat Secara In-Vitro ini dilakukan untuk
dapat mengetahui cara preparasi dan prinsip pengujian absorpsi secara in vitro
menggunakan usus terbalik dan mengetahui cara menghitung kadar obat terabsorbsi
dengan menggunakan usus. Serta metode yang digunakan yaitu metode uji absorbsi
yang digunakan dalam percobaan ini adalah metode usus terbalik secara in vitro.
Dimana prinsipnya dilakukan dengan cara membalik usus, membran mukosa bagian
dalam usus yang mengandung mikrovili berada diluar dan tetap mendapatkan
oksigen, sehingga proses absorpsi yang terjadi menyerupai proses absorpsi yang
terjadi dalam tubuh. Serta pada data hasil pengamatan asam salisilat, kadar obatnya
yaitu 0,01 M – 180 mg yang ditentukan dengan spektrofotometris pada ƛmax = 235
nm. Dan pada data furosemide, kadar obatnya yaitu 0,003 M yang ditentukan
dengan spektrofotometris dilakukan pada ƛmax = 277 nm. Adapun perhitungan
lengkapnya tertera pada bagian poin perhitungan diatas.
DAFTAR PUSTAKA

Aminah, S., Nusratini. 2010. Absorpsi In Vitro Sulfametoksazol dengan Polisorbat 80 :


Tinjauan Termodinamika. Majalah Farmaseutik, 6 (2) : 1-6.

Apriliani, Ayu., Putri Raraswati., Ummi Habibah., dkk. 2016. Laporan Akhir Praktikum
Biofarmasetika Studi Absorpsi Obat Secara In Vitro. Fakultas Farmasi. Universitas
Padjadjaran. Jatinagor

Arsyto, Rizaqa Prema. 2000. Pengaruh Malnutrisi Terhadap Difusi Pasif Parasetamol Pada
Tikus Putih Jantan Dengan Metode Usus Terbalik. Yogyakarta : Universitas Sanata
Dharma.

Bax, D. 2004. Atomic Absorption Spectrometry (II). Yogyakarta : Sanata Dharma University.

Budiarti, A., KW, A. F., dan Sumantri, S. 2016. Perbandingan Metode Penetapan Kadar
Simetidin Menggunakan Spektrofotometri Uv Dan Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi. Jurnal Ilmu Farmasi dan Farmasi Klinik, 13(1): 8-14.

Kumar V, Abbas AK, Aster JC. 2014. Robbins Basic Pathology. 9th ed. Philadelphia:
Elsevier.

Liu, W., Pan, H., Zhang, C., Zhao, L., Zhao, R., Zhi, Y., Pan, W. 2017. Developments in
Methods for Measuring the Intestinal Absorption of Nanoparticle-Bound Drugs.
International Journal of Molecular Science, 17 (7) : 1-20.

Miller DL, 1971. Rat small intestine : Development, composition, and effect
of perfusion, The American Journal of Digestive Disease. 16: 147-54.

Natalijah, N. 2020. Optimalisasi penggunaan hewan uji tikus (Rattus norvegicus) dalam uji in
vitro absorpsi obat per oral menggunakan metode usus terbalik. Indonesian Journal
of Laboratory, 3(1).

Nita, dkk. 2017. Farmakologi. Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan :
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Noviani, Nita., dkk. 2017. Farmakologi. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.


Nugroho, S. W., Fauziyah, K. R., Sajuthi, D., & Darusman, H. S. 2018. Profil Tekanan Darah
Normal Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Wistar dan Sprague-Dawley. Acta
VETERINARIA Indonesiana, 6(2), 32-37.

Nurahmanto, D. 2013. Biofarmasetika. Jember Universitas Jember.

Prihapsara, F., Artanti, A., Murrukmihadi, M. 2015. The Influence of Polyvinyl Pyrrolidone
(PVP) on Piroxicam Absorption with Everted Intestinal SAC Method. Media
Farmasi, 12 (1) : 33-44.

Purnama, H., & Mita, S. R. 2016. Studi In-Vitro Ketoprofen Melalui Rute Transdermal.
Farmaka, 14(1), 70-81.

Ridlo, A., Sedjati, S., & Supriyantini, E. 2016. Aktivitas anti oksidan fikosianin dari
Spirulina Sp. Menggunakan metode transfer elektron dengan DPPH (1, 1-difenil-2-
pikrilhidrazil). Jurnal Kelautan Tropis, 18(2).

Shargel, L dan yu, A. B. C. 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya.


Airlangga University Press.

Sianipar, E. 2007. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi terhadap Laju Absorpsi Tablet


Furosemida Generik pada Kantung Terbalik (Everted Sac) Jejenum Kelinci. Skripsi.
Fakultas Farmasi : Universitas Sumatera Utara.

Somogyi, M. 1945. Determination of Blood Sugar. Journal of Biological Chemistry, 160 (1) :
69-73.

Sukmawati., Sri Sudewi., Julius Pontoh. 2018. Optimasi dan Validasi Metode Analisia Dalam
Penentuan Kandungan Total Flavonoid Pada Ekstrak Daun Gedi Hijau (Abelmoscus
manihot L.) Yang Diukur Menggunakan Spektrofotometer UV-VIS. Jurnal Ilmiah
Farmasi. 7(3). 32-41

Tanojo, H. 1989. Studi In Vitro Absorpsi Perkutan Hidrokinon dalam Basis Krim dengan
Emulgator Trietanolamin Stearat, Tween-Span dan Coco-Betaine. Surabaya :
Universitas Airlangga.

Titihalawa, D. R., Tukayo, B. L. A., dan Paepadaseda, M. F. 2018. Efektifitas Rebusan Daun
Kersen (Muntingia calabura L.) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Pada
Kelinci (Oryctalagus cuniculus). Gema Kesehatan, 10(1): 9-15.
Triyani, V. A. D. 2018. Perbedaan darah Sitras dan EDTA Dengan Pengencer NaCl 0,9%
Terhadap Nilai Laju Endap Darah Metode Westergren Pada Pasien Tuberkulosis di
RSUD KRMT (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Semarang).

Watson, D.G. 2005. Analisis Farmasi. Jakarta:EGC. Hal 198.

Anda mungkin juga menyukai