Dosen Pengampu
Erwin Samsul, S. Farm., M. Si., Apt.
Disususn oleh:
Kelompok 11
B. Tujuan
1. Mengetahui cara preparasi dan prinsip pengujiaan absorbansi secara in vitro
menggunakan usus terbalik.
2. Mengetahui cara menghitung kadar obat terabsorbsi dengan menggunakan usus.
C. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Alat-alat Gelas
b. Alat-alat Operasi
c. Kalkulator
d. Spektrofotometer UV-VIS
e. Tabung Crane dan Wilson yang dimodifikasi
f. Timbangan Analitik
g. Waterbath (Penangas Air)
2. Bahan
a. Alkohol
b. Asam Salisilat
c. Eter
d. Gas Oksigen
e. Larutan Dapar Fosfat pH 6,8
f. Marmut Jantan
g. NaCl fisiologis 0,9%
h. Seng Sulfat dan Ba(OH)2
D. Prosedur Kerja
Penentuan λ maksimum
Ujung usus diikat dengan benang dan dibalik dengan bantuang batang
gelas/pulpen 2 m, sehingga bagian mukosa berada diluar
Ujung usus dihubungkan dengan kanula (bagian dari alat Crane dan Wilson yang
dimodifikasi)
Panjang efektif usus 7 cm, sebelumnya diisi cairan serosal 1,4 ml (Larutan Dapar
Fosfat pH 6,8)
Kontrol usus dimasukkan ke cairan 7,5 ml (cairan lambumg buatan dan usus
buatan)
Kontrol → Tanpa Obat
Perlakuan → Mengandung Obat
Jaga agar usus selalu terendam dan doaliri gas oksigen (100 gelembung/menit)
Tentukan kadar obat dalam cairan serosal dalam waktu tertentu. (Cairan serosal
diambil melalui kanola seluruhnya, dan segera dicuci dengan larutan Larutan
Dapar Fosfat pH 6,8, isi lagi dengan 1,4 ml Larutan Dapar Fosfat pH 6,8)
Analisis Sampel
Analisis
Ambil 1 ml sampel + 2 ml Larutan seng sulfat 5% dan 2 ml Ba(OH)2 0,3 N
E. Hasil Pengamatan
1. Hasil Percobaan
Nama bahan obat : Asam Salisilat
Cairan serosal : Larutan Buffer Fosfat pH 6,8 2 buah @ volume 1. 1,4
ml
Medium cairan mukosal : NaCl fisiologis 0,9% @ volume 7,5 ml
Kadar obat : 0,01 M = 180 mg
Data penentuan kadar obat secara spektrofotometris, dilakukan pada λ maks = 235 nm
Kurva baku dengan persamaan garis: y = 48.9218x + 0.1546, r = 0.9967
Jenis Larutan Waktu (menit) Pengenceran Absorbansi
0 10 0.256
3 5 0.377
Kontrol 5 10 0.348
10 5 0.345
15 5 0.379
0 10 0.305
3 20 0.432
Sampel (Obat) 5 20 0.529
10 20 0.771
15 50 0.417
2. Perhitungan
Kontrol
1. Pada menit ke-0
0,256− 0,1546
Kadar asam salisilat (x) = 𝑥 10 = 2,07 x 10-2 ppm
48,9218
Sampel (Obat)
1. Pada menit ke-0
0,305− 0,1546
Kadar asam salisilat (x) = 𝑥 10 = 3,07 x 10-2 ppm
48,9218
Pada t = 0 menit
1. Kadar Sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 3,07 x 10-2 - 2,07 x 10-2
= 1,00 x 10-2 ppm
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
2. Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
1,00 x 10−2
= 𝑥 1,4
100
= 1,4 x 10-4 mg
Pada t = 3 menit
1. Kadar Sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 1,13 x 10-1 - 2,27 x 10-2
= 9,03 x 10-2 ppm
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
2. Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
9,03 x 10−2
= 𝑥 1,4
100
= 1,26 x 10-3 mg
Pada t = 5 menit
1. Kadar Sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 1,53 x 10-1 - 3,95 x 10-2
= 1,14 x 10-1 ppm
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
2. Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
1,14 x 10−1
= 𝑥 1,4
100
= 1,59 x 10-3 mg
Pada t = 10 menit
1. Kadar Sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 2,52 x 10-1 - 1,95 x 10-2
= 2,33 x 10-1 ppm
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
2. Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
2,33 x 10−1
= 𝑥 1,4
100
= 3,26 x 10-3 mg
Pada t = 15 menit
1. Kadar Sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 2,68 x 10-1 - 2,29 x 10-2
= 2,45 x 10-1 ppm
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
2. Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
2,45 x 10−1
= 𝑥 1,4
100
= 3,43 x 10-3 mg
Tabel kadar sampel dan jumlah obat
Waktu (menit) Kadar Sampel (ppm) Jumlah Obat (mg)
Data penentuan kadar obat secara spektrofotometris, dilakukan pada λmaks = 277 nm
5 3 0,0299
10 3 0,0131
Kontrol
15 1,5 0,0122
20 1,5 0,0106
25 3 0,0117
5 3 0,1058
10 3 0,0686
15 1,5 0,0176
20 1,5 0,0126
Sampel (Obat)
25 3 0,0156
PERHITUNGAN
Kontrol
1. Pada menit ke 5
0,0299−0,0079
Kontrol (x) = x 3 = 1,04 ppm
0,0634
2. Pada menit ke 10
0,0131−0,0079
Kontrol (x) = x 3 = 2,46. 10-1 ppm
0,0634
3. Pada menit ke 15
0,0122−0,0079
Kontrol (x) = x 1,5 = 1,02. 10-1 ppm
0,0634
4. Pada menit ke 20
0,0106−0,0079
Kontrol (x) = x 1,5 = 6,39. 10-2 ppm
0,0634
5. Pada menit ke 25
0,0117−0,0079
Kontrol (x) = x 3 = 1,80. 10-1 ppm
0,0634
Obat
1. Pada menit ke 5
0,1058−0,0079
Kadar Furosemide (x) = x 3 = 4,63 ppm
0,0634
2. Pada menit ke 10
0,0686−0,0079
Kadar Furosemide (x) = x 3 = 2,87 ppm
0,0634
3. Pada menit ke 15
0,0176−0,0079
Kadar Furosemide (x) = x 1,5 = 2,29. 10-1 ppm
0,0634
4. Pada menit ke 20
0,0126−0,0079
Kadar Furosemide (x) = x 1,5 = 1,11. 10-1 ppm
0,0634
5. Pada menit ke 25
0,0156−0,0079
Kadar Furosemide (x) = 0,0634
x 3= 3,64. 10-1 ppm
Kadar Sampel
1. Pada t = 5 menit
a. Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
b. Jumlah Obat = x2
100
3,59
= x 2 = 7,18. 10-2 mg
100
2. Pada t = 10 menit
a. Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 2,87 - 2,46. 10-1 = 2,62 ppm
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
b. Jumlah Obat = x2
100
2,62
= x 2 = 5,24. 10-2 mg
100
3. Pada t = 15 menit
a. Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
b. Jumlah Obat = x2
100
1,27.10−1
= x 2 = 2,54. 10-3 mg
100
4. Pada t = 20 menit
a. Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
a. Jumlah Obat = x2
100
4,71.10−2
= x 2 = 9,42. 10-4 mg
100
5. Pada t = 25 menit
a. Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 3,64. 10-1 - 1,80. 10-1 = 1,84. 10-1 ppm
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
b. Jumlah Obat = x2
100
1,84.10−1
= x2
100
= 1,68. 10-3 mg
Absorbsi merupakan proses dimana pengmbilan zat dari permukaan tubuh ke dalam
sirkulasi darah (Arsyto,2000).
2. Dimana dan organ apa saja yang terlibat dalam proses absorbsi
Jawab:
(Noviani,2017)
3. Jelaskan prinsip Percobaan ini?
Jawab :
Metode in vitro dasarnya menggunakan prinsip difusi dimana bahan obat
melalui membran yang bersifat sebagai penentu kecepatan. Pada umumnya obat
diabsorbsi dari saluran pencernaan dengan mekanisme difusi pasif. Molekul obat
berdifusi dari daerah konsentrasi tinggi (Cairan gastrointestinal) Kedaerah konsentrasi
rendah Darah .
(Tanojo,1989)
4. Kenapa harus ditentukan panjang gelombang maksimum terlebih dahulu?
Jawab :
Penentuan panjang gelombang maksimum terlebih dahulu dilakukan karena
pada panjang gelombang maksimal tersebut kepekaannya juga maksimal karena
perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi sampel, dan agar mengetahui
daerah serapan yang dapat dihasilkan berupa nilai absorbsinya.
(Sukmawati, dkk, 2018).
5. Fungsi kurva baku pada praktikum ini?
Jawab:
Fungsi kurva baku pada praktikum ini adalah digunakan sebagai mencari
persamaan regresi linear sehingga dapat digunakan dalam penetapan suatu kadar obat
yang absorbansinya telah diukur (Budiarti dan Sumantri, 2016).\
Barium Hidroksida (Ba(OH)2) digunakan dalam kimia analitik untuk titrasi asam
lemah terutama asam organik. Larutan berairnya yang jernih bebas karbonat, tidak
seperti natrium hidroksida dan kalium hidroksida. Barium hidroksida juga dapat
digunakan untuk memproduksi sabun barium dengan zat aditif sebagai pelumas dengan
suhu tinggi. Pada aplikasi kimia barium hidroksida digunakan untuk proses
penyulingan minyak nabati, vulkanisasi sintetiskaret, sebagai cairan pengeboran,
inhibitor korosi, bahan pada komposisi penyegelan, serta sebagai stabilisator plastik
(Fauzana, 2018).
18. Apa fungsi NaCl fisiologis 0,9% dan buffer fosfat pH 6,8 ?
Jawab :
Fungsi NaCl 0,9% (garam fisiologis) adalah untuk menghapus semua residu dan
untuk menghilangkan semua partikel yang tidak terserap sebelum dibuka melalui
pertengahan garis sayatan (Oji dan Luger,2015). Selain itu NaCl 0,9% juga berfungsi
sebagai larutan fisiologis agar usus tetap hidup dan sel-sel tidak mati serta untuk
mencegah pengerutan pada usus (Ansel & Prince, 2004).
Fungsi Buffer Fosfat pH 6,8 adalah sebagai larutan buffer karena memiliki sifat
isotonis dan mampu menahan perubahan pH ketika ion-ion hidrogen atau hidroksida
ditambahkan atau ketika larutan itu diencerkan disebut larutan penyangga atau
larutandapar (Day & Underwood, 2002).
19. Apakah ada hubungan antara absorbs dan T ½ jika dilihat pada hasil percobaan ini ?
Jawab :
Ya, ada hubungan antara absorbs dan T ½ pada percobaan kali ini. Hubungan
tersebut terlihat pada saat proses inhibisi dimana T1/2 menurun dan absorbsinya tetap
sehingga metabolismenya dapat berjalan dengan cepat. Dengan administrasi oral, onset
dari efek obat sangat ditentukan oleh laju dan lamanya absorpsi dari traktus
gastrointestinal. Laju absorpsi dan T1/2 adalah fraksi bioavailabilitas. Jumlah obat pada
sirkulasi sistemik setelah absorpsi tingkat pertama dari tempat penyimpanan, seperti
lambung, injeksi intramuskuler, kulit, atau bahkan dosis epidural di deskripsikan oleh
persamaan ini .
21. Bandingkan hasil dari obat yang kalian tentukan sendiri absorbansinya!
Jawab :
Terdapat perbedaan dari absorbansi yang didapat dari hasil percobaan dan dari
absorbansi yang berbeda percobaan. Pertama, dikarenakan larutan kontrol yang
digunakan berbeda dari jumlah volume dan konsentrasi serta pH yang digunakan,
kemudian durasi lamanya waktu yang dibutuhkan serta pengenceran yang digunakan
akan sangat berpengaruh dalam kadar sampel, dan jumlah obat. Karena dalam rumus
perhitungan terdapat nilai absorbansi yang harus dimasukkan. Oleh karena, itu apabila
terdapat perubahan pada nilai absorbansi nya. Maka akan berpengaruh dalam
perubahan kadar sampel dan jumlah obat yang terdapat dalam percobaan tersebut.
(Kumar et al., 2014)
22. Simpulkan hubungan antara absorbsi dan kelarutan?
Jawab :
Absorbsi adalah peristiwa suatu zat aktif yang dapat melewati jalur pemberian obat
masuk ke dalam system peredaran darah, penyerapan obat terjadi secara langsung
dengan mekanisme perlintasan membrane. Sedangkan kelarutan merupakan factor
fisikokimia yang dapat memberikan pengaruh pada penyerapan dan efektivitas
daripada terapi obat. Zat aktif yang mempunyai kelarutan buruk akan membuat
Bioavailabilitas yang rendah pada tubuh. Dikarenakan sebelum terjadinya absorbsi,
obat akan melewati tahap desintegrasi, deagregasi, dan disolusi. Disolusi merupakan
proses lepasnya zat aktif obat dari bentuk sediaannya ke dalam medium disolusi. Laju
dari disolusi tersebut akan dipengaruhi oleh kelarutan obat tersebut sehingga menjadi
tahap penentu absorbsi obat. Seperti yang terlihat dari hasil percobaan pada obat metal
salisilat. Semakin tinggi pengenceran yang dilakukan maka akan menurunkan hasil dari
absorbsi dan semakin lama waktu yang dibutuhkan. Maka nilai absorbansi akan
semakin tinggi. Dikarenakan pada saat pengenceran, maka kelarutan akan berkurang
sehingga mengurangi kualitas absorbsi obat tersebut. Kesimpulan yang bisa diambil
adalah apabila kelarutan dari suatu obat tersebut baik, maka proses absorbsi akan
berjalan lancar dan cepat,dan begitu pula sebaliknya. (Kumar et al., 2014).
DAFTAR PUSTAKA
Aiache, J. M., dan Devissaguet, J. Ph. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasi diterjemahkan oleh Dr.
Widji Soeratri. Edisi kedua. Hal 405-433. Surabaya: Airlangga University Press.
Arsyto, Rizaqa Prema. 2000. Pengaruh Malnutrisi Terhadap Difusi Pasif Parasetamol Pada
Tikus Putih Jantan Dengan Metode Usus Terbalik. Yogyakarta : Universitas Sanata
Dharma.
Aulia, Dini Nur., Suwendar., dkk. 2015. Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Sereh Wangi
(Cymbopogon Nardus L. Rendle) pada Tikus Wistar Jantan. Prosiding SPeSIA Unisba,
2, 135-139.
Budiarti, A., KW, A. F., dan Sumantri, S. 2016. Perbandingan Metode Penetapan Kadar
Simetidin Menggunakan Spektrofotometri Uv Dan Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi. Jurnal Ilmu Farmasi dan Farmasi Klinik, 13(1): 8-14.
Day, R. ., & Underwood, A. . (2002). Analisis Kimia Kuantitatif (Edisi Keen, p. 148).
Jakarta:Penerbit Erlangga.
Depkes RI, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, Departemen kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta, hal. 51.
Fauzana C.Y, dkk. 2018. Ba(OH)2 : Transpor Ionik Pada Barium Hidroksida di Dalam Air
Dengan Konsep Termodinamika.
Istadi, D. 2011. Daya Hambat Zink Sulfat Terhadap Bakteri Porphyromonas Gingivalis Pada
Kasus Abses Dentoal Veolar. Tesis. Universitas Gadjah Mada.
Kumar V, Abbas AK, Aster JC. 2014. Robbins Basic Pathology. 9th ed. Philadelphia: Elsevier.
Mariam, S. 2016. Evaluasi kejadian interaksi obat pada pasien rawat inap geriatri penderita
gagal jantung. Jurnal Farmamedika (Pharmamedika Journal, Vol. 1 No. 1, Hal. 28-33.
Natalijah, N. 2020 Optimalisasi penggunaan hewan uji tikus (Rattus norvegicus) dalam uji in
vitro absorpsi obat per oral menggunakan metode usus terbalik. Indonesian Journal of
Laboratory, Vol. 3 No. 1, Hal. 15-19
Natalijah, N. 2020. Optimalisasi penggunaan hewan uji tikus (Rattus norvegicus) dalam uji in
vitro absorpsi obat per oral menggunakan metode usus terbalik. Indonesian Journal of
Laboratory, 3(1).
Oji V., and Luger T.A. 2015. The Skin in Psoriasis: Assessment and Challenges.Germany:
Department of Dermatology University Hospital Münster.
Ram, H. N. A., Shirwaikar, A., & Shirwaikar, A. 2007. In vitro and in situ absorption studies
of vasicine in rats. Indian Journal of Pharmaceutical Sciences, Vol. 69 No. 3, Hal. 365.
Sugianti, C., Apratiwi, N., Suhandy, D., Telaumbanua, M., Waluyo, S., & Yulia, M. 2017.
Studi Penggunaan UV-Vis Spectroscopy Untuk Identifikasi Campuran Kopi Luwak
dengan Kopi Arabika. Jurnal Teknik Pertanian Lampung (Journal of Agricultural
Engineering), Vol. 5 No. 3.
Sukmawati., Sri Sudewi., Julius Pontoh. 2018. Optimasi dan Validasi Metode Analisia Dalam
Penentuan Kandungan Total Flavonoid Pada Ekstrak Daun Gedi Hijau (Abelmoscus
manihot L.) Yang Diukur Menggunakan Spektrofotometer UV-VIS. Jurnal Ilmiah
Farmasi. 7(3). 32-41
Sulistia. 2012. Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Jakarta.
Tanojo, H. 1989. Studi In Vitro Absorpsi Perkutan Hidrokinon dalam Basis Krim dengan
Emulgator Trietanolamin Stearat, Tween-Span dan Coco-Betaine. Surabaya :
Universitas Airlangga.
Yuliandra. 2015. Uji Toksisitas Subkronis Ekstrak Etanol Tali Putri (Cassytha filiformis L.)
terhadap Fungsi Ginjal Tikus. Jurnal Sains Farmai & Klinis, 2 (1), 54-59.