Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM

BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA

Dosen Pengampu
Erwin Samsul, S. Farm., M. Si., Apt.

Disususn oleh:
Kelompok 11

Aji Siti Mila C (1913016167)


Otsuka Khaera Nurmala (1913016009)
Kartika Sukma Dewi (1913016145)
Khansa Rizky Maharani (1913016126)
Latifah Safitri (1913016063)
Muhammad Rizvan S.N (1913016107)
Vira Saphira Likrah (1913016035)
Yayu Nurfitriana (1913016079)

LABORATORIUM KLINIK DAN KOMUNITAS


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARIINDA
2021
A. Judul Praktikum
Absorpsi Obat secara In-Vitro

B. Tujuan
1. Mengetahui cara preparasi dan prinsip pengujiaan absorbansi secara in vitro
menggunakan usus terbalik.
2. Mengetahui cara menghitung kadar obat terabsorbsi dengan menggunakan usus.
C. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Alat-alat Gelas
b. Alat-alat Operasi
c. Kalkulator
d. Spektrofotometer UV-VIS
e. Tabung Crane dan Wilson yang dimodifikasi
f. Timbangan Analitik
g. Waterbath (Penangas Air)
2. Bahan
a. Alkohol
b. Asam Salisilat
c. Eter
d. Gas Oksigen
e. Larutan Dapar Fosfat pH 6,8
f. Marmut Jantan
g. NaCl fisiologis 0,9%
h. Seng Sulfat dan Ba(OH)2

D. Prosedur Kerja
Penentuan λ maksimum

Penentuan kurva baku

Penentuan absorbansi pada usus halus tikus


Marmut (dipuasakan 20-24 jam), dibunuh dengan eter
Buka perut marmot dan usus dikeluarkan

Diambil 15 cm usus dipotong untuk digunakan percobaan

Bagi dua usus sama panjang, 1 kontrol dan 1 untuk uji

Ujung usus diikat dengan benang dan dibalik dengan bantuang batang
gelas/pulpen 2 m, sehingga bagian mukosa berada diluar

Ujung usus dihubungkan dengan kanula (bagian dari alat Crane dan Wilson yang
dimodifikasi)

Panjang efektif usus 7 cm, sebelumnya diisi cairan serosal 1,4 ml (Larutan Dapar
Fosfat pH 6,8)

Kontrol usus dimasukkan ke cairan 7,5 ml (cairan lambumg buatan dan usus
buatan)
Kontrol → Tanpa Obat
Perlakuan → Mengandung Obat

Jaga agar usus selalu terendam dan doaliri gas oksigen (100 gelembung/menit)

Tentukan kadar obat dalam cairan serosal dalam waktu tertentu. (Cairan serosal
diambil melalui kanola seluruhnya, dan segera dicuci dengan larutan Larutan
Dapar Fosfat pH 6,8, isi lagi dengan 1,4 ml Larutan Dapar Fosfat pH 6,8)

Analisis Sampel

Analisis
Ambil 1 ml sampel + 2 ml Larutan seng sulfat 5% dan 2 ml Ba(OH)2 0,3 N

Kocok dan sentrifugasi selama 5 menit

Ambil bagian jernih, baca pada λ maks


0,18 g asetosal standar ditambahkan etanol hingga 10 mL. Kemudian dibuat menjadi
konsentrasi 120 ppm, 140 ppm, 160 ppm, 180 ppm, dan 200 ppm. Masing-masing larutan
dimasukkan ke dalam kuvet dan dimasukkan ke alat spektrofotometer UV-VIS di panjang
gelombang 235 nm. Lalu diukur masing-masing absorbansinya. Setelah itu dilakukan
perhitungan dan dibuat kurva kalibrasinya.

E. Hasil Pengamatan
1. Hasil Percobaan
Nama bahan obat : Asam Salisilat
Cairan serosal : Larutan Buffer Fosfat pH 6,8 2 buah @ volume 1. 1,4
ml
Medium cairan mukosal : NaCl fisiologis 0,9% @ volume 7,5 ml
Kadar obat : 0,01 M = 180 mg
Data penentuan kadar obat secara spektrofotometris, dilakukan pada λ maks = 235 nm
Kurva baku dengan persamaan garis: y = 48.9218x + 0.1546, r = 0.9967
Jenis Larutan Waktu (menit) Pengenceran Absorbansi
0 10 0.256
3 5 0.377
Kontrol 5 10 0.348
10 5 0.345
15 5 0.379
0 10 0.305
3 20 0.432
Sampel (Obat) 5 20 0.529
10 20 0.771
15 50 0.417

2. Perhitungan
Kontrol
1. Pada menit ke-0
0,256− 0,1546
Kadar asam salisilat (x) = 𝑥 10 = 2,07 x 10-2 ppm
48,9218

2. Pada menit ke-3


0,377− 0,1546
Kadar asam salisilat (x) = 𝑥 5 = 2,27 x 10-2 ppm
48,9218

3. Pada menit ke-5


0,348− 0,1546
Kadar asam salisilat (x) = 𝑥 10 = 3,95 x 10-2 ppm
48,9218

4. Pada menit ke-10


0,345− 0,1546
Kadar asam salisilat (x) = 𝑥 5 = 1,95 x 10-2 ppm
48,9218

5. Pada menit ke-15


0,379− 0,1546
Kadar asam salisilat (x) = 𝑥 5 = 2,29 x 10-2 ppm
48,9218

Sampel (Obat)
1. Pada menit ke-0
0,305− 0,1546
Kadar asam salisilat (x) = 𝑥 10 = 3,07 x 10-2 ppm
48,9218

2. Pada menit ke-3


0,432− 0,1546
Kadar asam salisilat (x) = 𝑥 20 = 1,13 x 10-1 ppm
48,9218

3. Pada menit ke-5


0,529− 0,1546
Kadar asam salisilat (x) = 𝑥 20 = 1,53 x 10-1 ppm
48,9218

4. Pada menit ke-10


0,771− 0,1546
Kadar asam salisilat (x) = 𝑥 20 = 2,52 x 10-1 ppm
48,9218

5. Pada menit ke-15


0,417− 0,1546
Kadar asam salisilat (x) = 𝑥 50 = 2,68 x 10-1 ppm
48,9218

Pada t = 0 menit
1. Kadar Sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 3,07 x 10-2 - 2,07 x 10-2
= 1,00 x 10-2 ppm
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
2. Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
1,00 x 10−2
= 𝑥 1,4
100

= 1,4 x 10-4 mg

Pada t = 3 menit
1. Kadar Sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 1,13 x 10-1 - 2,27 x 10-2
= 9,03 x 10-2 ppm
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
2. Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
9,03 x 10−2
= 𝑥 1,4
100

= 1,26 x 10-3 mg
Pada t = 5 menit
1. Kadar Sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 1,53 x 10-1 - 3,95 x 10-2
= 1,14 x 10-1 ppm
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
2. Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
1,14 x 10−1
= 𝑥 1,4
100

= 1,59 x 10-3 mg
Pada t = 10 menit
1. Kadar Sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 2,52 x 10-1 - 1,95 x 10-2
= 2,33 x 10-1 ppm
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
2. Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
2,33 x 10−1
= 𝑥 1,4
100

= 3,26 x 10-3 mg
Pada t = 15 menit
1. Kadar Sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 2,68 x 10-1 - 2,29 x 10-2
= 2,45 x 10-1 ppm
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
2. Jumlah Obat = 𝑥 1,4
100
2,45 x 10−1
= 𝑥 1,4
100

= 3,43 x 10-3 mg
Tabel kadar sampel dan jumlah obat
Waktu (menit) Kadar Sampel (ppm) Jumlah Obat (mg)

0 1,00 x 10-2 1,4 x 10-4

3 9,03 x 10-2 1,26 x 10-3

5 1,14 x 10-1 1,59 x 10-3

10 2,33 x 10-1 3,26 x 10-3

15 2,45 x 10-1 3,43 x 10-3

Hasil Data Penelitian (Sianipar, 2007)

Nama bahan obat : Furosemide

Cairan serosal : Larutan Buffer Fosfat pH 6,0 volume 2 ml

Medium cairan mukosal : Larutan Buffer Fosfat pH 6,0 volume 75 ml

Kadar Obat : 0,003 M

Data penentuan kadar obat secara spektrofotometris, dilakukan pada λmaks = 277 nm

Kurva baku dengan persamaan garis y = 0,0634x – 0,0079, r = 0,9998

Jenis Larutan Waktu (menit) Pengenceran Absorbansi

5 3 0,0299

10 3 0,0131
Kontrol
15 1,5 0,0122

20 1,5 0,0106

25 3 0,0117

5 3 0,1058

10 3 0,0686
15 1,5 0,0176

20 1,5 0,0126
Sampel (Obat)
25 3 0,0156

PERHITUNGAN
Kontrol
1. Pada menit ke 5
0,0299−0,0079
Kontrol (x) = x 3 = 1,04 ppm
0,0634

2. Pada menit ke 10
0,0131−0,0079
Kontrol (x) = x 3 = 2,46. 10-1 ppm
0,0634

3. Pada menit ke 15
0,0122−0,0079
Kontrol (x) = x 1,5 = 1,02. 10-1 ppm
0,0634

4. Pada menit ke 20
0,0106−0,0079
Kontrol (x) = x 1,5 = 6,39. 10-2 ppm
0,0634

5. Pada menit ke 25
0,0117−0,0079
Kontrol (x) = x 3 = 1,80. 10-1 ppm
0,0634

Obat
1. Pada menit ke 5
0,1058−0,0079
Kadar Furosemide (x) = x 3 = 4,63 ppm
0,0634

2. Pada menit ke 10
0,0686−0,0079
Kadar Furosemide (x) = x 3 = 2,87 ppm
0,0634

3. Pada menit ke 15
0,0176−0,0079
Kadar Furosemide (x) = x 1,5 = 2,29. 10-1 ppm
0,0634

4. Pada menit ke 20
0,0126−0,0079
Kadar Furosemide (x) = x 1,5 = 1,11. 10-1 ppm
0,0634

5. Pada menit ke 25
0,0156−0,0079
Kadar Furosemide (x) = 0,0634
x 3= 3,64. 10-1 ppm
Kadar Sampel

1. Pada t = 5 menit
a. Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol

= 4,63 - 1,04 = 3,59 ppm

𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
b. Jumlah Obat = x2
100
3,59
= x 2 = 7,18. 10-2 mg
100

2. Pada t = 10 menit
a. Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 2,87 - 2,46. 10-1 = 2,62 ppm
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
b. Jumlah Obat = x2
100
2,62
= x 2 = 5,24. 10-2 mg
100

3. Pada t = 15 menit
a. Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol

= 2,29. 10-1 - 1,02. 10-1 = 1,27. 10-1 ppm

𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
b. Jumlah Obat = x2
100
1,27.10−1
= x 2 = 2,54. 10-3 mg
100

4. Pada t = 20 menit
a. Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol

= 1,11. 10-1 - 6,39. 10-2 = 4,71. 10-2 ppm

𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
a. Jumlah Obat = x2
100
4,71.10−2
= x 2 = 9,42. 10-4 mg
100

5. Pada t = 25 menit
a. Kadar sampel = kadar obat – kadar kontrol
= 3,64. 10-1 - 1,80. 10-1 = 1,84. 10-1 ppm
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
b. Jumlah Obat = x2
100
1,84.10−1
= x2
100
= 1,68. 10-3 mg

Waktu (menit) Kadar Sampel (ppm) Jumlah obat (mg)

5 3,59 7,18. 10-2

10 2,62 5,24. 10-2

15 1,27. 10-1 2,54. 10-3

20 4,71. 10-2 9,42. 10-4

25 1,84. 10-1 1,68. 10-3

F. Poin Laporan (Soal-Soal)


1. Apa yang dimaksud dengan absorbsi?
Jawab:

Absorbsi merupakan proses dimana pengmbilan zat dari permukaan tubuh ke dalam
sirkulasi darah (Arsyto,2000).

2. Dimana dan organ apa saja yang terlibat dalam proses absorbsi
Jawab:

Beberapa obat diabsorbsi dilambung. Namun duodenum merupakan jalan masuk


utama di sirkulasi sistemim dimana permukaan absorbsinya yang lebih besar.
Kebanyakan obat diabsorbsi dari saluran cerna dan masuk kehati sebelum disebarkan
ke sirkulasi umum. Dan metabolisme langkah pertama yaitu usus atau hati.

(Noviani,2017)
3. Jelaskan prinsip Percobaan ini?
Jawab :
Metode in vitro dasarnya menggunakan prinsip difusi dimana bahan obat
melalui membran yang bersifat sebagai penentu kecepatan. Pada umumnya obat
diabsorbsi dari saluran pencernaan dengan mekanisme difusi pasif. Molekul obat
berdifusi dari daerah konsentrasi tinggi (Cairan gastrointestinal) Kedaerah konsentrasi
rendah Darah .
(Tanojo,1989)
4. Kenapa harus ditentukan panjang gelombang maksimum terlebih dahulu?
Jawab :
Penentuan panjang gelombang maksimum terlebih dahulu dilakukan karena
pada panjang gelombang maksimal tersebut kepekaannya juga maksimal karena
perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi sampel, dan agar mengetahui
daerah serapan yang dapat dihasilkan berupa nilai absorbsinya.
(Sukmawati, dkk, 2018).
5. Fungsi kurva baku pada praktikum ini?
Jawab:
Fungsi kurva baku pada praktikum ini adalah digunakan sebagai mencari
persamaan regresi linear sehingga dapat digunakan dalam penetapan suatu kadar obat
yang absorbansinya telah diukur (Budiarti dan Sumantri, 2016).\

6. Selain marmut apakah boleh menggunakan hewan lain? Apa alasannya?


Jawab :
Dapat menggunakan hewan lain seperti tikus. Akan tetapi diperlukan hewan uji
yang cukup banyak karena replikasi dan komparasi dilakukan pada segmen usus
sepanjang total 15-20 cm pada lokasi yang sama dari hewan uji yang berbeda. Supaya
mempunyai panjang yang cukup untuk dihubungkan pada tabung crane dan Wilson.
Penggunaan lokasi yang sama pada segmen usus halus ditujukan untuk memastikan
validitas data yang telah didapatkan (Natalijah, 2020).
7. Alasan hewan dipuasakan 20-24 jam terlebih dahulu?
Jawab:
Alasan dipuasakannya hewan uji yaitu agar tidak ada makanan yang
mempengaruhi proses pengujian. Selain itu, agar kondisi hewan uji sama dan
mengurangi pengaruh makanan yang dikonsumsi terhadap absorpsi sampel yang
diberikan (Aulia, 2015).
8. Jelaskan alasan pemilihan usus pada praktikum ini?
Jawab:
Karena usus halus mempunyai karakteristik anatomi dan fisiologi yang
menguntungkan untuk penyerapan obat. Pada permukaan usus terdapat banyak
lipatan-lipatan mukosa yang banyak di daerah duodenum dan jejenum yang berperan
dalam penyerapan obat (Aiche, 1993).
9. Kenapa ada kelompok kontrol dan kelompok uji? Apa fungsinya?
Jawab :
Kelompok kontrol merupakan subjek eksperimental yang hanya diperlakukan
untuk hanya diinduksi saja tanpa diberi suatu variable independen. Sedangkan
kelompok uji yaitu subjek eksperimental yabg diinduksi kemudian diberi variable
independen berupa ektrak. Fungsi dari adanya kedua kelompok ini untuk membedakan
efek yang terjadi akibat perlakuan antara ekstak dengan yang tidak diberi ekstrak.
(Yuliandra, 2015)
10. Kenapa usus harus diletakkan terbalik (bagian dalam ke luar atau sebaliknya)?
Jawab :
Metode usus terbalik yang digunakan merupakan teknik in vitro sederhana. Metode
usus terbalik dilakukan dengan membalikan usus sehingga bagian dalam usus berada
pada luar dan berhadapan dengan cairan mucosal yang terdapat dalam tabung Crane
dan Wilson, pH cairan mucosal disesuaikan dengan pH cairan lambung yaitu pH 1.2
dan pH usus yaitu pada pH 7.5, selain itu juga di dalam tabung dialirkan oksigen
sehingga proses absorpsi yang terjadi menyamai dengan proses absorpsi yang terdapat
di dalam tubuh (Depkes RI, 1995).
11. Apa perbedaan cairan mucosal da cairan serosal? Jelaskan fungsinya?
Jawab :
Cairan serosal merupakan cairan yang digunakan untuk membersihkan usus dari
lemak serta pengotor lainnya. Cairan serosal juga sebagai larutan fisiologis supaya usus
tetap hidup dan sel-sel pada usus tidak mati. Sementara itu, cairan mucosal ialah cairan
berada di lambung dan usus. Cairan mucosal berfungsi agar obat (asam salisilat) yang
terdapat di dalam cairan mucosal lambung dalam bentuk molekul lebih banyak
sehingga lebih mudah menembus membran dibandingkan dengan obat (asam salisilat)
berada pada cairan mukosal usus, karena obat yang bersifat asam akan lebih banyak
terabsorpsi pada pH lingkungan yang rendah (asam), serta pada pH rendah obat asam
salisilat akan berada dalam bentuk molekul yang lebih banyak dibandingkan dengan
bentuk ionnya sehingga asam salisilat akan lebih mudah terabsorpsi (Watson, 2005)
12. Apa alasan pemilihan suhu sebesar 37 oC pada percobaan ?
Jawab :
Suhu 37 oC digunakan pada percobaan agar kondisi percobaan sama dengan kondisi
tubuh, sehingga menghasilkan data yang akurat karena jika tidak dibuat sesuai dengan
kondisi suhu tubuh bisa jadi absorpsi yang terjadi mengalami peningkatan atau
penurunan dari kemampuan absorpsi pada usus yang seharusnya (Aminah, 2010)
13. Apa alasan dialirkan oksigen pada percobaan ?
Jawab :
Oksigen dialirkan pada percobaan bertujuan untuk menjaga sel agar tetap hidup
sehingga usus tetap masih bisa mengabsorpsi obat seperti saat di dalam tubuh (Aminah,
2010).
14. Apa fungsi larutan seng sulfat dan Ba(OH)2?
Jawab:
Zink atau seng berfungsi untuk menjaga stamina tubuh, pengobatan serta
pencegahan defisiensi zink serta konsekuensi yang muncul akibat defisiensinya
(Istadi, 2011).

Barium Hidroksida (Ba(OH)2) digunakan dalam kimia analitik untuk titrasi asam
lemah terutama asam organik. Larutan berairnya yang jernih bebas karbonat, tidak
seperti natrium hidroksida dan kalium hidroksida. Barium hidroksida juga dapat
digunakan untuk memproduksi sabun barium dengan zat aditif sebagai pelumas dengan
suhu tinggi. Pada aplikasi kimia barium hidroksida digunakan untuk proses
penyulingan minyak nabati, vulkanisasi sintetiskaret, sebagai cairan pengeboran,
inhibitor korosi, bahan pada komposisi penyegelan, serta sebagai stabilisator plastik
(Fauzana, 2018).

15. Keuntungan dan kekurangan metode usus terbalik?


Jawab :
Keuntungan dari metode usus terbalik yaitu teknik in vitro yang cukup mudah
untuk dilaksanakan serta dapat ditemukan seluruh tipe sel dan lapisan mukosa yang
mencerminkan proses atau lingkungan sebenarnya saat obat mengalami proses absorbsi
di usus, mengestimasi level first pass metabolisme obat pada sel epithelial usus.
Sedangkan kerugian metode ini yaitu dari kondisi usus itu sendiri seperti
ketidakmampuan usus untuk mempertahankan strukturnya dalam jangka waktu yang
lama (Natalijah, 2020, Ram, 2007).
16. Kenapa pada hasil terdapat pengenceran? Apa fungsinya?
Jawab :
Fungsi pengenceran yaitu untuk membuat larutan yang pekat (larutan induk)
menjadi larutan yang lebih encer dengan penambahan sejumlah pelarut pada larutan
dengan volume dan konsentrasi tertentu agar diperoleh volume akhir yang lebih besar
(Sugianty,2017).
17. Apa perbedaan proses absobrsi aktif dan pasif
Jawab :
Absorpsi obat adalah proses senyawa obat dipindahkan dari tempat absorpsinya ke
sirkulasi sistemik. Absorpsi pasif dikenal juga dengan Difusi yaitu pergerakan pada
obat yang berawal dari konsentransi tinggi menuju konsentrasi rendah. Perbedaan yang
paling terihat dari absorpsi aktif dan abosrpsi pasif adalah pada penggunaan energi
(Mariam, 2016).

18. Apa fungsi NaCl fisiologis 0,9% dan buffer fosfat pH 6,8 ?
Jawab :
Fungsi NaCl 0,9% (garam fisiologis) adalah untuk menghapus semua residu dan
untuk menghilangkan semua partikel yang tidak terserap sebelum dibuka melalui
pertengahan garis sayatan (Oji dan Luger,2015). Selain itu NaCl 0,9% juga berfungsi
sebagai larutan fisiologis agar usus tetap hidup dan sel-sel tidak mati serta untuk
mencegah pengerutan pada usus (Ansel & Prince, 2004).
Fungsi Buffer Fosfat pH 6,8 adalah sebagai larutan buffer karena memiliki sifat
isotonis dan mampu menahan perubahan pH ketika ion-ion hidrogen atau hidroksida
ditambahkan atau ketika larutan itu diencerkan disebut larutan penyangga atau
larutandapar (Day & Underwood, 2002).

19. Apakah ada hubungan antara absorbs dan T ½ jika dilihat pada hasil percobaan ini ?
Jawab :

Ya, ada hubungan antara absorbs dan T ½ pada percobaan kali ini. Hubungan
tersebut terlihat pada saat proses inhibisi dimana T1/2 menurun dan absorbsinya tetap
sehingga metabolismenya dapat berjalan dengan cepat. Dengan administrasi oral, onset
dari efek obat sangat ditentukan oleh laju dan lamanya absorpsi dari traktus
gastrointestinal. Laju absorpsi dan T1/2 adalah fraksi bioavailabilitas. Jumlah obat pada
sirkulasi sistemik setelah absorpsi tingkat pertama dari tempat penyimpanan, seperti
lambung, injeksi intramuskuler, kulit, atau bahkan dosis epidural di deskripsikan oleh
persamaan ini .

20. Jelaskan apa yang dimaksud dengan in vitro dan in vivo ?


Jawab :
In vitro (suatu uji yang dilaksanakan diluar tubuh hewan coba) dan In vivo (suatu
uji yang dilaksanakan didalam tubuh hewan coba) . Dapat diketahui bahwa pada uji
aktivitas secara in vitro dilaksanakan terhadap jenis obat terbatas seperti obat
antimikroba, obat anti kanker,obat anti parasit dan anti jamur, menggunakan media
tertentu sebagai subjek penelitian. Hubungan antara uji invitro dan in vivo ini ketika
bahan uji yang telah dibuktikan aktivitasnya secara in vitro maka harus dilanjutkan
dengan uji aktivitas in vivo pada hewan coba (Sulistia,2012).

21. Bandingkan hasil dari obat yang kalian tentukan sendiri absorbansinya!
Jawab :
Terdapat perbedaan dari absorbansi yang didapat dari hasil percobaan dan dari
absorbansi yang berbeda percobaan. Pertama, dikarenakan larutan kontrol yang
digunakan berbeda dari jumlah volume dan konsentrasi serta pH yang digunakan,
kemudian durasi lamanya waktu yang dibutuhkan serta pengenceran yang digunakan
akan sangat berpengaruh dalam kadar sampel, dan jumlah obat. Karena dalam rumus
perhitungan terdapat nilai absorbansi yang harus dimasukkan. Oleh karena, itu apabila
terdapat perubahan pada nilai absorbansi nya. Maka akan berpengaruh dalam
perubahan kadar sampel dan jumlah obat yang terdapat dalam percobaan tersebut.
(Kumar et al., 2014)
22. Simpulkan hubungan antara absorbsi dan kelarutan?
Jawab :
Absorbsi adalah peristiwa suatu zat aktif yang dapat melewati jalur pemberian obat
masuk ke dalam system peredaran darah, penyerapan obat terjadi secara langsung
dengan mekanisme perlintasan membrane. Sedangkan kelarutan merupakan factor
fisikokimia yang dapat memberikan pengaruh pada penyerapan dan efektivitas
daripada terapi obat. Zat aktif yang mempunyai kelarutan buruk akan membuat
Bioavailabilitas yang rendah pada tubuh. Dikarenakan sebelum terjadinya absorbsi,
obat akan melewati tahap desintegrasi, deagregasi, dan disolusi. Disolusi merupakan
proses lepasnya zat aktif obat dari bentuk sediaannya ke dalam medium disolusi. Laju
dari disolusi tersebut akan dipengaruhi oleh kelarutan obat tersebut sehingga menjadi
tahap penentu absorbsi obat. Seperti yang terlihat dari hasil percobaan pada obat metal
salisilat. Semakin tinggi pengenceran yang dilakukan maka akan menurunkan hasil dari
absorbsi dan semakin lama waktu yang dibutuhkan. Maka nilai absorbansi akan
semakin tinggi. Dikarenakan pada saat pengenceran, maka kelarutan akan berkurang
sehingga mengurangi kualitas absorbsi obat tersebut. Kesimpulan yang bisa diambil
adalah apabila kelarutan dari suatu obat tersebut baik, maka proses absorbsi akan
berjalan lancar dan cepat,dan begitu pula sebaliknya. (Kumar et al., 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Aiache, J. M., dan Devissaguet, J. Ph. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasi diterjemahkan oleh Dr.
Widji Soeratri. Edisi kedua. Hal 405-433. Surabaya: Airlangga University Press.

Ansel, H. C., & Prince, S. J. (2004). Kalkulasi Farmasetik. Jakarta: EGC.

Arsyto, Rizaqa Prema. 2000. Pengaruh Malnutrisi Terhadap Difusi Pasif Parasetamol Pada
Tikus Putih Jantan Dengan Metode Usus Terbalik. Yogyakarta : Universitas Sanata
Dharma.

Aulia, Dini Nur., Suwendar., dkk. 2015. Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Sereh Wangi
(Cymbopogon Nardus L. Rendle) pada Tikus Wistar Jantan. Prosiding SPeSIA Unisba,
2, 135-139.

Budiarti, A., KW, A. F., dan Sumantri, S. 2016. Perbandingan Metode Penetapan Kadar
Simetidin Menggunakan Spektrofotometri Uv Dan Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi. Jurnal Ilmu Farmasi dan Farmasi Klinik, 13(1): 8-14.

Day, R. ., & Underwood, A. . (2002). Analisis Kimia Kuantitatif (Edisi Keen, p. 148).
Jakarta:Penerbit Erlangga.

Depkes RI, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, Departemen kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta, hal. 51.

Fauzana C.Y, dkk. 2018. Ba(OH)2 : Transpor Ionik Pada Barium Hidroksida di Dalam Air
Dengan Konsep Termodinamika.

Istadi, D. 2011. Daya Hambat Zink Sulfat Terhadap Bakteri Porphyromonas Gingivalis Pada
Kasus Abses Dentoal Veolar. Tesis. Universitas Gadjah Mada.

Kumar V, Abbas AK, Aster JC. 2014. Robbins Basic Pathology. 9th ed. Philadelphia: Elsevier.

Mariam, S. 2016. Evaluasi kejadian interaksi obat pada pasien rawat inap geriatri penderita
gagal jantung. Jurnal Farmamedika (Pharmamedika Journal, Vol. 1 No. 1, Hal. 28-33.

Natalijah, N. 2020 Optimalisasi penggunaan hewan uji tikus (Rattus norvegicus) dalam uji in
vitro absorpsi obat per oral menggunakan metode usus terbalik. Indonesian Journal of
Laboratory, Vol. 3 No. 1, Hal. 15-19
Natalijah, N. 2020. Optimalisasi penggunaan hewan uji tikus (Rattus norvegicus) dalam uji in
vitro absorpsi obat per oral menggunakan metode usus terbalik. Indonesian Journal of
Laboratory, 3(1).

Noviani, Nita. 2017. Farmakologi. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.

Oji V., and Luger T.A. 2015. The Skin in Psoriasis: Assessment and Challenges.Germany:
Department of Dermatology University Hospital Münster.

Ram, H. N. A., Shirwaikar, A., & Shirwaikar, A. 2007. In vitro and in situ absorption studies
of vasicine in rats. Indian Journal of Pharmaceutical Sciences, Vol. 69 No. 3, Hal. 365.

Sugianti, C., Apratiwi, N., Suhandy, D., Telaumbanua, M., Waluyo, S., & Yulia, M. 2017.
Studi Penggunaan UV-Vis Spectroscopy Untuk Identifikasi Campuran Kopi Luwak
dengan Kopi Arabika. Jurnal Teknik Pertanian Lampung (Journal of Agricultural
Engineering), Vol. 5 No. 3.

Sukmawati., Sri Sudewi., Julius Pontoh. 2018. Optimasi dan Validasi Metode Analisia Dalam
Penentuan Kandungan Total Flavonoid Pada Ekstrak Daun Gedi Hijau (Abelmoscus
manihot L.) Yang Diukur Menggunakan Spektrofotometer UV-VIS. Jurnal Ilmiah
Farmasi. 7(3). 32-41

Sulistia. 2012. Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Jakarta.

Tanojo, H. 1989. Studi In Vitro Absorpsi Perkutan Hidrokinon dalam Basis Krim dengan
Emulgator Trietanolamin Stearat, Tween-Span dan Coco-Betaine. Surabaya :
Universitas Airlangga.

Watson, D.G., 2005. Analisis Farmasi. Jakarta:EGC. Hal 198

Yuliandra. 2015. Uji Toksisitas Subkronis Ekstrak Etanol Tali Putri (Cassytha filiformis L.)
terhadap Fungsi Ginjal Tikus. Jurnal Sains Farmai & Klinis, 2 (1), 54-59.

Anda mungkin juga menyukai