Anda di halaman 1dari 9

BAB III

ABSORBSI OBAT SECARA IN SITU

I. Tujuan :
Mempelajari pengaruh pH terhadap absorbsi obat yang diabsorbsi melalui difusi pasif
dan percobaan dilakukan secara in situ

II. Dasar Teori :


Percobaan absorbsi obat secara in situ melalui usus halus didasarkan atas
penentuan kecepatan hilangnya obat dari lumen usus halus setelah larutan obat
dengan kadar tertentu dilewatkan melalui lumen usus halus secara perfusi dengan
kecepatan tertentu. Cara ini dikenal pula dengan nama teknik perfusi, karena usus
dilubangi untuk masuknya ujung kanul, satu kanul di bagian ujung atas usus untuk
masuknya sampel cairan percobaan dan satu lagi bagian bawah untuk keluarnya
cairan tersebut.
Cara ini didasarkan atas asumsi bahwa obat yang dicobakan stabil, tidak
mengalami metbolisme dalam lumen usus, sehingga hilangnya obat dari lumen
usus akan muncul dalam darah atau plasma darah, atau dengan perkataan lain
hilangnya obat dari lumen usus tersebut adalah karena proses absorbsi.
Bagi obat-obat yang berupa asam lemah atau basa lemah, pengaruh PH
terhadap kecepatan absorbsi sangat besar, karena pH akan menentukan besarnya
fraksi obat dalam bentuk tak terionkan. Bentuk ini yang dapat terabsorbsi secara baik
melalui mekanisme difusi pasif.
Metode ini dapat digunakan untuk mempelajari berbagai factor yang dapat
berpengaruh pada permeabilitas dinding usus dari berebagai macam obat.
Pengembangan lebih lanjut dapat digunakan untuk merancang obat dalam upaya
mengoptimalkan kecepatan absorbsinya melalui pembentukan prodrug, khususnya
untuk obat-obat yang sangat sulit atau praktis tidak dapat terabsorbsi. Melalui
metode ini akan dapat diungkapkan pula besarnya permeabilitas membran usus
terhadap obat melalui lipoid pathway, pori, dan aqueous boundary layer.
Metode Trough and Trough merupakan salah satu cara pengobatan in situ. Cara
ini dilakukan dengan menentukan fraksi obat yang terabsorbsi, setelah larutan obat
dialirkan melalui lumen intestine yang panjangnya tertentu dan kecepatan alirnya
tertentu pula. Dalam keadaan tunak proses absorbsi dapat dinyatakan dengan
persamaan :
Dimana:
C(1)= Kadar larutan obat mula-mula
C(0)= Kadar larutan obat setelah dialirkan melalui intestine sepanjang 1cm.
r = jari-jari penampang lintang intestin
l = Panjang usus dalam cm
Q = Kecepatan alir larutan obat dalam mL menit -1
Papp = tetapan permeabilitas semu

III. Alat & Bahan :


a. Alat yang digunakan :
1. Kanula satu set
2. Cutter listrik
3. Timer/jam
4. Gelas piala besar (tempat untuk anestesi)
5. Spektrofotometee
6. Alat & perlengkapan operasi (meja operasi,gunting, pinset, benang, penggaris)
7. Pompa peristaltik
8. Alat-alat gelas
9. Timbangan hewan percobaan

b. Bahan-bahan percobaan :
1. Larutan dapar fosfat berbagai pH
2. Larutan obat dalam dapar fosfat pada berbagai pH
3. Tikus putih jantan dengan berat 150-170 gram
4. Larutan uretan 40% steril
5. Larutan natrium klorida 0,9%b/v

IV. Cara Kerja


a. Persiapan Hewan Uji
1. Timbang hewan uji berupa tikus ditimbang.
2. Kapas dibasahi dengan kloroform.
3. Masukkan hewan uji tikus dan kapas yang sudah dibasahi klroform kedalam
tabung.
4. Biarkan tikus sampai mati.
5. Tikus dibuka rongga perutnya menurut arah linea mediana.

b. Persiapan Praktikum
Membuat larutan dapar asetat ph 4,5 0,05 M sebanyak 1000ml.
1. Menimbang 2,99 gram Na Acetat.
2. Ditambah 1,66ml asam acetat glacial (dalam labu takar 1000ml).
3. Ditambahkan aquadest ad tanda batas.
Membuat kurva baku asetosal
1. Ditimbang dengan seksama 140 mg asetosal.
2. Dilarutkan asetosal dengan alkohol 95% beberapa tetes dalam labu takar
50 ml, ditambahkan dapar acetat ad tanda batas (larutan stock).
3. Dengan pipet volume diambil 1ml ; 1,5ml ; 2ml ; 2,5ml ; 3ml larutan stock
diatas. Masing-masing dimasukkan dalam labu takar 50 ml dan
ditambahkan larutan dapar ad tanda batas.
4. Dibaca absorbansi masing-masing larutan pada = 265 nm dengan blangko
dapar acetat.
5. Dibuat persamaan kurva baku acetosal antara konsentrasi (x) Vs
absorbansi (y).

c. Persiapan Uji Absorbsi In Situ


1. Setelah rongga perut dibuka, dicari bagian lambung dan diukur kearah kanal
kira-kira 15cm dari lambung dengan pertolongan benang. Pemasangan kanul
sedimikian rupa sehingga ujungnya mengarah kebagian anal.
2. Dari ujung kanul ini ususdiukur lagi dengan pertolongan benang kearah anal
sepanjang 20cm, dan disitu dibuat lubang kedua, selanjutnya dipasang pula
kanul kedua dengan ujung kanul mengarah kebagian oral dari usus dengan
benang.
3. Kanul pertama dihubungkan dengan reservoir larutan dapar fosfat dengan pH
4,5 melalui menggunakan spuit dan kanul kedua dihunungkan dengan
penampung.
4. Kemudian usus dibersihkan hingga kotoran yang terdapat dalam usus bersih
dengan cara menampung larutan dapar yang keluar dari kanul kedua,
kemudian mengukur volumenya, maka kecepatan alir melalui intestine dapat
ditentukan. Lalu kadar obat dalam larutan dapat ditentukan secara
spektrofotometris.

V. Data Percobaan
a. Nama bahan obat : Asetosal
b. Medium : Usus
c. Data Kurva Baku

No Absorbansi Konsentrasi
1 0,176 5,6
2 0,275 8,4
3 0,391 11,2
4 0,473 14
5 0,56 16,8
6 0,538 19,6

1. Persamaan kurva baku :


140 mg 280 mg
50 ml = 100 ml = 280mg%

V1 N1 = V2 N2
1 ml 280 = 50 ml N2
280
N2 = 50

= 5,6 mg%
a = 0,056
b = 0,027
r = 0,970
persamaan kurva baku : y = a + b.x
y = 0,056 + 0,027.x

2. Konsentrasi Larutan Asetosal (200 ppm)


Absorbansi larutan awal = 0,500
Y = a + b .x
0,500 = 0,056 + 0,027 x
0,500 0,065 = 0,027 x
0,444 = 0,027
X= 16,44 mg%

d. Identitass penelitian

No.Hewa Berat Tikus Panjang Diameter Lama alir Kecepatan


n (gram) Usus (cm) Usus (cm) Lart Obat Alir
1 200 20 0,4 14,14 0,71
2 200 20 0,4 12,37 0,81
3 200 20 0,5 10 1
4 200 20 0,4 10,26 0,975
5 200 20 0,4 4,9 2,04
6 200 20 0,35 5,02 1,99

e. Data penentuan kadar obat secara spektrofotometri

No.Hewan Larutan Awal Larutan Akhir Factor


Absorbansi Konsentrasi Absorbansi Konsentrasi
Pengenceran
1 0,500 16,44 0,537 178,1 10 X
2 0,500 16,44 0,768 263,7 10 X
3 0,500 16,44 0,742 254,07 10 X
4 0,500 16,44 0,293 87,8 10 X
5 0,500 16,44 0,482 157,78 10 X
6 0,500 16,44 0,625 210,74 10X

VI. ANALISA DATA


a. Papp tikus 1 :
Q C (1) 0,71 16,44
ln
( 2. r . L ) ( ln C (2) ) = ( 2. 0,4. 20 ) ( 178,1 ) = - 0,1057 ml/ menit.

cm2

b. Papp tikus 2 :
Q C (1) 0,81 16,44
ln ln
( 2. r . L ) ( C (2) ) = ( 2. 0,4. 20 ) ( 263,7 ) = - 0,1405 ml/ menit.

cm2

c. Papp tikus 3 :
Q C (1) 1 16,44
ln ln
( 2. r . L ) ( C (2) ) = ( 2. 0,5. 20 ) ( 254,07 ) = - 0,136 ml/ menit.

cm2

d. Papp tikus 4 :
Q C (1) 0,975 16,44
ln
( 2. r . L ) ( ln C (2) ) = ( 2. 0,4. 20 ) ( 87,8 ) = - 0,10209 ml/

menit. cm2

e. Papp tikus 5 :
Q C (1) 2,04 16,44
ln
( 2. r . L ) ( ln C (2) ) = ( 2. 0,4. 20 ) ( 157,78 ) = - 0,2883 ml/

menit. cm2

f. Papp tikus 6 :
Q C (1) 1,99 16,44
ln
( 2. r . L ) ( ln C (2) ) = ( 2. 0,35. 20 ) ( 210,74 ) = - 0,3622 ml/

menit. cm2

papp tikus(1+ 2+ 3+4 +5+6)


Rata-rata Papp tikus = 6
=

(0,1057 )+ (0,1405 ) + (0,136 ) + (0,10209 ) + (0,2883 ) +(0,3622)


6

1,13479
= 6

= -0,1891 ml/ menit. cm2

VII. PEMBAHASAN
Pada dasarnya uji insitu merupakan uji yang dilakukan dalam target tertentu
yang masih berada dalam sistemorganisme hidup. Namun pada praktikum, hewan uji
tikus dikorbankan dahulu dengan eter. Hal ini dapat dipengaruhi dara yang diperoleh
antara hewan uji yang hidup dan yang mati, karena hewan uji hidup bias dipengaruhi
missal gerakan peristaltic saluran cerna, supply oksigen dan lain-lain.
Kotoran pada usus dibersihkan menggunakan spuit karena dapat
mempengaruhi absorbsi. Namun spuit juga dapat mempengaruhi data karena
perbedaan kecepatan alir dan gravitasi.
Papp menunjukkan tingkat permeabel dan membrane, semakin tinggi maka
waktu obat di dalam membrane untuk absorbs semakin lama, sebaliknya jika rendah
maka obat akan cepat keluar dan efek yang diinginkan tidak tercapai.
Pada perhitungan papp tiap tikus, nilainya berbeda-beda, hal ini dipengaruhi
oleh nilai kecepatan alir (Q) dan lama alir. Lama alir tiap kelompok sendiri
menunjukkan hasil yang terlalu jauh satu sama lain, ini bias terjadi karena adanya
kesalahan dalam praktikum (misal: saat menggunakan spuit, perhitungan waktu dan
lain-lain).

VIII. KESIMPULAN
Dari hasil perhitungan praktikum, niali papp dari kelompok 1-6 berturut-turut
adalah - 0,1057 ml/ menit. cm2 , - 0,1405 ml/ menit. cm2 , - 0,136 ml/ menit. cm2, -
0,10209 ml/ menit. cm2, - 0,2883 ml/ menit. cm2, - 0,3622 ml/ menit. cm2.
Menunjukkan bahwa waktu paling lama dalam membaran untuk diabsorbsi adalah
kelompok 6, sebaliknya obat yang paling cepat keluar adalah kelompok 1

IX. DAFTAR PUSTAKA


Petunjuk Praktikum Biofarmasetika Universitas Setia budi
Kecepatan disolusi intrinsik.wikipedia.com
Anonim. 1995. Farmakologi dan Terapi (Edisi VI). Jakarta: Universitas
Indonesia
Anonim. 1997. Farmakologi dan Terapi (Edisi III). Jakarta: Departemen
Kesehatan RI

Untuk pembuatan kurva baku, dilakukan dengan membuat larutan asetosal dengan
lima seri konsentrasi. Pertama, dibuat larutan stok asam asetil salisilat 1000 ppm dalam
pelarut etanol. Pelarut etanol digunakan agar kondisi pengukuran sampel dengan baku adalah
sama. Dibuat larutan dengan konsentrasi bertingkat dengan melakukan pengenceran terhadap
larutan stok asam asetil salisilat, yaitu 120, 140, 160, 180 dan 200 ppm. Masing-masing
konsentrasi larutan tersebut diukur absorbansinya pada spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran
absorbansi dari asetosal dengan spektrofotometer UV-Vis dilakukan pada panjang gelombang
maksimum karena pada panjang gelombang maksimum, kepekaannya juga maksimum karena
pada panjang gelombang maksimum tersebut, perubahan absorbansi untuk setiap satuan
konsentrasi adalah yang paling besar. Di sekitar panjang gelombang maksimum juga, bentuk
kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut hukum Lambert Beer terpenuhi. Selain itu,
jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang
panjang gelombang akan kecil sekali ketika digunakan panjang gelombang maksimul
(Gholib, 2007). Panjang gelombang maksimum yang didapat dari percobaan dan digunakan
untuk pengukuran asetosal adalah 297 nm.
Setelah kelima seri konsentrasi tersebut diukur absorbansinya, kemudian dibuat kurva
yang merupakan hubungan antara absorbansi (sumbu y) dengan konsentrasi (sumbu x).
Pada konsentrasi 120 ppm, absorbansi sampel rata-rata adalah 0,33067 , pada
konsentrasi 140 ppm, absorbansinya 0,3773 , pada konsentrasi 160 ppm, absorbansi sampel
0,4626 , pada konsentrasi 180 ppm, absorbansi 0,5102 dan pada konsentrasi 200 ppm,
absorbansinya 0,5187. Dari data absorbansi dan konsentrasi asetosal, didapatkan persamaan
kurva yaitu :
y= 0,0025448 x + 0,032726
dimana y merupakan absorbansi dan x merupakan konsentrasi. Nilai r dari kurva yaitu 0,970.
Persamaan yang didapatkan dari kurva baku ini digunakan selanjutnya dalam menghitung
konsentrasi sampel.
(BM= 315,47) (FI IV, 1995 hal 1137) dan dilarutkan kedalam air panas sebanyak 100 ml.
Sedangkan sengsulfat (ZnSO4. H2O) ditimbang sebanyak 5 gram dan dilarutkan kedalam 100
ml air (BM= 179,46) (FI IV, 1995 hal 836). Barium hidroksida agak sukar larut dalam air
dingin, sehingga butuh pemanasan untuk melarutkannya, namun pada saat percobaan, barium
hidroksida masih belum larut sempurna sekalipun dilarutkan dalam air panas sambil
dipanaskan, sedangkan sengsulfat sangat larut dalam air. Setelah itu, sebanyak 2 ml dari
larutan barium hidroksida dan 2 ml sengsulfat dicampurkan kedalam masing-masing 1 ml
cuplikan, kemudian campuran larutan tersebut disentrifugasi untuk memisahkan endapan
dengan filtratnya. Dimana filtrat yang berupa cairan jernih tersebut yang mengandung
asetosal.Pada saat sentrifugasi, campuran larutan tersebut dimasukkan kedalam tabung
sentrifugasi lalu tabungnya ditempatkan kedalam alat sentrifugasi secara berseberangan dan
dengan jumlah yang sama, setelah itu diatur kecepatan pemutarannya, yaitu 3000 RPM
(Revolutions Per Minute) (angka 30 dilayar dikali faktor pengali 100) selama 10 menit.Hasil
sentrifugasi berupa larutan jernih di bagian atas dan endapan di bagian bawah. Bagian atas
yang berupa larutan jernih diambil menggunakan pipet dan dimasukkan kedalam kuvet.
Sebelum sampel diukur, alat spektrofotometer terlebih dahulu di-reference kedalam panjang
gelombang yang sesuai menggunakan blanko yaitu blanko dari pH 1,2 dan 7,4 pada waktu =
0 menit. Selanjutnya masing-masing sampel cuplikan diukur absorbansinya. Adapun jumlah
cuplikan yang diukur ada 6 buah (3 buah cuplikan (pada pengambilan 5, 10 dan 15 menit)
pada pH 1,2dan 3 buah cuplikan dari pH 7,4. Absorbansi yang diperoleh dicatat.
Berdasarkan data pengamatan, nilai absorbansi yang didapatkan tidak sesuai dengan hukum
Lambert Beer, yaitu konsentrasi yang baik itu berada di rentang absorbansi 0,2-0,8 yang
terdeteksi dengan spektro UV. Pada saat pengukuran, nilai absorbansi yang diperoleh yaitu
kebanyakan bernilai minus yaitu pada pH 1,2: -0,0096 (15 menit), sedangkan pada pH 7,4:
-1,164600 (5 menit), -1,2372 (10 menit) dan -1,0886 (15 menit), artinya larutan yang
dianalisis tidak terbaca serapannya oleh alat spektrofotometer UV. Dan ada 2 nilai absorbansi
yang bernilai positif yaitu pada pH 1,2 : 0,0633 (5 menit) dan 0,1757 (10 menit) namun nilai
absorbansi ini tetap tidak memenuhi hukum Lambert Beer yaitu rentang absorbansi yang
diizinkan adalah 0,2-0,8. Hal ini terjadi karena kemungkinan waktu yang tidak cukup bagi
obat asetosal untuk terabsorpsi. Kemungkinan asetosal akan terabsorpsi pada rentang waktu
setelah 15 menit. Hasil absorbansi dimasukkan kedalam perhitungan untuk mencari
konsentrasinya. Nilai absorbansinya dimasukkan kedalam persamaan regresi linier dari kurva
baku asetosal. Dari data pengamatan terlihat bahwa data yang didapatkan tersebut
menyimpang dari yang seharusnya, misalnya seperti, hasil absorbansi yang dihasilkan sangat
aneh, nilai absorbansinya menurun pada pertambahan waktu. Seharusnya semakin lama,
maka absorbansinya semakin tinggi, karena seharusnya semakin banyak obat yang
terabsorpsi. Namun data nilai absorbansi yang dihasilkan pada pH 1,2 lebih tinggi
dibandingkan dengan pada pH 7,4 itu adalah benar dan sesuai dengan teori, yaitu bahwa
suatu obat yang bersifat asam akan terabsorpsi optimum di pH asam (lambung) dan obat yang
bersifat basa terabsorpsi optimum di pH basa(usus). Pada percobaan kali ini, senyawa obat
yang digunakan adalah asetosal (asam asetil salisilat), dimana senyawa obat ini bersifat asam,
sehingga obat ini akan terabsorpsi optimum di pH asam. Setelah dilakukan perhitungan
konsentrasi berdasarkan persamaan regresi linier dari kurva baku asetosal, maka data-data
absorbansi dan konsentrasi di plotkan kedalam grafik. Di mana sumbu-x nya adalah waktu
dan sumbu y nya adalah konsentrasi. Jadi grafik yang terbentuk adalah grafik konsentrasi
terhadap waktu. Dari grafik terlihat bahwa, pada pH 1,2 konsentrasi paling tinggi adalah pada
waktu ke-10 menit, sedangkan pada pH 7,4 konsentrasi paling tinggi pada waktu ke -15
menit.

Anda mungkin juga menyukai