Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM BIOFARMAKOKINETIKA EKSPERIMENTAL

PERCOBAAN 3. ABSORPSI OBAT SECARA IN SITU

OLEH:

Kelompok I /S1 Famasi 2019

1. Ni Made Arik Kartika Oktaviani 191001


2. Gede Aditya Wirodangka 191002
3. Gusti Agung Ayu Tri Mahayoni 191003
4. I Gusti Ayu Dwi Gangga Pratiwi 191004
5. Ni Made Ari Srinadi 191005
6. Ni Made Purwaningsih 191006
7. Si Ngurah Bagus Arya Anjasmara 191007

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI FARMASI MAHAGANESHA

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


PERCOBAAN II
ABSORPSI OBAT SECARA IN SITU

I. Capaian Pembelajaran dan Indikator Penilaian


A. Capaian Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep absorpsi obat secara oral melalui
difusi pasif serta faktor yang mempengaruhinya khusunya pH melalui percobaan
secara in situ
B. Indikator Penilaian
1. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep percobaan dan menjelaskan
parameter yang harus diamati untuk mengetahui proses absorpsi obat secara
in situ
2. Mahasiswa mampu mengkaitkan pengaruh pH terhadap absorpsi obat dengan
mekanisme difusi pasif
3. Mahasiswa mampu melakukan pengumpulan, pengolahan data dan menyusun
laporan hasil kerja terkait percobaan absorpsi obat secara in situ

II. Alat dan Bahan


Alat
- Infus set 2 dan kanul/selang infus 2 - Conical flask/microtube 15 buah
set - Alat/Perlengkapan operasi (meja
- Stopwatch/timer operasi, gunting, pinset, benang,
- Spuit injeksi 1 ml (untuk pemberian penggaris)
anestesi) - Spektrofotometer UV dan Kuvet
- Timbangan hewan uji - Sentrifugator
- Alat-alat gelas (gelas ukur 10 ml; - Jangka sorong digital
tabung reaksi 15 buah+rak; pipet - Vortex mixer
volume 1 ml dan 2 ml; labu takar)
Bahan
- Larutan dapar HCl pH 1,2 - Larutan injeksi anastesia (ketamine
- Larutan dapar fosfat pH 7,5 xylazin 75-100 mg/kgBB atau
- Larutan asam salisilat 150 mg/L - Phenobarbital 100 mg/kg BB)
dalam berbagai dapar - Larutan natrium klorida 0,9 % b/v
- Tikus putih jantan dengan berat 150 (infus NaCl)
-170 gram sebanyak 2 ekor - Larutan 5% w/v ZnSO4
- Larutan 0,3 N Ba(OH)2

III. Prosedur Kerja


A. Pembuatan Larutan Asam Salisilat

Ditimbang asam salisilat sebanyak 75 mg

Dimasukkan ke dalam labu takar 500mL

Ditambahkan dapar (dapar HCl pH 1,2 atau dapar fosfat pH 7,4) sebelum
tanda batas, kemudian gojog hingga larut

Ditambahkan sisa dapar hingga tanda batas

Pada botol infus dimasukkan larutan asam salisilat

Dimasukkan juga larutan dapar tanpa obat pada botol infus lainnya

B. Persiapan Hewan Uji

Hewan uji sebanyak 2 ekor tikus jantan (150-170 gram) dipuasakan sehari

Dihitung dosis anestesi masing-masing tikus dengan injeksi ketamien-


xylazine dengan dosis 75-100mg/kgBB secara i.p
Setelah anestesi, rongga perut tikus dibuka menurut arah linea mediana
dengan cutter listrik/gunting bedah.

Setelah dibuka, dicari organ lambung dan diukur ke arah anal kira-kira 15
cm dari lambung dengan bantuan benng, diberi tanda

Dibuat lubang dengan memotong sebagian usus pada tanda dengan gnting
bedah

Dimasukkan selang infus ke dalam usus melalui lubang yang dibuat, lalu
ikat dengan benang

Diletakkan benang diatas ujung selang pertama, ukur ke arah anal sepanjang
20cm, dibuat lubang kedua pada usus. Dimasukan selang mengarah ke oral
ke dalam usus

Dihubungkan selang pertama dengan reservoir yang berisi larutan dapar


melalui selang, serta hubungkan selang kedua dengan penampung

Dipasang botol infus dapar tanpa obat pada selang, dilatakkan infus pada
klem dan atur kecepatan aliran 5 cc/menit, biarkan larutan dapar mengalir
tanpa ditampung

Setelah kotoran hilang, botol infus diganti dengan larutan obat

Menit ke-0 dihitung setelah gelembung larutan obat melewati ujung selang
pertama cairan 5mL yang keluar dari usus pada menit ke-0 dijadikan blanko

Tampung larutan obat (5mL) pada 5, 10, 15, 30, 45, dan 60 menit

Tentukan kadar obat dalam larutan sapel dan blanko


C. Pengukuran Kadar Obat dalam Larutan Dapar Fosfat dengan
Spektrofotometer
Diambil 1 mL sampel, ditambahkan 2 mL larutan Ba(OH) 2 dan 2 mL ZnSO4
(5%). Setiap sampel diberikan perlakuan yang sama kemudian di sentrifugasi
selama 10 menit kecepatan 5

Pada bagian bening sampel yang disentrifugasi diambil lalu dibaca


absorbansinya pada panjang gelombang maksimum asam salisilat dan jika
diperlukan dilakukan pengenceran

IV. Data Hasil Pengamatan


1. Informasi Hewan Uji
Agen anastesi yang digunakan adalah Ketamin xylazin injeksi
Dapar HCl
Tikus Bobot Panjang usus Diameter usus Perhitungan dosis
No. (g) tikus (cm) (cm) agen anastesi (mL)
1 220 21 0.3 0.1
2 220 30 0.4 0.1
Dapar Fosfat
Tikus Bobot Panjang usus Diameter usus Perhitungan dosis
No. (g) tikus (cm) (cm) agen anastesi (mL)
1 220 18.5 0.5 0.1
2 226 28 0.8 0.1
Permasalahan yang timbul selama preparasi hewan uji:
a. Kesulitan dalam menghandle hewan uji
b. Hewan uji sering kali memberontak ketika efek anestesi sudah habis
c. Ukuran tubuh hewan uji (tikus) yang bisa dikatakan kecil menyulitkan saat
preparasi bagian usus tikus
2. Perhitungan Kadar Obat
Dapar HCl
a. Nama bahan obat : Asam Salisilat (75 mg)
b. Medium pelarutan obat : Dapar HCl
c. pH dan volume medium : pH 1.2 dan 500 mL
d. Kecepatan aliran obat : - Tikus 1 → 2.5mL/30 detik
- Tikus 2 → 2.5mL/30 detik
e. λmax obat : 236 nm
f. Pers. Kurva baku : y = -0.0077x + 1.0139
Jenis sampel Absorbansi Faktor pengenceran Kadar
Menit ke-5 1.098 5 -0.05461
Menit ke-10 0.854 5 0.103
Menit ke-15 0.850 5 0.106
Menit ke-30 0.801 5 0.138
Menit ke-45 0.597 5 0.27
Menit ke-60 0.608 5 0.263
Perhitungan kadar obat:
a. Menit ke 5 → 1.098
x = 𝑦 − 1.0139
× fp
−0.0077
x = 1.098 − 1.0139
×5
−0.0077
= -54.61 mg/L → -0.05461 mg/mL
b. Menit ke 10 → 0.854
x = 𝑦 − 1.0139
× fp
−0.0077
x = 0.854 − 1.0139
×5
−0.0077
= 103.83 mg/L → 0.103 mg/mL
c. Menit ke 15 → 0.850
x = 𝑦 − 1.0139
× fp
−0.0077
x = 0.850 − 1.0139
×5
−0.0077
= 106.42 mg/L → 0.106 mg/mL
d. Menit ke 30 → 0.801
x = 𝑦 − 1.0139
× fp
−0.0077
x = 0.801−1.0139
×5
−0.0077

= 138.24 mg/L → 0.138 mg/mL


e. Menit ke 45 → 0.597
x = 𝑦 − 1.0139
× fp
−0.0077
x = 0.597 − 1.0139
×5
−0.0077
= 270.71 mg/L → 0.27 mg/mL
f. Menit ke 60 → 0.608
x = 𝑦 − 1.0139
× fp
−0.0077
x = 0.608 − 1.0139
×5
−0.0077
= 263.5 mg/L → 0.263 mg/mL
Perhitungan permeabilitas semu obat (Papp)
a. Menit ke 5
Papp = 𝑄 𝐶1
− × ln
2𝜋𝑟𝑙 𝐶0
Papp = 5 −0.05461
− × ln
2 × 3.14 × 0.3 × 21 0.15
= 5
− × ln 0.364
2 × 3.14 × 0.3 × 21
= 0.127 mL menit −1 cm−1
b. Menit ke 10
Papp = 𝑄 𝐶1
− × ln
2𝜋𝑟𝑙 𝐶0
Papp = 5 0.103
− × ln
2 × 3.14 × 0.3 × 21 0.15
= 5
− × ln 0.686 = 0.047mL menit −1 cm−1
2 × 3.14 × 0.3 × 21
c. Menit ke 15
Papp = 𝑄 𝐶1
− × ln
2𝜋𝑟𝑙 𝐶0
Papp = 5 0.106
− × ln
2 × 3.14 × 0.3 × 21 0.15
= 5
− × ln 0.706
2 × 3.14 × 0.3 × 21
= 0.043 mL menit −1 cm−1
d. Menit ke 30
Papp = 𝑄 𝐶1
− × ln
2𝜋𝑟𝑙 𝐶0
Papp = 5 0.138
− × ln
2 × 3.14 × 0.3 × 21 0.15
= 5
− × ln 0.92
2 × 3.14 × 0.3 × 21
= 0.01 mL menit −1 cm−1
e. Menit ke 45
Papp = 𝑄 𝐶1
− × ln
2𝜋𝑟𝑙 𝐶0
Papp = 5 0.27
− × ln
2 × 3.14 × 0.3 × 21 0.15
= 5
− × ln 1.8
2 × 3.14 × 0.3 × 21
= 0.074 mL menit −1 cm−1
f. Menit ke 60
Papp = 𝑄 𝐶1
− × ln
2𝜋𝑟𝑙 𝐶0
Papp = 5 0.263
− × ln
2 × 3.14 × 0.3 × 21 0.15
= 5
− × ln 1.753
2 × 3.14 × 0.3 × 21
= 0.07mL menit −1 cm−1
Dapar fosfat
a. Nama bahan obat : Asam Salisilat (75 mg)
b. Medium pelarutan obat : Dapar Fosfat
c. pH dan volume medium : pH 7.5 dan 500 mL
d. Kecepatan aliran obat : - Tikus 1 → 2.5mL/30 detik
- Tikus 2 → 2.5mL/30 detik
e. λmax obat : 229 nm
f. Pers. Kurva baku : y = 0.0142x + 0.1623
Jenis sampel Absorbansi Faktor pengenceran Kadar
Menit ke-5 0.1 5 -0.021
Menit ke-10 0.256 5 0.033
Menit ke-15 0.521 5 0.126
Menit ke-30 0.688 5 0.185
Menit ke-45 0.816 5 0.23
Menit ke-60 0.937 5 0.272
Perhitungan kadar obat:
a. Menit ke 5 → 0.1
x = 𝑦 − 0.1623
× fp
0.0142
x = 0.1 − 0.1623
×5
0.0142
= -21.93 mg/L → -0.021 mg/mL
b. Menit ke 10 → 0.256
x = 𝑦 − 0.1623
× fp
0.0142
x = 0.256 − 0.1623
×5
0.0142
= 33 mg/L → 0.033 mg/mL
c. Menit ke 15 → 0.521
x = 𝑦 − 0.1623
× fp
0.0142
x = 0.521 − 0.1623
×5
0.0142
= 126.3 mg/L → 0.126 mg/mL
d. Menit ke 30 → 0.688
x = 𝑦 − 0.1623
× fp
0.0142
x = 0.688 − 0.1623
×5
0.0142
= 185.1 mg/L → 0.185 mg/mL
e. Menit ke 45 → 0.816
x = 𝑦 − 0.1623
× fp
0.0142
x = 0.816 − 0.1623
×5
0.0142
= 230.17 mg/L → 0.23 mg/mL
f. Menit ke 60 → 0.937
x = 𝑦 − 0.1623
× fp
0.0142
x = 0.937 − 0.1623
×5
0.0142
= 272.78 mg/L → 0.272 mg/mL
Perhitungan permeabilitas semu obat (Papp)
a. Menit ke 5
Papp = 𝑄 𝐶1
− × ln
2𝜋𝑟𝑙 𝐶0
Papp = 5 −0.021
− × ln
2 × 3.14 × 0.5 × 18.5 0.15
= 5
− × ln 0.14 = 0.17mL menit −1 cm−1
2 × 3.14 × 0.5 × 18.5
b. Menit ke 10
Papp = 𝑄 𝐶1
− × ln
2𝜋𝑟𝑙 𝐶0
Papp = 5 0.033
− × ln
2 × 3.14 × 0.5 × 18.5 0.15
= 5
− × ln 0.22
2 × 3.14 × 0.5 × 18.5
= 0.13 mL menit −1 cm−1
c. Menit ke 15
Papp = 𝑄 𝐶1
− × ln
2𝜋𝑟𝑙 𝐶0
Papp = 5 0.126
− × ln
2 × 3.14 × 0.5 × 18.5 0.15
= 5
− × ln 0.84
2 × 3.14 × 0.5 × 18.5
= 0.015 mL menit −1 cm−1
d. Menit ke 30
Papp = 𝑄 𝐶1
− × ln
2𝜋𝑟𝑙 𝐶0
Papp = 5 0.185
− × ln
2 × 3.14 × 0.5 × 18.5 0.15
= 5
− × ln 1.23
2 × 3.14 × 0.5 × 18.5
= -0.017 mL menit −1 cm−1
e. Menit ke 45
Papp = 𝑄 𝐶1
− × ln
2𝜋𝑟𝑙 𝐶0
Papp = 5 0.23
− × ln
2 × 3.14 × 0.5 × 18.5 0.15
= 5
− × ln 1.53
2 × 3.14 × 0.5 × 18.5
= -0.036 mL menit −1 cm−1
f. Menit ke 60
Papp = 𝑄 𝐶1
− × ln
2𝜋𝑟𝑙 𝐶0
Papp = 5 0.272
− × ln
2 × 3.14 × 0.5 × 18.5 0.15
= 5
− × ln 1.813
2 × 3.14 × 0.5 × 18.5
= -0.051 mL menit −1 cm−1

Perbandingan nilai 𝑃𝑎𝑝𝑝 pada dapar HCl dan dapar Fosfat


Jenis sampel 𝑷𝒂𝒑𝒑 dapar HCl 𝑷𝒂𝒑𝒑 dapar Fosfat
Menit ke-5 0.127 0.17
Menit ke-10 0.047 0.13
Menit ke-15 0.043 0.015
Menit ke-30 0.01 -0.017
Menit ke-45 0.074 -0.036
Menit ke-60 0.07 -0.051

V. Pembahasan
Ketersediaan dari obat yang berada dalam sirkulasi sistemik umumnya
ditentukan oleh beberapa tahapan disintegrasi dari sediaan, pelarut obat dalam media
aqueous, dan juga absorpsi melewati membran sel untuk menuju sirkulasi sistemik
(Shargel and Yu 1999). Absorpsi suatu obat dapat didefinisikan sebagai proses
perpindahan obat dari tempat pemberiannya, melewati sawar biologis ke dalam aliran
darah maupun ke sistem limfatik (Lacy et al. 2006). Beberapa metode untuk
menentukan absorpsi obat yaitu metode in vitro, metode in situ, dan metode in vivo
(Kurniawati and Zulkarnain 2012).
Pada percobaan ini, dilakukan percobaan absorpsi asam salisilat per oral.
Percobaan dilakukan dalam dua suasana atau kondisi uji yakni pada kondisi asam dan
basa. Pada kondisi asam digunakan cairan lambung buatan HCl pH 1,2 dan pada
kondisi basa menggunakan cairan usus buatan dapar fosfat pH 7.4. Kadar asam
salisilat nantinya diukur dengan menggunakan spektrofotometri. Hasil percobaan
yang diperoleh pada dapar fosfat (pH usus) kemudian dibandingkan dengan hasil
percobaan pada dapar HCl yang menunjukkan pH lambung.
Metode in situ merupakan suatu metode uji yang dilakukan pada organ terget
tertentu yang masih berada dalam sistem organisme hidup. Absorpsi in situ melalui
usus didasarkan atas penentuan kecepatan hilangnya obat dari lumen usus halus.
Metode ini digunakan untuk mempelajari berbagai faktor yang berpengaruh terhadap
permeabilitas dinding usus (Ganiswara 1999). Berbeda dengan uji in vivo, pada uji
in situ organ target diusahakan tidak dipengaruhi oleh organ lain sehingga profil obat
yang diamati hanya berdasarkan pada proses yang terjadi pada organ tersebut.
Sedangkan bedanya uji in vitro dengan in situ adalah pada pengujian metode in situ
organ target yang digunakan masih menyatu dan berada dalam organisme hidup,
masih mendapatkan suplai darah dan suplai oksigen. Walaupun hewan percobaan
sudah dianastesi dan dimanipulasi dengan pembedahan, suplai darah mesentris,
neural, endokrin, dan limpatik masih utuh sehingga mekanisme transpor seperti yang
terdapat pada mahluk hidup masih fungsional. Sebagai hasilnya, laju dari metode ini
lebih realistik dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan metode in-vitro
(Griffin and O’Driscol 2006).
Metode absorpsi in situ sering disebut teknik perfusi karena usus dilubangi
sebagai tempat memasukkan sampel dan dibagian bawahnya dilubangi lagi sebagai
tempat keluarnya sampel. Pada percobaan kali ini absorpsi obat melalui difusi pasif
yang artinya absorpsi tidak menggunakan energi dan terjadi dari konsentrasi tinggi
ke konsentrasi rendah. Asam salisilat mengalai mekanisme secara difusi pasif
berdasarkan sifat asam lemah. Untuk dapat terabsorpsi obat harus dalam bentuk tak
terionkan karena cenderung akan bersifat hidrofobik sehingga akan lebih mudah
dalam menembus membran biologis yang tersusun atas lapisan lipid.
Hal pertama yang dilakukan yaitu disiapkan 2 tikus putih yang sudah
dipuasakan sehari (kira-kira 24 jam) sebelumnya, hal tersebut bertujuan untuk
meminimalkan adanya makanan dan mempercepat waktu pengosongan lambung
sehingga proses absorpsi akan berjalan lebih cepat. Setelah itu hewan uji diberikan
injeksi ketamine-xylazine dengan dosis 75-100 mg/kgBB secara intraperitoneal (i.p)
pada bagian paha dalam tikus. Dilakukan injeksi secara intraperitoneal yaitu karena
obat yang disuntikan dalam rongga peritoneum akan diabsorpsi cepat, sehingga reaksi
obat akan cepat terlihat.
Setelah itu dilakukan pembedahan pada perut tikus dan rongga perut tikus
yang terbuka ditetesi dengan larutan NaCl dan dialirkan larutan dapar fosfat (pH 7,4).
Dapar fosfat ini berfungsi untuk membersihkan sisa makanan dalam lumen usus
supaya tidak mengganggu absorpsi obat. Aliran larutan dapar fosfat tanpa obat dan
dengan obat diatur dengan kecepatan 5mL/menit, dimana pada kecepatan tersebut
diharapkan obat dapat terabsorpsi secara optimum.
Setelah itu dapat dilakukan pengambilan sampel mulai dari menit ke-0 hingga
menit ke 60 dan kemudian masing-masing sampel yang diperoleh ditambahkan
larutan 𝐵𝑎(𝑂𝐻 )2 dan 𝑍𝑛𝑆𝑂4. Penambahan kedua larutan tersebut bertujuan untuk
untuk mengendapkan molekul-molekul protein dan molekul berukuran besar yang
lain dengan cara koagulasi agar tidak mengganggu pembacaan absorbansi. Kemudian
setelah ditambahkan dilakukan sentrifugasi untuk mendapatkan larutan jernih
kemudian dibaca absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 233 nm.

Setelah diukur dengan spektrofotometer maka nantinya akan diperoleh


absorbansi dan juga persamaan regresi linear dari sampel, pada dapar HCl diperoleh
persamaan regresi y = -0.0077x + 1.0139, sedangkan pada dapar fosfat diperoleh
persamaan y = 0.0142x + 0.1623. dengan persamaan regresi linear yang sudah
diperoleh maka dapat dihitung kadar obat yang terabsorpsi serta nilai permeabilitas
semu dari obat yang digunakan.

Perbandingan Nilai Permeabilitas Semu


Papp Dapar HCl Papp Dapar Fosfat
0.17
0.18
0.16
0.127 0.13
Permeabilitas Semu

0.14
0.12
0.1
0.074 0.07
0.08
0.047 0.043 0.051
0.06 0.036
0.04 0.017
0.015 0.01
0.02
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu

Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa nilai permeabilitas semu obat


asam salisilat lebih tinggi dibandingkan dengan nilai permeabilitas yang diperoleh
pada percobaan menggunakan medium dapar fosfat. Hasil yang kami peroleh sudah
sesuai dengan literature, dimana dinyatakan bahwa asam salisilat akan lebih mudah
terabsorpsi ketika dalam keadaan asam yaitu pada lambung. Hal ini disebabkan
karena suasana asam di lambung menyebabkan sebagian besar salisilat dalam bentuk
tak terion atau dalam bentuk utuh, sehingga mempermudah terjadinya proses
absorpsi. Tetapi bila asam salisilat dalam konsentrasi tinggi memasuki sel mukosa
maka obat ini bisa merusak sawar mukosa (Katzung 1995).
VI. Tugas
1. Cari dan jelaskan macam-macam metode untuk melihat perfusi obat melalui
usus secara in situ pada hewan uji (50)
Jawaban:
a. Intestinal Perfusion (perfusi usus)

Metode ini pertama kali diusulkan untuk mempelajari fluks ion dan air
di illeum tikus. Strudi sebelumnya juga telah menunjukkan bahwa
permeabilitas efektif (Peff) jejenum tikus dan manusia, perkiraan zat terlarut
yang diserap secara difusi pasif menunjukkan korelasi yang tinggi dan
keduanya dapat digunakan dengan presisi untuk memprediksi penyerapan oral
in vivo pada manusia. Prosedur percobaan umum dari metode ini yaitu
pertama tabung perfusi dan tabung drainase dimasukkan secara laparotomi ke
dalam segemn usus proksimal dan distal. Kemudian larutan obat dituangkan
ke dalam rongga usus dengan pompa peristaltik pada tingkat terentu dan
limbah dikumpulkan. Konsentrasi obat dan pelacak ditentikan untuk
menghitung laju absorpsi obat dan Peff masing-masing. Berdasarkan
perbedaan pola perfusi yang digunakan, perfusi usus dibagi menjadi perfusi
sirkular dan perfusi single-pass (Fagerholm, Johansson, and Lennernas 1996).
Metode perfusi sirkular
Dalam metode ini, cairan perfusi yang mengandung NP dituangkan ke
dalam usus melalui pompa peristaltik dan dikembalikan ke wadah dari ujung
usus lain dengan kecepatan 2,5mL.min-1. Konsnetrasi obat dalam cairan
perfusi diukur sebelum dan sesudah perfusi dan digunakan untuk menghitung
konstanta absorpsi. Biasanya eksperimen akan membutuhkan 2 jam atau lebih
dan selama waktu tersebut hewan uji harus tetap stabil. Metode ini banyak
digunakan untuk mempelajari perilaku penyerapan obat di usus terutama pada
tahap awal pengembangan obat (Liu et al. 2009). Rincian eksperimental
spesifik dari metode ini sebagai berikut:
1) Tikus dipuasakan selama 24 jam sebelum dibius dan ditahan pada
posisi terlentang
2) Segmen usus dibuka dengan menyayat 3 cm di sepanjang rongga
perut melalui garis tengah ventral, dan dua tabung silikon medis
dikanulasi pada kedua ujung usus.
3) Tabung atas dihubungkan dengan pompa peristaltik untuk
mengimpor cairan perfusi sedangkan tabung bawah untuk
mengekspor cairan perfusi.
4) Sayatan ditutup dengan kapas yang dijenuhkan dengan garam
fisiologi
5) Isi usus dicuci dengan saline fisiologis yang dihangatkan hingga suhu
37C
6) Saline fisiologi sisi pada usus dikeluarkan, kemudian diikuti larutan
NP yang mengandung phenol red ditambahkan dalam sirkulasi usus
7) Dilakukan sampling pada interval waktu yang ditentukan, dan
dilakukan beberapa perlakuan-perlakuan pada sampel
8) Pada akhir penelitian, segmen usus perfusi dieksisi, dikeringkan dan
diukur panjangnya
Dengan memplot kurva kinetika pelepasan obat, peneliti dapat
menghitung kinetika pelepasan sehingga diperoleh konstanta laju absorpsi
(kA) dan koefisien permeabilitas
Single pass perfusion

Perbedaan single pass perfusion dengan perfusi sirkular adalah pada


single pass perfusion, perfusi tidak kembali ke wadah obat sli tetapi ke wadah
pengumpulan titik akhir lainnya. Dalam perfusi single-pass, perfusate
dikumpulkan dari tabung drainase dan digunakan untuk menentukan
penurunan konsentrasi obat dari waktu ke waktu, sehingga memungkinkan
perhitungan parameter farmakokinetik. Hewan percobaan sama seperti
metode perfusi sirkular, kecuali bahwa tabung dari usus proksimal dan distal
dihubungkan dengan botol pemberat (Liu & Chaiyun, 2016).
b. Metode intestinal loop
Metode ini diperkenalkan pertama pada tahun 1971 oleh Kanikkar.
Tikus dibius terlebih dahulu, kemudian perutnya diiris terbuka dan segmen
usus yang diinginkan dicuci, diikat kemudian disuntikkan dengan konsentrasi
spesifik NP ke dalam loop usus. Seluruh saluran pencernaan dengan hati-hati
dimasukkan ke dalam rongga perut, dan sayatan ditutup dengan klem dan
dijaga tetap lembab dengan menutupinya dengan bantalan kasa yang
direndam dalam salin normal. Setelah tidak lebih dari 24 jam, tikus di-
eutanasia dan usus dikeluarkan untuk dianalisis.
Setelah melakukan percobaan loop tertutup, jaringan biasanya
dibekukan dan fluoresensi atau morfologi usus ditentukan dengan mikroskop.
Untuk hasil yang lebih kuantitatif, jaringan beku dapat dilarutkan dalam
asetonitril dan kemudian dievaluasi kandungan obatnya, atau larutan NP yang
tersisa dapat dikumpulkan untuk mengukur kandungan obat residu, sehingga
memungkinkan perhitungan penyerapan NP oleh segmen usus. Metode ini
lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan perfusi usus in situ. Namun
karena usus mengeluarkan sejumlah besar cairan pencernaan selama
percobaan dan mungin ada banyak sisa makanan di lumen, terbukti sulit untuk
menganalisis sampel. Kerugian dari model ini adalah variasi antara serapan
NP di usus kecil hewan yang berbeda (Gamboa and Leong 2013).
2. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
permeabilitas obat melalui usus dan abosrpsi obat secara oral! (50)
Jawaban:
a. Kelarutan obat
Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan sering
kali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan
terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Tahap yang
paling lambat didalam suatu rangkaian proses kinetik disebut tahap penentu
kecepatan (rate-limiting step) (Shargel and Yu 1999)
b. Ukuran partikel
Kecepatan disolusi obat berbanding langsung dengan luas permukaan yang
dalam kontak dengan cairan/pelarut; bertambah kecil partikel, bertambah luas
permukaan total, bertambah mudah larut (Joenoes 2002).
c. pKa dan Koefisien partisi obat
kelarutan total suatu obat dipengaruhi oleh konstanta disosiasi obatnya
sendiri dan juga pH lingkungan. Hipotesis pH-partisi menyatakan bahwa obat
yang dapat terionisasikan akan menembus membran biologis terutama dalam
bentuk tak terionkan, sehingga obat yang bersifat asam lemah akan lebih baik
absorsinya dalam suasana asam yaitu pada pH lebih kecil dari pKa dan obat
yang bersifat basa akan dapat diabsorpsi dengan baik dalam suasana alkali.
Koefisien partisi adalah perbandingan konsentrasi senyawa dalam campuran
dua fase yang tak larut pada kesetimbangan.umumnya salah satu pelarutnya
adalah air sedangkan yang kedua adalah peralut lemak jadi koefisien partisi
mengukur seberapa hidrofilik/hidrofobik zat tersebut (Joenoes 2002)
d. Garam empedu
Adanya garam empedu meningkatkan bioavailabilitas obat yang sukar larut
dalam air dengan meningkatkan laju disolusi dan/atau kelarutan.
e. Kecepatan pengosongan lambung dan waktu transit usus
Dua hal ini merupakan parameter penting untuk onset dan tingkat absorpsi
obat. Pengosongan lambung akan menjadi lebih lama ketika lambung berisi
makanan, semakin banyak makanan yang berada dalam lambung, maka
semakin lama obat berada dalam lambung sheingga absorpsi obat menjadi
lambat dan/atau sedikit
f. Bentuk sediaan
Bentuk sediaan cair umumnya akan lebih cepat diabsorpsi karena tidak perlu
waktu dalam tahapan disolusi.
VII. Daftar Pustaka

Fagerholm, U., M. Johansson, and Lennernas. 1996. “Comparison Between


Permeability Coefficients in Ratand Human Jejunum.” Journal of
Pharmaceutical Science and Technology, 1336–42.

Gamboa, J.M, and K.W Leong. 2013. “In Vitro and In Vivo Models for the Study of
Oral Delivery of Nanoparticles.” Adv. Drug Deliv 3 (65): 800–810.

Ganiswara, S.G. 1999. Farmakologi Dan Terapi, Edisi IV. Jakarta: UI Press.

Griffin, B.T, and C.M O’Driscol. 2006. “A Comparison of Intestinal Lymphatic


Transport and Systemic Bioavailability of Saquinavir from Three Lipid-Based
Formulation in the Anaesthetised Rad Model.” J. Pharm. Pharmacol 3 (58):
917–25.

Joenoes, Z.N. 2002. Ars Prescribendi Resep Yang Rasional Jilid 3. Surabaya:
Airlangga Univessity Press.

Katzung, B.G. 1995. Basic and Clinical Pharmacology. 4th Edition. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Kurniawati, T., and A. Zulkarnain. 2012. “The Influence Of Polyethylene Glycol 400
On In Situ Piroxicam Absorption.” Majalah Farmasetika 1 (8).

Lacy, C.F, L.L Amstrong, M.P Goldman, and L.L Lance. 2006. Drug Information
Handbook International, 14th Edition. New York: Lexi comp.

Liu, Y., P. Zhang, N. Feng, X. Zhang, S. Wu, and J. Zhao. 2009. “Optimization and
In Situ Intestinal Absorption of Self-Microemulsifying Drug Delivery System
of Oridonin.” Int. J. Pharm 3 (365): 136–42.

Shargel, L., and A.B Yu. 1999. Applied Biopharmaceutical and Pharmacokinetics, 4
Th Edition. New York: Graw and Hill Companies Inc.

Anda mungkin juga menyukai