OLEH:
Ditambahkan dapar (dapar HCl pH 1,2 atau dapar fosfat pH 7,4) sebelum
tanda batas, kemudian gojog hingga larut
Dimasukkan juga larutan dapar tanpa obat pada botol infus lainnya
Hewan uji sebanyak 2 ekor tikus jantan (150-170 gram) dipuasakan sehari
Setelah dibuka, dicari organ lambung dan diukur ke arah anal kira-kira 15
cm dari lambung dengan bantuan benng, diberi tanda
Dibuat lubang dengan memotong sebagian usus pada tanda dengan gnting
bedah
Dimasukkan selang infus ke dalam usus melalui lubang yang dibuat, lalu
ikat dengan benang
Diletakkan benang diatas ujung selang pertama, ukur ke arah anal sepanjang
20cm, dibuat lubang kedua pada usus. Dimasukan selang mengarah ke oral
ke dalam usus
Dipasang botol infus dapar tanpa obat pada selang, dilatakkan infus pada
klem dan atur kecepatan aliran 5 cc/menit, biarkan larutan dapar mengalir
tanpa ditampung
Menit ke-0 dihitung setelah gelembung larutan obat melewati ujung selang
pertama cairan 5mL yang keluar dari usus pada menit ke-0 dijadikan blanko
Tampung larutan obat (5mL) pada 5, 10, 15, 30, 45, dan 60 menit
V. Pembahasan
Ketersediaan dari obat yang berada dalam sirkulasi sistemik umumnya
ditentukan oleh beberapa tahapan disintegrasi dari sediaan, pelarut obat dalam media
aqueous, dan juga absorpsi melewati membran sel untuk menuju sirkulasi sistemik
(Shargel and Yu 1999). Absorpsi suatu obat dapat didefinisikan sebagai proses
perpindahan obat dari tempat pemberiannya, melewati sawar biologis ke dalam aliran
darah maupun ke sistem limfatik (Lacy et al. 2006). Beberapa metode untuk
menentukan absorpsi obat yaitu metode in vitro, metode in situ, dan metode in vivo
(Kurniawati and Zulkarnain 2012).
Pada percobaan ini, dilakukan percobaan absorpsi asam salisilat per oral.
Percobaan dilakukan dalam dua suasana atau kondisi uji yakni pada kondisi asam dan
basa. Pada kondisi asam digunakan cairan lambung buatan HCl pH 1,2 dan pada
kondisi basa menggunakan cairan usus buatan dapar fosfat pH 7.4. Kadar asam
salisilat nantinya diukur dengan menggunakan spektrofotometri. Hasil percobaan
yang diperoleh pada dapar fosfat (pH usus) kemudian dibandingkan dengan hasil
percobaan pada dapar HCl yang menunjukkan pH lambung.
Metode in situ merupakan suatu metode uji yang dilakukan pada organ terget
tertentu yang masih berada dalam sistem organisme hidup. Absorpsi in situ melalui
usus didasarkan atas penentuan kecepatan hilangnya obat dari lumen usus halus.
Metode ini digunakan untuk mempelajari berbagai faktor yang berpengaruh terhadap
permeabilitas dinding usus (Ganiswara 1999). Berbeda dengan uji in vivo, pada uji
in situ organ target diusahakan tidak dipengaruhi oleh organ lain sehingga profil obat
yang diamati hanya berdasarkan pada proses yang terjadi pada organ tersebut.
Sedangkan bedanya uji in vitro dengan in situ adalah pada pengujian metode in situ
organ target yang digunakan masih menyatu dan berada dalam organisme hidup,
masih mendapatkan suplai darah dan suplai oksigen. Walaupun hewan percobaan
sudah dianastesi dan dimanipulasi dengan pembedahan, suplai darah mesentris,
neural, endokrin, dan limpatik masih utuh sehingga mekanisme transpor seperti yang
terdapat pada mahluk hidup masih fungsional. Sebagai hasilnya, laju dari metode ini
lebih realistik dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan metode in-vitro
(Griffin and O’Driscol 2006).
Metode absorpsi in situ sering disebut teknik perfusi karena usus dilubangi
sebagai tempat memasukkan sampel dan dibagian bawahnya dilubangi lagi sebagai
tempat keluarnya sampel. Pada percobaan kali ini absorpsi obat melalui difusi pasif
yang artinya absorpsi tidak menggunakan energi dan terjadi dari konsentrasi tinggi
ke konsentrasi rendah. Asam salisilat mengalai mekanisme secara difusi pasif
berdasarkan sifat asam lemah. Untuk dapat terabsorpsi obat harus dalam bentuk tak
terionkan karena cenderung akan bersifat hidrofobik sehingga akan lebih mudah
dalam menembus membran biologis yang tersusun atas lapisan lipid.
Hal pertama yang dilakukan yaitu disiapkan 2 tikus putih yang sudah
dipuasakan sehari (kira-kira 24 jam) sebelumnya, hal tersebut bertujuan untuk
meminimalkan adanya makanan dan mempercepat waktu pengosongan lambung
sehingga proses absorpsi akan berjalan lebih cepat. Setelah itu hewan uji diberikan
injeksi ketamine-xylazine dengan dosis 75-100 mg/kgBB secara intraperitoneal (i.p)
pada bagian paha dalam tikus. Dilakukan injeksi secara intraperitoneal yaitu karena
obat yang disuntikan dalam rongga peritoneum akan diabsorpsi cepat, sehingga reaksi
obat akan cepat terlihat.
Setelah itu dilakukan pembedahan pada perut tikus dan rongga perut tikus
yang terbuka ditetesi dengan larutan NaCl dan dialirkan larutan dapar fosfat (pH 7,4).
Dapar fosfat ini berfungsi untuk membersihkan sisa makanan dalam lumen usus
supaya tidak mengganggu absorpsi obat. Aliran larutan dapar fosfat tanpa obat dan
dengan obat diatur dengan kecepatan 5mL/menit, dimana pada kecepatan tersebut
diharapkan obat dapat terabsorpsi secara optimum.
Setelah itu dapat dilakukan pengambilan sampel mulai dari menit ke-0 hingga
menit ke 60 dan kemudian masing-masing sampel yang diperoleh ditambahkan
larutan 𝐵𝑎(𝑂𝐻 )2 dan 𝑍𝑛𝑆𝑂4. Penambahan kedua larutan tersebut bertujuan untuk
untuk mengendapkan molekul-molekul protein dan molekul berukuran besar yang
lain dengan cara koagulasi agar tidak mengganggu pembacaan absorbansi. Kemudian
setelah ditambahkan dilakukan sentrifugasi untuk mendapatkan larutan jernih
kemudian dibaca absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 233 nm.
0.14
0.12
0.1
0.074 0.07
0.08
0.047 0.043 0.051
0.06 0.036
0.04 0.017
0.015 0.01
0.02
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu
Metode ini pertama kali diusulkan untuk mempelajari fluks ion dan air
di illeum tikus. Strudi sebelumnya juga telah menunjukkan bahwa
permeabilitas efektif (Peff) jejenum tikus dan manusia, perkiraan zat terlarut
yang diserap secara difusi pasif menunjukkan korelasi yang tinggi dan
keduanya dapat digunakan dengan presisi untuk memprediksi penyerapan oral
in vivo pada manusia. Prosedur percobaan umum dari metode ini yaitu
pertama tabung perfusi dan tabung drainase dimasukkan secara laparotomi ke
dalam segemn usus proksimal dan distal. Kemudian larutan obat dituangkan
ke dalam rongga usus dengan pompa peristaltik pada tingkat terentu dan
limbah dikumpulkan. Konsentrasi obat dan pelacak ditentikan untuk
menghitung laju absorpsi obat dan Peff masing-masing. Berdasarkan
perbedaan pola perfusi yang digunakan, perfusi usus dibagi menjadi perfusi
sirkular dan perfusi single-pass (Fagerholm, Johansson, and Lennernas 1996).
Metode perfusi sirkular
Dalam metode ini, cairan perfusi yang mengandung NP dituangkan ke
dalam usus melalui pompa peristaltik dan dikembalikan ke wadah dari ujung
usus lain dengan kecepatan 2,5mL.min-1. Konsnetrasi obat dalam cairan
perfusi diukur sebelum dan sesudah perfusi dan digunakan untuk menghitung
konstanta absorpsi. Biasanya eksperimen akan membutuhkan 2 jam atau lebih
dan selama waktu tersebut hewan uji harus tetap stabil. Metode ini banyak
digunakan untuk mempelajari perilaku penyerapan obat di usus terutama pada
tahap awal pengembangan obat (Liu et al. 2009). Rincian eksperimental
spesifik dari metode ini sebagai berikut:
1) Tikus dipuasakan selama 24 jam sebelum dibius dan ditahan pada
posisi terlentang
2) Segmen usus dibuka dengan menyayat 3 cm di sepanjang rongga
perut melalui garis tengah ventral, dan dua tabung silikon medis
dikanulasi pada kedua ujung usus.
3) Tabung atas dihubungkan dengan pompa peristaltik untuk
mengimpor cairan perfusi sedangkan tabung bawah untuk
mengekspor cairan perfusi.
4) Sayatan ditutup dengan kapas yang dijenuhkan dengan garam
fisiologi
5) Isi usus dicuci dengan saline fisiologis yang dihangatkan hingga suhu
37C
6) Saline fisiologi sisi pada usus dikeluarkan, kemudian diikuti larutan
NP yang mengandung phenol red ditambahkan dalam sirkulasi usus
7) Dilakukan sampling pada interval waktu yang ditentukan, dan
dilakukan beberapa perlakuan-perlakuan pada sampel
8) Pada akhir penelitian, segmen usus perfusi dieksisi, dikeringkan dan
diukur panjangnya
Dengan memplot kurva kinetika pelepasan obat, peneliti dapat
menghitung kinetika pelepasan sehingga diperoleh konstanta laju absorpsi
(kA) dan koefisien permeabilitas
Single pass perfusion
Gamboa, J.M, and K.W Leong. 2013. “In Vitro and In Vivo Models for the Study of
Oral Delivery of Nanoparticles.” Adv. Drug Deliv 3 (65): 800–810.
Ganiswara, S.G. 1999. Farmakologi Dan Terapi, Edisi IV. Jakarta: UI Press.
Joenoes, Z.N. 2002. Ars Prescribendi Resep Yang Rasional Jilid 3. Surabaya:
Airlangga Univessity Press.
Katzung, B.G. 1995. Basic and Clinical Pharmacology. 4th Edition. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Kurniawati, T., and A. Zulkarnain. 2012. “The Influence Of Polyethylene Glycol 400
On In Situ Piroxicam Absorption.” Majalah Farmasetika 1 (8).
Lacy, C.F, L.L Amstrong, M.P Goldman, and L.L Lance. 2006. Drug Information
Handbook International, 14th Edition. New York: Lexi comp.
Liu, Y., P. Zhang, N. Feng, X. Zhang, S. Wu, and J. Zhao. 2009. “Optimization and
In Situ Intestinal Absorption of Self-Microemulsifying Drug Delivery System
of Oridonin.” Int. J. Pharm 3 (365): 136–42.
Shargel, L., and A.B Yu. 1999. Applied Biopharmaceutical and Pharmacokinetics, 4
Th Edition. New York: Graw and Hill Companies Inc.