Disusun Oleh:
Kelompok 3
TUJUAN PRAKTIKUM
1.1 Tujuan
Mempelajari pengaruh perbedaan kadar obat terhadap difusi asam salisilat secara
DASAR TEORI
Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh luar
baik fisik ataupun kimia. Kulit berfungsi sebagai sistem epitel pada tubuh untuk menjaga
keluarnya subtansi-subtansi penting dari dalam tubuh dan untuk mencegah masuknya subtansi-
subtansi asing yang berasal dari luar tubuh untuk masuk ke dalam tubuh. Meskipun kulit
relatif permeable terhadap senyawa-senyawa kimia, namun dalam keadaan tertentu kulit dapat
Secara mikroskopik kulit tersusun dari berbagai lapisan yang berbeda-beda, berturut-turut
dari luar kedalam yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis yang tersusun atas pembuluh darah
dan pembuluh getah bening dan lapisan jaringan di bawah kulit berlemak atau yang
Absorpsi perkutan merupakan absorpsi obat ke dalam stratum korneum (lapisan tanduk),
kemudian obat berlanjut menembus lapisan dibawahnya dan akhirnya obat masuk ke dalam
sirkulasi darah. Kulit merupakan pelintang yang efektif terhadap penetrasi perkutan obat atau
senyawa eksternal. Absorpsi obat eksternal dipengaruhi oleh sifat fisikokimia obat dan pembawa
serta kondisi kulit pada pemakaian obat secara topikal. Obat berdifusi dalam pembawanya dan
kontak dengan permukaan kulit (stratum korneum dan selum) serta obat selanjutnya menembus
epidermis (Syukri,2002).
Adsorbsi obat perkutan dipengaruhi oleh sifat fisikokimiawi obat dan pembawa serta
kondisi kulit pada pemakaian obat secara topical, obat berdifusi dalam pembawanya
dan kontak dengan permukaan kulit (statum korneum dan setum) serta obat selanjtnya
menembus epidermis. Penetrasi obat melalui kulit dapat terjadi dengan dua cara yaitu :
1. Rute transdermal, yaitu difusi obat menembus stratum korneum.
2. Rute transfolikuler, yaitu difusi obat melewati pori kelenjar keringat dan sebum.
Sebelum obat dapat memberikan efek, obat perlu dilepaskan dari basisnya setelah obat
kontak dengan stratum korneum maka obat akan menembus epidermis dan masuk kedalam
sirkulasi sistemik secara difusi pasif. Laju absorban melintasi kulit tidak segera lunak tetapi
selalu teramati adanya waktu laten. Waktu laten mencerminkan penundaan penembusan senyawa
kebahagian dalam struktur tanduk dan pencapaian graien difusi (Syukri, 2002).
Difusi pasif adalah proses perpindahan massa dari tempat yang memiliki konsentrasi
tinggi ke lingkungan dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi ini merupakan daya dorong
sebagai penyebab terjadinya perpindahan massa. Untuk difusi dengan melewati membran,
molekul harus masuk dan melarut dulu dalam membran tersebut, selanjutnya obat berdifusi
meninggalkan membran tersebut dan mencapai reseptor. Suatu uji perlu dilakukan untuk
memperkirakan jumlah obat yang mampu berdifusi menembus kulit. Uji tersebut
dilakukan secara in-vitro menggunakan bahan dan alat yang mewakili proses difusi obat
melewati stratum korneum. Salah satu metode yang digunakan dalam uji difusi adalah metode
flow through. Adapun prinsip kerjanya yaitu pompa peristaltik menghisap cairan reseptor
dari gelas kimia kemudian dipompa ke sel difusi melewati penghilang gelembung sehingga aliran
terjadi secara hidrodinamis, kemudian cairan dialirkan kembali ke reseptor. Cuplikan diambil
dari cairan reseptor dalam gelas kimia dengan rentang waktu tertentu dan diencerkan dengan
pelarut campur Kemudian diukur absorbannya dan konsentrasinya pada panjang gelombang
maksimum, sehingga laju difusi dapat dihitung berdasarkan hukum Fick di atas.
Membrane difusi dapat menggunakan membran sintesis yang menyerupai stuktur stratum
korneum ataupun bisa menggunakan bagian kulit dari hewan uji (membran stratum korneum
Fenomena di atas dikenal dengan istilah difusi pasif. Proses difusi pasif ini mengikuti
persamaan difusi oleh Fick, yaitu teori yang menggambarkan hubungan antara fluks obat
melewati membran sebagai fungsi perbedaan konsentrasi. Persamaan Fick’s dapat dituliskan
sebagai berikut:
Kondisi Cs >>> C sering disebut kondisi Sink. Sementara ( K D / h ) sering disebut sebagai
koefisien permeabilitas.
BAB III
METODE PRAKTIKUM
a. Alat
o Timbangan analitik
o Spektrofotometri UV-Vis
o pH meter
o Kaca arloji
o Gelas kimia
o Labu ukur
o Botol vial
o Batang pengaduk
o Pipet tetes
b. Bahan
o Asam salisilat
o Aquadest
o Buffer fosfat
o Vaselin album
3.2 Prosedur Kerja
Ditimbang Na2HPO4 8,89 gram dan dilarutkan kedalam 500 ml aquadest ( larutan
A)
Ditimbang Na2HPO4 1,56 gram dan dilarutkan kedalam 100 ml aquadest ( larutan
B)
Dicek pH nya
Dibunuh tikus dengan cara diteteskan kloroform pada kapas didalam wadah yang
tertutup
e) Penyiapan alat
Dipasang membran pada alat difusi franz di atas chamber yang telah terisi
larutan buffer fosfat pH 7,6
f) Pengujian
Dilakukan sampling pada menit ke-5, 10, 15, 20, 30, 40, 50, 60, 75, 90, 115, 120
setelah salep dioleskan dengan mengambil 1 mL media difusi.
DATA PRAKTIKUM
4.1 Perhitungan
3 x 5 g = 0,15 g
100
Penimbangan basis:
= 10 mg
c. Kurva kalibrasi asam salisilat
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, dilakukan percobaan difusi obat perkutan secara in vitro dengan
tujuan untuk melihat pengaruh perbedaan kadar obat terhadap difusi asam salisilat secara in vitro
menggunakan membran buatan. Dimana pada praktikum kali ini menggunakan membran kulit
tikus yang sudah dibunuh menggunakan kloroform yang diteteskan pada kapas dan
menempatkan tikus didalam wadah tertutup. Tikus mati setelah diberi kloroform karena sifat
kloroform yaitu beracun dan dapat menyebabkan tegangnya pernafasan, relaksasi otot secara
menyeluruh, dan paralisis pada otot dada (seringnya fatal) kemudian kloroform juga digunakan
Pada percobaan kali ini, dibuat sediaan salep, dimana salep merupakan sediaan setengah
padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obatnya larut atau
terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok (Depkes RI, 1995). Pembuatan sediaan salep
dilakukan dengan menimbang asam salisilat sebanyak 0,15 gram dan vaselin album sebanyak
4,85 gram. Pembuatan salep dilakukan dengan memasukkan asam salisilat didalam lumpang,
kemudian ditambahkan sedikit etanol dan dimasukkan vaselin album digerus hingga homogen.
Adapun pembuatan larutan buffer fosfat yang bertujuan untuk mengkondisikan cairan seperti pH
tubuh normal yaitu kisaran 7,0-7,6. Larutan dapar fosfat ini merupakan cairan reseptor
tubuh dan pengkondisian ini bertujuan untuk menghasilkan nilai pengukuran yang
mendekati atau sama dengan bila pengujian dilakukan langsung terhadap tubuh manusia.
Untuk mencapai tempat kerja suatu obat dijaringan atau organ, obat tersebut harus
melewati berbagai membran sel. Pada umumnya membran sel mempunyai struktur lipoprotein
yang bertindak sebagai membran lipid yang semipermeabel. Kelarutan molekul obat dalam lipid
Berdasarkan hasil yang didapatkan pada kurva kalibrasi asam salisilat dapat diperoleh
sebagai berikut pada kadar 2 ppm absorbansi yang didapatkan adalah 0,048, kadar 4 ppm
absorbansi nya yaitu 0,094, kadar 6 ppm absorbansinya yaitu 0,142, kadar 8 ppm absorbansi nya
yaitu 0,171 dan kadar 10 ppm mendapatkan absorbansi 0,203. Dapat disimpulkan bahwa
semakin besar nilai kadar ppm nya maka semakin naik nilai absorbansi yang didapatkan.
Sehingga dapat diperoleh pada kurva membentuk garis lurus dan memperoleh nilai y = 0,019x +
0,015, r = 0,987. Dimana r yang paling baik adalah r yang mendekati satu. Adapun nilai
absorban yang paling baik yaitu 0,2-0,8. Dapat dilihat pada tabel pada kadar 10 ppm
Adapun tahap percobaan selanjutnya yaitu difusi dan sediaan yang diuji pada percobaan
ini adalah salep asam salisilat. Pada tahap ini dilakukan uji difusi suatu obat dengan
menggunakan metode difusi tipe vertikal, Yang merupakan percobaan pada uji difusi
terhadap suatu zat tertentu dimana dibuat suatu mekanisme kerja layaknya difusi didalam
membran sel tubuh manusia. Kemudian untuk mengukur konsentrasi obat yang terdifusi ke
dalam kulit dan mengetahui konsentrasi obat terhadap waktu yang dilakukan secara in vitro
dengan melihat jumlah obat yang terdifusi pada luas membran terhadap waktu. Berdasarkan hasil
yang didapatkan pada waktu 5 menit- 30 menit nilai absorban nya naik yaitu 0,018, 0,031, 0,042,
0,058, 0,061. Pada waktu 40 menit nilai absorbansi nya mulai menurun yaitu 0,059. Pada 50
menit 0,086 abs, pada waktu 60 menit 0,047 abs, pada waktu 75 menit 0,057 abs, pada waktu 90
menit 0,063, pada waktu 105 menit 0,067 abs, dan pada waktu 120 menit 0,068 abs dan
mengandung penetrasi nilai absorbansinya naik seiring dengan pertambahan waktu yaitu pada
waktu 5 menit-30 menit. Akan tetapi pada waktu 40 menit nilai absorbansi nya menurun dan
pada menit selanjutnya mengalami naik turun pada grafiknya hal ini kemungkinan disebabkan
oleh kurang bersihnya kuvet sebelum dilakukan pengujian dengan spektrofotometer UV-Vis
sehingga mempengaruhi nilai absorbansinya dan hasilnya tidak seperti yang seharusnya. Hal ini
didasari karena semakin lama waktunya, maka absorbansinya semakin tinggi, karena seharusnya
semakin banyak obat yang terabsorpsi. Cara pemberian juga dapat mempengaruhi kecepatan
absorbsi obat yang berpengaruh juga terhadap onset dan durasi. Pada literature dijelaskan bahwa
onset paling cepat adalah intraperitonial, intramuscular, subkutan, peroral. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian obat melalui subkutan memiliki keuntungan yakni absorbsi yang terjadi relatif
cepat, sedangkan kerugian pada subkutan adalah hanya digunakkan untuk obat yang tidak
mengiritasi jaringan. Absorbansi yang dihasilkan tidak memenuhi syarat karena absorbansi yang
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
A. Berdasarkan hasil yang didapatkan pada kurva kalibrasi asam salisilat dapat diperoleh
sebagai berikut pada kadar 2 ppm absorbansi yang didapatkan adalah 0,048, kadar 4 ppm
absorbansi nya yaitu 0,094, kadar 6 ppm absorbansinya yaitu 0,142, kadar 8 ppm
absorbansi nya yaitu 0,171 dan kadar 10 ppm mendapatkan absorbansi 0,203. Dapat
dilihat pada tabel pada kadar 10 ppm mendapatkan nilai absorban yang baik yaitu 0,203.
B. Berdasarkan hasil yang didapatkan pada difusi salep asam salisilat waktu 5 menit- 30
menit nilai absorban nya naik yaitu 0,018, 0,031, 0,042, 0,058, 0,061. Pada waktu 40
menit nilai absorbansi nya mulai menurun yaitu 0,059. Pada 50 menit 0,086 abs, pada
waktu 60 menit 0,047 abs, pada waktu 75 menit 0,057 abs, pada waktu 90 menit 0,063,
pada waktu 105 menit 0,067 abs, dan pada waktu 120 menit 0,068 abs. Absorbansi yang
dihasilkan tidak memenuhi syarat karena absorbansi yang baik pada rentang 0,2 sampai
0,8.
DAFTAR PUSTAKA
Aiache, 1993, Biofarmasetika, diterjemahkan oleh Widji Soeratri, Edisi II, 445-460, Airlangga
Press, Jakarta.
Depkes, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta