Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOKINETIK

“Difusi Obat per Kutan Secara In Vitro”

Disusun Oleh:

Kelompok 3

1. Aurelia Sefty Herfatama D1A200094

2. Geri Lasmana D1A200096

3. Jihan Khusnulkhatimah D1A200067

4. M. Ridha Wilyananda D1A200090

5. Siti Nurpeza D1A200075

Kelas : 3a Konversi Yarsi

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI


UNIVERSITAS AL-GHIFARI
BANDUNG
2022
BAB I

TUJUAN PRAKTIKUM

1.1 Tujuan

Mempelajari pengaruh perbedaan kadar obat terhadap difusi asam salisilat secara

in vitro menggunakan membran buatan.


BAB II

DASAR TEORI

Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh luar

baik fisik ataupun kimia. Kulit berfungsi sebagai sistem epitel pada tubuh untuk menjaga

keluarnya subtansi-subtansi penting dari dalam tubuh dan untuk mencegah masuknya subtansi-

subtansi asing yang berasal dari luar tubuh untuk masuk ke dalam tubuh. Meskipun kulit

relatif permeable terhadap senyawa-senyawa kimia, namun dalam keadaan tertentu kulit dapat

ditembus oleh senyawa-senyawa obat atau bahan-bahan yang diaplikasikan ke permukaanya.

Secara mikroskopik kulit tersusun dari berbagai lapisan yang berbeda-beda, berturut-turut

dari luar kedalam yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis yang tersusun atas pembuluh darah

dan pembuluh getah bening dan lapisan jaringan di bawah kulit berlemak atau yang

disebut lapisan hypodermis (Aiache, 1993 dan Chein, 1987).

Absorpsi perkutan merupakan absorpsi obat ke dalam stratum korneum (lapisan tanduk),

kemudian obat berlanjut menembus lapisan dibawahnya dan akhirnya obat masuk ke dalam

sirkulasi darah. Kulit merupakan pelintang yang efektif terhadap penetrasi perkutan obat atau

senyawa eksternal. Absorpsi obat eksternal dipengaruhi oleh sifat fisikokimia obat dan pembawa

serta kondisi kulit pada pemakaian obat secara topikal. Obat berdifusi dalam pembawanya dan

kontak dengan permukaan kulit (stratum korneum dan selum) serta obat selanjutnya menembus

epidermis (Syukri,2002).

Adsorbsi obat perkutan dipengaruhi oleh sifat fisikokimiawi obat dan pembawa serta

kondisi kulit pada pemakaian obat secara topical, obat berdifusi dalam pembawanya

dan kontak dengan permukaan kulit (statum korneum dan setum) serta obat selanjtnya

menembus epidermis. Penetrasi obat melalui kulit dapat terjadi dengan dua cara yaitu :
1. Rute transdermal, yaitu difusi obat menembus stratum korneum.

2. Rute transfolikuler, yaitu difusi obat melewati pori kelenjar keringat dan sebum.

Sebelum obat dapat memberikan efek, obat perlu dilepaskan dari basisnya setelah obat

kontak dengan stratum korneum maka obat akan menembus epidermis dan masuk kedalam

sirkulasi sistemik secara difusi pasif. Laju absorban melintasi kulit tidak segera lunak tetapi

selalu teramati adanya waktu laten. Waktu laten mencerminkan penundaan penembusan senyawa

kebahagian dalam struktur tanduk dan pencapaian graien difusi (Syukri, 2002).

Difusi pasif adalah proses perpindahan massa dari tempat yang memiliki konsentrasi

tinggi ke lingkungan dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi ini merupakan daya dorong

sebagai penyebab terjadinya perpindahan massa. Untuk difusi dengan melewati membran,

molekul harus masuk dan melarut dulu dalam membran tersebut, selanjutnya obat berdifusi

meninggalkan membran tersebut dan mencapai reseptor. Suatu uji perlu dilakukan untuk

memperkirakan jumlah obat yang mampu berdifusi menembus kulit. Uji tersebut

dilakukan secara in-vitro menggunakan bahan dan alat yang mewakili proses difusi obat

melewati stratum korneum. Salah satu metode yang digunakan dalam uji difusi adalah metode

flow through. Adapun prinsip kerjanya yaitu pompa peristaltik menghisap cairan reseptor

dari gelas kimia kemudian dipompa ke sel difusi melewati penghilang gelembung sehingga aliran

terjadi secara hidrodinamis, kemudian cairan dialirkan kembali ke reseptor. Cuplikan diambil

dari cairan reseptor dalam gelas kimia dengan rentang waktu tertentu dan diencerkan dengan

pelarut campur Kemudian diukur absorbannya dan konsentrasinya pada panjang gelombang

maksimum, sehingga laju difusi dapat dihitung berdasarkan hukum Fick di atas.

Membrane difusi dapat menggunakan membran sintesis yang menyerupai stuktur stratum
korneum ataupun bisa menggunakan bagian kulit dari hewan uji (membran stratum korneum

ular) (Gummer, 1989).

Fenomena di atas dikenal dengan istilah difusi pasif. Proses difusi pasif ini mengikuti

persamaan difusi oleh Fick, yaitu teori yang menggambarkan hubungan antara fluks obat

melewati membran sebagai fungsi perbedaan konsentrasi. Persamaan Fick’s dapat dituliskan

sebagai berikut:

J : fluks per satuan luas


K : koefisien partisi obat dalam membran dan
pembawa
h : tebal membran
D : koefisien difusi obat
Cs : konsentrasi obat dalam pembawa
C : konsentrasi obat dalam medium reseptor

Bila nilai Cs >> C, maka persamaan tersebut dapat disederhanakan menjadi :

Kondisi Cs >>> C sering disebut kondisi Sink. Sementara ( K D / h ) sering disebut sebagai
koefisien permeabilitas.
BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan

a. Alat

o Timbangan analitik

o Spektrofotometri UV-Vis

o pH meter

o Alat difusi franz

o Kaca arloji

o Gelas kimia

o Labu ukur

o Botol vial

o Batang pengaduk

o Pipet tetes

b. Bahan

o Asam salisilat

o Aquadest

o Buffer fosfat

o Membran kulit tikus

o Vaselin album
3.2 Prosedur Kerja

a) Pembuatan 5 gram salep asam salisilat 3% b/b dalam vaselin album

Metode pembuatan salep:

 Disiapkan alat dan bahan

 Ditimbang masing-masing bahan

 Dimasukkan asam salisilat kedalam lumpang

 Ditambahkan sedikit etanol dan digerus

 Dimasukkan vaselin album kedalam lumpang dan digerus hingga homogen

b) Pembuatan 500 mL buffer fosfat pH 7,6

 Disiapkan alat dan bahan

 Ditimbang Na2HPO4 8,89 gram dan dilarutkan kedalam 500 ml aquadest ( larutan
A)

 Ditimbang Na2HPO4 1,56 gram dan dilarutkan kedalam 100 ml aquadest ( larutan
B)

 Diambil larutan A 435 ml dan larutan B 65 ml

 Dicampurkan larutan tersebut hingga homogen

 Dicek pH nya

c) Pembuatan kurva kalibrasi asam salisilat

 Ditimbang asam salisilat 10 mg

 Dibuat larutan stok dengan melarutkan 100 ml buffer fosfat

 Diaduk hingga homogen


 Dibuat seri kadarnya 2,4,6,8, dan 10 ppm

d) Penyiapan membran kulit tikus

 Dibunuh tikus dengan cara diteteskan kloroform pada kapas didalam wadah yang
tertutup

 Dicukur bulu dibagian perut tikus dengan ukuran ± 4 x 4 cm (cukup untuk


membuat lingkaran dengan diameter 2,5 cm)

 Dipotong kulit tikus dengan tipis dan hati-hati menggunakan scalpel

 Direndam membran dalam larutan saline hingga siap digunakan

e) Penyiapan alat

 Dipasang membran pada alat difusi franz di atas chamber yang telah terisi
larutan buffer fosfat pH 7,6

 Dipertahankan suhu media (dapar) pada 37˚C

 Dilakukan pengadukan menggunakan magnetic stirrer secara kontinyu

f) Pengujian

 Dioleskan 1 gram salep asam salisilat di bagian atas membran

 Dilakukan sampling pada menit ke-5, 10, 15, 20, 30, 40, 50, 60, 75, 90, 115, 120
setelah salep dioleskan dengan mengambil 1 mL media difusi.

 Dikembalikan volume media difusi langsung pada volume semula dengan


penambahan buffer baru sebanyak 1 mL

 Ditambah 1 mL sampel dengan 1 mL buffer

 Diuji penetapan kadar menggunakan Spekrofotometer UV-Vis


BAB IV

DATA PRAKTIKUM

4.1 Perhitungan

a. Pembuatan 5 gram salep asam salisilat 3% b/b dalam vaselin

album Penimbangan asam salisilat :

3 x 5 g = 0,15 g

100

Penimbangan basis:

Vaselin = 5 g – 0,15 g = 4,85 g

b. Penimbangan asam salisilat :


100 ppm = 100 mg/1000 ml
100 mg = x
1000 ml 100 ml
10000 = 1000 x
x = 10000/1000

= 10 mg
c. Kurva kalibrasi asam salisilat

Kadar (ppm) Stok (µL) buffer ad absorbansi


2 200 10 ml 0,048
4 400 10 ml 0,094
6 600 10 ml 0,142
8 800 10 ml 0,171
10 1000 10 ml 0,203
λmax = nm
a = 0,015 r =0,987
b = 0,019
Persamaan regresi linear :

d. Data difusi salep asam salisilat

t (menit) Absorbansi ct (ppm) Pengenceran Xt


5 0,018 0,256 2 0,512
10 0,031 0,932 2 1,864
15 0,042 1,507 2 3,014
20 0,058 2,324 2 4,648
30 0,061 2,484 2 4,968
40 0,059 2,422 2 4,844
50 0,086 3,799 2 7,598
60 0,047 1,775 2 3,55
75 0,057 2,299 2 4,598
90 0,063 2,586 2 5,172
105 0,067 2,799 2 5,598
120 0,068 2,888 2 5,776
t (menit) xt
5 0,512
10 1,864
15 3,014
20 4,648
30 4,968
40 4,844
50 7,598
60 3,55
75 4,598
90 5,172
105 5,598
120 5,776
BAB V

PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, dilakukan percobaan difusi obat perkutan secara in vitro dengan

tujuan untuk melihat pengaruh perbedaan kadar obat terhadap difusi asam salisilat secara in vitro

menggunakan membran buatan. Dimana pada praktikum kali ini menggunakan membran kulit

tikus yang sudah dibunuh menggunakan kloroform yang diteteskan pada kapas dan

menempatkan tikus didalam wadah tertutup. Tikus mati setelah diberi kloroform karena sifat

kloroform yaitu beracun dan dapat menyebabkan tegangnya pernafasan, relaksasi otot secara

menyeluruh, dan paralisis pada otot dada (seringnya fatal) kemudian kloroform juga digunakan

sebagai anestasi umum.

Pada percobaan kali ini, dibuat sediaan salep, dimana salep merupakan sediaan setengah

padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obatnya larut atau

terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok (Depkes RI, 1995). Pembuatan sediaan salep

dilakukan dengan menimbang asam salisilat sebanyak 0,15 gram dan vaselin album sebanyak

4,85 gram. Pembuatan salep dilakukan dengan memasukkan asam salisilat didalam lumpang,

kemudian ditambahkan sedikit etanol dan dimasukkan vaselin album digerus hingga homogen.

Adapun pembuatan larutan buffer fosfat yang bertujuan untuk mengkondisikan cairan seperti pH

tubuh normal yaitu kisaran 7,0-7,6. Larutan dapar fosfat ini merupakan cairan reseptor

tubuh dan pengkondisian ini bertujuan untuk menghasilkan nilai pengukuran yang

mendekati atau sama dengan bila pengujian dilakukan langsung terhadap tubuh manusia.

Untuk mencapai tempat kerja suatu obat dijaringan atau organ, obat tersebut harus

melewati berbagai membran sel. Pada umumnya membran sel mempunyai struktur lipoprotein
yang bertindak sebagai membran lipid yang semipermeabel. Kelarutan molekul obat dalam lipid

inilah yang merupakan faktor utama absorbsi obat dalam tubuh.

Berdasarkan hasil yang didapatkan pada kurva kalibrasi asam salisilat dapat diperoleh

sebagai berikut pada kadar 2 ppm absorbansi yang didapatkan adalah 0,048, kadar 4 ppm

absorbansi nya yaitu 0,094, kadar 6 ppm absorbansinya yaitu 0,142, kadar 8 ppm absorbansi nya

yaitu 0,171 dan kadar 10 ppm mendapatkan absorbansi 0,203. Dapat disimpulkan bahwa

semakin besar nilai kadar ppm nya maka semakin naik nilai absorbansi yang didapatkan.

Sehingga dapat diperoleh pada kurva membentuk garis lurus dan memperoleh nilai y = 0,019x +

0,015, r = 0,987. Dimana r yang paling baik adalah r yang mendekati satu. Adapun nilai

absorban yang paling baik yaitu 0,2-0,8. Dapat dilihat pada tabel pada kadar 10 ppm

mendapatkan nilai absorban yang baik yaitu 0,203.

Adapun tahap percobaan selanjutnya yaitu difusi dan sediaan yang diuji pada percobaan

ini adalah salep asam salisilat. Pada tahap ini dilakukan uji difusi suatu obat dengan

menggunakan metode difusi tipe vertikal, Yang merupakan percobaan pada uji difusi

terhadap suatu zat tertentu dimana dibuat suatu mekanisme kerja layaknya difusi didalam

membran sel tubuh manusia. Kemudian untuk mengukur konsentrasi obat yang terdifusi ke

dalam kulit dan mengetahui konsentrasi obat terhadap waktu yang dilakukan secara in vitro

dengan melihat jumlah obat yang terdifusi pada luas membran terhadap waktu. Berdasarkan hasil

yang didapatkan pada waktu 5 menit- 30 menit nilai absorban nya naik yaitu 0,018, 0,031, 0,042,

0,058, 0,061. Pada waktu 40 menit nilai absorbansi nya mulai menurun yaitu 0,059. Pada 50

menit 0,086 abs, pada waktu 60 menit 0,047 abs, pada waktu 75 menit 0,057 abs, pada waktu 90

menit 0,063, pada waktu 105 menit 0,067 abs, dan pada waktu 120 menit 0,068 abs dan

memperoleh persamaan regresi linear yaitu y = 0,029x+2,800, r2 = 0,378. Berasarkan hasil


perhitungan ini didapatkan sesuai dengan literature bahwa pada obat dengan salep yang

mengandung penetrasi nilai absorbansinya naik seiring dengan pertambahan waktu yaitu pada

waktu 5 menit-30 menit. Akan tetapi pada waktu 40 menit nilai absorbansi nya menurun dan

pada menit selanjutnya mengalami naik turun pada grafiknya hal ini kemungkinan disebabkan

oleh kurang bersihnya kuvet sebelum dilakukan pengujian dengan spektrofotometer UV-Vis

sehingga mempengaruhi nilai absorbansinya dan hasilnya tidak seperti yang seharusnya. Hal ini

didasari karena semakin lama waktunya, maka absorbansinya semakin tinggi, karena seharusnya

semakin banyak obat yang terabsorpsi. Cara pemberian juga dapat mempengaruhi kecepatan

absorbsi obat yang berpengaruh juga terhadap onset dan durasi. Pada literature dijelaskan bahwa

onset paling cepat adalah intraperitonial, intramuscular, subkutan, peroral. Hal ini menunjukkan

bahwa pemberian obat melalui subkutan memiliki keuntungan yakni absorbsi yang terjadi relatif

cepat, sedangkan kerugian pada subkutan adalah hanya digunakkan untuk obat yang tidak

mengiritasi jaringan. Absorbansi yang dihasilkan tidak memenuhi syarat karena absorbansi yang

baik pada rentang 0,2 sampai 0,8.


BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

A. Berdasarkan hasil yang didapatkan pada kurva kalibrasi asam salisilat dapat diperoleh

sebagai berikut pada kadar 2 ppm absorbansi yang didapatkan adalah 0,048, kadar 4 ppm

absorbansi nya yaitu 0,094, kadar 6 ppm absorbansinya yaitu 0,142, kadar 8 ppm

absorbansi nya yaitu 0,171 dan kadar 10 ppm mendapatkan absorbansi 0,203. Dapat

dilihat pada tabel pada kadar 10 ppm mendapatkan nilai absorban yang baik yaitu 0,203.

Adapun nilai absorban yang paling baik yaitu 0,2-0,8.

B. Berdasarkan hasil yang didapatkan pada difusi salep asam salisilat waktu 5 menit- 30

menit nilai absorban nya naik yaitu 0,018, 0,031, 0,042, 0,058, 0,061. Pada waktu 40

menit nilai absorbansi nya mulai menurun yaitu 0,059. Pada 50 menit 0,086 abs, pada

waktu 60 menit 0,047 abs, pada waktu 75 menit 0,057 abs, pada waktu 90 menit 0,063,

pada waktu 105 menit 0,067 abs, dan pada waktu 120 menit 0,068 abs. Absorbansi yang

dihasilkan tidak memenuhi syarat karena absorbansi yang baik pada rentang 0,2 sampai

0,8.
DAFTAR PUSTAKA

Aiache, 1993, Biofarmasetika, diterjemahkan oleh Widji Soeratri, Edisi II, 445-460, Airlangga
Press, Jakarta.

Depkes, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta

Syukri, 2002, Biofarmasetika, UII Press, Yogyakarta, 36-37,65,71-73

Anda mungkin juga menyukai