Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

KEPERAWATAN ANAK 1
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN HIPERBILIRUBIN

OLEH:

EVISA KARIMATUNNISA SR20214010


HERINAWAN SR20214013
MUHAMMAD SONY PRARAMA SR20214018
SITI JUWARIAH SR20214062

PROGRAM STUDI DIPLOMA S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI


ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH PONTIANAK
2022/2023

1
KATA PENGANTAR 

 Assalamualaikum wr. wb.Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ASUHAN KEPERAWATAN
PADA ANAK DENGAN HIPERBILIRUBIN tepat pada waktunya. Makalah ini kami susun
untuk memenuhi tugas mata kuliah. Keperawatan muhammadiyah pontianak Kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penulisan makalah ini. Terdapat banyak
kesalahan dalam makalah ini, untuk itu penulis mengharapkan agar pembaca dapat memberikan
sanggahan, kritik, dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat kepada semua pembaca.

PONTIANAK 1 APRIL 2022

PENYUSUN

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................................4
1.1 Latar belakang.......................................................................................................................................4
1.2 Tujuan......................................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................................................6
2.1 Definisi.......................................................................................................................................................6
2.2 Anatomi fisiologi.....................................................................................................................................6
2.3 Etiologi......................................................................................................................................................9
2.4 Manifestasi Kinik...................................................................................................................................9
2.5 Patofisiologi............................................................................................................................................10
2.6 Klasifikasi...............................................................................................................................................11
BAB III.................................................................................................................................................................18
ASUHAN KEPERAWATAN........................................................................................................................18
A. Pengkajian................................................................................................................................................18
B. Diagnosa keperawatan...............................................................................................................................19
C. Intervensi..................................................................................................................................................19
E. Evaluasi.....................................................................................................................................................23
BAB IV PENUTUP..........................................................................................................................................24
4.1 Kesimpulan..........................................................................................................................................24
4.2 Saran......................................................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................................25

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan selama ini bertujuan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Indikator derajat kesehatan masyarakat
komponen kesehatan,diantaranya adalah Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Bayi (AKB). Indonesia masih menuai presentasi di ASEAN (Association of South East Asia
Nations) Angka kematian bayi di negara-negara ASEAN seperti Singapura 3/1000 per
kelahiran hidup, Malaysia 5,5/1000 per  kelahiran hidup, Thailand 17/1000 per kelahiran
hidup, Vietnam 18/1000 per  kelahiran hidup, dan Philipina 26/1000 per kelahiran hidup.
Sedangkan angka

kematian bayi di Indonesia cukup tinggi yakni 26,9/2000per kelahiran hidup. Tingkat
kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu indikator di suatu Negara.
Angka kematian Maternal dan Neonatal masih tinggi, salah satu faktor penting dalam upaya
penurunan angka tersebut dengan memberikan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal
yang berkualitas kepada masyarakat yang belum terlaksana. Menurut Pola penyakit
penyebab kematian bayi menunjukkan bahwa proporsi
 penyebab kematian neonatal kelompok umur 0-7 hari tertinggi adalah premature dan Berat
Badan Lahir Rendah / BBLR (35%), kemudian asfiksia lahir (33,6%). Penyakit penyebab
kematian neonatal kelompok umur 8-28 hari tertinggi adalah

infeksi sebesar 57,1% (termasuk tetanus 9,5%, sepsis, pneumonia, diare), kemudian
feeding problem (14,3%).
Berdasarkan data dari The Fifty Sixth Session of Regional Committee, WHO
(World Health Organization), pada tahun 2003, kematian bayi terjadi pada usia neonatus
dengan penyebab infeksi 33%, asfiksia/ trauma 28%, BBLR 24%, kelainan bawaan 10%,
dan lain-lain 5%. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi
 baru lahir adalah ensefalopati biliaris (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati
biliaris merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki
angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa

 berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralysis dan displasia dental yang sangat

4
mempengaruhi kualitas hidup. Ikterus adalah suatu keadaan kulit dan membran mulkosa
yang warnanya menjadi kuning akibat peningkatan jumlah pigmen empedu di dalam darah
dan jaringan tubuh. Hiperbiliirubin adalah suatu keadaan

dimana kadar bilirubiin mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kern-
ikterus, jika tidak ditanggulangi dengan baik.
Sebagian besar hiperbilirubin ini proses terjadinya mempunyai dasar yang
 patologik. Angka kejadian bayi hiperbilirubin berbeda di satu tempat ke tempat lainnya. Hal
ini disebabkan oleh perbedaan dalam faktor penyebab seperti umur  kehamilan, berat badan
lahir, jenis persalinan dan penatalaksanaan.
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah pada sebagian
neonates, ikterus akan di temukan pada minggu pertama dalam kehidupannya. Di
kemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60 %

 bayi cukup bulan dan 80 % pada bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin
bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan menetap atau
menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat
 perhatian terutama bilaikterus di temukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi. Proses
hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari satu minggu serta
bilirubin direk lebih dari1 mg/dl juga keadaan yang menunjukan kemungkinan adanya
ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan harus di lakukan sebaik-baiknya
agar akibat buruk ikterus dapat di hindarkan.

1.2 Tujuan
Dengan adanya makalah ini pembaca diharapkan dapat mengetahui tentang
hiperbilirubinemia pada anak. Mulai dari pengertian, etiologi, manifestasi klinik,
patofisiologi dan klasifikasi, pemerisaan penunjang, komplikasi, dan
 penatalaksanaan dari hiperbilirubinemia.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Hiperbilirubinemia adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang


kadar nilainya lebih dari normal. (Suriadi dan Rita, 2001).
Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi bayi baru lahir dengan kadar 
 bilirubin serum total lebih dari 10mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan
ikterus, yang dikenal dengan ikterus neonatorum
 patologis. Hiperbilirubinemia yang merupakan suatu keadaan meningkatnya kadar 
 bilirubin didalam jaringan ekstravaskular, sehingga konjungtiva, kulit, dan

mukosa akan berwarna kuning. (Aziz, 2002)


Hiperbilirubinemia adalah akumulasi berlebihan dari bilirubin di dalam darah.
(Wong, 2003). Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar bilirubin serum yang
dihubungkan dengan hemolisis sel darah merah dari bilirubin yang tidak terkonjugasi dari
usus kecil, yang ditandai dengan jaundice pada kulit, sclera mukosa, dan urine.
(Mitayani, 2012)
Hiperbilirubinemia adalah bayi dismatur lebih sering menderita hiperbilirubinemia
dibanding bayi yang bertanya sesuai engan masa kehamilan. Berat hati bayi dismatur
kurang dibandingkan bayi biasa, mungkin disebabkan

gangguan pertumbuhan hati

2.2 Anatomi fisiologi

  Hati, yang merupakan organ terbesar tubuh dapat dianggap sebagai sebuah
 pabrik kimia yang membuat, menyimpan, mengubah, dan mengekskresikan sejumlah besar
substansi yang terlibat dalam metabolisme. Lokasi hati sangat
 penting dalam pelaksanaan fungsi ini karena hati menerima darah yang kaya nutrien
langsung dari traktus gastrointestinal; kemudian hati akan menyimpan atau
mentransformasikan semua nutrien ini menjadi zat-zat kimia yang digunakan

di bagian lain dalam tubuh untuk keperluan metabolik. Hati merupakan organ

6
yang penting khususnya dalam pengaturan metabolisme glukosa dan protein. Hati membuat
dan mengeksresikan empedu yang memegang peranan utama dalam
 proses pencernaan serta penyerapan lemak dalam traktus gastrointestinal. Organ

ini mengeluarkan limbah produk dari dalam aliran darah dan mengeksresikannya ke dalam
empedu. Empedu yang dihasilkan oleh hati akan disimpan untuk 
sementara waktu dalam kandung empedu (vesika velea) sampai kemudian dibutuhkan untuk
proses pencernaan; pada saat ini, kandung empedu akan mengosongkan isinya dan empedu
memasuki intestinum (usus).
Ekskresi Bilirubin
  Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin oleh sel-sel
pada sistem retikuloendotelial yang mencakup sel-sel Kupffer dari hati. Hepatosit
mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi kimia

mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam glukuronat yang membuat bilirubin lebih
dapat larut di dalam larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasi disekresikan
oleh hepatosit ke dalam kanalikulus empedu di dekatnya dan akhirnya dibawa dalam
empedu ke duodenum.
  Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi urobilinogen yang sebagian
akan diekskresikan ke dalam feses dan sebagian lagi diabsorpsi lewat mukosa intestinal ke
dalam darah portal. Sebagian besar dari urobilinogen yang diserap kembali ini dikeluarkan
oleh hepatosit dan disekresikan sekali lagi ke dalam empedu (sirkulasi enterohepatik).
Sebagian urobilinogen memasuki

sirkulasi sistemik dan dieksresikan oleh ginjal ke dalam urin. Eliminasi bilirubin dalam
empedu menggambarkan jalur utama ekskresi bagi senyawa ini.
Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit hati,
 bila aliran empedu terhalang (yaitu, oleh batu empedu dalam saluran empedu) atau bila
terjadi penghancuran sel-sel darah merah yang berlebihan. Pada obstruksi saluran empedu,
bilirubin tidak memasuki intestinum dan sebagai akibatnya, urobilinogen tidak terdapat
dalam urin.
Metabolisme Bilirubin
  Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi bilirubin (merubah bilirubin yang

larut dalam lemak menjadi bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam

7
hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan
hati, serta jumlah tempat ikatan albumin (albumin binding site). Pada
 bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan

menghasilkan enzim glukoronil transferase yang memadai sehingga serum


 bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus,
 perlu diketahui sedikit tentang metabolisme bilirubin pada neonatus. Bilirubin merupakan
produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin
tersebut berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau
eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan
 bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta
 beberapa zat lain.

Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau
 bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya
mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran
 biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian
 bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar.
Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor
membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi
persenyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z dan glutation hati lain yang
membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya

 proses konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian
menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan
 pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang
terkonjugasi ini dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran
 pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai
sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah
proses absorbsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari- hari

pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik 

8
tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus,
masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3

dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke
10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi
cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan.
Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus
fisiologik. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau
konjugasi hati menurun sehingga kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin
yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misal kerusakan sel otak
yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian.

Gambar bayi normal

Gambar bayi hiperbilirubin

9
Gambar hati

2.3 Etiologi

Menurut Klous dan Fanaraft (1998) bilirubin dibedakan menjadi dua jenis yaitu: 1.
Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek (bilirubin bebas) yaitu bilirubin
tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk transport dan komponen
 bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik untuk otak karena bisa melewati sawar darah
otak.
2. Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk (bilirubin terikat) yaitu bilirubin larut dalam air
dan tidak toksik untuk otak.

Penyebab lain yaitu peningkatan bilirubin dapat terjadi karena; polycetlietnia, isoimmun


hemolytic disease, kelainan struktur dan enzim sel darah merah,
keracunan obat (hemolisis kimia: salisilat, kortikoseteroid,
klorampenikol ), hemolisis ekstravaskuler; cephalhematome, ecchyumosis
Gangguan fungsi hati ; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi empedu/atresia
biliari, infeksi, masalah inetabolik; galaktosemia hypothyroidisme, jaundice ASI.

2.4 Manifestasi Kinik 

Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada bayi dengan hiperbilirubinemia diantaranya :

10
1. Ikterus pada kulit dan konjungtiva, mukosa, dan alat-alat tubuh lainnya. Bila ditekan akan

timbul kuning.
2. Bilirubin direk ditandai dengan kulit kuning kehijauan dan keruh pada ikterus

 berat.
3. Bilirubin indirek ditandai dengan kulit kuning terang pada ikterus berat. 4. Bayi

menjadi lesu.
5. Bayi menjadi malas minum.

6. Tanda-tanda klinis ikterus jarang muncul. 7.

Letargi.
8. Tonus otot meningkat. 9.
Leher kaku.
10. Opistotonus.

11. Muntah, anorexia, fatigue, warna urine gelap, warna tinja pucat.

2.5Patofisiologi

Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang
sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar
yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
 penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z

 berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan
 peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar  atau
neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar  larut dalam air
tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel
otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi
pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya

11
dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar
Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya

tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar  darah
otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia,
dan Hipoglikemia.

2.6 Klasifikasi

Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus: 1.


Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat
disusun sebagai berikut:

- Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.


- Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri)
- Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
- Kadar Bilirubin Serum berkala.
- Darah tepi lengkap.
- Golongan darah ibu dan bayi.
- Test Coombs.
- Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila

 perlu.

2. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.

- Biasanya Ikterus fisiologis, timbul pada hari ke 2 atau ke 3, tampak jelas pada hari ke
5-6 dan menghilang pada hari ke 10.
- Bayi tampak biasa, minum baik, berat badan naik biasa
- Kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 12 mg %, pada BBLR
10 mg %, dan akan hilang pada hari ke 14.
- Penyebab ikterus fisiologis diantaranya karena kekurangan protein Y dan Z, enzim

Glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya.

12
- Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan lain.
Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24
jam.

- Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
- Polisetimia.
- Hemolisis perdarahan tertutup (pendarahan subaponeurosis, pendarahan Hepar,
sub kapsula dll).
Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang
 perlu dilakukan:
- Pemeriksaan darah tepi.
- Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
- Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.

- Pemeriksaan lain bila perlu.


3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.

- Sepsis.
- Dehidrasi dan Asidosis.
- Defisiensi Enzim G6PD.
- Pengaruh obat-obat.
- Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.

4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:

- Karena ikterus obstruktif.


- Hipotiroidisme
- Breast milk Jaundice.
- Infeksi.
- Hepatitis Neonatal.
- Galaktosemia.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:
- Pemeriksaan Bilirubin berkala.
- Pemeriksaan darah tepi.

- Skrining Enzim G6PD.

13
- Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.
Berikut adalah beberapa keadaan yang menimbulkan ikterus patologis :
1. penyakit hemolitik, isoantibodi karena ketidakcocokan golongan darah ibu dan

anak seperti Rhesus antagonis, ABO, dsb.


2. kelainan dalam se darah merah seperti pada defisiensi G-6-PD

3. hemolisis, hematoma, polisitemia, perdarahan karena trauma lahir 

4. infeksi : septisemia, meningitis, infeksi saluran kemih, penyakit karena toksoplasmosis,

sifilis, rubela, hepatitis


5. kelainan metabolik, hipoglikemia, galaktosemia

6. obat2an yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin seperti : sulfonamid,

salisilat, sodium benzoat, gentamisin.


7. Pirau enteropatik yang meninggi, obstruksi usus letak tinggi, penyakit hirschsprung,

stenosis pilorik, mekonium ileus, dsb.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya :
1. Tes Coomb pada tali pusat bayi baru lahir. Hasil positif tes Coomb indirek  menandakan

adanya antibodi Rh-positif, anti-A, atau anti-B dalam darah ibu. Hasil positif dari tes
Coomb direk menandakan adanya sentisasi (Rh-positif, anti- A, anti-B) sel darah merah
dari neonatus.
2. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.

3. Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5 mg/dl, yang
mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tidak 
terkonjugasi) tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam, atau tidak 
 boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dl pada bayi praterm
(tergantung pada berat badan).
4. Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 g/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan,

terutama pada bayi praterm.


5. Hitung darah lengkap: Hemoglobin (Hb) mungkin rendah (kurang dari 14 g/dl) karena

hemolisis. Hematokrit (Ht) mungkin meningkat (lebih besar dari 65 %)

14
 pada polisitemia, penurunan (kurang dari 45 %) dengan hemolisis dan anemia
 berlebihan.
6. Glukosa : kadar Dextrostix mungkin kurang dari 45 % glukosa darah lengkap

kurang dari 30 mg/dl, atau tes glukosa serum kurang dari 40 mg/dl bila bayi baru lahir
hipoglikemi dan mulai menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam
lemak.
7. Daya ikat karbon dioksida. Penurunan kadar menunjukkan hemolisis.

8. Meter ikterik transkutan : mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan

 bilirubin seru.
9. Jumlah retikulosit : peningkatan retikulosit menandakan peningkatan produksi SDM dalam

respons terhadap hemolisis yang berkenaan dengan penyakit Rh.


10. Smear darah perifer : dapat menunjukkan SDM abnormal atau imatur,

eritroblastosis pada penyakit Rh, atau sferositis pada inkompabilitas ABO.


11. Tes Betke-Kleihauer: evaluasi smear darah maternal terhadap eritrosit janin.

2.7 Komplikasi

Komplikasi yang biasa terjadi adalah sebagai berikut : 1.


Ikterik ASI.
2. Kernik ikterus (bilirubin ensefalitis).

Menghilangkan bilirubin yang terkontaminasi, menggantikan faktor koagulasi


 pada kernik ikterus, menghilangkan antibodi (Rh, ABO), dan hemolisis yang

menghasilkan sel darah merah, serta tersensititasi dari sel darah merah dilakukan dengan
cara berikut ini.
a. Menghilangkan bahan yang kurang dalam proses metabolisme bilirubin (misalnya
menambahkan glukosa pada keadaan hipoglikemia) atau menambahkan
 bahan untuk memperbaiki transportasi bilirubin (misalnya albumin). Penambahan albumin
dilakukan walaupun tidak terdapat hipoalbuminemia, tetapi perlu diingat adanya zat-zat
yang merupakan kompetitor albumin yang juga dapat mengikat
 bilirubin (misalnya sulfonamid atau obat-obatan lainnya).
Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstrasi bilirubin

 jaringan ke dalam plasma. Hal ini mengakibatkan kadar bilirubin plasma

15
meningkat, ini tidak berbahaya karena bilirubin tersebut berada dalam ikatan dengan
albumin. Albumin diberikan dalam dosis yang tidak melebihi 1 gram/kgBB sebelum
maupun sesudah tindakan transfusi untuk mengganti darah.

 b. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini. c.


Fototerapi
Ikterus klinis dan hiperbilirubinemia indirek berkurang pada perpanjangan cahaya yang
berintensitas tinggi pada spektrum yang dapat dilihat. Bilirubin menyerap cahaya secara
maksimal pada kisaran biru (dari 420-470 mm). Cahaya putih yang
 berspektrum luasan berwarna biru (super). Spektrum sempit khusus dan hijau efektif
menurunkan kadar bilirubin dapat memengaruhi foto reaksi bilirubin yang terikat oleh
albumin. Bilirubin dalam kulit menyerap energi cahaya yang dengan foto isomerisasi
mengubah bilirubin (-42 sampai dengan -15) tak terkonjugasi

alamiah yang bersifat toksik menjadi isometer konfigurasi terkonjugasi, yaitu


 bilirubin (-42 sampai -15e). Foto terapi mengubah bilirubin alamiah melalui suatu reaksi
yang menetap pada ismer bilirubin struktural yang diekskresi oleh ginjal
 pada keadaan yang tidak terkonjugasi.
Indikasi tranfusi untuk mengganti darah bayi dapat dilakukan pada keadaan
 berikut ini :
1. Hidrops.
2. Adanya riwayat penyakit berat. 3.
Adanya riwayat sensitisasi.

Tujuan dilakukannya transfusi adalah sebagai berikut : 1.


Mengoreksi anemia.
2. Menghentikan hemolisis.

3. Mencegah peningkatan bilirubin.

2.8 Penatalaksanaan

a. Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Pengobatan


dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam
 baru terjadi penurunan bilirubin yangberarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan

pada ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan.

16
 b. Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya
: pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan
plasma dosis 15 – 20 ml/kgbb. Pemebrian glukosa perlu untuk kojugasi

hepar sebagai sumber energi.


c. Melakukan dekompensasi bilirubin dengan fototerapi
Terapi sinar diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg
%. Terapisinar menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu senyawa tetrapirol yang
sulitlarut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air dan dikeluarkan
melalui urin, tinja, sehingga kadr bilirubin menurun. Selain itu pada terapi sinar ditemukan
pula peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum dan
menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu kedalam usus sehingga peristaltik
usus meningkat dan bilirubin akan keluar 

 bersama feses. Pelaksanaan


Terapi Sinar :
Gambar

1. Baringkan bayi telanjang, hanya genitalia yang ditutup (maksmal 500 jam) agar  sinar dapat

merata ke seluruh tubuh.


2. Kedua mata ditutup dengan penutup yang tidak tembus cahaya. Dapat dengan kain kasa

yang dilipat lipat dan dibalut. Sebelumnya katupkan dahulu kelopak  matanya. (untuk
mencegah kerusakan retina)
3. Posisi bayi sebaiknya diubah ubah, telentang, tengkurap, setiap 6 jam bila mungkin, agar

sinar merata.

4. Pertahankan suhu bayi agar selalu 36,5-37 C, dan observasi suhu tiap 4- 6 jam sekali. Jika

17
terjadi kenaikan suhu matikan sebentar lampunya dan bayi diberikan
 banyak minum. Setelah 1 jam kontrol kembali suhunya. Jika tetap hubungi dokter.

5. Perhatikan asupan cairan agar tidak terjadi dehidrasi dan meningkatkan suhu
tubuh bayi.
6. Pada waktu memberi bayi minum, dikeluarkan, dipangku, penutup mata dibuka.

Perhatikan apakah terjadi iritasi atau tidak.


7. Kadar bilirubin diperiksa setiap 8 jam setelah pemberian terapi 24 jam

8. Bila kadar bilirubin telah turun menjadi 7,5 mg % atau kurang, terapi dihentikan walaupun

belum 100 jam.

18
9. Jika setelah terapi selama 100 jam bilirubin tetap tinggi / kadar bilirubin dalam serum terus

naik, coba lihat kembali apakah lampu belum melebihi 500 jam digunakan. Selanjutnya
hubungi dokter. Mungkin perlu transfusi tukar.

10. Pada kasus ikterus karena hemolisis, kadar Hb diperiksa tiap hari.
Komplikasi terapi sinar :
1. Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan peningkatan insesible

water loss.
2. Frekuensi defekasi meningkat sebagai akibat meningkatnya bilirubin indirek  dalam cairan

empedu dan meningkatkan peristaltik usus.


3. Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar (berupa kulit kemerahan)

tetapi akan hilang jika terapi selesai.


4. Gangguan retina jika mata tidak ditutup.

5. Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi sebagian sinar lampu dimatikan terapi
diteruskan. Jika suhu naik terus lampu semua dimatikan
sementara, bayi dikompres dingin, dan berikan ektra minum.
6. Komplikasi pada gonad yang menurut dugaan dapat menimbulkan kelainan ( kemandulan )

tetaapi belum ada bukti.


7. Transfusi tukar.

Indikasi untuk melakukan transfusi tukar adalah : 1.


kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg %
2. kenaikan kadar bilirubin indirek cepat, yaitu 0,3 – 1 mg % / jam

3. anemia berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung


4. bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat kurang 14 mg % dan uji coomb’s

 positif.
Tujuan transfusi tukar adalah mengganti eritrosit yang dapat menjadi hemolisis, membuang
natibodi yang menyebabkan hemolisis, menurunkan kadar bilirubin indirek, dan
memperbaiki anemia.

19
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A.Pengkajian
a.   Aktivitas/istirahat
Letargi, malas.
b.   Sirkulasi
- Mungkin pucat, menandakan anemia.
- Bertempat tinggal di atas ketinggian 5000 ft.
c.   Eliminasi
- Bising usus hipoaktif.
- Pasase mekonium mungkin lambat.

- Feses mungkin lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin.


- Urin gelap pekat; hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
d.   Makanan/cairan
- Riwayat pelambatan/makan oral buruk, lebih mungkin disusui daripada menyusu botol.
- Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar.
e.   Neurosensori
- Sefalhematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal yang
berhubungan dengan trauma kelahiran/kelahiran ekstraksi vakum.

- Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada dengan


inkompatibilitas Rh berat.
- Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat.
- Opistotonus dengan kekakuan lengkung punggung, fontanel menonjol, menangis
lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
f.   Pernapasan
- Riwayat asfiksia.
- Krekels, mukus bercak merah muda (edema pleural, hemoragi pulmonal).
g.   Keamanan

- Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus.

20
- Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan intrakranial.
- Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan berlanjut pada bagian distal
tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze) sebagai efek samping

fototerapi.
h.   Seksualitas
- Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan retardasi
 pertumbuhan intrauterus (IUGR), atau bayi besar usia gestasi (LGA), seperti bayi dengan
ibu diabetes.
- Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stres dingin, asfiksia, hipoksia,
asidosis, hipoglikemia, hipoproteinemia.
- Terjadi lebih sering pada pria daripada bayi wanita.

B.Diagnosa keperawatan
1. Risiko tinggi cedera terhadap keterlibatan sistem saraf pusat berhubungan dengan

prematuritas, penyakit hemolitik, asfiksia, asidosis, hipoproteinemia, dan hipoglikemia.


2. Risiko tinggi cedera terhadap efek samping tindakan fototerapi berhubungan dengansifat fisik

dari intervensi terapeutik dan efek mekanisme regulasi tubuh.


3. Risiko tinggi terhadap komplikasi dari transfusi tukar berhubungan dengan

 prosedur invasif, profil darah abnormal, ketidakseimbangan kimia.


4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan tindakan

 berhubungan dengan kurang pemajanan, kesalahan interpretasi, tidak mengenal sumber


informasi dibuktikan dengan pernyataan masalah/kesalahan konsep,
meminta informasi, ketidaktepatan mengikuti instruksi.

C. Intervensi

1. Risiko tinggi cedera terhadap keterlibatan sistem saraf pusat berhubungan dengan

prematuritas, penyakit hemolitik, asfiksia, asidosis, hipoproteinemia, dan hipoglikemia.


Tujuan : system saraf pusat tidak terganggu

21
Kriteria hasil : a. menunjukan kadar bilirubin indirek di bawah 12 mg/dl pada bayi cukup
  bulan pada usia 3 hari

  b. resolusi ikterik pada akhir minggu pertama kehidupan


  c. bebas dari keterlibatan SSP
intervensi :
a. Pertahankan bayi tetap hangat dan kering: pantau kulit dan suhu inti dengan sering

Rasional : stress dingi berpotensi melepaskan asam lemak, yang bersaing pada sisi ikatan
pada albumin, sehingga meningkatkan kadar bilirubin yang bersirkulasi dengan bebas (
tidak berikatan ).
 b. Observasi bayi dalam sinar alamiah, perhatikan sclera dan mukosa oral, kulit

menguning segera setelah pemutihan, dan bagian tubuh tertentu terlibat. Kaji mukosa oral,
bagian posterior dari palatum keras, dan kantung konjungtiva pada
 bayi baru lahir yang berkulit gelap.
Rasional : Mendeteksi bukti / derajat ikterik. Penampilan klinis dari ikterik jelas
 pada kadar bilirubin lebih besar dari 7 – 8 mg/dl pada bayi cukup bulan. Perkiraan derajat
ikterik adalah sebagai berikut, dengan ikterik yang dimulai dari kepala ke
 jari kaki, 4 – 8 mg/dl ; batang tubuh 5 – 12 mg/dl; lipat paha, 8 – 16 mg/dl; lengan / kaki,
11 – 18 mg/dl; dan tangan / kaki, 15 – 20 mg/dl. Pigmen dasar  kuning mungkin
normal pada bayi berkulit gelap.

c. Evaluasi bayi terhadap pucat, edema atau hepatomegali.


Rasional : Tanda – tanda ini mungkin berhubungan dengan hidrops fetalis, inkompatibilitas
Rh, dan pada hemolisis uterus SDM janin.
d. Pantau kadar bilirubin
Rasional : untuk mengetahui jumlah bilirubin yang ada dalam tubuh anak tersebut.

2. Risiko tinggi cedera terhadap efek samping tindakan fototerapi berhubungan dengan sifat

fisik dari intervensi terapeutik dan efek mekanisme regulasi tubuh.


Tujuan : efek samping pada tindakan fototerapi tidak terjadi

kriteria hasil :

22
BBL akan : - mempertahankan suhu tubuh dan kesembingan cairan dalam batas normal
  - bebas dari cedera kulit atau jaringan

  - mendemonstrasikan pola interaksi yang diharapkan


  - menunjukan penurunan kadar bilirubin serum
Intervensi :
a. Observasi adanya/perkembangan bilier atau obstruksi usus

Rasional : fototerapi dikontraindikasikan pada kondisi ini karena fotoisomer 


 bilirubun yang di produksi dalam kulit dan jaringan subkutan dengan pemajanan dalam
terapi sinar tidak dapat siap dieksresikan.
 b. Berikan tameng untuk menutup mata, inspeksi mata setiap 2 jam bila tameng
dilepaskan untuk pemberian makan, sering pantau posisi tameng.

Rasional : mencegah kemungkinan kerusakan retina dan konjungtiva dari sinar  intensitas
tinggi. Pemasangan yang tidak tepat dapat menyebabkan irirasi, abrasi
kornea, dan konjungtivitis dan penuruna pernafasan oleh obstruksi pasase nasal. c.
Ubah posisi bayi setiap 2 jam
Rasional : memungkinkan pemajanan seimbang dari permukaan kulit terhadap sinar
fluoresen, mencegah pemajanan berlebih dari bagian tubuh individu.
d. Pantau masukan dan haluaran cairan
Rasional : mencegah terjadinya dehidrasi pada anak/bayi.
e. Pantau pemeriksaan labolatorium sesuai indikasi seperti : kadar bilirubin, kadar 

Hb, trombosit dan SDP ( Sel Darah Putih ). Rasional :


untuk mengetahui kondisi bayi

3. Risiko tinggi cedera terhadap komplikasi dari transfuse tukar berhubungan dengan

prosedur invasif, profil darah abnormal, ketidakseimbangan kimia


Tujuan : komplikasi tidak terjadi
Kriteria hasil : - menyelesaikan transfuse tukar tanpa komplikasi
- menunjukan penurunan kadar bilirubin serum
Intervensi :

23
a. Observasi tali pusat bayi sebelum transfusi bila vena umbilical digunakan. Bila tali
pusat kering, berikan pencucian saline selama 30-60 menit sebelum prosedur 
Rasional : pencucian digunakan untuk melunakan tali pusat dan vena umbilicus

sebelum transfuse untuk akses IV dan memudahkan pasase kateter umbilical


 b. Pertahankan suhu tubuh sebelum selama dan sesudah prosedur 
Rasional : membantu mencefah hipotermia dan vasospasme, menurunkan risiko
fibrilasi ventrikel, dan menurunkan viskositas darah
c. Pastikan golongan darah dan Rh bayi dengan ibu
Rasional : transfuse tukar paling sering dihubungan dengan masalah
inkompatibilitas Rh.
d. Pantau tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolit (mis : gugup, kejang, apnea,
dan bradkurang pemajanan kesalahan interpretasiikardia.

Rasional : hipokalsemia dan hiperkalemia dapat terjadi selama dan setelah


transfuse tukar.

4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, dan kebutuhan tindakan

 berhubungan dengan kurang pemajana, kesalahan interpretasi, tidak mengenal


sumber informasi dibuktikan dengan pertanyaan masalah/kesalahan konsep,
meminta informasi, ketidaktepatan mengikuti instruksi
Tujuan : pengetahuan orang tua bertambah
Kriteria hasil : - mengungkapkan pemahaman tentang penyebab, tindakan, dan

kemungkinan hasil hiperbilirubinemia


  - mendemonstrasikan perawatan bayi yang tepat
Intervensi :
a. Berikan penkes tentang hiperbilirubinemia mengenai pengertian, etiologi,

 patofisiologi, manifestasi klinik, dampak jangka panjang dan perawatan dirumah


 pada bayi hiperbilirbinemia
Rasional : membeikan pemahaman kepada ibu

24
D. Implemntasi

Adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dan sebuah rencana yang sudah disusun
secara matang dan terperinci. Pada implementasi maka tindakan yang dilakukan
mengacu kepada intervensi yang dibuat untuk mengatasi masalah.

E.Evaluasi
a. Resiko tinggi cedera terhadap keterlibatan system saraf pusat tidak terjadi

 b. Resiko tinggi cedera terhadap efek samping tindakan fototerapi dapat dicegah
c. Resiko tinggi cedera terhadap komplikasi dari transfuse tukar tidak terjadi
d. Pengetahuan klien bertambah

25
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hiperbilirubinemia adalah bayi dismatur lebih sering menderita
hiperbilirubinemia dibanding bayi yang bertanya sesuai engan masa kehamilan.
Berat hati bayi dismatur kurang dibandingkan bayi biasa, mungkin disebabkan
gangguan pertumbuhan hati. Penyebabnya yaitu dari Bilirubin tidak terkonjugasi
atau bilirubin indirek (bilirubin bebas) yaitu bilirubin tidak larut dalam air,
 berikatan dengan albumin untuk transport dan komponen bebas larut dalam lemak 
serta bersifat toksik untuk otak karena bisa melewati sawar darah otak. Sedangkan
Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk (bilirubin terikat) yaitu bilirubin larut

dalam air dan tidak toksik untuk otak. Manifestasi klinik dari hiperbilirubinemia
adalah Letargi, Tonus otot meningkat, Leher kaku,Opistotonus, Muntah, anorexia,
fatigue, warna urine gelap, warna tinja pucat.

4.2 Saran

Kami selaku penulis berharap kepada pembaca khususnya kami sendiri agar dapat
menambah pengetahuan dan keterampilan tentang asuhan keperawatan pada anak 
khususnya dengan hiperbilirubinemia.

26
DAFTAR PUSTAKA

Betz, & Linda. (2009). Buku Saku Keperawatan Pediatri edisi 5. Ahli bahasa,
Eny Meiliya

Editor edisi bahasa Indonesia, Egi Komara Yudha. Jakarta : EGC

R Dwienda octa, & Liva maita, dkk. (2012). Asuhan Kebidanan Neonatus,
Bayi/Balita dan Anak Prasekolah untuk Bidan ed 1. Yogyakarta : ECG

Hidayat A Aziz Alimul. (2005). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk


Pendidikan Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika

Suryanah. (1996). Keperawatan Anak Untuk Siswa SPK. Jakarta : EGC

27

Anda mungkin juga menyukai