Anda di halaman 1dari 62

MAKALAH NEONATUS

“Asuhan pada bayi dengan resiko tinggi dan penatalaksanaannya”


Dosen pembimbing : Mardiani Bebasari, S.SiT , M.Keb

Disusun oleh:

Kelompok 1

1. Adela Cindy Putri 204110281


2. Adinda Rizky Fauziah 204110282
3. Amelda Febriana 204110283
4. Anisa Lara Sati 204110284
5. Annisa luthia 204110285

Tingkat: 2A

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN


POLTEKKES KEMENKES PADANG
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang sistem nilai
budaya dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga penulis berterima kasih
pada buk Mardiani Bebasari, S.SiT , M.Keb selaku dosen mata kuliah Neonatus yang telah
memberikan tugas ini kepada penulis.

Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.

Padang,24Agustus 2021

Kelompok 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................

DAFTAR ISI ............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………………....................................

B.Rumusan Masalah ………………………………………………….........…...............

C. Tujuan Pembahasan ……………………………………………….............................

BAB II PEMBAHASAN................................................................................

1. asuhan pada neonates resiko tinggi dengan BBLR


2. asuhan pada neonates resiko tinggi dengan asfiksia naenatorum
3. asuhan pada neonates resiko tinggi dengan riespiratory dispres sindrom
4. asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hiperbilirubinemia
5. asuhan pada neonates resiko tinggi dengan perdarahan tali pusat
6. asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipotermi
7. asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipertermi
8. asuhan pada neonates resiko tinggi dengan tetanus neonatorum
9. asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipoglikemi pada BBLR

BAB III PENUTUP

1.Kesimpulan .................................................................................................................

2.Saran .........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut hasil berbagai survei, tinggi rendahnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan
Angka Kematian Bayi (AKB) disuatu Negara dapat dilihat dari kemampuan untuk
memberikan pelayanan obstetric yang bermutu dan menyaluruh.Dari hasil survei yang
dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian
upaya untuk mewujudkan target tujuan pembangunan millenium masih membutuhkan
komitmen dan usaha keras yang terus menerus.
Upaya Menurunkan AKI dan AKB. Departemen Kesehatan menargetkan angka
kematian ibu pada 2010 sekitar 226 orang dan pada tahun 2015 menjadi 102 orang per
tahun. Untuk mewujudkan hal ini, salah satu upaya terobosan dan terbukti mampu
meningkatkan. Sedangkan penyebab kematian neonatal karena BBLR 29%, asfiksia 27%,
masalah pemberian minum 10%, tetanus 10%, gangguan hematologi 6%, infeksi 5% dan
lain-lain 13% (Rachmawaty, 2006 : 1)Upaya menurunkan AKI dan AKB beberapa upaya
telah dilakukan.
Dewasa ini AKI dan AKB di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara
ASEAN lainnya. Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007,
AKI di Indonesia adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup, AKB 34 per 1.000Menurut
data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), AKI di Indonesia masih tinggi jika
dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, yaitu sebesar 228 per 100.000 kelahiran
hidup. Upaya penurunan AKI harus difokuskan pada Tujuan Jaminan Persalinan ini
adalah meningkatnya akses terhadap pelayanan persalinan yang dilakukan oleh dokter
atau bidan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB (Angka Kematian Bayi) melalui
jaminan pembiayaan untuk pelayanan persalinan.
B.RUMUSAN MASALAH
1.Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan BBLR?
2.Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan asfiksia naenatorum?
3.Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan riespiratory dispres sindrom?
4.Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hiperbilirubinemia?
5.Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan perdarahan tali pusat?
6.Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipotermi?
7.Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipertermi?
8. Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan tetanus neonatorum?
9. Bagaimanakah asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipoglikemi pada BBLR?

C.TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan BBLR

2. Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan asfiksia naenatorum

3.Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan riespiratory dispres
sindrom

4. Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hiperbilirubinemia

5.Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan perdarahan tali pusat

6. Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipotermi

7. Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipertermi

8.Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan tetanus neonatorum

9.Untuk mengetahui asuhan pada neonates resiko tinggi dengan hipoglikemi pada BBLR.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BBLR
1. Pengertian BBL
Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram
pada waktu lahir atau lebih rendah (WHO, 1961).BBLR dibedakan menjadi :
a. Prematuritas murni Yaitu bayi pada kehamilan < 37 minggu dengan berat badan
sesuai.
b. Retardasi pertumbuhan janin intra uterin (IUGR) Yaitu bayi yang lahir dengan
berat badan rendah dan tidak sesuai dengan usia kehamilan.

2. Etiologi BBLR

Penyebab kelahiran prematur secara pasti tidak diketahui, tapi ada beberapa faktor yang
berhubungan, yaitu :

1. Faktor ibu

a. Gizi saat hamil yang kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun

b. Jarak hamil dan persalinan terlalu dekat, pekerjaan yang terlalu berat

c. Penyakit menahun ibu :hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah, perokok

2. Faktor kehamilan

a. Hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan antepartum

b. Komplikasi kehamilan : preeklamsia/eklamsia, ketuban pecah dini

3. Faktor janin

a. Cacat bawaan, infeksi dalam rahim


4. Faktor Lingkungan

a. Tempat tinggal didataran tinggi

b. Radiasi

c. Zat-zat beracun

3. Komplikasi BBLR

              Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah,
terutama berhubungan dengan 4 proses adaptasi pada bayi baru lahir diantaranya:

 Sistem Pernafasan: Sindrom aspirasi mekonium, asfiksia neonatorum, sindrom


distres respirasi, penyakit membran hialin
  Sistem Kardiovaskuler: patent ductus arteriosus,
 Termoregulasi: Hipotermia,
  Glukosa: Hipoglikemia simtomatik
 Hiperbilirubinemia, , perdarahan ventrikel otak, anemia
 Infeksi, retrolental fibroplasia, necrotizing enterocolitis (NEC)
  Bronchopulmonary dysplasia, malformasi konginetal

4. Pemeriksaan Penunjang BBLR

     Analisa Gas Darah

5. Penatalaksanaan Medis BBLR

          Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada bayi BBLR terutama yang


berhubungan dengan 4 proses adaptasi bayi baru lahir, diantaranya:

 Sistem Pernafasan: Resusitasi yang adekuat, terapi oksigen


 Sistem Kardiovaskuler: Pengawasan terhadap PDA (Patent Ductus Arteriosus)
 Termoregulasi : Pengaturan suhu, perawatan bayi dalam incubator
  Glukosa (Hiperglikemia): Penyuntikan disusul pemberian infuse glukosa
 Keseimbangan cairan dan elektrolit, pemberian nutrisi yang cukup
  Pengelolaan hiperbilirubinemia, penanganan infeksi dengan antibiotik yang tepat

B. ASFIKSIA NEONATORUM
1. Pengertian Asfiksia Neonatorum
              Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur  pada saat lahir
atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2 di dalam darah rendah
(hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2 meningkat) dan asidosis.
2. Patofisiologi Asfiksia Neonatorum
              Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia dan
iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang
berperan pada kejadian asfiksia.
3. Gejala Klinik Asfiksia Neonatorum
              Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100 x/menit,
kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks rangsangan.
4. Diagnosis Asfiksia Neonatorum
     Pemeriksaan fisik :
     Nilai Apgar

Klinis 0 1 2

Detak jantung T tidak ada < 100 x/menit >100x/menit

Pernafasan T tidak ada Tak teratur Tangis kuat

Refleks saat jalan T tidak ada Menyeringai Batuk/bersin


nafas dibersihkan

Tonus otot L lunglai Fleksi Fleksi kuat gerak aktif


ekstrimitas
(lemah)

Warna kulit B biru pucat Tubuh merah Merah seluruh tubuh


ekstrimitas biru

  Nilai:     0-3              :            Asfiksia berat


               Nilai 4-6     :            Asfiksia sedang
                 Nilai 7-10   :            Normal
              Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5
menit  masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7. Nilai
Apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan  menentukan prognosis,
bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak
menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor Apgar)
Pemeriksaan penunjang :
-   Foto polos dada
-   USG kepala
-   Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit
Penyulit
Meliputi berbagai organ yaitu :
-   Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
-   Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan paru, edema paru
-   Gastrointestinal : enterokolitis  nekrotikans
-   Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH
-   Hematologi : DIC
5. Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum
a. Resusitasi kardio pulmonal
b. Terapi medikamentosa :
1) Epinefrin : Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi
adekuat dan pemijatan dada. 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000   (0,01 mg-0,03 mg/kg
BB) Cara : i.v atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu. 
2)  Bikarbonat, 1-2 mEq/kg BB  atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb (8,4%). Diencerkan
dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena dengan kecepatan
minimal 2 menit.
3) Nalokson: 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml). Intravena,  endotrakeal atau bila perpusi
baik  diberikan i.m atau s.c              
c. Suportif
·    Jaga kehangatan.
·    Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
·    Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)
d. Pemberian cairan, Jenis cairan larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat)

c. Suportif

· Jaga kehangatan.

· Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.

· Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)

d. Pemberian cairan, Jenis cairan larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat,

C. Sindrom Gangguan Pernafasan

1. Defenisi Sindrom Gangguan Pernafasan

Sindrom gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea
atau hiperapnea dengan frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali per menit, sianosis, merintih,
waktu ekspirasi dan retraksi di daerah epigastrium, interkostal pada saat inspirasi ( Perawatan
Anak Sakit, Ngastiah. Hal 3).

Penyakit Membran Hialin (PMH)

2. Etiologi Sindrom Gangguan Pernafasan


Penyebab kelainan ini adalah kekurangan suatu zat aktif pada alveoli yang mencegah
kolaps paru. PMH sering kali mengenai bayi prematur, karena produksi surfaktan yang di mulai
sejak kehamilan minggu ke 22, baru mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan.

3. Patofisiologi Sindrom Gangguan Pernafasan

Penyebab PMH adalah surfaktan paru. Surfaktan paru adalah zat yang memegang
peranan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein,
karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin. Zat ini mulai di bentuk pada
kehamilan 22-24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke 35. Fungsi surfaktan adalah
untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi,
sehingga untuk bernafas berikutnya di butuhkan tekanan negatif intrathoraks yang lebih besar
dan di sertai usaha inspiarsi yang lebih kuat. Kolaps paru ini menyebabkan terganggunya
ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2. dan oksidosis.

4. Prognosis Sindrom Gangguan Pernafasan

Prognosis bayi dengan PMH terutama ditentukan oleh prematuritas serta beratnya
penyakit. Bayi yang sembuh mempunyai kesempatan tumbuh dan kembang sama dengan bayi
prematur lain yang tidak menderita PMH.

5. Gambaran Klinis Sindrom Gangguan Pernafasan

PMH umumnya terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000-2000 gram.
Atau masa generasi 30-36 minggu. Gangguan pernafasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama
setelah lahir dan gejala yang karakteritis mulai terlihat pada umur 24-72 jam.

6. Pemeriksaan Diaknostik Sindrom Gangguan Pernafasan

a. Atas dasar adanya gangguan pernafasan yang dapat di sebabkan oleh berbagai penyebab
dan untuk melihat keadaan paru, maka bayi perlu dilakukan pemeriksaan foto thoraks.

b. Pemeriksaan darah : perlu pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah dan elektrolit.

7. Penatalaksanaan Sindrom Gangguan Pernafasan


Tindakan yang perlu dilakukan :

a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus dalam batas normal (36.5-
37oc) dan meletakkan bayi dalam inkubator.

b. Pemberian oksigen dilakukan dengan hati-hati karena terpengaruh kompleks terhadap bayi
prematur, pemberian oksigen terlalu banyak menimbulkan komplikasi fibrosis paru, kerusakan
retina dan lain-lain.

c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan hemeostasis dan
menghindarkan dehidrasi. Permulaan diberikan glukosa 5-10 % dengan jumlah 60-125 ML/ Kg
BB/ hari.

d. Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Penisilin dengan dosis 50.000-
10.000 untuk / kg BB / hari / ampisilin 100 mg / kg BB/ hari dengan atau tanpa gentasimin 3-5
mg / kg BB / hari.

e. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan ekstrogen
( surfaktan dari luar).

Hiperbilirubinemia

1. Definisi Hiperbilirubinemia

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa
karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada
neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia
adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.

Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis (Timbul
dalam 24 jam pertama kehidupan.), kecuali:

· Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10
mg/dL.
· Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.

· Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.

· Ikterus menetap pada usia >2 minggu.

· Terdapat faktor risiko.

Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat
masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat
deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik.
Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia,
kejang; tahap 2 (pertengahan minggu pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus;
tahap 3 (setelah minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni,
motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan
pendengaran sensorial.

2. Etiologi dan Faktor Risiko Hiperbilirubinemia

a) Etiologi

Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena
hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih
pendek.

· Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase,
UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh
hepatosit dan konjugasi.

· Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase di


usus dan belum ada nutrien.

· Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh
faktor/keadaan:
· Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD,
sferositosis herediter dan pengaruh obat.

· Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.

· Polisitemia.

· Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.

· Ibu diabetes.

· Asidosis.

· Hipoksia/asfiksia.

· Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

b) Faktor Risiko

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:

a. Faktor Maternal

Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)

· Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)

· Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.

· ASI

b. Faktor Perinatal

Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)

· Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

c. Faktor Neonatus
Prematuritas

· Faktor genetik

· Polisitemia

· Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)

· Rendahnya asupan ASI

· Hipoglikemia

· Hipoalbuminemia

3. Patofisiologi Hiperbilirubinemia

Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin


mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu
perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.

a. Ikterus fisiologis

Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum,


namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis.
Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya
mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun
kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin
sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.

Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain.
Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada
hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras
Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah
lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi
peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80
hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur
dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

b. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)

Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang
berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga
meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak
perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.

Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus
meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.

4. Penegakan Diagnosis Hiperbilirubinemia

a. Visual

Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan
apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena
besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan,
namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan
bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.

WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual,


sebagai berikut:

· Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan
bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.

· Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan
jaringan subkutan.

· Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.
(tabel 1)
b. Bilirubin Serum

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus


neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini
merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.
Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya
(dengan aluminium foil). Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar
bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.

c. Bilirubinometer Transkutan

Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip


memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya
yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.

Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat


dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral
reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk
tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.

Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk


mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan
pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris,
melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini
hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari
penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki
korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar,
sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil
pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan
TSB.
Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining.
Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan
bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi
dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.

d. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan
mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.

Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah
satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi
oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan
pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.

Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO
dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang
dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.

* Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada
lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus
sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil
pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar.

5. Penatalaksanaan

a. Ikterus Fisiologis

Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi
sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan
terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat
dilakukan beberapa cara berikut:
· Minum ASI dini dan sering

· Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO

· Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol
lebih cepat (terutama bila tampak kuning).

Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai
faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama
kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan
membutuhkan biaya yang cukup besar.

Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)

Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.

· Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir
sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis

· Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan
golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:

· Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi
sinar.

· Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar,
lakukan terapi sinar

· Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis
atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila
memungkinkan.

· Tentukan diagnosis banding

b. Tata laksana Hiperbilirubinemia


1) Hemolitik

Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan


darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana
untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya. Bila
nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan terapi
sinar.

· Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:

· Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar, kadar


hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera rujuk bayi.

· Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk dilakukan
tes Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin < 13
g/dL (hematokrit < 40%).

· Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:

· Persiapkan transfer.

· Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas transfusi tukar.

· Kirim contoh darah ibu dan bayi.

· Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa perlu dirujuk
dan terapi apa yang akan diterima bayi.

· Nasihati ibu:

· Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu mendapatkan


informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan dengan kehamilan
berikutnya.
· Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk menghindari zat-
zat tertentu untuk mencegah terjadinya hemolisis pada bayi (contoh: obat antimalaria,
obat-obatan golongan sulfa, aspirin, kamfer/mothballs, favabeans).

· Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.

· Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3
minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan 37
minggu), terapi sebagai ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice).

· Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama 4


minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan transfusi darah.

2) Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice)

Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus


cukup bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.

· Terapi sinar dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari


penyebab.

· Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan kepindahan
bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut, bila
memungkinkan.

· Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.

6. Pencegahan Hiperbilirubinemia

Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat


inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan
beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut:

a. Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan
hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk
menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama.

Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan


proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi
menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat
pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses
menyusui yang baik.

AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada
neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya
ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.

b. Sekunder

Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki


risiko tinggi ikterus neonatorum.

1) Pemeriksaan Golongan Darah

Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan
Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani
pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan
Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat
dilakukan tes Coombs.

2) Penilaian Klinis

Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala


untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur
standar tata laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam
bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain.
Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi sehingga
memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan
yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar,
umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi.
Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan
ekstrimitas.

E. Pendarahan Tali Pusat

1. Pengertian Pendarahan Tali Pusat

Perdarahan yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari trauma
pengikatan tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses pembentukkan trombus
normal. Selain itu perdarahan pada tali pusat juga bisa sebagi petunjuk adanya penyakit
pada bayi.

2. Etiologi Pendarahan Tali Pusat

1) Robekan umbilikus normal, biasanya terjadi karena :

a. Patus precipitates

b. Adanya trauma atau lilitan tali pusat

c. Umbilikus pendek, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan yang berlebihan pada


saat persalinan

d. Kelalaian penolong persalinan yang dapat menyebabkan tersayatnya dinding


umbilikus atau placenta sewaktu sectio secarea

2) Robekan umbilikus abnormal, biasanya terjadi karena :


a. Adanya hematoma pada umbilikus yang kemudian hematom tersebut pecah, namun
perdarahan yang terjadi masuk kembali ke dalam placenta. Hal ini sangat berbahaya
bagi bayi dan dapat menimbulkan kematian pada bayi

b. Varises juga dapat menyebabkan perdarahan apabila varises tersebut pecah

c. Aneurisma pembuluh darah pada umbilikus dimana terjadi pelebaran pembuluh


darah setempat saja karena salah dalam proses perkembangan atau terjadi kemunduran
dinding pembuluh darah. Pada aneurisme pembuluh darah menyebabkan pembuluh
darah rapuh dan mudah pecah.

3) Robekan pembuluh darah abnormal

Pada kasus dengan robekan pembuluh darah umbilikus tanpa adanya trauma,
hendaknya dipikirkan kemungkinan adanya kelainan anatomik pembuluh darah seperti :

a. Pembuluh darah aberan yang mudah pecah karena dindingnya tipis dan tidak ada
perlindungan jely Wharton

b. Insersi velamentosa tali pusat, dimana pecahnya pembuluh darah terjadi pada tempat
percabangan tali pusat sampai ke membran tempat masuknya dalam placenta tidak
adda proteksi. Umbilikus dengan kelainan insersi ini sering terdapat pada kehamilan
ganda

c. Placenta multilobularis, perdarahan terjadi pembuluh darah yang menghubungkan


masing- masing lobus dengan jaringan placenta karena bagian tersebut sangat rapuh
dan mudah pecah

4) Perdarahan akibat placenta previa dan abrotio placenta


Perdarahan akibat placenta previa dan abrutio placenta dapat membahayakan
bayi. Pada kasus placenta previa cenderung menyebabkan anemia, sedangkan pada
kasus abrutio placenta lebih sering mengakibatkan kematian intra uterin karena dapat
terjadi anoreksia.

Pengamatan pada placenta dengan teliti untuk menentukan adanya


perdarahan pada bayi baru lahir, pada bayi baru lahir dengan kelainan placenta atau
dengan sectio secarea apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin
secara berkala.

3. Penatalaksanaan Pendarahan Tali Pusat

a. Penanganan disesuaikan dengan penyebab dari perdarahan tali pusat yang terjadi

b. Untuk penanganan awal, harus dilakukan tindakan pencegahan infeksi paa tali
pusat.

c. Segera lakukan inform consent dan inform choise pada keluarga pasien untuk
dilakukan rujukan.

F. Konsep Dasar Hipotermia

1. Definisi Hipotermia

Beberapa definisi hipotermia dari beberapa sumber :

a. Menurut Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo (2001),bayi hipotermia


adalah bayi dengan suhu badan dibawah normal.adapun suhu normal pada neonatus
adalah 36,5o-37,5oC. Gejala awal pada hipotermi apabila suhu <36o C atau kedua kaki
dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin maka bayi sudah
mengalami hipotermia sedang (suhu 320-36o C). Disebut hipotermia berat bila suhu
<32o C diperlukan termometer ukuran rendah yang dapat mengukur sampai 25o C.

b. Menurut Indarso F(2001), disamping sebagai suatu gejala,hipotermia merupakan


awal penyakit yang berakhir dengan kematian.
c. Menurut Sandra M.T (1997),hipotermi yaitu suatu kondisi dimana suhu tubuh inti
turun sampai dibawah 35o C.

2. Klasifikasi Hipotermia

a. Hipotermi spintas.

Yaitu penurunan suhu tubuh1-2◦c sesudah lahir. Suhu tubuh akan menjadi
normal kembali setelah bayi berumur 4-8 jam, bila suhu ruang di atur sebaik-baiknya.
Hipotermi sepintas ini terdapat pada bayi dengan BBLR, hipoksia, resusitasi lama,
ruangan tempat bersalin yang dingin, bila bayi segera di bungkus setelah lahir
terlalucepat di mandikan (kurang dari 4 -6 jam sesudah lahir).

b. Hipotermi akut.

Terjadi bila bayi berada di lingkungan yang dingin selama 6-12 jam, terdapat
pada bayi dengan BBLR, diruang tempat bersalin yang dingin, incubator yang cukup
panas. Terapinya adalah: segeralah masukan bayi segera kedalam inkubataor yang
suhunya sudah menurut kebutuhan bayi dan dalam kaadaan telanjang supaya dapat di
awasi secara teliti. Gejala bayi lemah,gelisah, pernafasan dan bunyi jantung lambat serta
kedu kaki dingin.

c. Hipotermi sekunder

Penurunan suhu tubuh yang tidak di sebabkan oleh suhu lingkungan yang
dingin, tetapi oleh sebab lain seperti sepsis, syndrome gangguan nafas, penyakit jantung
bawaan yang berat,hipoksia dan hipoglikemi, BBLR. Pengobatan dengan mengobati
penyebab Misalnya: pemberian antibiotika,larutan glukosa, oksigen dan sebagainya.

d. Cold injuri

Yaitu hipotermi yang timbul karena terlalu lama dalam ruang dinginn(lebih dari
12 jam). Gejala: lemah, tidak mau minum, badan dingin, oligoria , suhu berkisar sekitar
29,5◦c-35◦c, tidak banyak bergerak, oedema, serta kemerahan pada tangan, kaki dan
muka, seolah-olah dalam keadaan sehat, pengerasan jaringan sub kutis.

3. Etiologi Hipotermi

Penyebab terjadinya hipotermi pada bayi yaitu :

a. Jaringan lemak subkutan tipis.

b. Perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badan besar.

c. Cadangan glikogen dan brown fat sedikit.

d. ayi baru lahir tidak ada respon shivering (menggigil) pada reaksi kedinginan.

e. Kurangnya pengetahuan perawat dalam pengelolaan bayi yang berisiko tinggi


mengalami hipotermia.

f. Bayi dipisahkan dari ibunya segera mungkin setelah lahir.

g. Berat lahir bayi yang kurang dan kehamilan prematur.

h. Tempat melahirkan yang dingin.

i. Bayi asfiksia, hipoksia, resusitasi yang lama, sepsis, sindrom dengan pernapasan,
hipoglikemia perdarahan intra kranial.

Faktor pencetus hipotermia menurut Depkes RI,1992 :

a. Faktor lingkungan.

b. Syok.

c. Infeksi.

d. Gangguan endokrin metabolik.

e. Kurang gizi
f. Obat-obatan.

g. Aneka cuaca

Mekanisme hilangnya panas pada bayi yaitu :

a. Radiasi adalah panas yang hilang dari objek yang hangat (bayi) ke objekyang dingin.
Misal BBL diletakkan ditempat yang dingin.

b. Konduksi adalah pindahnya panas tubuh bayi karena kulit bayi langsung kontak
dengan permukaan yang lebih dingin. Misal popok atau celana basah tidak langsung
diganti.

c. Konveksi adalah hilangnya panas dari bayi ke udara sekelilingnya. Misal BBL
diletakkan dekat pintu atau jendela terbuka.

d. Evaporasi adalah hilangnya panas akibat penguapan dari air pada kulit bayi misalnya
cairan amnion pada bayi

4. Patofisiologi Hipotermi

Sewaktu kulit bayi menjadi dingin, saraf afferen menyampaikan pada sentral
pengatur panas di hipothalamus. Saraf yang dari hipothalamus sewaktu mencapaib
rown fat memacu pelepasan noradrenalin lokal sehingga trigliserida dioksidasi menjadi
gliserol dan asam lemak. Blood gliserol level meningkat, tetapi asam lemak secara lokal
dikonsumsi untuk menghasilkan panas. Daerah brown fat menjadi panas, kemudian
didistribusikan ke beberapa bagian tubuh melalui aliran darah.

Ini menunjukkan bahwa bayi akan memerlukan oksigen tambahan dan glukosa
untuk metabolisme yang digunakan untuk menjaga tubuh tetap hangat.Methabolicther
mogenesis yang efektif memerlukan integritas dari sistem syaraf sentral,kecukupan
darib r own fat, dan tersedianya glukosa serta oksigen. Perubahan fisiologis akibat
hipotermia yang terjadi pada sistem syaraf pusat antara lain depresi linier dari
metabolisme otak, amnesia, apatis, disartria, pertimbangan yang terganggu adaptasi
yang salah, EEG yang abnormal, depressi kesadaran yang progresif, dilatasi pupil, dan
halusinasi. Dalam keadaan berat dapat terjadi kehilangan autoregulasi otak, aliran darah
otak menurun, koma, refleks okuli yang hilang, dan penurunanyangprogressif dari
aktivitas EEG.

Bayi hipotermi adalah bayi dengan suhu badan di bawah normal. Suhu normal
pada bayi neonatus adalah adalah 36,5-37,5 derajat Celsius (suhu ketiak). Hipotermi
merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian bayi baru lahir, terutama
dengan berat badan kurang dari 2,5 Kg Gejala awal hipotermi apabila suhu kurang dari
36 derajat Celsius atau kedua kaki dan tangan teraba dingin.

5. Tanda dan Gejala Hipotermi

a. Berikut beberapa gejala bayi terkena hipotermia,yaitu :

1) Suhu tubuh bayi turun dari normalnya.

2) Bayi tidak mau minum atau menetek.

3) Bayi tampak lesu atau mengantuk saja.

4) Tubub bayi teraba dingin.

5) Dalam keadaan berat denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh mengeras
(sklerema).

6) Kulit bayi berwarna merah muda dan terlihat sehat.

7) Lebih diam dari biasanya.

8) Hilang kesadaran.

9) Pernapasannya cepat.

10) Denyut nadinya melemah.

11) Gangguan penglihatan.


12) Pupil mata melebar (dilatasi) dan tidak bereaksi.

b. Berikut adalah tanda terjadinya hipotermia

Tanda-tanda hipotermia sedang :

1) Aktifitas berkurang.

2) Tangisan lemah.

3) Kulit berwarna tidak rata (cutis malviorata).

4) Kemampuan menghisap lemah.

5) Kaki teraba dingin.

6) Jika hipotermia berlanjut akan timbul cidera dingin.

c. Tanda-tanda hipotermia berat :

1) Aktifitas berkurang,letargis.

2) Bibir dan kuku kebiruan.

3) Pernafasan lambat.

4) Bunyi jantung lambat.

5) Selanjutnya mungkin timbul hipoglikemia dan asidosis metabolik.

6) Risiko untuk kematian bayi.

d. Tanda-tanda stadium lanjut hipotermia :

1) Muka,ujung kaki dan tangan berwarna merah terang.

2) Bagian tubuh lainnya pucat.

3) Kulit mengeras merah dan timbul edema terutama pada punggung,kaki dan
tangan(sklerema).
6. Komplikasi

Hipotermi yang terjadi pada bayi apabila tidak tertangani dengan tepat akan
menyebabkan beberapa gangguan yang akan menyertai yakni:

a. Gangguan sistem saraf pusat: koma,menurunnya reflex mata(seperti mengdip)

b. Cardiovascular: penurunan tekanan darah secara berangsur, menghilangnya


tekanan darah sistolik

c. Pernafasan: menurunnya konsumsi oksigen

d. Saraf dan otot: tidak adanya gerakan, menghilangnya reflex perifer

7. Penatalaksanaan

a. Penanganan hipotermia secara umum untuk bayi

Pengaturan suhu tubuh bayi belumlah terkendali dengan baik. Bayi bisa
kehilangan suhu tubuh secara cepat dan terkena hipotermi dalam kamar yang dingin.
Bayi yang mengalami hipotermi harus dihangatkan secara bertahap. Berikut beberapa
cara penanganan hipotermia untuk bayi :

1) Hangatkan bayi secara bertahap. Bawalah ia ke ruangan yang hangat. Bungkuslah


tubuhnya dengan selimut tebal.

2) Pakaikan topi dan dekaplah si kecil agar ia menjadi hangat oleh panas tubuh anda.

b. Beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain :

1) Jangan menempelkan sumber panas langsung, seperti botol berisi air panas ke kulit
anak. Anak harus menjadi hangat secara bertahap.

2) Jika anak hilang kesadaran,bukalah saluran udaranya dan periksa pernapasannya.


Jika anak bernapas,baringkan ia pada posisi pemulihan,jika tidak bernapas,mulailah
bantuan pernapasan dan kompresi dada. Telepon Ambulans.
c. Prinsip Dasar Untuk Mempertahankan Suhu Tubuh Bayi Baru Lahir

1) setiap bayi lahir harus segera dikeringkan dengan handuk yang kering dan bersih
(sebaiknya handuk tersebut dihangatkan terlebih dahulu). Mengeringkan tubuh bayi
harus dilakukan dengan cepat.dimulai dari kepala kemudian seluruh tubuh bayi. Handuk
yang basah harus diganti dengan handuk lain yang kering dan hangat.

2) Setelah tubuh bayi kering segera dibungkus dengan selimut,diberi tepi atau tutup
kepala,kaos tangan dan kaki. Selanjutnya bayi diletakkan telungkup di atas dada ibu
untuk mendapatkan kehangatan dari dekapan ibu.

3) Memberi ASI sedini mungkin segera setelah melahirkan agar dapat merangsang
rooting refleks dan bayi mendapat kalori.

4) Mempertahankan bayi tetap hangat selama dalam perjalanan pada waktu merujuk.

5) Memberikan penghangatan pada bayi baru lahir secara mandiri.

6) Melatih semua orang yang terlibat dalam pertolongan persalinan.

7) Menunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh bayi stabil.

G. Hipertermi

1. Pengertian Hipertermi

Hipertermia adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau


beresiko mengalami peningkatan suhu tubuh terus menerus diatas 37,8°C per oral atau
38,8°C per rectal karena peningkatan kerentanan terhadap faktor-faktor eksternal
(blogAsuhanKeperawatan.com).

Hipertermia adalah suhu tubuh yang tinggi dan bukan disebabkan oleh
mekanisme pengaturan panas hipotalamus (Asuhan keperawatan.com.I Ziddu.com)

2. Etiologi Hipertermi
Disebabkan oleh meningkatnya produksi panas andogen (olahraga berat,
Hipertermia maligna, Sindrom neuroleptik maligna, Hipertiroiddisme), Pengurangan
kehilangan panas, atau terpajan lama pada lingkungan bersuhu tinggi (sengatan panas)

3. Gejala Hipertermi

1) Suhu badan tinggi (>37,5°C)

2) Terasa kehausan.

3) Mulut kering

4) Kedinginan,lemas

5) Anoreksia (tidak selera makan)

6) Nadi cepat.

7) Pernafasan cepat (>60X/menit)

8) Berat badan bayi menurun

9) Turgor kulit kurang

4. Penanganan Hipertermia Bayi baru lahir

a. Bila suhu diduga karena paparan panas berlebihan:

· Bayi dipindah ke ruangan yang sejuk dengan suhu kamar sekitar 26°-28°C

· Tubuh bayi diseka dengan kain basah sampai suhu tubuh bayi normal (jangan
menggunakan air es).

· Berikan cairan dekstrose : NaCl = 1:4 secara intravena sampai dehidrasi teratasi

· Antibiotik diberikan bila ada infeksi.

· Bila bayi pernah diletakan di bawah pemancar panas atau incubator


· Turunkan suhu alat penghangat, bila bayi di dalam incubator, buka incubator sampai
suhu dalam batas normal

· Lepas sebagian atau seluruh pakaian bayi selama 10 menit kemudian

· Beri pakaian lagi sesuai dengan alat penghangat yang digunakan

· Periksa suhu bayi setiap jam sampai tercapai suhu dalam batar normal

· Periksa suhu incubator atau pemancar panas setiap jam dan sesuaikan pengatur
suhu

c. Manajemen lanjutan suhu lebih 37,5°C

1) Yakin bayi mendapatkan masukan cukup cairan

a) Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya. Bila bayi tidak dapat menyusui, beri ASI panas
dengan salah satu alternative cara pemberian minum

b) Bila terdapat tanda dehidrasi, tangani dehidrasinya

2) Setelah suhu bayi normal:

a) Lakukan perawatan lanjutan

b) Pantau bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu badannya setiap 3 jam

3) Bila suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat diberi minum dengan serta tidak
ada masalah lain yang memerlukan perawat di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan,
nasehati ibu cara menghangatkan bayi di rumah dan melindungi dari pancaran panas
yang berlebihan

d. Memastikan bayi mendapat cairan yang adekuat

1) Izinkan bayi mulai menyusu, jika bayi tidak dapat menyusu, berikan perasan ASI
dengan menggunakan metode pemberian makanan alternative
2) Jika terdapat tanda-tanda dehidrasi (mata atau fontanel cekung, kehilangan
elastisitas kulit, atau lidah atau membran mukosa kering)

a) Pasang slang IV dan berikan cairan IV dengan volume rumatan sesuai dengan usia
bayi

b) Tingkatkan volume cairan sebanyak 10% berat badan bayi pada hari pertama
dehidrasi terlihat

e. Ukur glukosa darah, jika glukosa darah kurang dari 45 mg/dl (2,6 mmol/l), atasi
glukosa darah yang rendah.

H. Tetanus Neonaturum

1. Pengertian Tetanus Neonaturum

Kata tetanus berasal dari bahasa Yunani tetanus yang berarti kencang atau
tegang.Tetanus merupakan suatu infeksi akut yang ditandai kondisi spastik paralisis
yang disebabkanoleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus
berdasarkan gejalaklinisnya dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu tetanus generalisasi
(umum), tetanus local dantetanus sefalik. Bentuk tetanus yang paling sering terjadi
adalah tetanus generalisasi dan jugamerupakan bentuk tetanus yang paling berbahaya
Neonatal (berasal dari neos yang berarti baru dan natus yang berarti lahir)merupakan
suatu istilah kedokteran yang digunakan untuk menggambarkan masa sejak bayilahir
hingga usia 28 hari kehidupan.Tetanus neonatorum merupakan suatu bentuk tetanus
generalisasi yang terjadi padamasa neonatal.

Tetanus Neonaturum adalah penyakit yang diderita oleh bayi baru lahir
(neonatus). Tetanus neonatorum penyebab kejang yang sering dijumpai pada BBL yang
bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan infeksi selama masa
neonatal, yang antara lain terjadi akibat pemotongan tali pusat atau perawatan tidak
aseptic (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus yang
disebabkan oleh clostridium tetani yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) yang
menyerang sistem saraf pusat. (Abdul Bari Saifuddin, 2000)

Tetanus Neonatorum (TN) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh kuman
Clostridium Tetani memasuki tubuh bayi baru lahir melalui tali pusat yang kurang
terawat dan terjadi pada bayi sejak lahir sampai umur 28 hari, kriteria kasus TN berupa
sulit menghisap ASI, disertai kejang rangsangan, dapat terjadi sejak umur 3-28 hari
tanpa pemeriksaan laboratorium. (Sudarjat S, 1995).

Tetanus neonatorum merupakan suatu penyakit akut yang dapat dicegah


namun dapat berakibat fatal, yang disebabkan oleh produksi eksotoksin dari kuman
Clostridium tetani gram positif, dimana kuman ini mengeluarkan toksin yang dapat
menyerang sistem syaraf pusat.

2. Etiologi Tetanus Neonaturum

Penyebabnya adalah hasil klostrodium tetani (Kapitaselekta, 2000) bersifat


anaerob, berbentuk spora selama diluar tubuh manusia dan dapat mengeluarkan toksin
yang dapat mengahancurkan sel darah merah, merusak lekosit dan merupakan
tetanospasmin yaitu toksin yang bersifat neurotropik yang dapat menyebabkan
ketegangan dan spasme otot. (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)

Masa inkubasi biasanya 4-21 hari (umumnya 7 hari), tergantung pada tempat
terjadinya luka, bentuk luka, dosis dan toksisitas kuman Tetanus Neonatorum. (Sudarjat
S, 1995).

3. Faktor Resiko Tetanus Neonaturum

a) Pemberian imunisasi TT (tetanus toksoid) pada ibu hamil tidak dilakukan, atau tidak
lengkap, atau tidak sesuai dengan ketentuan program.

b) Pertolongan persalinan tidak memenuhi syarat.


c) Perawatan tali pusat tidak memnuhi persyaratan kesehatan.

4. Epidemiologi Tetanus Neonaturum

Clostridium tetani berbentuk batang langsing, tidak berkapsul, gram positip.


Dapat bergerak dan membentuk sporaspora, terminal yang menyerupai tongkat
penabuh genderang (drum stick). Spora spora tersebut kebal terhadap berbagai bahan
dan keadaan yang merugikan termasuk perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika
dipanaskan dengan otoklaf. Kuman ini dapat hidup bertahun-tahun di dalam tanah,
asalkan tidak terpapar sinar matahari, selain dapat ditemukan pula dalam debu, tanah,
air laut, air tawar dan traktus digestivus manusia serta hewan.

5. Patologi Tetanus Neonaturum

Kelainan patologik biasanya terdapat pada otak pada sumsum tulang belakang,
dan terutama pada nukleus motorik. Kematian disebabkan oleh asfiksia akibat spasmus
laring pada kejang yang lama. Selain itu kematian dapat disebabkan oleh pengaruh
langsung pada pusat pernafasan dan peredaran darah. Sebab kematian yang lain ialah
pneumonia aspirasi dan sepsis. Kedua sebab yang terakhir ini mungkin sekali merupakan
sebab utama kematian tetanus neonatorum di Indonesia.

6. Gambaran Klinik Tetanus Neonaturum

Masa tunas biasanya 5-14 hari, kadang-kadang sampai beberapa minggu jika
infeksinya ringan. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang
makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam 48 jam penyakit menjadi
nyata dengan adanya trismus (Ilmu Kesehatan Anak, 1985).

Pada tetanus neonatorum perjalanan penyakit ini lebih cepat dan berat.
Anamnesis sangat spesifik yaitu :

a. Bayi tiba-tiba panas dan tidak mau minum (karena tidak dapat menghisap).

b. Mulut mencucu seperti mulut ikan.


c. Mudah terangsang dan sering kejang disertai sianosis.

d. Kaku kuduk sampai opistotonus.

e. Dinding abdomen kaku, mengeras dan kadang-kadang terjadi kejang.

f. Dahi berkerut, alis mata terangkat, sudut mulut tertarik kebawah, muka thisus
sardonikus

g. Ekstermitas biasanya terulur dan kaku.

h. Tiba-tiba bayi sensitif terhadap rangsangan, gelisah dan kadang-kadang menangis


lemah.

7. Pencegahan Tetanus Neonaturum

a. Melaui pertolongan persalinan tiga bersih, yaitu bersih tangan, bersih alas, dan bersih
alat .

1) Bersih tangan

Sebelum menolong persalinan, tangan poenolong disikat dan dicuci dengan sabun
sampai bersih. Kotoran di bawah kuku dibersihkan dengan sabun. Cuci tangan dilakukan
selama 15 – 30 “ . Mencuci tangan secara benar dan menggunakan sarung tangan
pelindung merupakan kunci untuk menjaga lingkungan bebas dari infeksi.

2) Bersih alas

Tempat atau alas yang dipakai untuk persaliunan harus bersih, karena clostrodium
tetani bisa menular dari saluran genetal ibu pada waktu kelahiran..

3) Bersih alat

Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril. Metode sterilisasi ada 2,
yang pertama dengan pemanasan kering : 1700 C selama 60 ‘ dan yang kedua
menggunakan otoklaf : 106 kPa, 1210 C selama 30 ‘ jika dibungkus, dan 20 ‘ jika alat
tidak dibungkus.

b. Perawatan tali pusat yang baik

Untuk perawatan tali pusat baik sebelum maupun setelah lepas, cara yang
murah dan baik yaitu mernggunakan alkohol 70 % dan kasa steril. Kasa steril yang telah
dibasahi dengan alkohol dibungkuskan pada tali pusat terutama pada pangkalnya. Kasa
dibasahi lagi dengan alkohol jika sudah kering. Jika tali pusat telah lepas, kompres
alkohol ditruskan lagi sampai luka bekas tali pusat kering betul (selama 3 – 5 hari).
Jangan membubuhkan bubuk dermatol atau bedak kepada bekas tali pusat karena akan
terjadi infeksi.

c. Pemberian Imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada ibu hamil

Kekebalan terhadap tetanus hanya dapat diperoleh melalui imunisasi TT. Ibu
hamil yang mendapatkan imunisasi TT dalam tubuhnya akan membentuk antibodi
tetanus. Seperti difteri, antibodi tetanus termasuk dalam golongan Ig G yang mudah
melewati sawar plasenta, masuk dan menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh
tubuh janin, yang akan mencegah terjadinya tetanis neonatorum.

Imunisasi TT pada ibu hamil diberikan 2 kali ( 2 dosis). Jarak pemberian TT


pertama dan kedua, serta jarak antara TT kedua dengan saat kelahiran, sangat
menentukan kadar antibodi tetanus dalam darah bayi. Semakin lama interval antara
pemberian TT pertama dan kedua serta antara TT kedua dengan kelahiran bayi maka
kadar antibosi tetanus dalam darah bayi akan semakin tinggi, karena interval yang
panjang akan mempertinggi respon imunologik dan diperoleh cukup waktu untuk
menyeberangkan antibodi tetanus dalam jumlah yan cukup dari tubuh ibu hamil ke
tubuh bayinya.

TT adalah antigen yang sangat aman dan juga aman untuk ibu hamil tidak ada
bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT . Pada ibu hamil yang
mendapatkan imunisasi TT tidak didapatkan perbedaan resiko cacat bawaan ataupun
abortus dengan mereka yang tidak mendapatkan imunisasi .

8. Penatalaksanaan Tetanus Neonaturum

1. Mengatasi kejang

Kejang dapat diatasi dengan mengurangi rangsangan atau pemberian obat anti
kejang. Obat yang dapat dipakai adalah kombinasi fenobarbital dan largaktil.
Fenobarbital dapat diberikas mula-mula 30 – 60 mg parenteral kemudian dilanjutkan
per os dengan dosis maksimum 10 mg per hari. Largaktil dapat diberikan bersama
luminal, mula-mula 7,5 mg parenteral, kemudian diteruskan dengan dosis 6 x 2,5 mg
setiap hari. Kombinasi yang lain adalah luminal dan diazepam dengan dosis 0,5 mg/kg
BB. Obat anti kejang yang lain adalah kloralhidrat yang diberikan lewat rektum.

2. Pemberian antitoksin

Untuk mengikat toksin yang masih bebas dapat diberi A.T.S (antitetanus serum)
dengan dosis 10.000 satuan setiap hari serlama 2 hari .

3. Pemberian antibiotika

Untuk mengatasi inferksi dapat digunakan penisilin 200.000 satuan setiap hari dan
diteruskan sampai 3 hari panas turun.

4. Perawatan Tali pusat

Tali pusat dibersihkan atau di kompres dengan alkohol 70 % atau betadin 10 %.

5. Memperhatikan jalan nafas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.

Masalah yang perlu diperhatikan adalah bahaya terjadi gangguan pernafasan,


kebutuhan nutrisi/cairan dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai
penyakit.Gangguan pernafasan yang sering timbul adalah apnea, yang disebabkan
adanya tenospasmin yang menyerang otot-otot pernafasan sehingga otot tersebut tidak
berfungsi. Adanya spasme pada otot faring menyebabkan terkumpulnya liur di dalam
rongga mulut sehingga memudahkan terjadinya poneumonia aspirasi. Adanya lendir di
tenggorokan juga menghalangi kelancaran lalu lintas udara (pernafasan). Pasien tetanus
neonatorum setiap kejang selalu disertai sianosis terus-menerus. Tindakan yang perlu
dilakukan :

a. Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan ganjal dibawah
bahunya.

b. Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1 – 2 L/menit jika sedang terjadi
kejang, karena sianosis bertambah berat O2 berikan lebih tinggi dapat sampai 4 L/menit,
jika kejang telah berhenti turunkan lagi).

c. Pada saat kejang, pasangkan sudut lidah untuk mencegah lidah jatuh ke belakang dan
memudahkan penghisapan lendirnya.

d. Sering hisap lendir, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan nafas buatan pada
saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat pada mulut bayi.

e. Observasi tanda vital setiap ½ jam .

f. Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat.

g. Jika bayi menderita apnea :

a) Hisap lendirnya sampai bersih

b) O2 diberikan lebih besar (dapat sampai 4 L/ menit)

Letakkan bayi di atas tempat tidurnya/telapak tangan kiri penolong, tekan-tekan bagian
iktus jantung di tengah-tengah tulang dada dengan dua jari tangan kanan dengan
frekuensi 50 – 6 x/menit.
Bila belum berhasil cabutlah sudut lidahnya, lakukan pernafasan dengan menutup mulut
dan hidung bergantian secara ritmik dengan kecepatan 50 – 60 x/menit, bila perlu
diselingi tiupan.

6. Kebutuhan nutrisi/cairan

Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadaan payah, untuk memenuhi kebutuhan
makananya perlu diberikan infus dengan cairan glukosa 10 %. Tetapi karena juga sering
sianosis maka cairan ditambahkan bikarbonas natrikus 1,5 % dengan perbadingan 4 : 1.
Bila keadaan membaik, kejang sudah berkurang pemberian makanan dapat diberikan
melalui sonde dan selanjutnya sejalan dengan perbaikan bayi dapat diubah memakai
dot secara bertahap.

7. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit

Kedua orang tua pasien yang bayinya menderita tetanus peru diberi penjelasan
bahwa bayinya menderita sakit berat, maka memerlukan tindakan dan pengobatan
khusus, kerberhasilan pengobatan ini tergantung dari daya tahan tubuh si bayi dan ada
tidaknya obat yang diperlukan hal ini mengingat untuk tetanus neonatorum
memerlukan alat/otot yang biasanya di RS tidak selalu tersedia dan harganya cukup
mahal (misalnya mikrodruip). Selain itu yang perlu dijelaskan ialah jika ibu kelak hamil
lagi agar meminta suntikan pencegahan tetanus di puskesmas, atau bidan, dan minta
pertolongan persalinan pada dokter, bidan atau dukun terlatih yang telah ikut
penataran Depkes. Kemudian perlu diberitahukan pula cara pearawatan tali pusat yang
baik.

I. Hipoglikemia
1. Pengertian Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa) secara abnormal
rendah Istilah hepoglikemia digunakan bila kadar gula darah bayi secara bermakna
dibawah kadar rata-rata. Dikatakan hepoglikemia bila kadar glukosa darah kurang dari
30 mg/dl pada semua neonatus tanpa menilai masa gestasi atau ada tidaknya gejala
hepoglikemia. Umumnya hepoglikemia terjadi pada neonatus umur 1 – 2 jam. Hal ini
disebabkan oleh karena bayi tidak mendapatkan lagi glukosa dari ibu, sedangkan insulin
plasma masih tinggi dengan kadar glukosa darah yang menurun.

Hipoglikemia (hypo+glic+emia) merupakan konsentrasi glukosa dalam darah


berkurangnya secara abnormal yang dapat menimbulkan gemetaran, keringat dan sakit
kepala apabila kronik dan berat,dapat menyebabkan manifestasisusunan saraf pusat
(KamusKedokteran Dorland:2000).

Hipoglikemia neonatorum adalah masalah pada bayi dengan kadarglukosa darah kurang
dari 40 -45mg/dl (Sudarti & Khoerunnisa,Endang : 2010)

Keadaan dimana bila kadar gula darah bayi di bawah kadar rata-rata bayi seusia & berat
badan aterm (2500 gr atau lebih)< 30mg/dl dlm 72 jam pertama, &< 40mg/dl pada hari
berikutnya.

Nilai kadar glukose darah/plasma atau serum untuk diagnosis Hipoglikemia pada
berbagai kelompok umur anak :
Hipoglikemia pada neonates :

a. Untuk setiap neonatus manapun, kadar glukosa <40-45mg/dL dianggap tidak normal

b. Menurut WHO hipoglikemi adalah bila kadar glukosa/gula darah <47 mg/dL

c. Gejala sering tidak jelas/asimptomatik, semua tenaga kesehatan perlu mewaspadai


kemungkinan adanya hipoglikemia

d. Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dapat mencegah konsekuensi yang serius

2. Frekuensi Hipoglikemia
Di Indonesia masih belum ada data, secara umum insidens hipoglikemia pada bayi baru
lahir berkisar antara 1-5 per 1000 kelahiran hidup. Pada bayi yang lahir dari ibu diabetes 8%-
25%, pada bayi preterm 15% ,secara umum pada bayi risiko tinggi 30% terjadi hipoglikemia.

Frekuensi hipoglikemia pada bayi/neonates belum diketahui pasti.Namun di amerika


dilaporkan sekitar 14.000 bayi menderita hipoglikemia. Gutberlet dan Cornblath melaporkan
frekuensi hipoglikemia 4,4 per 1000 BBLR. Hanya 200-240 penderita hipoglikemia persisten
maupun intermitten setiap tahunnya yang masuk rumah sakit.Angka ini berdasarkan observasi
bahwa penderita hipoglikemia berjumlah 23 per 1000 anak yang masuk rumah sakit, sedangkan
anak yang dirawat berjumlah 80.000 pertahun.

3. Etiologi Hipoglikemia

Hipoglikemia dapat disebabkan oleh berbagai kelainan mekanisme control pada


metabolism glucose, antara lain : inborn erors of metabolism, perubahan keseimbangan endokrin
dan pengaruh obat-obatan maupun toksin.

Hipoglikemia biasanya terjadi jika seorang bayi pada saat dilahirkan memiliki
cadangan glukosa yang rendah (yang disimpan dalam bentuk glikogen).Penyebab lainnya adalah:

1. Prematuritas

2. Post-maturitas

3. Kelainan fungsi plasenta (ari-ari) selama bayi berada dalam kandungan.

Hipoglikemia juga bisa terjadi pada bayi yang memiliki kadar insulin tinggi.Bayi yang
ibunya menderita diabetes seringkali memiliki kadar insulin yang tinggi karena ibunya memiliki
kadar gula darah yang tinggi; sejumlah besar gula darah ini melewati plasenta dan sampai ke
janin selama masa kehamilan. Akibatnya, janin menghasilkan sejumlah besar
insulin.Peningkatan kadar insulin juga ditemukan pada bayi yang menderita penyakit hemolitik
berat.

Kadar insulin yang tinggi menyebabkan kadar gula darah menurun dengan cepat pada
jam-jam pertama kehidupan bayi setelah dilahirkan, dimana aliran gula dari plasenta secara tiba-
tiba terhenti.

Hipoglikemia pada neonates biasa disebabkan oleh penyebab-penyebab di atas, namun bila
hipoglikemia neonates tadi berulang/menetap, dapat dipikirkan penyebab sebagai berikut :

1) Hormon Excess-hyperinsulinsm

a. Exomphalos, macroglossia, gigantism syndrome of beckwith wiedemann

b. “infant giants”
c. Kelainan patologik sel beta

2) Defisiensi hormonal aplasia atau hypoplasia kelenjar hipofise dengan defisiensi hormone
multipel

3) Defek metabolism karbohidrat heriditer

4) Defek metabolism asam amino herediter

Factor resiko :

1. Hipoglikemi sering terjadi pada berat lahir rendah (BBLR), karena cadangan glukosa rendah.

2. Bayi yang besar untuk masa kehamilan (BMK), makrosomia. Bayi BMK biasanya lahir dari
ibu dengan toleransi glukosa yang abnormal.

3. Bayi premature atau lebih bulan.

4. BBLR yang KMK/bayi kembar dapat terjadi penurunan cadangan glikogen hati dan lemak
tubuh.

5. Bayi sakit berat karena meningkatnya kebutuhan metabolism yang melebihi cadangan kalori

6. Neonates yang sakit atau stress (sindrom gawat nafas,hipotermi)

7. Bayi dengan polisemia

8. Bayi yang dipuasakn

9. Bayi dengan kelainan genetic/gangguan metabolic (penyakit cadangan glycogen, intoleransi


glukosa).

10. Obat-obat maternal misalnya steroid, beta simpatomimetik dan beta blocker.

11. Pada ibu diabetes mellitus (DM) terjadi transfer glukosa yang berlebihan pada janin sehingga
respons insulin juga meningkat pada janin.

4. Manifestasi Klinis Hipoglikemia

Hipoglikemia walaupun jarang pada anak, tapi sering pada bayi. Dan merupakan problem bagi
dokter anak maupun tenaga kesehatan yang lain karena :

Pertama, gejalanya samar-samar dan tidak spesifik, maka untuk membuat diagnosis tergantung
pada indeks kepekaan yang tinggi.

Kedua, mekanisme yang menyebabkan hipoglikemia sangat banyak dan kompleks.


Pada bayi, yang berusia lebih darri 2 bulan, anak dan dewasa penurunan gula darah kurang dari
40 mg/dL (2,2 mmol/L) dapt menimbulkan rasa lapar dan merangsang pelepasan epinefrin yang
berlebihan sehingga menyebabkan lemah, elisah, keringat dingin, gemetar dan takikardi.

Gejala hipoglikemia dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok besar, yaitu : berasal dari system
syaraf autonomy dan berhubungan dengan kurangnya suplay glukosa pada otak
(neuroglikopenia). Gejala akibat dari system syaraf autonomy adalam berkeringat,gemetar,
gelisah dan nausea. Akibat neuroglikopenia adalah pening, bingung, rasa lelah, sulit bicara, sakit
kepala dan tidak dapat konsentrasi.Kadang disertai rasa lapar, pandangan kabur, mengantuk dan
lemah.Pada neonates tidak spesifik, antara lain tremor, peka rangsang, apnea dan sianosis,
hipotonia, iritabel, sulit minum, kejang, koma, tangisan nada tinggi, nafas cepat dan
pucat.Namun hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang tidak hipoglikemia, missal kelainan
bawaan pada susunan syaraf pusat, cedera lahir, mikrosefali, perdarahan dan kernicterus.
Demikian juga dapat terjadi akibat hipoglikemia yang berhubungan dengan sepsis, penyakit
jantung, distress respirasi, asfiksia, anomaly kongenital multiple atau defisiensi endokrin.
Kadang hipoglikemia juga asimptomatik, misalnya pada “glycogen storage disease type I”.

1) Neonatus

Hipoglikemia simtomatik pada neonates cenderung terjadi selama 6-12 jam kehidupan.
Sering menyertai penyakit-penyakit seperti : distress perinatal, terlambat pemberian ASI dan
bayi dari ibu DM. Tidak ada perbedaan dalam hal jenis kelamin. Juga termasuk dalam golongan
ini ialah bayi dari ibu DM insulin (IDM) dan ibu menderita DM kehamilan (IGDM). Meskipun
banyak 50% dari IDM dan 25% IGDM mempunyai kadar glucose <30 mg/dl selama 2-6 jam
kehidupan, kebanyakan tidak memperlihatkan akibat/ tanda-tanda dari hipoglikemianya.
Umumnya sembuh spontan, tetapi sebagian kecil (10%-20%) kadar gula tetap rendah. Beberapa
di antaranya menunjukkan respons yang baik terhadap suntikan glucagon 300 mikrogram atau
0,3 mg/kgBB IM, tidak lebih 1 mg totalnya.

Hipoglikemia neonates simtomatik gejalanya tidak khas, misalnya : apati, anoreksia,


hipotoni, apneu, sianosis, pernapasan tidak teratur, kesadaran menurun, tremor, kejang
tonik/klonik, menangis tidak normal dan cengeng. Kebanyakan gejala pertama timbul sesudah 24
- 48 jam kehidupan.

2) Bayi/Anak

Gejala-gejala dapat berupa : sakit kepala, nausea, cemas, lapar, gerakan motoric tidak
terkoordinasi, pucat, penglihatan berkunang-kunang, ketidakpedulian, cengeng, ataksia,
strabismus, kejang, malas/lemah, tidak ada perhatian dan gangguan tingkah laku.

Hipoglikemia bisa disertai atau tidak dengan banyak keringat dan takikardi.Serangan
ulang gejala-gejala tadi dapat terjadi pada waktu-waktu tertentu setiap hari, sehingga kita harus
waspada terhadap kemungkinan hipoglikemia.Pemeriksaan glucose darah pada saat timbulnya
gejala sangat penting.

Kasus bisa menunjukan gejala ataupun tidak. Kecurigaan tinggi harus selalu diterapkan
dan selalu antisipasi hipoglikemia pada neonatus dengan faktor risiko, gejala yang seringkali
muncul :

a. Tremor

b. Sianosis

c. Apatis

d. Kejang

e. Apnea intermitten

f. Tangisan lemah/melengking

g. Letargi

h. Kesulitan minum

i. Gerakan mata berputar/nistagmus

j. Keringat dingin

k. Pucat

l. Hipotermi

m. Refleks hisap kurang

n. Muntah

5. Patofisilogi Hipoglikemia

Batasan dikatakan neonates mengalami hipoglikemia:

1. Timbul bila kadar glukosa serum lebih rendah daripada kisaran bayi normal sesuai usia pasca
lahir

2. Bayi atterm BB 2500 gr : gula darah <30 mg/dl : 72 jam, selanjutnya 40mg/dl

3. BBLR : GD <25 mg/dl

Setiap stress yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada karena meningkatkan
penggunaan cadangan glukosa, misalnya pada asfiksia, hipotermi, gangguan
pernafasan.Misalnya ibu hamil dengan hipertensi. Setelah kelahiran, bayi mempunyai kecepatan
metabolisme yang tinggi dan memerlukan energi yang lebih besar dibandingkan bayi lain.

Pada asfiksia, akan terjadi metabolisme anaerob yang banyak sekali memakai persediaan
glukosa. Pada metabolisme anaerob, 1 gram glukosa hanya menghasilkan 2 ATP, sedang pada
keadaan normal 1 gram glukosa bisa menghasilkan 38 ATP.

6. Diagnosis Hipoglikemia

Untuk mencegah abnormalitas perkembangan syaraf, identifikasi dan pengobatan tepat waktu
untuk hipoglikemia adalah sangat penting.Pemantauan glukosa di tempat tidur adalah tindakan
tepat untuk penapisan dan deteksi awal.Hipoglikemia harus dikonfirmasi oleh nilai serum dari
laboratorium jika memungkinkan, dan juga dengan anamnesis, antara lain :

a. Riwayat bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernapasan

b. Riwayat bayi prematur

c. Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)

d. Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)

e. Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus

f. Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan

g. Bayi yang beresiko terkena hipoglikemia

- Bayi dari ibu diabetes (IDM)

- Bayi yang besar untuk masa kehamilan (LGA)

- Bayi yang kecil untuk masa kehamilan (SGA)

- Bayi prematur dan lewat bulan

- Bayi sakit atau stress (RDS, hipotermia)

- Bayi puasa

- Bayi dengan polisitemia

- Bayi dengan eritroblastosis

- Obat-obat yang dikonsumsi ibu, misalnya sterorid, beta-simpatomimetik dan beta blocker

Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia secara benar harus dipenuhi trias whipple’s yaitu :
a. Manifestasi klinis yang khas

b. Kejadian ini harus bersamaan dengan rendahnya kadar glukosa plasma yang diukur secara
akurat dengan metode yang peka dan tepat

c. Gejala klinis menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah normoglikemia.

Bila ketiganya dipenuhi maka diagnosis klinis hipoglikemia dapat ditetapkan. Berdasar pada
klinis, hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lain untuk menetapkan
etiologi.

1) Pemeriksaan laboratorium :

a. Kadar glukosa serum

· Diperiksa dengan dextrostix pada saat persalinan dan pada usia ½, 1, 2, 4, 8, 12, 24, 36, dan
48 jam

· Pengukuran <45 mg/dL dengan dextrostix harus diverifikasi oleh pengukuran serum glukosa

b. Kadar serum kalsium

· Pada usia 6, 24 dan 48 jam

· Jika kadar serum kalsium rendah, kadar serum magnesium harus diukur

c. Hematokrit

Pada saat lahir dan pada usia 24 jam

d. Kadar serum bilirubin

Sesuai indikasi pemeriksaan fisis

e. Tes lain

· Kadar gas darah arteri

· Hitungan sel darah lengkap (CBC), kultur dan pewarnaan gram dilakukan sesuai indikasi
klinis

2. Pemeriksaan radiologi

Tidak diperlukan kecuali ada bukti masalah jantung, pernafasan atau kerangka

3. Electrocardiography dan echocardiography

Jika dicurigai adanya hypertropic cardiomyopathy atau malformasi jantung


7. Penatalaksanaan Hipoglikemia

1) Memantau kadar glukosa darah

Semua neonatus berisiko tinggi harus ditapis :

a. Pada saat lahir

b. 30 menit setelah lahir

c. Kemudian setiap 2-4 jam selama 48 jam atau sampai pemberian minum berjalan baik dan
kadar glukosa normal tercapai

2) Pencegahan hipoglikemia

a. Menghindari faktor resiko yang dapat dicegah, contohnya hipotermia

b. Pemberian makan enteral merupakan tindakan preventif tunggal paling penting

c. Jika bayi tidak mungkin menyusui, mulailah pemberian minum dengan menggunakan sonde
dalam waktu 1-3 jam setelah lahir

d. Neonatus yang berisiko tinggi harus dipantau nilai glukosanya sampai asupannya penuh dan
3x pengukuran normal sebelum pemberian minum berada diatas 45 mg/dL

e. Jika ini gagal, terapi intravena dengan glukosa 10% harus dimulai dan kadar glukosa dipantau

3) Perawatan hipoglikemia

a. Koreksi segera dengan bolus 200 mg/kg dengan dekstrosa 10% = 2 cc/kg dan diberikan
melalui intravena selama 5 menit dan diulang sesuai keperluan

b. Infus tak terputus (continual) glukosa 10% dengan kecepatan 6-8 mg/kg/menit harus dimulai

c. Kecepatan infus glukosa (GIR) dihitung menurut formula berikut :

GIR (mg/kg/min) = kecepatan cairan (cc/jam) x konsenterasi dextrose(%) 6x berat (Kg) e

d. Pemantauan glukosa ditempat tidur (bed sid) secara sering diperlukan untuk memastikan
bahwa neonatus mendapatkan glukosa yang memadai

e. Ketika pemberian makan telah dapat ditoleransi dan nilai pemantauan glukosa di tempat tidur
(bed side) sudah normal maka infus dapat diturunkan secara bertahap. Tindakan ini mungkin
memerlukan waktu 24-48 jam atau lebih untuk menghindari kambuhnya hipoglikemia

5) Hipoglikemia refraktori
Kebutuhan glukosa >12 mg/kg/menit menunjukan adanya hiperinsulinisme. Keadaan ini
dapat diperbaiki dengan :

a. Hidrokortison 5 mg/kg IV atau IM setiap 12 jam

b. Glukagon 200 ug IV (segera atau infus berkesinambungan 10 ug/kg/jam)

c. Diazoxide 10 mg/kg/hari setiap 8 jam menghambat sekresi insulin pancreas

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram
pada waktu lahir atau lebih rendah (WHO, 1961). BBLR dibedakan menjadi Prematuritas murni
dan Retardasi.

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2 di dalam darah rendah
(hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2 meningkat) dan asidosis. Penyebab asfiksia dapat berasal dari
faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan
fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia

Sindrom gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau
hiperapnea dengan frekuensi pernafasan lebih dari 60 kali per menit, sianosis, merintih, waktu
ekspirasi dan retraksi di daerah epigastrium, interkostal pada saat inspirasi.

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena
adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada
neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah
keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.

Perdarahan yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari trauma pengikatan
tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses pembentukkan trombus normal. Selain itu
perdarahan pada tali pusat juga bisa sebagi petunjuk adanya penyakit pada bayi.

Menurut Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo (2001),bayi hipotermia adalah


bayi dengan suhu badan dibawah normal.adapun suhu normal pada neonatus adalah 36,5o-
37,5oC. Gejala awal pada hipotermi apabila suhu <36o C atau kedua kaki dan tangan teraba
dingin. Bila seluruh tubuh bayi terasa dingin maka bayi sudah mengalami hipotermia sedang
(suhu 320-36o C). Disebut hipotermia berat bila suhu <32o C diperlukan termometer ukuran
rendah yang dapat mengukur sampai 25o C

Hipertermia adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko


mengalami peningkatan suhu tubuh terus menerus diatas 37,8°C per oral atau 38,8°C per rectal
karena peningkatan kerentanan terhadap faktor-faktor eksternal

Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa) secara abnormal
rendah Istilah hepoglikemia digunakan bila kadar gula darah bayi secara bermakna dibawah
kadar rata-rata. Dikatakan hepoglikemia bila kadar glukosa darah kurang dari 30 mg/dl pada
semua neonatus tanpa menilai masa gestasi atau ada tidaknya gejala hepoglikemia. Umumnya
hepoglikemia terjadi pada neonatus umur 1 – 2 jam. Hal ini disebabkan oleh karena bayi tidak
mendapatkan lagi glukosa dari ibu, sedangkan insulin plasma masih tinggi dengan kadar glukosa
darah yang menurun.

B. Saran

Resum kondisi bayi pasca persalinan harus dilakukan dengan baik. Ketidak akuratan
dalam proses pengkajian dapat menyebabkan tidak diketahuinya kelainan dan resiko kelainan
pada bayi.
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F. Gary, dkk. 2005. Obstetri Williams, Edisi 21. Jakarta:EGC.

Doengoes, Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

Fauziah, Afroh dan Sudarti.2012. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, dan
Anak.Yogyakarta: Nuha Medika

Hanifa Gulardi, dkk. 2007. Buku Panduan Praktisi Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Puataka Sarwono Prawirohardjo

Prawirohardjio, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP.

Rukiyah dan Lia Yulianti. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Trans Info
Media

Sarwono Prawiroharjo. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Sarwono. 2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta:Yayasan Bina.

Staf Pengajar FKUI. 2007. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika

Sudarti.2010. Kelainan dan Penyakit Pada Bayi dan Balita.yogyakarta:Nuha Medika.

Supartini, Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep

Anda mungkin juga menyukai