Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

BAYI RESIKO TINGGI DENGAN GANGGUAN PERNAPASAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Asuhan Kebidanan Persalinan dan BBL
Dosen Pendamping : Siti Marfu’ah,S.S.T.,MPH

Disusun Oleh Kelompok I :

1. Ana Lailis Sa’adah (120119001)


2. Novita Larasati Yanuar (120119006)
3. Riyantika (120119008)
4. Siti Maisaroh (120119009)
5. Wahyu Puspita sari (120119012)

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BAKTI UTAMA PATI

i
SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN

Makalah hasil diskusi tentang “Bayi Resiko Tinggi dengan Gangguan


Pernapasan” telah disahkan pada :
Hari :
Tanggal :

Menyetujui
Dosen Pendamping,

Siti Marfu’ah, S.S.T.,MPH


NPP:12005077

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tepat pada waktunya.Salam serta
shalawat tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan alam nabi besar
Muhammad SAW, seorang nabi yang telah membawa kita dari zaman kegelapan
menuju zaman yang terang benderang seperti yang kita rasakan seperti saat-saat
sekarang ini.

Ucapan terimakasih juga kami haturkan kepada ibu dosen yang telah ikut
serta dalam pembuatan makalah menjelaskan mengenai “Bayi Resiko Tinggi
dengan Gangguan Pernapasan” makalah ini kami buat untuk memperdalam ilmu
kita tentang Asuhan Kebidanan Persalinan dan BBL.

Saya menyadari dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan


kekurangan, hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan pengetahuan dan
pengalaman yang kami miliki, namun demikian banyak pula pihak yang telah
membantu kami dengan menyediakan sumber informasi, memberikan masukan
pemikiran, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan
dan kesempurnaan makalah ini diwaktu yang akan datang. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita dan orang banyak supaya mengetahui apa-apa yang
ada dalam pelajaran ini.

Pati, Januari 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI
COVER...............................................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................................
KATA PENGANTAR......................................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................................
B. Rumusan Masalah..................................................................................................
C. Tujuan....................................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Bayi dengan Asfiksia..............................................................................................
1. Pengertian Asfiksia...........................................................................................
2. Penilaian Bayi Baru Lahir.................................................................................
3. Penyebab Asfiksia.............................................................................................
B. Respiratory distress syndrome (RDS).....................................................................
1. Pengertian ........................................................................................................
2. Klasifikasi Kegawatan Pernafasan pada Bayi...................................................
3. Etiologi dan Patofisiologi.................................................................................
4. Manifestasi Klinis...........................................................................................
5. Pemeriksaan Diagnostik..................................................................................
6. Penatalaksanaan .............................................................................................
BAB III PEMBAHASAN
A. Perbedaan Asfiksia dan Respiratory Distress Syndrome (RDS).........................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................................
B. Saran.....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kematian bayi merupakan masalah bidang kesehatan yang perlu mendapat
perhatian. Kematian bayi yang terangkum dalam Angka Kematian Bayi
(AKB)/ Infant Mortality Rate merupakan salah satu indikator yang lazim untuk
menentukan derajat kesehatan masyarakat, baik dalam tatanan kota/kabupaten
hingga tatanan nasional. AKB merujuk pada jumlah bayi yang meninggal pada
fase antara kelahiran hingga usia di bawah 1 tahun per 1000 kelahiran hidup.
Indonesia dalam MDGs 2015 menargetkan adanya penurunan angka kematian
bayi (AKB) menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan hasil sementara
Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015, AKB di Indonesia
mencapai 22 per 1000 kelahiran hidup. Meskipun mengalami penurunan tetapi
jumlah tersebut terbilang cukup tinggi. Dibandingkan dengan negara ASEAN
lainnya, angka AKB tertinggi berada di Indonesia. Angka ini menandakan
masih perlunya upaya yang lebih, dalam menurunkan AKB melalui upaya
pencegahan dan penanganan faktor penyebab kematian.
Setiap tahunnya di seluruh dunia diperkirakan 4 juta bayi meninggal pada
tahun pertama kehidupannya dan dua pertiganya meninggal pada bulan
pertama kehidupan. Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa 78,5% dari
kematian neonatal terjadi pada umur 0-6 hari (masa neonatal). Kematian
neonatal juga berkontribusi besar terhadap AKB yaitu sebanyak 59%. Selain
itu, penurunan presentase angka kematian neonatal juga terbilang sulit yaitu
20/1.000 kelahiran hidup pada SDKI tahun 2002-2003 hanya menjadi 19/
1.000 kelahiran hidup pada SDKI tahun 2012. Hal ini menandakan bahwa
masa neonatal perlu mendapat perhatian lebih disamping sebagai penyumbang
besar AKB, juga karena masa neonatal merupakan masa paling rentan terhadap
berbagai komplikasi yang menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan
mortalitas pada masa neonatal.
Penyebab utama kematian pada neonatus adalah komplikasi kehamilan
dan persalinan, seperti asfiksia, sepsis, dan komplikasi berat lahir rendah

1
(Depkes RI, 2008). Komplikasi yang menyerang bayi berat lahir rendah banyak
macamnya, diantaranya gangguan pada sistem pernafasan, susunan saraf pusat,
kardiovaskuler, hematologi, gastrointestinal, ginjal, dan termoregulasi. Hal ini
dikarenakan bayi yang lahir dengan berat badan < 2500 gr tubuhnya belum
mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan di luar rahim. Salah satu
komplikasi berat lahir rendah yang merupakan gangguan sistem pernafasan
adalah respiratory distress syndrome (RDS) / hyaline membrane disease
(HMD) /sindrom gawat nafas. Hal ini sesuai dengan hasil Ramdani dkk.,
(2014), yang menyatakan bahwa faktor penyulit tersering pada BBLSR salah
satunya adalah RDS/HMD sebanyak 38,1%.
Respiratory distress syndrome (RDS)/ sindrom gawat nafas merupakan
suatu sindrom yang sering ditemukan pada neonatus. RDS disebut juga sebagai
penyakit membran hialin (hyalin membrane disease, (HMD)) atau penyakit
paru akibat difisiensi surfaktan (surfactant deficient lung disease (SDLD)),
gangguan pernapasan paling umum yang mengenai bayi preterm (kurang
bulan), serta penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi preterm
(Lissauer, 2008). RDS menimbulkan defisiensi oksigen (hipoksia) dalam tubuh
bayi, sehingga bayi mengaktifkan metabolisme anaerob. Metabolisme anaerob
akan menghasilkan produk sampingan berupa asam laktat. Metabolisme
anaerob yang terjadi dalam waktu lama akan menyebabkan kerusakan otak dan
berbagai komplikasi pada organ tubuh. Komplikasi utama mencakup
kebocoran udara (emfisema interstisial pulmonal), perdarahan pulmonal,
duktus arteriosus paten, infeksi/kolaps paru, perdarahan intraventikular, yang
berujung pada peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatus. RDS sering
menjangkit bayi dengan berat lahir rendah dikarenakan imaturitas fungsi organ
tubuh. Hal ini ditegaskan pula dalam (Sacco, 2015) bahwa, berat bayi lahir
ekstrem rendah memiliki paru dengan struktur dan fungsi yang imatur,
sehingga menyebabkan lebih mudah terserang RDS akibat defisiensi surfaktan.
Berdasarkan hasil penelitian Marfuah, dkk, didapatkan bahwa derajat
asfiksia, kehamilan ganda, usia kehamilan, paritas, dan hipertensi ibu
merupakan faktor resiko signifikan pada RDS neonatus. RDS terutama terjadi

2
pada bayi prematur; insidensinya berbanding terbalik dengan umur kehamilan
dan berat badannya. Meskipun terlihat paling sering setelah kelahiran
prematur, namun gangguan lain seperti diabetes maternal atau sindrom aspirasi
mekoneum dapat pula menghambat produksi surfaktan (Greenough et al, 1996
dalam Fraser, 2009). Ditegaskan pula dalam Edwards et al (2013) bahwa, lama
kehamilan berbanding terbalik dengan resiko RDS, namun ada penyebab lain
terjadinya RDS pada usia aterm yaitu: transient tachipnea of the newborn,
pneumonia, meconeum aspiration syndrome, persistent pulmonary
hypertension of the neonate, pneumothorax. Dengan kata lain, tidak hanya bayi
prematur/preterm yang beresiko terhadap RDS namun juga bayi bukan
prematur/aterm dengan gangguan-gangguan penyerta, juga memiliki resiko
terhadap Tingkat Kejadian RDS.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis akan membahas tentang bayi
resiko tinggi dengan gangguan pernapasan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana bayi resiko tinggi dengan gangguan pernapasan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian asfiksia
2. Untuk mengetahui penilaian bayi baru lahir
3. Untuk mengetahui penyebab asfiksia
4. Untuk mengetahui pengertian Respiratory Distress Syndrome (RDS)
5. Untuk mengetahui klasifikasi kegawatan pernafasan pada bayi
6. Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi
7. Untuk mengetahui manifestasi klinis
8. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bayi dengan Asfiksia
1. Pengertian Asfiksia
Asfiksia bayi baru lahir adalah dimana bayi tidak dapat bernapas
secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia
janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor
yang timbul dalam kehamilan, persalinan atau segera setelah bayi lahir
(Wiknjosastro & Saifuddin, 2007).
2. Penilaian Bayi Baru Lahir
Penilaian awal pada bayi baru lahir dapat dilakukan dengan observasi
melalui pemeriksaan nilai APGAR. Penilaian APGAR ini merupakan
standar evaluasi untuk bayi baru lahir, dimana nilai ini dapat
mengidentifikasi bayi tersebut membutuhkan tindakan resusitasi atau
tidak. Bayi yang sehat harus mempunyai nilai APGAR 7-10 pada 1-5
menit pertama kehidupannya (Rohani, Saswita, & Marisah, 2011).
Pengkajian ini didasarkan pada lima aspek yang menunjukan kondisi
fisiologis neonatus tersebut, yakni :
a. Warna kulit (appearance) dideskripsikan sebagai pucat, badan merah
& ekstremitas biru, seluruh badan kemerah-merahan.
b. Frekuensi jantung (pulse/ heart rate), dilakukan dengan auskultasi
menggunakan stetoskop.
c. Reflek terhadap rangsangan (Grimace), dilakukan berdasarkan respons
terhadap tepukan halus pada telapak kaki.
d. Tonus otot (activity), dilakukan berdasarkan derajat fleksi dan
pergerakan ekstermitas.
e. Usaha napas (respiration), dilakukan bersadarkan pengamatan gerakan
dinding dada.
Setiap hal di atas diberi nilai 0, 1, atau 2. Evaluasi dilakukan pada 1
menit pertama dan menit kelima setelah bayi lahir.
Tabel 1. Cara penilaian APGAR pada bayi baru lahir

4
Nilai
Tampilan 0 1 2
A: warna kuli Pucat Badan merah, Seluruh tubuh
(appearance color) ekstremitas biru kemerah-
merahan
P: frekuensi Tidak ada Lambat (<100 (>100 per
jantung (pulse) per menit) menit)
G: refleks terhadap Tidak ada Hanya Menangis,
rangsangan pergerakan batuk, bersin
(grimace) wajah ketika
distimulasi
A: tonus otot Lemah Ekstremitas Gerakan aktif
(activity) fleksi sedikit
R: usaha napas Tidak ada Lambat, tidak Menangis kuat,
(respiration) teratur usaha napas
baik
Keterangan:
Pemberian nilai APGAR baik itu pada APGAR 1 (1 menit pertama), atau
pada APGAR 2 (5 menit kemudian) dapat dikelompokkan sebagai berikut
(Maryunani & Nurhayati, 2009):
Nilai 0-3 : Asfiksia berat
Nilai 4-6 : Asfiksia sedang (mild-moderate asphyxia)
Nilai 7-10 : Kondisi bayi sehat (vigorous baby)
3. Penyebab Asfiksia
Faktor predisposisi yang menyebabkan asfiksia pada bayi adalah sebagai
berikut (Rohani, Saswita, & Marisah, 2011):
a. Keadaan ibu
1) Preeklamsia dan eklamsia
2) Perdarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
3) Partus lama atau partus macet
4) Demam selama persalinan
5) Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
6) Kehamilan postmatur (sesudah 42 minggu)
b. Keadaan tali pusat
1) Lilitan tali pusat
2) Tali pusat pendek
3) Simpul tali pusat

5
4) Prolapsus tali pusat
c. Keadaan bayi
1) Bayi prematur (sebelum usia kehamilan 37 minggu)
2) Persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
vacum, forsep)
3) Kelainan kongenital
4) Air ketuban bercampur mekonium

Menurut Lee (2008), bayi prematur (< 37 minggu) lebih beresiko


terhadap kematian bayi akibat asfiksia neonatorum. Risiko itu meningkat
1,61 kali lipat pada usia kehamilan 34-37 minggu dan meningkat 14,33
kali lipat pada usia ke-hamilan < 34 minggu. Umumnya gangguan telah
dimulai sejak di kandungan, misalnya gawat janin atau stres janin saat
proses persalinannya. Kegagalan pernafasan pada bayi prematur berkaitan
dengan defisiensi kematangan surfaktan pada paru-paru bayi. Bayi
prematur mempunyai karakteristik yang berbeda secara anatomi maupun
fisiologi jika dibandingkan dengan bayi cukup bulan (Lee, 2008).

B. Respiratory distress syndrome (RDS)


1. Pengertian
Respiratory distress syndrome (RDS) adalah perkembangan yang
imatur pada sistem pernafasan, atau tidak adequatnya jumlah surfaktan
dalam paru (Siti N.J. dkk, 2017). Respiratory distress syndrome (RDS)
adalah sindrome gawat nafas yang disebabkan defisiensi surfaktan
terutama pada bayi yang baru lahir dengan masa gestasi kurang.
Respiratory distress syndrome (RDS), juga disebut hyaline membrane
disease (HMD), merupakan penyakit pernapasan yang terutama
mempengaruhi bayi kurang bulan. Keadaan ini terjadi pada sekitar
seperempat bayi yang lahir pada usia kehamilan 32 minggu dan
insidensinya meningkat sejalan dengan memendeknya periode kehamilan
(JNPK-KR, 2008). RDS ( Respiratory Distress Syndrome ) termasuk
penyebab utama kematian pada anak baru lahir, yang diperkirakan 30%

6
pada semuan kematian, neonates disebabkan oleh penyakit ini maupun
komplikasi yang mengikuti. Penyakit tersebut terjadi pada anak yang lahir
premature serta insidennya berbanding terbalik dengan umuur kehamilan
dan berat badan (Fida dan Maya, 2012).
Penyebab yang sering terjadi pada respiratory distress syndrome
(RDS) adalah kurangnya surfaktan pada paru-paru. Surfaktan adalah
cairan yang melapisi bagian dalam paru-paru. Paru-paru janin mulai
membuat surfaktan selama trimester ketiga kehamilan (minggu 26 melalui
persalinan). Yaitu suatu substansi bagian dalam kantung udara di paru-
paru. Hal ini yang membantu dan menjaga paru-paru terbuka sehingga
penapasan dapat terjadi setelah lahir (NHLBI, 2012)
Gangguan pernafasan pada bayi baru lahir merupakan gejala
kompleks yang timbul dari proses penyakit yang menyebabkan kegagalan
mempertahankan pertukaran gas. Respiratory Distress of Newborn (RDN)
atau gangguan pernafasan pada bayi baru lahir adalah salah satu gangguan
yang paling umum ditemui dalam 48-72 jam pertama kehidupan
(Brahmaiah & Reddy, 2017). RDN merupakan sekumpulan gejala
gangguan nafas pada bayi baru lahir dengan tandatanda takipnea
(>60x/menit), grunting, retraksi dada, nafas cuping hidung, dan sianosis
yang biasanya disebabkan oleh ketidakmaturan dari sel tipe II untuk
menghasilkan surfaktan yang memadai.
2. Klasifikasi Kegawatan Pernafasan pada Bayi
Down score dapat digunakan untuk mendiagnosis cepat dari gawat
nafas yang dialami oleh bayi baru lahir dalam menilai tingkat
keparahannya. Down score dapat dijadikan sebagai pengakajian klinis
awal dalam memantau derajat gawat nafas pada bayi RDN tanpa melalui
uji yang kompleks di unit perawatan (Buch, Makwana, & Chudasama,
2013). Berikut ini adalah penilaian evaluasi gawat nafas menurut skor
Down.

7
Tabel 2.1. Penilaian Evaluasi Gawat Nafas (Skor Down)

Skor
Pemeriksaan 0 1 2
Frekuensi < 60x/ menit 60-80x/menit >80x/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi Retraksi berat
ringan
Sianosis Tidak ada Sianosis hilang Sianosis
sianosis dengan oksigen menetap
walaupu
n
diberi oksigen
Air Entry Udara masuk Penurunan Tidak ada
ringan udara udara
masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat Dapat
didengar didengar
dengan tanpa alat
stetoskop bantu
Evaluasi <4 : gawat nafas ringan
4-7 : gawat nafas sedang
>7 : gawat nafas berat

3. Etiologi dan Patofisiologi


Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara kedalam
paru-parunya yang mengakibatkan cairan dalam paru-paru keluar dari
alveoli ke jaringan interstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan
ke arteriol pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan
ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap konstriksi, alveoli tetap
terisi cairan dan pembuluh darah sistemik tidak mendapat oksigen
(Hanretty, 2014). Penyebab umum gangguan pernapasan pada bayi baru
lahir adalah takipnea transien pada bayi baru lahir (TTN), sindrom
gangguan pernapasan (RDS), sindrom aspirasi mekonium, pneumonia,
sepsis, asfiksia lahir, CHD, ensefalopati iskemik hipoksia dan malformasi
kongenital.
a. Respiratory Distress Syndrome (RDS) atau Penyakit Membrane
Hialin (PMH)
Sindrom gangguan pernapasan bayi terjadi karena kekurangan
surfaktan yang merupakan konsekuensi dari produksi yang tidak

8
cukup oleh paru-paru yang belum matang atau mutasi genetik pada
salah satu protein surfaktan, SP-B. Surfaktan diperlukan untuk alveoli
paru-paru kecil untuk mengatasi ketegangan permukaan dan tetap
terbuka. Tanpa surfaktan yang adekuat, tekanan yang diberikan untuk
membuka alveoli ini dengan pernapasan bayi yang sulit atau dengan
ventilator mekanik memecahkan alveoli, menghasilkan gambaran
seperti emfisema, atau pneumotoraks, jika udara keluar di luar paru-
paru dan terperangkap di dinding dada (Liu et al., 2014).
b. Transient Tachypnea of Newborn (TTN)
Takipnea Bayi Baru Lahir Sementara atau terkadang disebut
sindrom kegawat daruratan pernafasan tipe II, biasanya terjadi pada
bayi-bayi preterm atau bayi cukup bulan pasca- persalinan per
vaginam atau operasi caesar. Takipnea ini mungkin hanya ditandai
dengan takipnea yang bermula pada saat yang dini, kadang-kadang
denga retraksi, atau mendengkur saat respirasi dan kadang-kadang
sianosis yang dapat disembuhkan dengan oksigen minimal dalam 3
hari. Paru-paru biasanya bersih tanpa ronki halus dan rontgen dada
menunjukkan corak vaskular paru yang jelas, garis-garis cairan dalam
fisura, aerasi berlebihan, difragma datar, dan terkadang ada cairan
pleura (Rauter, Moser, & Baack, 2014).
Untuk membedakan penyakit ini dengan PMH, dilihat dari
penyembuhan bayi mendadak dan tidak ada gambaran
retikulogranular rontgen pada bronkografi udara akibat dari lambatnya
absorpsi cairan paru janin sehingga mengakibatkan penurunan
kelenturan paru dan volume tidal, serta bertambahnya ruang mati atau
dead space.
c. Meconium Aspiration Syndrome (MAS)
Sindrom Aspirasi Mekonium biasanya terjadi pada bayi cukup
bulan atau lewat bulan. Di dalam uterus atau lebih sering pada
pernafasan pertama, meconium yang kental teraspirasi ke dalam paru-
paru yang mengakibatkan obstruksi jalan nafas sehingga

9
menimbulkan gejala kegawatan pernafasan dalam beberapa jam
pertama dengan gejala takipnea, retraksi, mendengkur dan sianosis
pada bayi yang terkena gejala berat. Distensi dada yang berlebihan
dapat menonjol. Takipnea dapat menetap dalam beberapa hari bahkan
beberapa minggu. Rontgen dada bersifat khas ditandai dengan bercak-
bercak infiltrat, corak kedua lapang paru kasar, diameter antero
posterior tambah dan diafragma mendatar. Pencegahan dapat
dilakukan dengan infus amnion dan pengisapan DeLee orofaring
sesudah kepala dilahirkan dapat mengurangi insiden aspirasi
meconium(Hermansen & Mahajan, 2015).
d. Asfiksia Neonatorum (Asfiksia Lahir)
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak mampu
bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir (Caroline,
Syuul, & Nancy, 2014). Asfiksia didefinisikan sebagai kondisi
pertukaran gas tidak adekut, yang mengarah pada hipoksia progresif,
hiperkarbia, dan asidosis tergantung pada luas dan lamanya gangguan
ini. Hal ini dapat terjadi sebelum, selama atau setelah melahirkan.
Asfiksia bayi baru lahir merupakan keadaan dimana bayi tidak mampu
untuk bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini erat
kaitannya dengan hipoksia janin dalam uterus. Hipoksia ini
berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan,
persalinan atau segera lahir (Nugroho, 2015).
Patofisiologinya sangat kompleks dan dapat disebabkan oleh faktor
yang berhubungan dengan ibu, plasenta dan/atau bayi baru lahir.
Asfiksia dapat terjadi pada periode neonatal segera jika bayi tidak
dapat melakukan pertukaran gas sendiri tanpa plasenta. Penyakit ibu
seperti diabetes, hipertensi atau preeklampsia dapat mengubah
pembuluh darah plasenta dan menurunkan aliran darah. Selain itu,
abrupsi perdarahan janin atau peradangan juga dapat baru lahir
kembungkinan mengakibatkan pertukaran gas di paru- paru tidak
memadai ketika sirkulasi plasenta berhenti. Patofisiologi perinatal

10
berpusat di sekitar gangguan aliran darah ke plasenta (Rainaldi &
Perlman, 2016).

11
e. Sepsis
Sepsis dapat terjadi pada bayi cukup bulan dan premature. Gejala
dapat dimulai kemudian pada periode bayi baru lahir. Faktor risiko
termasuk pecahnya membran lebih dari 18 jam sebelum melahirkan,
prematuritas dan demam ibu. Patogen yang umum termasuk
streptokokus kelompok B, Escherichia coli, Listeria monocytogenes,
Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, dan organisme gram
negatif. Skrining universal dan antibiotik antepartum untuk pembawa
streptokokus kelompok B mengurangi penyakit awal (Hermansen &
Mahajan, 2015).
f. Pneumonia
Pneumonia onset dini terjadi dalam tiga hari pertama kehidupan,
akibat penularan bakteri plasenta atau aspirasi cairan ketuban yang
terinfeksi. Infeksi pernapasan pada bayi baru lahir mungkin berasal
dari bakteri, virus, jamur, spirochetal, atau protozoa. Bayi dapat
memperoleh pneumonia secara transplasenta, melalui cairan amniotik
yang terinfeksi, melalui kolonisasi pada saat kelahiran, atau secara
nosokomial. Pneumonia perinatal adalah lahir. Streptokokus Grup B
(GBS) adalah organisme paling umum yang memengaruhi bayi cukup
bulan (Hermansen & Mahajan, 2015). Faktor risiko untuk pneumonia
perinatal termasuk ketuban pecah lama, infeksi ibu, dan prematuritas.
Bakteri patogen mirip dengan yang menyebabkan sepsis (Rauter et al.,
2014).
Menurut Suriadi dan Yulianni (2010), etiologi RDS adalah:
a. Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan eveoli terbuka
b. Alvioli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan
pengembangan kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga
agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga
pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang
menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan
mengalami sesak nafas.

12
c. Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap
dalam proteinacceous filtrat serum (saringan serum protein), difargosit
oleh makrofag.
d. Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram
e. Adanya kelainan didalam dan diluar paru. Kelainan dalam paru yang
menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum,
penyakit membran hialin (PMH)
f. Bayi prematur atau kurang bulan. Diakibatkan oleh kurangnya
produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan
minggu ke-22, semakin muda usia kehamilan, maka semakin besar
pula kemungkinan terjadi RDS.
4. Manifestasi Klinis
Takipnea adalah presentasi paling umum pada bayi baru lahir dengan
gangguan pernapasan. Kecepatan pernapasan normal adalah 40 hingga 60
pernapasan per menit. Takipnea didefinisikan sebagai tingkat pernapasan
lebih dari 60 kali per menit. Tanda-tanda lain mungkin termasuk nasal
flaring, grunting, retraksi dada dan sianosis. Retraksi, terbukti dengan
penggunaan otot-otot pernafasan di leher, buruk atau resistensi saluran
napas terlalu tinggi (Hermansen & Mahajan, 2015).
Grunting adalah bunyi ekspirasi yang disebabkan oleh penutupan
glotis yang tiba-tiba selama ekspirasi dalam upaya mempertahankan
kapasitas residual fungsional dan mencegah atelektasis alveolar. Nasal
flaring (nafas cuping hidung) terjadi ketika lubang hidung melebar saat
bernafas. Sianosis adalah kondisi warna kebiru-biruan pada kulit dan
selaput lendir karena kekurangan oksigen dalam darah. Bayi baru lahir
mungkin juga mengalami kelesuan, pemberian makanan yang buruk,
hipotermia, dan hipoglikemia.
Tanda dan gejala sindrom gawat pernapasan (RDS) biasa nya terjadi
pada saat lahir atau dalam beberapa jam pertama yang mengikuti,
termasuk (NHLBI, 2012):
a. Pemapasan Cepat dan dangkal

13
b. Retraksi dada
c. Suara mendengus
d. Lubang hidung melebar (cuping hidung)
e. Bayi juga mungkin memiliki jeda dalam bemapas yang berlangsung
selama beberapa detik (apnea)

Menurut Siti N.J, (2017), tanda dan gejala sindrom gawat pernapasan
(RDS) pada neonatus yaitu:
a. Frekuensi nafas >60 x / menit
b. Frekuensi nafas <30 x/menit
c. Bayi dengan sianosis sentral
d. Retraksi ( tarikan ) dada.
Pada umumnya, RDS (Respiratory Distress Syndrome) dua kali lebih
banyak dialami oleh anak laki-laki dari pada perempuan selain itu insiden
penyakit ini meningkat pada anak dengan faktor-faktor tertentu, seperti
ibu penderita diabetes yang melahirkan anak kurang dari 38 minggu,
hipoksia perinatal, dan lahir melalui section caesaria (Fida dan Maya,
2012).
5. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosa RDN dapat ditegakkan melalui pemeriksaan foto thoraks,
AGD, hitung darah lengkap, perubahan elektrolit dan biopsy paru
(Lowdermilk et al., 2014).
a. Foto Thoraks
1) Pemeriksaan radiologis, mula-mula tidak ada kelainan jelas pada
foto dada, setelah 12-24 jam akan tampak infiltrate alveolar tanpa
batas yang tegas diseluruh paru.
2) Pola retikulogranular difus bersama bronkhogram udara yang
saling tumpah tindih.
3) Tanda paru sentral, batas jantung sukar dilihat, inflasi paru buruk.
4) Kemungkinan terdapat kardoimegali bila system lain juga terkena
(bayi dari ibu diabetes, hipoksia, gagal jantung kongestif )
5) Bayangan timus yang besar

14
6) Bergranul merata pada bronkhogram udara, yang menandakan
penyakit berat jika terdapat pada beberapa jam pertama.
b. AGD menunjukkan asidosis respiratory dan metabolik yaitu adanya
penurunan pH, penurunan PaO2, dan peningkatan paCO2,
penurunan HCO3.
c. Hitung darah lengkap
d. Perubahan elektrolit, cenderung terjadi penurunan kadar: kalsium,
natrium, kalium dan glukosa serum.
e. Biopsi paru, terdapat adanya pengumpulan granulosit secara
abnormal dalam parenkim paru.
6. Penatalaksanaan
Menurut Lowdermilk et al., (2014), penatalakasanaan pada bayi baru
lahir dengan gangguan pernafasan sebagai berikut :
a. Terapi Oksigen
Tujuan terapi oksigen adalah untuk menyediakan oksigen yang
memadai bagi jaringan, mencegah akumulasi asam laktat yang
dihasilkan oleh hipoksiaserta pada waktu yang sama menghindari
efek negative yang potensial dari hiperoksia dan radikal bebas. Jika
bayi tidak membutuhkan ventilasi mekanik, oksigen dapat dipasok
menggunakan tudung plastic yang ditempatkan di atas kepala bayi,
menggunakan nasal kanul, atau continuous positive airway pressure
(CPAP) untuk menyediakan konsentrasi dan kelembapan oksigen
yang bervariasi. Ventilasi mekanik (bantuan pernafasan dengan
memberikan sejumlah oksigen yang ditentukan melalui tabung
endotrakeal) diatur untuk memberikan sejumlah oksigen yang telah
ditentukan pada bayi selama nafas spontan dan menyediakan
pernafasan mekanik pada saat tidak ada nafas spontan.
b. Resusitasi Neonatal
Pengkajian bayi yang cepat dapat mengidentifikasi bayi yang
tidak membutuhkan resusitasi : bayi lahir cukup bulan tanpa ada
bukti meconium atau infeksi pada pada cairan amnion, bernafas atau

15
menangis, dan memiliki tonus otot yang baik. Keputusan untuk
melanjutkan langkah tindakan berdasarkan pengkajian pernafasan,
denyut jantung dan warna. Jika salah satu karakteristik tersebut tidak
ada, maka bayi harus menerima tindakan berikut secara berurutan:
1) Langkah awal penstabilan : berikan kehangatan dan
menempatkan bayi di bawah pemancar panas, posisikan kepala
pada posisi jalan nafas terbuka, bersihkan jalan nafas dengan
bulb syringe atau kateter pengisap (suction), keringkan bayi,
rangsang untuk bernafas dan ubah posisi bayi
2) Ventilasi
3) Kompresi dada
4) Pemberian epinefrin atau ekspansi volume atau keduanya.
c. Terapi Penggantian Surfaktan
Surfaktan dapat diberikan sebagai tambahan untuk terapi
oksigen dan ventilasi. Pada umumnya, bayi yang lahir sebelum usia
cukup adekuat untuk kelangsungan hidup di luar rahim. Penggunaan
surfaktan disarankan pada bayi dengan distress pernafasan sesegera
mungkin, setelah kelahiran, terutama bayi BBLR, yang belum
terpapar steroid antenatal pada ibu hamil. Pemberian steroid
antenatal pada ibu hamil dan penggantian surfaktan dapat
mengurangi insiden distress pernafasan dan penyakit penyerta.
d. Terapi Tambahan
Terapi tambahan Nitrat hidup (inhaled nitric oxcide-INO),
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO), dan cairan ventilasi
merupakan terapi tambahan yang digunakan pada digunakan bagi
bayi matur/cukup bulan dan prematur akhir dengan kondisi seperti
hipertensi pulmonal, sindrom aspirasi mekonium, pneumonia, sepsis,
dan hernia diafragmatika kongenital untuk mengurangi atau
membalikkan hipertensi pulmonal, vasokontstriksi paru, asidosis,
serta distres pernapasan dan gagal napas bayi baru lahir. Terapi INO

16
digunakan bersamaan dengan terapi penggantian surfaktan, ventilasi
frekuensi tinggi, atau ECMO.
ECMO digunakan pada penatalaksanaan bayi baru lahir dengan
gagal napas akut hebat pada kondisi yang sama seperti yang
disebutkan untuk INO. Terapi sebuah mesin jantung-paru berhenti
dan darah tidak sepenuhnya melewati paru. Darah didorong dari
kateter atrium kanan atau vena jugularis kanan dengan gaya gravitasi
ke sebuah pompa pengatur, dipompa melalui membran paru di mana
darah dioksigenasi, kemudian melalui sebuah mesin penukar panas
yang kecil di mana darah menghangatkan, dan kemudian
dikembalikan ke sistem sirkulasi melalui sebuah arteri utama seperti
arteri karotis ke lengkung menyediakan oksigen untuk sirkulasi,
yang memungkinkan paru beristirahat serta menurunkan hipertensi
paru maupun hipoksemia pada kondisi seperti hipertensi paru
menetap bayi baru lahir, hernia diafragmatika kongenital, sepsis,
aspirasi mekonium, dan pneumonia berat.

17
BAB III
PEMBAHASAN

A. Perbedaan Asfiksia dan Respiratory Distress Syndrome (RDS)


Sesuai penelitian Rogayyah didapatkan hasil dari 131 responden yang
diambil sebagian besar 118 responden (10%) mengalami asfiksia sedang-
berat dan menderita Respiratory Distress Syndrome (RDS). hasil tersebut
menunjukkan tingginya angka persentase neonatus yang mengalami asfiksia
sedang-berat dan menderita Respiratory Distress Syndrome (RDS). Kejadian
respiratory distress syndrome dengan asfiksia sangat berhubungan tetapi
bukan menjadi faktor resiko respiratory distress syndrome, asfiksia menjadi
penyebab yang sangat berhubungan karena seringkali bayi yang sebelumya
mengalami gawat janin akan mengalami asfiksia sesudah persalinan.
Penyebab utama dari kegawatan nafas pada neonatus disebabkan paru-paru
bayi belum cukup untuk berkembang akibat defisiensi surfaktan. Paru-paru
janin mulai membuat surfaktan selama trimester ketiga kehamilan (minggu 26
melalui persalinan). Yaitu suatu substansi bagian dalam kantung udara di
paru-paru. Hal ini yang membantu dan menjaga paru-paru terbuka sehingga
penapasan dapat terjadi setelah lahir. Menurut peneliti salah satu faktor
penyebab asfiksia dipengaruhi oleh kejadian RDS dimana neonates
mengalami kekurangan suplai oksigen dari seorang ibu melalui jalur tali pusat
yang akan menyebabkan neonates mengalami asfiksia sehinga akan terjadi
gawat janin dan mengakibatkan neonatus mengalami RDS. ketepatan
merawat, tindakan perawat cepat membantu dalam menyembuhkan kondisi
neonatus sehingga tidak mengalami RDS.

18
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Asfiksia bayi baru lahir adalah dimana bayi tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin
dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang
timbul dalam kehamilan, persalinan atau segera setelah bayi lahir
(Wiknjosastro & Saifuddin, 2007).
2. Penilaian awal pada bayi baru lahir dapat dilakukan dengan observasi
melalui pemeriksaan nilai APGAR. Penilaian APGAR ini merupakan
standar evaluasi untuk bayi baru lahir, dimana nilai ini dapat
mengidentifikasi bayi tersebut membutuhkan tindakan resusitasi atau
tidak.
3. Menurut Lee (2008), bayi prematur (< 37 minggu) lebih beresiko
terhadap kematian bayi akibat asfiksia neonatorum. Risiko itu meningkat
1,61 kali lipat pada usia kehamilan 34-37 minggu dan meningkat 14,33
kali lipat pada usia ke-hamilan < 34 minggu.
4. Respiratory distress syndrome (RDS) adalah perkembangan yang imatur
pada sistem pernafasan, atau tidak adequatnya jumlah surfaktan dalam
paru (Siti N.J. dkk, 2017).
5. Down score dapat digunakan untuk mendiagnosis cepat dari gawat nafas
yang dialami oleh bayi baru lahir dalam menilai tingkat keparahannya.
Down score dapat dijadikan sebagai pengakajian klinis awal dalam
memantau derajat gawat nafas pada bayi RDN tanpa melalui uji yang
kompleks di unit perawatan (Buch, Makwana, & Chudasama, 2013).
6. Menurut Suriadi dan Yulianni (2010), etiologi RDS adalah:
Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan eveoli terbuka, Alvioli
masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan
pengembangan kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar

19
kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi
prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya
berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas.
7. Tanda dan gejala sindrom gawat pernapasan (RDS) biasa nya terjadi pada
saat lahir atau dalam beberapa jam pertama yang mengikuti, termasuk
(NHLBI, 2012) Pemapasan Cepat dan dangkal, retraksi dada, suara
mendengus, lubang hidung melebar (cuping hidung), bayi juga mungkin
memiliki jeda dalam bemapas yang berlangsung selama beberapa detik
(apnea).
8. Diagnosa RDN dapat ditegakkan melalui pemeriksaan foto thoraks, AGD,
hitung darah lengkap, perubahan elektrolit dan biopsy paru (Lowdermilk
et al., 2014).
9. Menurut Lowdermilk et al., (2014), penatalakasanaan pada bayi baru lahir
dengan gangguan pernafasan sebagai berikut terapi Oksigen, resusitasi
neonatal.
10. Kejadian respiratory distress syndrome dengan asfiksia sangat
berhubungan tetapi bukan menjadi faktor resiko respiratory distress
syndrome, asfiksia menjadi penyebab yang sangat berhubungan karena
seringkali bayi yang sebelumya mengalami gawat janin akan mengalami
asfiksia sesudah persalinan. Penyebab utama dari kegawatan nafas pada
neonatus disebabkan paru-paru bayi belum cukup untuk berkembang
akibat defisiensi surfaktan. Paru-paru janin mulai membuat surfaktan
selama trimester ketiga kehamilan (minggu 26 melalui persalinan).
B. Saran
Diharapkan dengan adanya pembuatan makalah “Bayi Resiko tinggi
dengan Gangguan Pernapasan” dapat digunakan sebagai referensi mahasiswa
dalam pembelajaran.

20
DAFTAR PUSTAKA

Andi Nurul Atika. 2019. Faktor Risiko Kejadian Respiratory Distress Of Newborn
di Neonatal Intensive Care Unit Rsup Dr. Wahidin Sudirohusodo. Sumber
Literatur: 71 Literature (2007-2019).
http://repository.unhas.ac.id/2495/2/19_C12116511%28FILEminimizer
%29%20...%20ok%201-2.pdf
Fida., dan Maya., (2012). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: D-Medika.
Meta Febri Agrina, dkk. 2017. Tingkat Kejadian Respiratory Distress Syndrome
(Rds) Antara Bblr Preterm dan Bblr Dismatur. Jurnal Informasi Kesehatan
Indonesia, Volume 3, No. 2, November 2017: 125-131.
National Heart, Lung dan Blood Institute. (2012). What is Respiratory Distress
Syndrome? (http://www.nhlbi.nih.gov,diaskes 07 Januari 2022)
https://ojs.poltekkes-malang.ac.id/index.php/JIKI/article/download/143/56
Siti N.J., Febi Sukma., dan Hamidah, (2017). Asuhan Kebidanan Pada Neonatus,
Bayi, Balita dan Anak Pra Sekolah. Fakultas Kedokteran dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta.

21

Anda mungkin juga menyukai