Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MATA KULIAH

KEPERAWATAN KRITIS

“Asuhan Keperawatan Kritis Membran Hialin Pada Neonatus”

Disusun Oleh :

Kelompok 11

Meri Meriani (1610142010009)

Ovilia Zulita (1710142010025)

Saraya Silmina Mandagi (1710142010036)

Tesya Nandra Cimberly (1710142010037)

Dosen Pembimbing : Reny Chaidir, S.Kep, M.Kep

STIKes YARSI SUMBAR BUKITTINGGI

PRODI S1 KEPERAWATAN

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang tiada hentinya memberikan
petunjuk, rahmat dan karunia-Nya. Tak lupa Shalawat dan salam semoga tercurah kepada
Rasulullah saw, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Dengan segala rasa syukur yang
tinggi penyusun berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan dosen mata kuliah
Keperawatan Kritis yaitu Asuhan Keperawatan Membran Hialin Pada Neonatus. Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah selain untuk memenuhi kewajiban sebagai
mahasiswa yang senantiasa melaksanakan tugas yang diberikan oleh dosen dan juga sebagai
penambahan wawasan tentang pemahaman tentang Asuhan Keperawatan Membran Hialin
Pada Neonatus. Penyusun menyusun artikel ini dengan baik, baik dari isi maupun dari
kualitas. Namun penyusun menerima saran dan kritikan konstruktif dari pembaca dengan
senang hati.

Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi penyusun pada khususnya dan
pembaca semua pada umumnya dan juga agar lebih memahami tentang Asuhan Keperawatan
Membran Hialin Pada Neonatus.

Bukittinggi, 15 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................................

Daftar Isi........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.................................................................................................


1.2. Rumusan Masalah............................................................................................
1.3. Tujuan Penulisan.............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Definisi Membran Hialin Pada Neonatus.........................................................

2.2. Etiologi Membran Hialin Pada Neonatus……………………………………...

2.3. Patofisiologi…………………………………………………………………….

2.4. Manifestasi kulit………………………………………………………………..

2.5. Komplikasi……………………………………………………………………..

2.6. Pemeriksaan Diagnostik………………………………………………………..

2.7. Penatalaksanaan medis………………………………………………………...

2.8. Penatalaksanaan keperawatan…………………………………………………

2.9. Pencegahan……………………………………………………………………..

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian pre Arrival…………………………………………………………


3.2. Pengkajian segera………………………………………………………………..
3.3. Pengkajian lengkap……………………………………………………………...
3.4. Pengkajian Berkelanjutan……………………………………………………….
3.5. Diagnosa Keperawatan………………………………………………………….

BAB IV PENUTUP

ii
3.1. Kesimpulan......................................................................................................
3.2. Saran ...............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Bayi kurang bulan adalah 10% semua kelahiran hidup dan merupakan penyebab
terbesar kematian dan kecacatan neonatal. Bayi kurang bulan sangat rentan terhadap
berbagai masalah kesehatan, terutama gangguan terhadap sistem pernapasan yang dikenal
dengan Hyaline Membrane Disease (HMD) atau penyakit membtan hialin (PMH). PMH
merupakan penyebab kesakitan cukup tinggi pada bayi kurang bulan (Avery & Taeusch,
1984 dan Leviton dkk, 1999). Menurut Farrel & Avery (dikutip Yu, 1986) prevalensi
PMH adalah 1% dari total kelahiran dan 14% pada bayi lahir kurang bulan sehingga
prevalensi PMH akan meningkat bila prevalensi bayi kurang bulan meningkat. PMH
meningkat 8-9 kali lipat pada bayi lahir dengan bedah sesar (Sarwono, 1983). Sekitar
60% bayi kurang bulan menderita PMH dan  50% kematian neonatus disebabkan PMH
serta komplikasinya. PMH bertanggung jawab atas 10.000–40.000 kematian setiap
tahunnya (Farrel & Zachman, 1980).

Gagal nafas pada neonatus merupakan masalah klinis yang sangat serius, yang
berhubungan dengan tingginya morbiditas, mortalitas, dan biaya perawatan. Sindroma
gagal nafas (respiratory distress sindrom, RDS) adalah istilah yang digunakan untuk
disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang
berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak adekuatnya
jumlah surfaktan dalam paru(Marmi & Rahardjo, 2012).
Respiratory Distress Syndrom (RDS) atau Sindrom Distres Pernapasan merupakan
kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea, frekuensi pernapasan yang lebih dari 60 kali
per menit, adanya sianosis, adanya rintihan pada saat ekspirasi serta ada retraksi dinding
dada saat inspirasi. Penyakit ini merupakan penyakit membran hialin dimana terjadi
perubahan atau kurangnya komponen surfaktan pulmoner. Komponen ini merupakan
suatu zat aktif pada alveoli yang dapat mencegah kolapsnya paru. Fungsi surfaktan itu
sendiri adalah merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps
dan mampu menahan sisa udara pada akhir ekspirasi. Penyakit ini sering terjadi pada bayi
prematur mengingat produksi surfaktan yang kurang (Hidayat, 2003).
Kegawatan pernafasan dapat terjadi pada bayi aterm maupaun pada bayi preterm,
yaitu bayi dengan berat lahir cukup maupun dengan beratbadan lahir rendah (BBLR).
Bayi dengan BBLR yang preterm mempunyai potensi kegawatan lebih besar karena
belum maturnya fungsi organ organ tubuh. Kegawatan sistem pernafasan dapat terjadi
1
pada bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram dalam bentuk sindroma
gagal nafas dan asfiksia neonatorum yang terjadi pada bayi cukup bulan paru(Marmi &
Rahardjo, 2012).
Gagal nafas dapat terjadi pada bayi dengan gangguan pernafasan yang dapat
menimbulkan dampak yang cukup berat bagi bayi berupa kerusakan otak atau bahkan
kematian. Akibat dari gangguan pernafasan adalah terjadinya kekurangan oksigen
(hipoksia) pada bayi. Bayi akan beradaptasi terhadap kekurangan oksigen dengan
mengaktifkan metabolisme anaerob yang akan menghasilkan asam Laktat. Dengan
memburuknya keadaan asidosis dan penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi
kerusakan otak dan organ lainkarena hipoksia dan iskemia. Hal ini dapat menyebabkab
kematian pada neonatus (Ainsworth, 2006).
Penatalaksanaan utama gagal nafas pada neonatus adalah terapi suportif dengan
ventilasi mekanis, dan oksigenasi konsentrasi tinggi. Terapi lainnya meliputi high-
frequency ventilator, terapi surfaktan, inhalasi nitrat oksida dan extracorporeal membran
oxigenation (ECMO). Penanganan neonatus yang mengalami gagal napas memerlukan
suatu unit perawatan intensif, dan penatalaksanaan yang optimal tergantung pada sistem
perawatan neonatal yang ada yaitu ketrsediaan tenaga ahli, fasilitas yang memiliki
kemampuan dalam menilai dan memberikan tatalaksana kehamilan resiko tinggi, serta
memiliki kemampuan menerima rujukan dari fasilitas kesehatan dibawahnya (Surasmi
2013).
Peningkatan kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu prioritas pembangunan
nasional 2015-2019. Upaya penurunan kematianbayi memerlukan informasi tentang
model intervensi pelayanan kesehatanbayi yang sesuai di Indonesia.Tujuannya untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan bayi dalam
rangka menurunkan angka kematian bayi di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa itu Membran Hialin pada Neonatus?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan Membran Hialin pada Neonatus?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui Membran Hialin pada Neonatus.
2. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Membran Hialin pada Neonatus.

2
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Definisi Membran Hialin Pada Neonatus

Sindroma gagal nafas (respiratory distress sindrom, RDS) adalah istilah yang
digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit
yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak
adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. (Marmi & Rahardjo,2012)

Sindrom gawat napas RDS (Respiratory Distress Syndrom) adalah istilah yang
digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit
yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru. Gangguan ini
biasanya juga dikenal dengan nama hyaline membran desease (HMD) atau penyakit
membran hialin, karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi
alveoli (Surasmi, dkk, 2003).

2.2. Etiologi

Penyebab kegagalan pernafasan pada neonatus yang terdiri dari faktor ibu, faktor
plasenta, faktor janin dan faktor persalinan.Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, usia ibu
kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi
rendah, maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran gas janin
seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, dan lain-lain. Faktor plasenta
meliputi solusio plasenta, perdarahan plasenta, plasenta kecil, plasenta tipis, plasenta
tidak menempel pada tempatnya.

Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher,
kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir,gemeli, prematur, kelainan kongenital pada
neonatus dan lain-lain. Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan
dan lain-lain.

Sindroma gagal nafas adalah perkembangan imatur pada sistem pernafasan atau
tidak adekuatnya jumlah surfaktan pada paru-paru-paru. Sementara afiksia neonatorum
merupakan gangguan pernafasan akibat ketidakmampuan bayi beradaptasi terhadap
asfiksia. Biasanya masalah ini disebabkan karena adanya masalah-masalah kehamilan dan
pada saat persalinan (Marmi & Rahardjo, 2012).

3
2.3. Patofisiologi

Kegawatan pernafasan dapat terjadi pada bayi dengan gangguan pernafasan yang
dapat menimbulkan dampak yang cukup berat bagi bayi berupa kerusakan otak atau
bahkan kematian. Akibat dari gangguan pada sistem pernafasan adalah terjadinya
kekurangan oksigen (hipoksia) pada tubuh bayi akan beradaptasi terhadap kekurangan
oksigen dengan mengaktifkan metabolisme anaerob. Apabila keadaan hipoksia semakin
berat dan lama,metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat.

Dengan memburukya keadaan asidosis dan penurunan aliran darah keotak maka
akan terjadi kerusakan otak dan organ lain karena hipoksia dan iskemia. Pada stadium
awal terjadi hiperventilasi diikuti stadium apneu primer. Pada keadaan ini bayi tampak
sianosis,tetapi sirkulasi darah relative masih baik. Curah jantung yang meningkat dan
adanya vasokontriksi perifer ringan menimbulkan peninggkatan tekanan darah dan reflek
bradikardi ringan. Depresi pernafasan pada saat ini dapat diatasi dengaan meningkatkan
implus aferen seperti perangsangan pada kulit.Apneu normal berlangsung sekitar 1-2
menit.Apnea primer dapat memanjang dan diikuti dengan memburuknya sistem sirkulasi.
Hipoksia miokardium dan asidosis akan memperberat bradikardi,vasokontraksi dan
hipotensi. Keadaan ini dapat terjadi sampai 5menit dan kemudian terjadi apneu sekunder.
Selama apneu sekunder denyut jantung,tekanan darah dan kadar oksigen dalam darah
terus menurun. Bayi tidakbereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukkan upaya
pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadikecuali pernafasan buatan dan
pemberian oksigen segera dimulai (Marmi & Rahardjo, 2012).

4
Bayi lahir prematur

Inadekuat surfaktan Lapisan lemak belum terbentuk


pada kulit

Alveolus kolaps
hipotermia

Ventilasi berkurang hipoksia

Cidera paru Pembentukan


Peningkatan usaha
membrane hialin
napas

edema
mengendap di
alveoli
takipnue

Ggn pertukaran gas

Ketidakefektifan pola
napas

Reflex hisap
menurun

Intake tidak adekuat

Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan

5
2.4. Manifestasi Klinis

Berat atau ringannya gejala klinis pada penyakit membrane hialin ini sangat
dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat usia kehamilan, semakin
berat gejala klinis yang ditunjukan. Gejala dapat tampak beberapa jam setelah kelahiran.
Bayi RDS (Respiratory Distress Syndrom)yang mampu bertahan hidup sampai 96 jam
pertama mempunyai prognosis yang lebih baik. Gejala umum yaitu:

a. Takipnea (>60x/menit),
b. Pernapasan dangkal,
c. Mendengkur,
d. Sianosis,
e. Pucat,
f. Apnea dan pernapasan tidak teratur,
g. Penurunan suhu tubuh,
h. Retraksi suprasternal dan substernal,
i. Pernapasan cuping hidung ( surasmi, dkk 2013)

2.5. Komplikasi

Menurut Cecily & Sowden (2009) Komplikasi RDS yaitu:

a. PDA (Patent Ductus Arteriosus)


b. Kebocoran udara ( Pneumothoraks, pneumomediastinum, pneumo perikardium,
pneumoperitonium, emfisema subkutan, emfisema interstisial pulmonal)
c. Perdarahan pulmonal
d. Penyakit paru kronis pada bayi 5%-10%
e. Apnea
f. Hipotensi sistemik
g. Anemia
h. Infeksi (pneumonia, septikemia, atau nosokomial)
i. Perubahan perkembangan bayi dan perilaku orang tua

a. Paten Duktus Arteriosus (PDA) yang sering dikaitkan dengan hipertensi pulmonal
b. Perdarahan intraventrikuler

6
c. Retinopati akibat prematuritas
d. Kerusakan neurologis

2.6. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Cecily & Sowden (2009) pemeriksaan penunjang pada bayi dengan RDS yaitu:

1. Kajian foto thoraks


a. Pola retikulogranular difus bersama udara yang saling tumpang tindih.
b. Tanda paru sentral dan batas jantung sukar dilihat, hipoinflasi paru
c. Kemungkinan terdapat kardiomegali bila sistem lain juga terkena (bayi
dari ibu diabetes, hipoksia atau gagal jantung kongestif)
d. Bayangan timus yang besar
e. Bergranul merata pada bronkogram udara yang menandakan penyakit
berat jika muncuk pada beberapa jam pertama

2. Gas darah arteri-hipoksia dengan asidosis respiratorik dan atau metabolic


a. Hitung darah lengkap
b. Elektrolit, kalsium, natrium, kalium, glukosa serum
c. Tes cairan amnion (lesitin banding spingomielin) untuk menentukan
maturitas paru
d. Oksimetri nadi untuk menentukan hipoksia

2.7. Penatalaksanaan Medis


Menurut Cecily & Sowden (2009) penatalaksanaan medis pada bayi RDS
(Respiratory Distress Syndrom) yaitu:
a. Perbaiki oksigenasi dan pertahankan volume paru optimal
Penggantian surfaktan melalui selang endotrakeal
Tekanan jalan napas positif secara kontinu melalui kanul nasal untuk mencegah
kehilangan volume selama ekspirasi
Pemantauan transkutan dan oksimetri nadi
Fisioterapi dadaTindakan kardiorespirasi tambahan
b. Pertahankan kestabilan suhu
c. Berikan asupan cairan, elektrolit, dan nutrisi yang tepat
d. Pantau nilai gas darah arteri, Hb dan Ht serta bilirubin

7
e. Lakukankan transfusi darah seperlunya
f. Hematokrit guna mengoptimalkan oksigenasi
g. Pertahankan jalur arteri untuk memantau PaO₂ dan pengambilan sampel darah
h. Berikan obat yang diperlukan

2.8. Penatalaksanaan Keperawatan


Menurut Surasmi (2003) penatalaksanan keperawatan terhadap RDS meliputi
tindakan pendukung yang sama dalam pengobatan pada bayi prematur dengan tujuan
mengoreksi ketidakseimbangan. Pemberian minum per oral tidak diperbolehkan selama
fase akut penyakit ini karena dapat menyebabkan aspirasi. Pemberian minum dapat
diberikan melalui perenteral.

2.9. Pencegahan
Tindakan preventif yang paling penting adalah mencegah terjadinya prematuritas,
menghindari tindakan seksio sesar yang tidak diindikasikan dan penanganan kehamilan
risiko tinggi.
Pemberian kortikosteroid sintetik pada wanita yang tidak mengalami toksemia,
diabetes dan penyakit ginjal 48-72 jam sebelum melahirkan janin yang berusia 32 minggu
atau kurang dapat menurunkan insidensi dan agka kematian PMH. Kortikosteroid yang
bisa digunakan adalah Injeksi betametason intramuskular 12 mg sekali sehari selama dua
hari atau injeksi deksametason intramuskular sehari 2 kali selama dua hari (Behrman dkk,
1998 dan Leviton dkk, 1999).
Pemberian kortikosteroid antenatal dapat menurunkan kematian bayi sebesar 30%,
menurunkan kejadian PMH sebesar 50% serta menurunkan perdarahan periventrikular
dan leukomalasia sebesar 70% (Leviton dkk, 1999).

A. Mencegah kelahiran prematur


Yang terpenting adalah mencegah prematuritas, seperti menghindari operasi caesar
yang tidak perlu, penganan yang baik dari kehamilan dan persalinan yang berisiko
tinggi, prediksi dan terapi intra uterin dari imaturitas paru-paru. Menurut Goldenberg,
hal-hal yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kelahiran prematur adalah, ibu
yang merokok, abnormalitas ductus Mulerian, ibu yang bekerja terlalu keras selama
kehamilan. Pemberian preparat Fe mencegah ibu mengalami anemia, hal ini ternyata
dapat mengurangi angka kelahiran prematur. Pada 10 % wanita hamil yang menjalani
apus vagina pada kehamilan 24 – 27 minggu, ditemukan fibronektin yang merupakan
penanda terjadinya infeksi. Infeksi dapat menimbulkan kelahiran yang prematur, oleh

8
karena itu sedang dilakukan penelitian apakah aman bila ibu hamil dengan infeksi
diberikan terapi metronidazol. Pada saat menentukan waktu untuk induksi persalinan
atau operasi caesar, perkiraan lingkar kepala fetus dengan USG dan penentuan
konsentrasi lecithin pada cairan amnion dengan rasio lecithin : sphingomyelin,
menurunkan kemungkinan lahirnya bayi prematur. Pemantauan intrauterin antenatal
dan intrapartum menurunkan kemungkinan terjadinya asfiksia, yang dikaitkan dengan
meningkatnya insidensi dan beratnya HMD.
B. Antibiotik untuk ibu
Pemberian antibiotik untuk preterm prelabour rupture of the membrane (ketuban
pecah sebelum waktu), dapat mengurangi insidensi kelahiran premature, infeksi
neonatus dan perdarahan periventrikular, namun tidak berpengaruh terhadap kematian
perinatal, dan efeknya terhadap insidensi RDS masih dipertanyakan. Keuntungan
pemberian antibiotik lebih banyak dari efek buruknya. Karena itu dapat diberikan
eritromisin 500 mg qds ditambah amoxicillin / clavulanic acid (Augmentin) 375 mg
qds untuk 7 hari. Apabila organisme penyebab diperkirakan Mycoplasma hominis,
dapat diberikan klindamisin 150 mg qds selama 7 hari.
C. Tokolitik Pemberian ritrodine memperlambat persalinan selama 24 jam namun tidak
mengurangi resiko RDS atau kematian perinatal. Penggunaannya dibatasi dalam
waktu singkat untuk mempersiapkan kelahiran prematur dan memberikan sterooid
antenatal. Efek sampingnya antara lain edema paru. Pemberian merupakan kontra
indikasi bagi wanita dengan penyakit jantung, hipertiroid, dan diabetes. Untuk wanita-
wanita tersebut dapat diberikan indometasin sebagai tokolitik.
D. Membantu pematangan paru Menurut Gulck dan Kulovich (1973), cairan paru-paru
fetus merupakan bagian yang penting dari cairan amnion. Insidensi HMD hanya 0,5
% bila rasio lecithin : sphingomyelin > 2, namun hampir 100 % bila rasionya <>(4)
Clements et al (1972) menentukan ada tidaknya surfaktan pada cairan amnion dengan
melakukan tes kocok. Dasar dari tes ini adalah sifat surfaktan yang membentuk buih
yang stabil bila ada ethanol. Sejumlah cairan amnion diencerkan berseri dengan
ethanol 95 %. Masing-masing dikocok 15 detik, diamkan 15 menit. Adanya cincin
buih yang tidak terputus pada meniskus pada tiga tabung pertama atau lebih berarti
positif (paru-paru matur). (4),(6) Untuk mengetahui maturitas paru, dapat juga
dilakukan pemeriksaan ada tidaknya phosphatydilglycerol dari cairan amnion.
Phosphatydilglycerol muncul di cairan amnion pada usia kehamilan 36 minggu.
Keberadaannya menunjukan kematangan paru.
E. Corticosteroid Pemberian dexamethasone atau betamethasone pada ibu hamil 48 – 72
hari sebeum melahirkan fetus berusia 32 minggu kehamilan atau kurang menurunkan
9
insidensi, mortalitas dan morbiditas HMD. Corticosteroid dapat diberikan secara
intramuskular pada wanita hamil yang kadar lecithin pada cairan amnionnya
menunjukan imaturitas paru-paru, dan bagi yang direncanakan akan melahirkan 1
minggu kemudian, atau persalinan akan ditunda 48 jam atau lebih.
Steroid berikatan dengan reseptor spesifik di sel paru-paru dan merangsang produksi
phosphatydilcholine ole sel tipe II. Proses ini membutuhkan waktu, karena itulah
efektifitas steroid berkurang bila diberikan kurang dari 24 jam sebelum melahirkan.
Efektifitasnya juga berkurang bila diberikan pada usia kehamilan lebih dari 34
minggu, dan efeknya hilang pada 7 -10 hari setelah pemberian. Keuntungan terbesar
didapatkan bila interval pemberian dengan kelahiran lebih dari 48 jam namun kurang
dari 7 hari. Pemberian steroid tidak mempengaruhi insidensi penyakit paru kronis
namun menurunkan kejadian perdarahan intracranial sehingga menurunkan insidensi
cerebral palsy di kemudian hari. , Semua wanita dengan usia kehamilan 23 – 34
minggu yang diperkirakan beresiko akan melahirkan dalam 7 hari, diberikan
kortikosteroid. Dapat diberikan bethametasone 12 mg IM diulang setelah 24 jam (total
dosis 24 mg selama 24 – 48 jam diperbolehkan). Dapat juga diberikan dexamethasone
6 mg IM tiap 12 jam untuk 4 dosis. Terapi tidak disarankan untuk diulang dalam
jangka waktu 7 hari. Kontraindikasi pemberian steroid adalah ibu dengan
tirotoksikosis, kaediomiopati, infeksi aktif atau chorioamnionitis. Diabetes,
preeklamsi, preterm prelabour rupture of the membran, dan chorioamnionitis dalam
terapi bukan merupakan kontraindikasi pemberian steroid.
Terapi glukokortikoid prenatal menurunkan deratnya RDS dan menurunkan insidensi
komplikasi prematuritas yang lain seperti perdarahan intraventrikular, patent ductus
arteriosus (PDA), pneumothorax, dan enterokolitis nekrotikan, tanpa mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan neonatus, mekanisme atau pertumbuhan paru,
ataupun insidensi infeksi. Glukokortikoid prenatal dapat beraksi sinergis dengan
terapi surfaktan eksogen posnatal.

10
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Pre Arrival


Pengkajian ini terdiri dari Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin,
agama, pendidikan, pekerjaan dan alamat pasien. Keadaan pasien sebelum masuk ke
rumah sakit atau dari ruangan lain.keadaan yang perlu di kaji yaitu diagnosa si pasien,
alat bantu intensif yang dipakai, modus ventilasi mekanik yang sedang dipakai bila
pasien menggunakan ventilasi mekanik.

I.IDENTITAS KLIEN NO MR : 513517


Nama Klien [inisial] : By. Ny. T Nama Orangtua : Tn. A.W
Jenis Kelamin : Perempuan Pekerjaan : PNS
Umur : 3 hari No Telp : 081398456889
Tanggal Lahir : 26 Mei 2020 Alamat : Bukittinggi
Tanggal masuk RS : 26 Mei 2020 Status Perkawinan : Kawin
Jenis Persalinan : SC Sumber Informasi : Ayah
Bayi
Tempat Persalinan : RS Diagnosa Medis : RD Ringan
Tanggal Pengkajian : 28 Mei
Penolong Persalinan : Dokter 2020

1) Riwayat Bayi
 Apgar Score : 4-7
 Usia Gestasi : 39 Minggu
 Berat Badan Lahir : __2.900 gram _Panjang Badan __47 Cm__
 Berat Badan Saat Dikaji : __2.900 gram__
 Komplikasi Persalinan : ada
 Aspirasi Mekonium : tidak ada
 Lilitan Tali Pusat : tidak ada
 Ketuban Pecah Dini : tidak
 Masalah Lain : Denyut Jantung Lemah
 Tanda Vital
 Suhu : 36,0°C
11
 Nadi : 130x/menit
 Pernapasan : 40x/menit
2) Riwayat Ibu :

o Usia o Gravida o Partus

35 tahun 2 0
Komplikasi Kehamilan: tidak ada

o Plasenta previa : tidak ada


o Preeklamsia/eklamsia : tidak ada
o Persalinan Prematur : tidak
o Masalah Persalinan : denyut jantung bayi lemah

B. Pengkajian Segera (Quick Assessment)


Pengkajian dilakukan dengan cara observasi ABCDE yaitu:
o Airway
Look : Sianosis karena saturasi O2 yang menurun
Listen :Terdengar suara ngorok
Feel : retraksi intercostal dan subcostal

o Breathing
Look :Pernapasan takipnea, Pernapasan yang dangkal dan cepat, penggunaan
alat bantu pernapasan

Listen : Nafasmya pendek dan ketika menghembuskan nafas terdengar suara


ngorok
Auskultasi : terdengan ronkhi basah halus, terutama pada basis paru posterior.

Feel :Setalah dilakukannya perkusi dada terdengar suara pekak.


o Cirkulation = Adanya perubahan tekanan darah serta adanya perubahan
frekuensi jantung.
o Drug = Mengidentifikasi penggunaan obat-obatan yang digunakan
o Equipmentl = Alat yang terpasang pada pasien CPAP

C. Pengkajian Lengkap ( Comprehensive Assassment)


1. Keluhan Utama

12
Bayi Sesak napas berat. Tampak pucat dan kebiruan di kulit terutama ujung jari
dan bibir. Terdapat napas cuping hidung.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya bayi di rumah sakit karena Bayi Sesak napas berat. Tampak pucat dan
kebiruan di kulit terutama ujung jari dan bibir. Terdapat napas cuping hidung.
3. Riwayat Kesehatan yang Lalu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah kehamilan yang
preterm, ibu diabetes mellitus, kehamilan kembar, seksio cesar, partus presipitatus
setelah perdarahan antepartum, asfiksia pada masa perinatal dan adanya riwayat
sebelumnya ibu yang melahirkan bayi dengan PMH.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi RDS tidak diturunkan
5. Riwayat Sosial
Perkawinan orang tua, pekerjaan, tempat tinggal, orang-orang yang tinggal
serumah,kegemaran, binatang peliharaan
6. Riwayat Psikososial
Pasien tidak ada riwayat psikososial
7. Riwayat Spritual
Pasien berkeyakinan menurut kedua orang tuanya.
8. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan Umum
Sakit Ringan, GCS : 4, 5, 6
Kesadaran : Composimentis
B. Refleks
Moro : ada mengenggam : kuat menangis : kuat mengisap : kuat
C. Tonus/Aktivitas : tenang menangis keras
D. Kulit
o Warna kulit : merah mudah
o Turgor kulit : elastis
o Lanugo : tidak ada
E. Kepala/leher
Frontanel anterior : lunak
F. Mata : normal refleks terhadap cahaya
G. THT : normal
H. Wajah

13
o Gambaran wajah : simetris
o Bibir sumbing : tidak ada
I. Abdomen : tegas
o Lingkar Perut 23 Cm
o Liver : teraba
o Umbilikus : normal
o Bising usus : 5 x/menit
J. Paru-paru
o Suara nafas kiri dan kanan : sama
o Suara nafas : bersih
o Respirasi : spontan
K. Jantung
o Denyut nadi : 130x/menit
o Sianosis saat menangis : tidak ada
L. Genitalia
o Wanita : ya
o Labia dan klitoris : tidak ada masa dan edema
M. Punggung dan Anus
o Punggung : normal
o Meconium : tidak ada
o Anus : paten
N. Ekstermitas
o Gerakan : bebas
o Ekstremitas atas : normal
o Ekstremitas bawah : normal

14
D. Pengkajian Berkelanjutan ( On Going Assessment)
Kontinuitas monitoring kondisi pasien setiap 1-2 jam pada saat kritis,
Selanjutnya sesuai kondisi pasien, yang perlu dikaji :
 Tanda-tanda vital :Tekanan darah,Nadi,Pernafasan dan suhu
 Hemodinamik : Mengidentifikasi perubahan status hemodinamik
secara dini
 Alat-alat yang terpakai oleh pasien saat masuk ICU.
E. Diagnosa Keperawatan :
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan hipoventilasi alveoli,
penumpukancairan di alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli.
2. Ketidakefeektifan pola napas berhubungan dengan pertukaran gas tidak
adekuat,peningkatan secret, penurunan kemampuan untuk oksigenasi,
kelelahan
3. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi aktif.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengankelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea,
anoreksia,penurunan kemampuan finansial.

F. Intevensi Keperawatan :
Diagnosa SIKI SLKI
Gangguan pertukaran gas  Monitor Setelah dilakukan
frekuensi, irama, tindakan keperawatan,
kedalaman, dan mkaa gangguan
upaya napas pertukaran gas meingkat
 Monitor saturasi dengan KH :
oksigen  Dispnea menurun
 Monitor tanda-  Bunyi nafas
tanda tambahan
hipoventilasi menurun
 Monitor integritas  Gelisah menurun
mukosa hidung  Takikardia

15
akibat membaik
pemasangan  Ph arteri membaik
oksigen
 Kolaborasi
penentuan dosis
oksigen
Ketidakefeektifan pola napas  Monitor pola Setelah dilakukan
nafas tindakan keperawatan,
 Monitor bunyi mkaa gangguan
nafas tambahan pertukaran gas meingkat
 Pertahankan dengan KH :
kepatenan jalan  frekuensi
napas pernapasan
 Lakukan normal
penghisapan  irama pernapasan
lender selama 15 normal
detik  kedalaman
 Berikan oksigen inspirasi kisaran
 Kolaborasi normal
pemberian  suara napas
bronkodilator tambahan tidak
ada
 pernapasan
cuping hidung
tidak ada
Hipertermi  identifikasi skala Setelah dilakukan
nyeri tindakan keperawatan,
 identifikasi respon mkaa gangguan
nyeri pertukaran gas meingkat
 kolaborasi dengan KH :
pemberian  tidak tampak kulit
analgesik yang memerah
 tidak terdapat

16
takikardia
 tidak ada hipoksia
 suhu tubuh
membaik
 suhu kulit
membaik
Ketidakseimbangan nutrisi  monitor asupan Setelah dilakukan
kurang dari kebutuhan dan keluarnya tindakan keperawatan,
tubuh makanan dan mkaa gangguan
cairan serta pertukaran gas meingkat
kebutuhan kalori dengan KH :
 timbang BB  kekuatan otot
secara rutin menelan
 kplaborasi dengan meningkat
ahli gizi  nafsu makan
membaik
 BB membaik

17
BAB IV

PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit membran hialin atau sindroma gawat napas bayi baru
lahir adalah suatu penyakit yang menyebabkan kegagalan pernapasan pada
bayi prematur dapat disebabkan karena kekurangan surfaktan. Kekurangan
surfaktan ini menyebabkan kegagalan pengembangan kapasitas residu
fungsional dan kecenderungan paru-paru untuk mengalami atelektasis,
ketidaksesuaian antara ventilasi dan perfusi, hipoksemia, hiperkarbia yang
dapat menyebabkan asidosis respiratorik. Asidosis ini menyebabkan
vasokonstriksi yang merusak integritas endotel dan epitel paru
menghasilkan kebocoran eksudat yang kemudian membentuk suatu
membran hialin.
B. Saran
1. Kepada perawat diharapkan dapat memberikan komunikasi  yang jelas
kepada pasien dalam mempercepat penyembuhan. Berikan pula
Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk
mendapatkan hasil yang maksimal pada pasien membran hialin.
2. Kepada tenaga keperawatan untuk dapat memberikan asuhan
keperawatan kepada klien dengan membran hialin .sesuai dengan
kebutuhan klien.

18
3. Kepada dosen pembimbing dapat memberian penjelasan secara
merinci tentang Askep membra hialin pada neonatus.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges M, Moorhouse M, Geissler A, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan,


EGC: Jakarta
http://fkep.unand.ac.id/images/kgd.pdf

http://www.artikelkeperawatan.info/artikel/askep-gawat-darurat-ards-pdf.html

http://dokumen.tips/documents/askep-gadar-pada-pasien-ards-kelompok-8.html

19
20

Anda mungkin juga menyukai