Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Ny.

Y DENGAN
INKONTINENSIA URIN DI RUANG MELATI RS. HARAPAN BUNDA

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah I yang
diampu oleh Ns. Tina Muzaenah S.Kep., M.Kep
Disusun Oleh :
Aulia Fadilah Utami 1811010059
Fitria Rosana Dewi 1811010060
Nadia Azzah Aulia S 1811010061
Sulastri 1811010062
Uswatun Khasanah 1811010063
Reza Alfianto 1811010064
Abi Wahyu S 1811010065
Devi Nur Fatjrianti 1811010066
Nur Syahrul Safinah 1811010067
Felix Nanda 1811010068
Dinda Sih Wilujeng 1811010069
Anggi Juni Santosa 1811010070
Mega Klaudia Putri L 1811010071

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN DIII


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya. Tidak lupa pula sholawat serta salam
kami panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya
dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti saat ini.
Kami juga menyampaikan terimakasih kepada dosen pengampu mata
kuliah Keperawatan Medikal Bedah Iyang telah membantu dan membimbing
kami dalam menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN INKONTINENSIA”
Kami menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan pada makalah
ini, sehingga kami senantiasa terbuka untuk menerima saran serta kritik pembaca
demi penyempurnaan makalah ini. Kami berharap makalah ini bisa bermanfaat
bagi kita semua, khususnya bagi mahasiswa prodi Keperawatan DIII Universitas
Muhammadiyah Purwokerto

Purwokerto, 19 November 2019

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ................................................................................................. i
Kata Pengantar ................................................................................................... ii
Daftar Isi .............................................................................................................. iii
BAB I Pendahuluan ............................................................................................ 4
A. Latar Belakang ...................................................................................... 5
B. Rumusan Masalah................................................................................. 5
C. Tujuan ................................................................................................... 6
BAB II Tinjauan Teori ....................................................................................... 6
A. Konsep Teori Inkontinensia Urin............................................................. 6
2.1 Pengertian inkontinensia urin ............................................................ 7
2.2 Klasifikasi .......................................................................................... 8
2.3 Etiologi ............................................................................................ 10
2.4 Patofisiologi ....................................................................................... 11
2.5 Manifestasi Klinis .............................................................................. 13
2.6 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................... 12
2.7 Penatalaksanaan ................................................................................. 13
B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Inkontinensia Urin . 15
3.1 Contoh Kasus ..................................................................................... 15
3.2 Analisa Data ....................................................................................... 18
3.3 Diagnosa Keperawatan ...................................................................... 19
3.4 Rencana Tindakan Keperawatan........................................................ 20
BAB III Penutup ................................................................................................. 24
A. Kesimpulan ........................................................................................... 24
B. Saran ..................................................................................................... 24
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
WHO menyatakan bahwa inkontinensia urin merupakan salah satu topic
kesehatan yang cukup besar, diperkirakan lebih dari 200 juta orang diseluruh
dunia mempunyai masalah dalam pengontrolan berkemih (Sinaga, 2011).
Konferensi Konsensus Kesehatan Nasional Amerika (1998) dalam Sinaga
(2011) menyatakan bahwa dua per tiga dari 10 juta orang dewasa yang
mengalami inkontinensia adalah wanita. Seiring dengan bertambahnya usia,
fungsi organ dalam tubuh akan mengalami penurunan, tidak terkecuali pada
sistem genitourinaria. Adanya penurunan fungsi dari sistem genitourinaria ini
dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia. Inkontinensia urin merupakan
salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri.
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut
di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit
mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat
inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Berdasarkan hal tersebut di atas penulis akan membahas mengenai
inkontinensia urin dan alvi pada lansia agar dapat menambah pengetahuan
pembaca serta mampu memberikan penanganan pada lansia yang
mengalaminya, dan khususnya penanganan oleh perawat sebagai tenaga
kesehatan melalui pemberian asuhan keperawatan gerontik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan inkontinensia urin?
2. Apa saja klasifikasi dari inkontinensia urin?
3. Apa etiologi dari inkontinensia urin?
4. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin?
5. Apa tanda dan gejala inkontinensia urin?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang inkontinensia urin?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada lansia dengan inkontinensia urin?

4
8. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada lansia dengan inkontinensia
urin?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian inkontinensia urin.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari inkontinensia urin.
3. Untuk mengetahui etiologi dari inkontinensia urin.
4. Untuk mengetahui patofisiologi inkontinensia urin.
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala inkontinensia urin.
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang inkontinensia urin.
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada lansia dengan inkontinensia urin.
8. Untuk mengetahui dan mampu menerapkan konsep asuhan keperawatan
pada lansia dengan inkontinensia urin.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Teori Inkontinensia Urin


2.1 Pengertian
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang
bersifat sementara atau menetap.Klien tidak dapat mengontrol sfingter
uretra eksterna.Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau
sedikit sedikit (Potter dan Perry, 2005).
Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan
ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap untuk
mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab inkontinensia dapat
berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran,
dan penggunaan obat narkotik atau sedatif.
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan
dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan
karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang
tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit
rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih
yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth,
2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan
frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis
penderitanya (FKUI, 2006).

6
2.2 Klasifikasi
Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat (2006):
Jenis Inkontinensia Urin Definisi

Inkontinensia dorongan Keadaan dimana seseorang mengalami


pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera
setelah merasa dorongan yang kuat setelah
berkemih.
Inkontinensia dorongan ditandai dengan
seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam
sekali) dan spame kandung kemih (Hidayat,
2006). Pasien Inkontinensia dorongan
mengeluh tidak dapat menahan kencing segera
setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan
ini disebabkan otot detrusor sudah mulai
mengadakan kontraksi pada saat kapasitas
kandung kemih belum terpenuhi.
Inkontinensia total Keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak
dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab
inkontinensia total antara lain: disfungsi
neorologis, kontraksi independen dan refleks
detrusor karena pembedahan, trauma atau
penyakit yang mempengaruhi saraf medulla
spinalis, fistula, neuropati.
Inkontinensia stress tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes
dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya
dorongan berkemih, dan sering miksi.
Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot
spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya
urin yang disebabkan meningkatnya tekanan di
abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan

7
abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin,
mengangkat benda yang berat, tertawa.
Inkontinensia reflex Keadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang tidak dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan
oleh adanya kerusakan neurologis (lesi
medulla spinalis). Inkontinensia refleks
ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk
berkemih, merasa bahwa kandung kemih
penuh, dan kontraksi atau spasme kandung
kemih tidak dihambat pada interval teratur
Inkontinensia fungsional keadaan seseorang yang mengalami
pengeluaran urin secara tanpa disadari dan
tidak dapat diperkirakan. Keadaan
inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa
kandung kemih penuh, kontraksi kandung
kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin

2.3 Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar
panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah,
atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air
seni.Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung
kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah
menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU)
antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek
obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi.Jika
terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi

8
antibiotika.Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka
dilakukan terapi estrogen topical.Terapi perilaku harus dilakukan jika
pasien baru menjalani prostatektomi.Dan, bila terjadi impaksi feses, maka
harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan
cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif.Inkontinensia
Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai
sebab.Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus
terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa
diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti
kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab
produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang
sesuai.Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit
kronik, trauma, atau gangguan mobilitas.Untuk mengatasinya penderita
harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi
toilet.Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang
tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena
penyakit yang dideritanya.Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian
atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau
modifikasi jadwal pemberian obat.Golongan obat yang berkontribusi pada
IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis
adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium
antagonik.Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan
sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU.Kafein dan alcohol juga
berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan
diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar
panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas),
menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat
menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama

9
sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar
panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan
jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia
urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia
menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina
dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya
inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau
kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko
mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan
struktur kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).
2.4 Patofisiologi

Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi


dan fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan
lingkungan. Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh
reflek yang berpusat di pusat berkemih disacrum.Jalur aferen membawa
informasi mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo,
2000).

10
Pengendalian kandung kencing dan sfinkter diperlukan agar terjadi
pengeluaran urin secara kontinen. Pengendalian memerlukan kegiatan otot
normal diluar kesadaran dan yang didalam kesadaran yang dikonrdinasi
oleh refleks urethrovsien urinaris. Bila terjadi pengisian kandung kencing
tekanan didalam kandung kemih meningkat. Otot detrusor (lapisan yang
tiga dari dinding kencing) memberikan respon dengan relaksasi agar
memperbesar volume daya tampung. Bila sampai 200 ml urin daya
rentang reseptor yang terletak pada dinding kandung kemih mendapat
rangsangan. Stimulus ditransmisikan lewat serabut reflek eferen ke
lengkungan pusat refleks untuk meksitrurisasi. Impuls kemudian
disalurkan melalui serabut eferen dari lengkungan refleks ke kandung
kemih, menyebabkan kontraksi otot detrusor. Sfinkter interna yang dalam
keadaan normal menutup, serentak bersama sama membuka dan urin
masuk ke uretra posterior. Relaksasi sfinkter eksterna dan otot pariental
mengkuti dan isi kandung kemih keluar. Pelaksanaaan kegiatan refleks
bisa mengalami interupsi dan berkemih ditangguhkan melalui
dikeluarkannya impuls inhibitor dari pusat kortek yang berdampak
kontraksi diluar kesadaran dan sfinkter eksterna. Bila disalah satu bagian
mengalami kerusakan maka akan dapat mengakibatkan inkontenensia
2.5 Manifestasi Klinis
Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (Alimul Azis, 2006)
1) Inkontinensia Dorongan
a) Sering miksi
b) Spasme kandung kemih
2) Inkontinensia total
a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensi kandung kemih.
c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3) Inkontinensia stres
a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
b) Adanya dorongan berkemih.
c) Sering miksi.

11
d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4) Inkontinensia refleks
a) Tidak dorongan untuk berkemih.
b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.
c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada
interval.
5) Inkontinensia fungsional
a) Adanya dorongan berkemih.
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
 Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam
urine.
 Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
ketika pasien berkemih.
 Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih
dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas
intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
 Urografi ekskretorik
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi
struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.Urografi ekskretori
bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien
berkemih.
 Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan
jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

12
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor
resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin,
modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut
misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang
keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain
itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
b. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari
timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran
kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang
dapat dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan kemih
(memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan
distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan
dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.Lansia
dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula
setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia
ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan berkemih pada waktu-
waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia. Promted
voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi
berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia
dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan latihan otot
dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara
berulang-ulang.
Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut
adalah dengan cara : Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan
dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan
ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali. Gerakan seolah-olah
memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali. Hal

13
ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra
dapat tertutup dengan baik.
c. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis,
yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan
terapi diberikan secara singkat.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan
pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic (pada wanita).
e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya
adalah pampers, kateter.
f. Pemantauan Asupan Cairan
Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari
dengan rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari
dengan asumsi tidak ada kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen
dapat membatasi asupan cairan secara tidak tepat untuk mencegah
kejadian-kejadian yang memalukan. Pengurangan asupan cairan
sebelum waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia pada malam hari,
tetapi cairan harus diminum lebih banyak selama siang hari sehingga
total asupan cairan setiap harinya tetap sama.

14
B. Konsep Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Inkontinensia Urin
3.1 Contoh kasus
Klien atas nama Ny. Y umur 50 tahun datang ke Rumah Sakit Z mengatakan
kencingnya lebih dari 10 kali dalam sehari.Klien juga mengatakan dia tidak
bisa menahan kencingnya, karena dia tidak sempat lagi untuk sampai toilet.
klien mengaku dia mengurangi minum agar tidak mengompol lagi. Klien
mengatakan sering menahan haus.Klien mengatakan lecet-lecet pada kulit
kemaluannya.Klien mengatakan malu apabila keluar rumah, karena
mengompol dan bau air kencingnya yang menyengat.sehingga hanya diam
dirumah. Klien sebelumnya pernah mengalami inkontinensia sekitar 6 bulan
yang lalu dan sempat terpasang kateter.TD : 160/90 mmHg, ND : 90x/i, S :
370C, RR : 18x/menit.
1. Pengkajian
Identitas klien
Nama : Ny. Y
Umur : 50 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Suku Bangsa : Serawai
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tidak bekerja
Tgl masuk RS : 1 April 20114
No. Register : 15665
2. Riwayat Kesehatan
Alasan kunjungan/keluhan utama :
Klien datang dengan keluarganya ke RS dengan keluhan ingin BAK terus-
menerus dan tidak bisa ditahan sampai ke toilet.
Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengatakan kencingnya lebih dari 10 kali dalam sehari.Klien juga
mengatakan dia tidak bisa menahan kencingnya, karena dia tidak sempat lagi
untuk sampai toilet. klien mengaku dia mengurangi minum agar tidak

15
mengompol lagi. Klien mengatakan sering menahan haus.Klien mengatakan
lecet-lecet pada kulit kemaluannya.Klien mengatakan malu apabila keluar
rumah, karena mengompol dan bau air kencingnya yang menyengat.sehingga
hanya diam dirumah.

Riwayat kesehatan dulu

Klien mengatakan pernah dirawat di RS dan dipasang kateter.

Riwayat penyakit keluarga


Klien mengatakan keluarganya tidak pernah mengalami penyakit yang sama
sebelumnya, tapi bapak klien pernah mengalami BPH.
2. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : klien tampak lemas, dan gelisah
Pemeriksaan Head To Toe
Kepala
- Bentuk bulat dan simetris
- Ubun–ubun Tidak ada benjolan
- Kulit kepala Kurang Bersih
Rambut
- Penyebaran dan keadaan rambut
Rambut tumbuh merata dan keadaan rambut bersih.Warna rambut sudah
mulai memutih.
- Bau
- Rambut tidak berbau
- Warna kulit Kuning langsat
Wajah
- Warna kulit Kuning langsat
- Struktur wajah Bulat, simetris
Mata
- Kelengkapan dan kesimetrisan. Mata lengkap dan simetris
- Palpebra Tidak ada kelainan
- Konjungtiva dan sklera Konjungtiva merah muda dan sklera putih
- Pupil Isokor
- Cornea dan iris Tidak ada kelainan

16
- Visus Ketajaman penglihatan kurang baik
- Tekanan bola mata Baik
Hidung
- Tulang hidung dan posisi septum nasi Tulang hidung simetris dan posisi
septum nasi di tengah
- Lubang hidung Lubang hidung normal
- Cuping hidung Pernapasan tidak menggunakan cuping hidung
Telinga
- Bentuk Telinga Daun telinga normal dan simetris
- Ukuran telinga Simetris kiri dan kanan
- Lubang Telinga Lubang telinga normal dan kurang bersih
- Ketajaman pendengaran Kurang baik
Mulut dan faring
- Keadaan bibir Kering, simetris
- Keadaan gusi dan gigi Sebagian gigi pasien sudah tidak ada
- Keadaan lidah Lidah kurang bersih
- Orofaring Pita suara kurang baik
Leher
- Normal dan simetris Pemeriksaan integumen
- Kebersihan Kulit tampak bersih
- Kehangatan Hangat
- Warna Warna kulit kuning langsat
- Turgor Turgo kulit tidak elastis, CRT > 2detik
- Kelembaban Kelembaban kulit kurang baik
- Kelainan pada kulit Tidak ada kelainan pada kulit
- Pemeriksaan payudara dan ketiak Tidak dilakukan pemeriksaan
Pemeriksaan toraks / dada
- Bentuk normal, simetris, pernafasan terlihat tidur teratur.
Pemeriksaan paru
- Tidak dilakukan pemeriksaan
Pemeriksaan jantung
- Tidak dilakukan pemeriksaan

17
Pemeriksaan abdomen
- Simetris, tidak ada benjolan
Pemeriksaan muskulokeletal/ekstremitas
(kesimetrisaan, kekuatan, otot, edema
- Otot tampak simetris, tidak ada edema, kekuatan otot lemah Fungsi
motorik
- Pasien tidak dapat berjalan dengan baik Fungsi sensorik
- Pasien dapat merasakan sentuhan, getaran, panas, dingin, dan tajam,
tumpul.

3.2Analisa Data
NO Data Etiologi Masalah
1. DS : Sering berkemih, Perubahan pola
- Klien mengatakan ingin BAK urgensi eliminansi
terus menerus
- Klien mengatakan kencingnya
lebih dari 10 kali dalam sehari.
- Klien juga mengatakan dia
tidak bisa menahan kencingnya
DO:
- Klien sering mengompol
2. DS : Irigasi konstan Kerusakan
- Klien mengatakan nyeri pada oleh urine integritas kulit
saat mengeluarkan urine
Kklien mengatakan lecet pada
kulit area kemaluannya
DO:
Kulit area genitalia tampak
kemerahan

3. DS : Intake dan output Kekurangan


- Klien mengatakan jarang yang tidak adekuat volume cairan
minum agar tidak mengompol

18
- Klien mengatakan sering
menahan haus
DO :
- klien tampak lemas dan letih.
- kulit klien kering, turgor kulit
kembali dalam waktu lebih dari
3 detik. Mukosa mulut klien
keringa.
4 DS: Klien mengatakan malu Keadaan yang Resiko isolasi
apabila keluar rumah, karena memalukan akibat social
mengompol dan bau air mengompol di
kencingnya yang menyengat. depan orang lain
sehingga hanya diam dirumah. atau takut bau
DO: klien tampak gelisah dan urine.
cenderung menarik diri

3.3 Diagnosa Prioritas Keperawatan


1. Kekurangan volum cairan berhubungan dengan intake dan output yang
tidak adekuat
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh
urin
3. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan sering berkemih,
urgensi
4. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan
akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine

19
3.4 Intervensi
1. Kekurangan volum cairan berhubungan dengan intake dan output yang
tidak adekuat
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi selama 2x24 jam diharapkan Klien
menunjukkan hidrasi yang adekuat/ kekurangan cairan dapat diatasi
NO Intervensi Rasional
1. Dapatkan riwayat pasien/ Untuk memperoleh data tentang
orang terdekat sehubungan penyakit pasien, agar dapat
dengan lamanya gejala seperti melakukan tindakan sesuai yang
muntah dan pengeluaran urine dibutuhkan
yang berlebihan

2. 1. Pantau TTV, catat adanya Indicator hidrasi/volum sirkulasi


perubahan TD warna kulit dan dan kebutuhan intervensi.
kelembaban-nya

3. Pantau masukan dan Membandingkan keluaran actual


pengeluaran urine dan yang diantisipasi membantu
dalam evaluasi adanya/ derajat
stasis/ kerusakan ginjal

4 Timbang BB secara berkala Peningkatan BB yang cepat


mungkin berhubungan dengan
retensi
5 Pertahankan untuk Mempertahankan keseimbangan
memberikan cairan paling cairan, memenuhi kebutuhan
sedikit 2500 ml/hari dalam cairan tubuh
batas yang dapat ditoleransi
jantung

20
6 Kolaborasi: Mempertahankan volum sirkulasi,
a. Berikan terapi cairan sesuai meningkatkan fungsi ginjal
indikasi
b. Berikan cairn IV

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh urin


Tujuan : Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam diharapkan kondisi
kulit kembali normal secara berangsur-angsur
NO Intervensi Rasional
1. Berikan perawatan perineal Menjaga kebersihan uretra
dengan air sabun setiap shift.
Jika pasien inkontinensia, cuci
daerah perineal sesegera
mungkin
2. Pantau penampilan kulit Untuk mengidentifikasi kemajuan
periostomal setiap 8 jam. atau penyimpangan dari hasil
yang diharapkan
3. Pertahankan kondisi kulit Peningkatan berat urine dapat
bersih dan kering merusak segel periostomal,
memungkinkan kebocoran urine.
Pemajanan menetap pada kulit
periostomal terhadap asam urine
dapat menyebabkan kerusakan
kulit dan peningkatan resiko
infeksi

3. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan sering berkemih, urgensi


Tujuan : Mengurangi atau mengatasi pola eliminasi agar dapat berkemih
normal
NO Intervensi Rasional
1. Tentukan pola berkemih Biasanya frekuensi dan urgensi
normal pasien dan tentukan meningkat bila kalkulus
variasi mendekati pertemuan uretrovesik
2. Dorong mningkatkan Peningkatan hidrasi membilas

21
pemasukan cairan bakteri, darah,dan debris dan
dapat membantu lewatnya batu
3. kaji keluhan kandung kemih Retensi urine dapat terjadi
penuh, palpasi untuk daerah menyebabkan distensi jaringan
suprapubik dan potensial resiko infeksi, gagal
ginjal
4. Kolaborasi: Menentukan adanya ISK, atau
a. Ambil urine untuk kultur gejala komplikasi
dan uji sensivitas

4. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat


mengompol di depan orang lain atau takut bau urine
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam klien mau
menceritakan keluhannya
NO Intervensi Rasional
1. Yakinkan apakah konseling Memberikan informasi tentang
dilakukan dan atau perlu tingkat pengetahuan pasien /
diversi urinaria, diskusikan orang terdekat tentang situasi
pada saat pertama. individu dan Pasien
menerimanya(contoh;
inkontinensia tak sembuh,
infeksi)

2. Dorong pasien / orang Memberikan kesempatan


terdekat untuk mengatakan menerima isu / salah konsep.
perasaan. Akui kenormalan Membantu pasien / orang terdekat
perasaan marah, depresi, dan menyadari bahwa perasaan yang
kedudukan karena kehilangan. dialami tidak biasa dan bahwa
Diskusikan “peningkatan dan perasaan bersalah pada mereka
penurunan” tiap hari yang tidak perlu / membantu.
dapat terjadi setelah pulang.

3. Perhatikan perilaku menarik Dugaan masalah pada


diri, peningkatan penyesuaian yang memerlukan
ketergantungan, manipulasi evaluasi lanjut dan terapi lebih
atau tidak terlibat pada asuhan efektif
4. Berikan kesempatan untuk Meskipun integrasi stoma ke
pasien / orang terdekat untuk dalam citra tubuh memerlukan
memandang dan menyentuh waktu berbulan-bulan / tahunan,
stoma, gunakan kesempatan melihat stoma dan mendengar
untuk memberikan tanda komentar dapat membantu pasien
positif penyembuhan, dalam penerimaan.
penampilan, normal
5. Berikan kesempatan pada Kemandirian dalam perawatan
klien untuk menerima memperbaiki harga diri
keadaaanya melalui

22
partisipasi dalam perawatan
diri
6. Pertahankan pendekatan Meningkatkan rasa control dan
positif, selama aktivitas memberikan pesan bahwa pasien
perawata, menghindari dapat mengatasinya,
ekspresi menghina atau reaksi meningkatkan harga diri.
mendadak

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urine merupakan keluahan yang banyak dijumpai pada
lanjut usia. Prevalensinya meningakat dengan bertambahnya umur, lebih
banyak didapatkan pada wanita.Inkontinensia alvi lebih jarang ditemukan
dibanding inkontinensia urine. Defekasi, seperti halnya berkemih, adalah
proses fisiologik yang melibatkan koordinasi sistem saraf, respon refleks,
kontraksi otot polos, kesadaran cukup serta kemampuan mencapai tempat
buang air besar. Perubahan-perubahan akibat proses menua dapat
mencetuskan terjadinya inkontinensia, tetapi inkontinensia alvi bukan
merupakan sesuatu yang normal pada lanjut usia. Inkontinensia keadaan
dimana pengeluaran urin atau feses tanpa disadari, dalam batas dan yang
cukup sehigga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan kesehatan atau
social.Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih
yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urine
terjadi akibat kelainan inflamasi ( sistitis ), mungkin sifatnya hanya sementara.
Namun , jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologis yang serius (
paraplegia ), kemungkinan besar bersifat permanen.

B. Saran
Mungkin dalam pembuatan makalah ini banyak hal yang harus diperbaiki,
banyak kekeliruan yang harus disempurnakan maka dari itu kritik dan saran
yang membangun sangat kami dinantikan. Kemudian dengan adanya makalah
ini diharapkan pembaca dapat lebih memahami tentang inkontinensia urine
sehingga bisa mengenali lebih dini penyakit tersebut dan bisa mencegah
terjadinya inkontinensia yang lebih parah.ainkontinensia uri

24
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol
1. Jakarta: EGC.
Hariyati, Tutik S. 2000. Hubungan antara bladder retraining dengan proses
pemulihan inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi
=lokal pada tanggal 15 November 2019.
Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Proses Dan
Praktik. Ed. 4.Jakarta: EGC.
Rochani.2002. Penduduk Indonesia Idap Inkontinensia Urin.Diakses dari
http://www.pdpersi.co.id pada tanggal 15 November 2019.
Taylor, Cynthia M. 2010. Diagnose Keperawatan: dengan Rencana Asuhan.
Jakarta:EGC

25

Anda mungkin juga menyukai