Dosen :
OLEH:
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “ASKEP INKONTINENSIA URINE”. Keberhasilan dalam
pembuatan makalah ini juga tidak lepas dari bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Kelompok x
Inkotinensia urine ii
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Inkotinensia urine 2
1.3 Manfaat
Penulisan makalah ini sangat diharapkan bermanfaat bagi seluruh
pembaca dan penulis untuk mengetahui dan menambah wawasan
tentang Konsep Teori dan Asuhan Keperawatan, terutama Asuhan
Keperawatan pada klien dengan Neurogenic Bladder.
Inkotinensia urine 3
BAB II
KONSEP PENYAKIT
2.1 Definisi
Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai
bahasa awam merupakan salah satu keluhan utama pada penderita
lanjut usia. Inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari
dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan
masalah gangguan kesehatan dan sosial. Variasi dari inkontinensia urin
meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar
banyak, bahkan terkadang juga disertai inkontinensia alvi (disertai
pengeluaran feses) (brunner, 2011).
Inkontinensia urin (IU) oleh International Continence Society (ICS)
didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau
dikontrol; secara objektif dapat diperlihatkan dan merupakan suatu
masalah sosial atau higienis. Hal ini memberikan perasaan tidak nyaman
yang menimbulkan dampak terhadap kehidupan sosial, psikologi,
aktivitas seksual dan pekerjaan. Juga menurunkan hubungan interaksi
sosial dan interpersonal. Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau
persisten. Inkontinensia urin yang bersifat akut dapat diobati bila penyakit
atau masalah yang mendasarinya diatasi seperti infeksi saluran kemih,
gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, rangsangan obat–obatan dan
masalah psikologik.
Inkotinensia urine 4
2.2 Etiologi
Inkontinensia urine pada umumnya disebabkan oleh komplikasi
dari penyakit seperti infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter
dan perubahan tekanan yang tiba-tiba pada abdominal.
Kelainan klinik yang erat hubungannya dengan gejala
inkontinensia urine antara lain :
a. Kelainan traktus urinearius bagian bawah
Infeksi, obstruksi, kontraktiltas kandung kemih yang berlebihan,
defisiensi estrogen,kelemahan sfingter, hipertropi prostat.
b. Usia
Seiring bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar
panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang
salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat
menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari
dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi
sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
c. Kelainan neurologis
Otak (stroke, alzaimer, demensia multiinfark, parkinson, multipel
sklerosis), medula spinalis (sklerosis servikal atau lumbal, trauma,
multipel sklerosis), dan persarafan perifer (diebetes neuropati, trauma
saraf).
d. Kelainan sistemik
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab
produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai.
Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik,
Inkotinensia urine 5
trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus
diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.
e. Kondisi fungsional
Inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar
panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas),
menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat
menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama
sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar
panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta
robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada
wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan
tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain
adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan
lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua
seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia
urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar
panggul.
f. Efek samping pengobatan
Diuretik, antikolionergik, narkotika, kalsium chanel bloker,
inhibitor kolinestrase.
2.5 terapi
Pengobatan inkontinensia urine:
Inkotinensia urine 8
Di lakukan langsung kedalam otot kandung kemih yang terlalu aktif.
Pemasangan cincin pasarium
Digunkan untuk mencegah turunya rahim yang bisa mengakibatkan
inkontinensia urine
Oprasi
Dilakukan jika metode pengobatan non bedah tidak efektif untuk
mengobati inkontinensia urine
BAB III
3.1 Pengkajian
a. Identitas klien
Inkotinensia urine 9
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
alamat, suku bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan
diagnosa medis.
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu
yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan),
masukan cairan, usia/kondisi fisik, kekuatan dorongan/aliran jumlah
cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan
diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah
terjadi ketidakmampuan.
2) Riwayat kesehatan dahulu.
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya,
riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran
kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
3) Riwayat kesehatan keluarga.
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita
penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit
bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan
karena respon dari terjadinya inkontinensia.
2) Pemeriksaan Sistem
Inkotinensia urine 10
a) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis
karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah
kelainan pada perkusi.
b) B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan
gelisah
c) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d) B4 (bladder)
Inspeksi
Palpasi
Inkotinensia urine 11
e) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya
nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
f) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya
dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
Inkotinensia urine 12
menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa
buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampak
(trabekulasi). Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang
apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi,
sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis
dan disfungsi saluran kemih atas.
Inkotinensia urine 13
4. Memantau
tingkat distensi
kandung kemih
dengan palpasi
atau perkusi
5. Bantu
dengan toilet
secara berkala
6. Kateterisasi
II Body image Body image 1. kaji secara
Kriteria Hasil: enhancement verbal dan non
1. Body image verbal respon klien
positif terhadap tubuhnya
2. Mampu 2. jelaskan
mengidentifikasi tentang
kekuatan pengobatan dan
personal perawatan
3. Mendeskrip penyakit
sikan secara 3. identifikasi
factual perubahan arti pengurangan
fungsi tubuh melalui pemakaian
4. Mempertaha alat bantu.
nkan interaksi 4. Fasilitasi
sosial kontak dengan
individu lain dalam
kelompok lain
Inkotinensia urine 14
III Anxiety self Anxiety 1. Gunakan
control reduction pendekatan yang
Kriteria hasil: (penurunan menenangkan.
1. klien kecemasan) 2. Jelaskan
mampu semua prosedur
mengidentifikasi dan apa yang
dan dirasakan selama
mengungkapkan prosedur.
gejala cemas. 3. Pahami
2. Mengidentifi prespektif klien
kasi, terhadap situasi
mengungkapakan stress.
dan menunjukkan 4. Temani
teknik untuk pasien untuk
mengontrol memberikan
cemas. keamanan dan
3. Postur mengurangi takut.
tubuh, ekspresi 5. Dorong
wajah, bahasa keluarga untuk
tubuh dan tingkat menemani pasien.
aktifitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan.
Intervensi keperawatan Gangguan eliminasi urine dapat diatasi
dengan membebaskan pasien dari retensi urine pemasangan kateter,
selanjutnya dilakukan pembedahan terbuka. Dalam hal ini peneliti tidak
Inkotinensia urine 15
banyak melakukan intervensi keperawatan karena mengikuti tindakan
diruangan yang sudah direncanakan oleh ruangan. Pada saat sebelum
operasi, peneliti tidak melakukan pemasangan kateter karena sudah
terpasang kateter dari sebelum masuk rumah sakit. Sehingga peneliti
dalam melakukan rencana asuhan keperawatan telah merencanakan
yang akan dilakukan pada klien yaitu mengkaji keluhan klien tentang
BAK nya, mengobservasi (warna, jumlah, frekuensi urine), menjelaskan
menyebab dan perubahan pola eliminasi urine, menjelaskan pada klien
dan keluarga klien tentang penanganan pembedahan sesuai program
dokter, mengkolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat.
Sedangkan untuk rencana asuhan keperawatan setelah operasi peneliti
telah merencanakan yang akan dilakukan pada klien yaitu mengkaji
klien tentang keluhan BAK nya, mengobservasi (warna, jumlah,
frekuensi urine), menganjurkan pasien minum air putih ± 2000
cc/hari bila tidak ada kontra indikasi, melakukan perkusi/palpasi pada
area supra pubik, mengolaborasikan dengan dokter untuk pemberian
obat (Wijaya & putri,2013).
Inkotinensia urine 16
dalam melakukan implementasi, peneliti juga mengajarkan pada keluarga
klien mengenai monitoring system kateter/ drainase pasca pembedahan
selama irigasi pada klien karena tidak selalu waktu perawat dapat
megganti cairan irigasi tepat waktu. Pada klien 1 dan klien 2 hari ke tiga
intervensi sudah dihentikan sebab klien direncanakan pulang dengan
hasil implementasi gangguan eliminasi urine (retensi urine) telah
teratasi, selanjutnya memberikan edukasi yaitu pasien diajarkan untuk
mengurangi kegiatan yang berat, minum yang banyak, tidak boleh terlalu
banyak makan makanan yang berlemak, dan menjaga kebersihan selang
kateter.
tekan pada area supra pubik atau distensi. Sedangkan untuk klien 2
keadaan umum baik, kesadaran komposmentis, GCS 4,5,6, klien
terpasang kateter no.16 dengan warna urine kuning bening, balance
cairan 840ccdengan irigasi: sudah kolf ke 22 /500cc, intake: minum
Inkotinensia urine 17
air putih 1 botol besar/ 1500cc, TTV: TD: 120/80 mmHg N:
85x/menit, RR
Inkotinensia urine 18
BAB 4
4.1 Kesimpulan
Hasil asuhan keperawatan pada klien 1 dan klien 2 yang
mengalami BPH dengan gangguan eliminasi urine di RSU. Wahidin
Sudiro Husodo Kota Mojokerto selama 3 hari bahwa: Pengkajian pre op
yang didapatkan kesamaan pada klien 1 dan klien 2 mengeluh susah
BAK, nyeri saat BAK didaerah bladder, ketidak puasan saat berkemih.
Dan pada post op juga didapatkan kesamaan pada klien 1 dan klien 2
tidak ada keluhan mengenai eliminasi urine, karakteristik dari urine saat
dilakukan drinase berwarna kuning bening sedikit kemerahan. Diagnosa
keperawatan pada klien 1 dan klien 2 yaitu gangguan eliminasi urine
(retensi urine) berhubungan dengan hyperplasia. Intervensi yang
dilakukan peneliti adalah mengobservasi warna, jumlah, frekuensi urine,
menjelaskan penyebab dan perubahan pola eliminasi urine.
Inkotinensia urine 19
4.2 Saran
Selama dalam perawatan di harapkan klien tetap mengikuti
prosedur perawatan yang diterima, menghindari dan menerapkan hal-hal
yang mampu memperparah penyakitnya seperti menghindari konsumsi
makanan dan minumn yang menjadi pantangan, banyak minum air
putih dan mengurangi melakukan pekerjaan berat yang berlebih.
Inkotinensia urine 20
DAFTAR PUSTAKA
Amin Huda Nurarif & Hardhi Kusuma. (2015). NANDA NIC-NOC Jilid 1.
Jogjakarta: Mediaction Jogja.
Ns. Andra Saferi Wijaya & Ns. Yessie Mariza Putri. (2017). KMB
1
Inkotinensia urine 22
Nanda. 2009. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
Potter, Patricia A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Proses dan
praktik. Ed. 4. Jakarta: EGC
Rochani. (2002). Penduduk indonesia idap inkontinensia urin. Diakses dari
http://www.pdpersi.co.id pada tanggal 19 Mei 2014
Uliyah, Musfiratul. 2008. Ketrampilan Dasar praktik Klinik. Jakarta : Salemba
Medika
Wilkinson M Judith. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan
Inkotinensia urine 23
Inkotinensia urine 24