Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

ASKEP INKONTINENSIA URINE

Dosen :

Ns. Risqi wahyu Susanti S.Kep., M.Kep

OLEH:

FIRA FITRI SAHRIDANI (182431999)

LISYA AULIA MARCELLA (182432009)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN DIPLOMA III

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SEMBILANBELAS NOVEMBER KOLAKA

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “ASKEP INKONTINENSIA URINE”. Keberhasilan dalam
pembuatan makalah ini juga tidak lepas dari bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, untuk itu kami ucapkan terima kasih.

Kami berharap semoga dengan adanya makalah ini dapat


berguna bagi orang yang membacanya. Kami sadar bahwa dalam
pembuatan makalah ini belum sempurna, untuk itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Serta
semoga makalah ini tercatat menjadi motivator bagi kami untuk
penulisan makalah yang lebih baik dan bermanfaat.

Kolaka,25 November 2019

Kelompok x

Inkotinensia urine ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1 Latar belakang ...................................................................................... 1
1.2 Tujuan Umum ....................................................................................... 2
1.3 Manfaat ............................................................................................... 3
BAB II KONSEP PENYAKIT .......................................................................... 4
2.1 Definisi ................................................................................................. 4
2.2 Etiologi ................................................................................................ 5
2.3 Tanda dan gejala .................................................................................. 6
2.4 Patofisiologis dan WOC ....................................................................... 7
2.5 terapi .................................................................................................... 8
BAB III KONSEP TEORI ASKEP ................................................................. 10
3.1 Pengkajian .......................................................................................... 10
3.2 Diagnosa keperawatan ....................................................................... 12
3.3 Intervensi Keperawatan ..................................................................... 13
3.4 Implementasi Keperawatan ................................................................ 16
3.5 Evaluasi Keperawatan ........................................................................ 17
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 19
4.1 Kesimpulan ......................................................................................... 19
4.2 Saran ................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 21

Inkotinensia urine iii


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit
yang sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi
inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan
20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami
inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia
urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini
angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pria.
Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi
saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan
predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak
menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal
proses menua
Beberapa perubahan berkaitan dengan lanjut usia dan keadaan
patologik yang sering terjadi pada lanjut usia daapat mendukung
terjadinya inkontinensia. Inkontinensia urin mempunyai kemungkinan
besar untuk sembuhkan terutama pada penderita dengan mobilitas dan
status mental yang cukup baik. Bahkan bila tidak dapat diobati sempurna,
inkontinensia selalu dapat diupayakan lebih baik, sehingga kualitas hidup
penderita dapat ditingkatkan dan meringankan beban yang ditanggung
oleh mereka yang merawat penderita.
Umumnya penderita usia lanjut merasa segan dan malu untuk
membicarakan inkontinensia yang mereka derita, adalah penting untuk
terus memantau gejala ini.
Inkotinensia urine 1
1.2 Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran mata kuliah Keperawatan
Perkemihan I diharapkan mahasiswa semester 6 dapat mengerti dan
memahami konsep teori dan asuhan keperawatan pada klien dengan
Neurogenic Bladder dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan.
1. Untuk mengetahui definisi dari Inkontinensia urine
2. Untuk mengetahui Klasifikasi dari Inkontinensia urine
3. Untuk mengetahui etiologi dari Inkontinensia urine
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Inkontinensia urine
5. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic dari Inkontinensia urine
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan untuk Inkontinensia urine
7. Untuk mengetahui patofisiologi/ WOC Inkontinensia urine
8. Untuk mengetahui pencegahan dari Inkontinensia urine
9. Untuk mengetahui komplikasi Inkontinensia urine
10. Untuk mengetahi prognosis Inkontinensia urine
11. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan
Inkontinensia urine

Inkotinensia urine 2
1.3 Manfaat
Penulisan makalah ini sangat diharapkan bermanfaat bagi seluruh
pembaca dan penulis untuk mengetahui dan menambah wawasan
tentang Konsep Teori dan Asuhan Keperawatan, terutama Asuhan
Keperawatan pada klien dengan Neurogenic Bladder.

Inkotinensia urine 3
BAB II

KONSEP PENYAKIT

2.1 Definisi
Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai
bahasa awam merupakan salah satu keluhan utama pada penderita
lanjut usia. Inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari
dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan
masalah gangguan kesehatan dan sosial. Variasi dari inkontinensia urin
meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar
banyak, bahkan terkadang juga disertai inkontinensia alvi (disertai
pengeluaran feses) (brunner, 2011).
Inkontinensia urin (IU) oleh International Continence Society (ICS)
didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau
dikontrol; secara objektif dapat diperlihatkan dan merupakan suatu
masalah sosial atau higienis. Hal ini memberikan perasaan tidak nyaman
yang menimbulkan dampak terhadap kehidupan sosial, psikologi,
aktivitas seksual dan pekerjaan. Juga menurunkan hubungan interaksi
sosial dan interpersonal. Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau
persisten. Inkontinensia urin yang bersifat akut dapat diobati bila penyakit
atau masalah yang mendasarinya diatasi seperti infeksi saluran kemih,
gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, rangsangan obat–obatan dan
masalah psikologik.

Inkotinensia urine 4
2.2 Etiologi
Inkontinensia urine pada umumnya disebabkan oleh komplikasi
dari penyakit seperti infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter
dan perubahan tekanan yang tiba-tiba pada abdominal.
Kelainan klinik yang erat hubungannya dengan gejala
inkontinensia urine antara lain :
a. Kelainan traktus urinearius bagian bawah
Infeksi, obstruksi, kontraktiltas kandung kemih yang berlebihan,
defisiensi estrogen,kelemahan sfingter, hipertropi prostat.
b. Usia
Seiring bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar
panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang
salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat
menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari
dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi
sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
c. Kelainan neurologis
Otak (stroke, alzaimer, demensia multiinfark, parkinson, multipel
sklerosis), medula spinalis (sklerosis servikal atau lumbal, trauma,
multipel sklerosis), dan persarafan perifer (diebetes neuropati, trauma
saraf).
d. Kelainan sistemik
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab
produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai.
Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik,

Inkotinensia urine 5
trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus
diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.
e. Kondisi fungsional
Inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar
panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas),
menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat
menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama
sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar
panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta
robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada
wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan
tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain
adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan
lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua
seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia
urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar
panggul.
f. Efek samping pengobatan
Diuretik, antikolionergik, narkotika, kalsium chanel bloker,
inhibitor kolinestrase.

2.3 Tanda dan gejala


 Melaporkan merasa desakan berkemih, di tandai ketidak mampuan
mencapai kamar mandi karena memulai berkemih
Inkotinensia urine 6
 Desakan,frekuensi, dan nokturia
 Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine
ketika tertawa, bersin, melompat, batuk, atau membungkuk.
 Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urine buruk atau lambat
dan merasa menunda atau mengejan.
 Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urine
yang adekuat.
 Higiene atau tanda-tanda infeksi.
 Kandung kemih terletak diatas simfisis pubis.

2.4 Patofisiologis dan WOC


Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari
penyakit infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya
perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat
permanen misalnya pada spinal cord trauma atau bersifattemporer pada
wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat berakibat
terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi
pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan
masalah bagi lanjut usia.
- Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan
sebagainya. Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia
stres.
- Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin
dengan gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih
- Enuresis nokturnal: 10% anak usia 5 tahun dan 5% anak usia10
tahun mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih
tua merupakan sesuatu yan abnormal dan menunjukkan adanya
kandung kemih yang tidak stabil.
Inkotinensia urine 7
- Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi
(pancaran lemah, menetes), trauma (termasuk pembedahan,
misalnya reseksi abdominoperineal), fistula (menetes terus
menerus), penyakit neurologis (disfungsi seksual atau usus besar)
atau penyakit sistemik (misalnya diabetes) dapat menunjukkan
penyakit yang mendasari.

2.5 terapi
Pengobatan inkontinensia urine:

Perubahan gaya hidup, mengurangi berat baan dan membatasialkohol


serta kafein,akan membantu proses pengobatan.
Melakukan latihan dasar panggul.
Melakukan latihan kandung kemih.
Menggunakan bantalan penyerap.
Pengobatan dengan resep dokter yang biasanya perupa duloxetine,
antimuscarinik, mirabegron,desmopressin.

Adapun pengobatan yang lain seperti:


 Pembedahan seperti prosedur tape atau sling untuk inkontinensia
urine. Terapi memperkuat otot dasar panggul
Tujuanya adalah untuk meningkatka kendaliatas aliran urine.
Terapi ini dapat dilakukan dengan latihan menahan buang air kecil,
senam kegel,atau menjadwalkan waktu buang air kecil.
 Obat menghambat alfa
Diberikan untuk mengurangi kontraksi otot panggul dan kelenjar
prostat.
 Suntik botox

Inkotinensia urine 8
Di lakukan langsung kedalam otot kandung kemih yang terlalu aktif.
 Pemasangan cincin pasarium
Digunkan untuk mencegah turunya rahim yang bisa mengakibatkan
inkontinensia urine
 Oprasi
Dilakukan jika metode pengobatan non bedah tidak efektif untuk
mengobati inkontinensia urine

BAB III

KONSEP TEORI ASKEP

3.1 Pengkajian
a. Identitas klien

Inkotinensia urine 9
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
alamat, suku bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan
diagnosa medis.
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu
yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan),
masukan cairan, usia/kondisi fisik, kekuatan dorongan/aliran jumlah
cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan
diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah
terjadi ketidakmampuan.
2) Riwayat kesehatan dahulu.
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya,
riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran
kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
3) Riwayat kesehatan keluarga.
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita
penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit
bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.

c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan
karena respon dari terjadinya inkontinensia.
2) Pemeriksaan Sistem

Inkotinensia urine 10
a) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis
karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah
kelainan pada perkusi.
b) B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan
gelisah
c) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d) B4 (bladder)
 Inspeksi

Periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau


menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri)
dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila
ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi
pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien
terpasang kateter sebelumnya.

 Palpasi

Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis,


seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat
juga di luar waktu kencing.

Inkotinensia urine 11
e) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya
nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
f) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya
dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.

3.2 Diagnosa keperawatan


a. Gangguan eliminasi urine b/d gangguan sensori motor.
b. Gangguan citra tubuh b/d kehilangan fungsi tubuh, perubahan
keterlibatan sosial.
c. Ansietas b/d perubahan dalam status kesehatan.
Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan oleh peneliti
terdapat diagnose yang sesuai dengan batasan karakteristik, diagnisa
keperawatan kedua klien adalah gangguan eliminasi urine (retensi
urine) berhubungan dengan hyperplasia, penyempitan dinding ureter,
peningkatan tekanan uretra tanda dan gejala kedua klien yaitu klien
mengatakan susah BAK, mengalami pengosongan pada bladder tidak
sempurna. Pada kedua klien susah BAK dirasakaan saat ingin
berkemih.

Menurut Mansjoer Arif, 2003 (Amin Huda Nurarif & Hardhi


Kusuma, 2015) pembesaran prostat terjadi secara pelahan- lahan
pada traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat
sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan retensi
uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi
dengan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya serat detrusor akan

Inkotinensia urine 12
menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa
buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampak
(trabekulasi). Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang
apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi,
sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis
dan disfungsi saluran kemih atas.

3.3 Intervensi Keperawatan


Diagnosa Criteria hasil Intervensi Aktivitas NIC
keperawatan berdasarkan NOC keperawatan
berdasarkan
NIC

I Urinary Urinary 1. Lakukan


contiunence retention care penilaian kemih
Kriteria Hasil: yang komprehensif
1. Kandung kemih berfokus pada
kosong secara inkontinensia(misal
penuh. nya, output urin,
2. Tidak ada pola berkemih,
residu urine >100- fungsikognitif)
200 cc. 2. Pantau
3. Intake cairan penggunaan obat
dalam rentang dengan sifat
normal. antikolinergik
4. Balance cairan 3. Memantau
seimbang. intake dan output

Inkotinensia urine 13
4. Memantau
tingkat distensi
kandung kemih
dengan palpasi
atau perkusi
5. Bantu
dengan toilet
secara berkala
6. Kateterisasi
II Body image Body image 1. kaji secara
Kriteria Hasil: enhancement verbal dan non
1. Body image verbal respon klien
positif terhadap tubuhnya
2. Mampu 2. jelaskan
mengidentifikasi tentang
kekuatan pengobatan dan
personal perawatan
3. Mendeskrip penyakit
sikan secara 3. identifikasi
factual perubahan arti pengurangan
fungsi tubuh melalui pemakaian
4. Mempertaha alat bantu.
nkan interaksi 4. Fasilitasi
sosial kontak dengan
individu lain dalam
kelompok lain

Inkotinensia urine 14
III Anxiety self Anxiety 1. Gunakan
control reduction pendekatan yang
Kriteria hasil: (penurunan menenangkan.
1. klien kecemasan) 2. Jelaskan
mampu semua prosedur
mengidentifikasi dan apa yang
dan dirasakan selama
mengungkapkan prosedur.
gejala cemas. 3. Pahami
2. Mengidentifi prespektif klien
kasi, terhadap situasi
mengungkapakan stress.
dan menunjukkan 4. Temani
teknik untuk pasien untuk
mengontrol memberikan
cemas. keamanan dan
3. Postur mengurangi takut.
tubuh, ekspresi 5. Dorong
wajah, bahasa keluarga untuk
tubuh dan tingkat menemani pasien.
aktifitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan.
Intervensi keperawatan Gangguan eliminasi urine dapat diatasi
dengan membebaskan pasien dari retensi urine pemasangan kateter,
selanjutnya dilakukan pembedahan terbuka. Dalam hal ini peneliti tidak

Inkotinensia urine 15
banyak melakukan intervensi keperawatan karena mengikuti tindakan
diruangan yang sudah direncanakan oleh ruangan. Pada saat sebelum
operasi, peneliti tidak melakukan pemasangan kateter karena sudah
terpasang kateter dari sebelum masuk rumah sakit. Sehingga peneliti
dalam melakukan rencana asuhan keperawatan telah merencanakan
yang akan dilakukan pada klien yaitu mengkaji keluhan klien tentang
BAK nya, mengobservasi (warna, jumlah, frekuensi urine), menjelaskan
menyebab dan perubahan pola eliminasi urine, menjelaskan pada klien
dan keluarga klien tentang penanganan pembedahan sesuai program
dokter, mengkolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat.
Sedangkan untuk rencana asuhan keperawatan setelah operasi peneliti
telah merencanakan yang akan dilakukan pada klien yaitu mengkaji
klien tentang keluhan BAK nya, mengobservasi (warna, jumlah,
frekuensi urine), menganjurkan pasien minum air putih ± 2000
cc/hari bila tidak ada kontra indikasi, melakukan perkusi/palpasi pada
area supra pubik, mengolaborasikan dengan dokter untuk pemberian
obat (Wijaya & putri,2013).

3.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi yang komprehensif merupakan tindakan dari rencana
yang telah disusun pada tahap-tahap perencanaan dapat terwujud
dengan baik apabila berdasarkan diagnose keperawatan, jenis tindakan,
atau pelaksanaan bisa dikerjakan oleh perawat itu sendiri, kolaborasi
sesame tim / kesehatan lain dan rujukan dari profesi lain (Mubarak &
chayatin, 2012).

Intervensi sudah dapat di implementasikan oleh peneliti dengan baik


selama 3 hari, semua intervensi sudah dilakukan oleh peneliti. Namun

Inkotinensia urine 16
dalam melakukan implementasi, peneliti juga mengajarkan pada keluarga
klien mengenai monitoring system kateter/ drainase pasca pembedahan
selama irigasi pada klien karena tidak selalu waktu perawat dapat
megganti cairan irigasi tepat waktu. Pada klien 1 dan klien 2 hari ke tiga
intervensi sudah dihentikan sebab klien direncanakan pulang dengan
hasil implementasi gangguan eliminasi urine (retensi urine) telah
teratasi, selanjutnya memberikan edukasi yaitu pasien diajarkan untuk
mengurangi kegiatan yang berat, minum yang banyak, tidak boleh terlalu
banyak makan makanan yang berlemak, dan menjaga kebersihan selang
kateter.

3.5 Evaluasi Keperawatan


Setelah klien mendapatkan asuhan keperawatan selama 3x24 jam
masalah gangguan eliminasi urine (retensi urine) teratasi, hal ini
disebabkan klien mendapatkan tindakan pembedahan TUR-P dan terapi
farmakolgi. Selain itu kepatuhan klien dalam mengikuti setiap prosedur
perawatan akan berpengaruh besar dalam kesembuhan klien. Hal ini
dibuktikan dengan pada klien 1 keadaan umum baik, kesadaran
komposmentis, GCS 4,5,6, klien terpasang kateter no.16 dengan warna
urine kuning bening, balance cairan 940cc dengan irigasi : sudah kolf ke
24 /500cc, intake: minum air putih 2 botol besar/ 1500cc, TTV: TD:

120/80 mmHg, N: 92x/menit , RR:20x/menit, S: 360C, dan tidak


ada nyeri

tekan pada area supra pubik atau distensi. Sedangkan untuk klien 2
keadaan umum baik, kesadaran komposmentis, GCS 4,5,6, klien
terpasang kateter no.16 dengan warna urine kuning bening, balance
cairan 840ccdengan irigasi: sudah kolf ke 22 /500cc, intake: minum

Inkotinensia urine 17
air putih 1 botol besar/ 1500cc, TTV: TD: 120/80 mmHg N:
85x/menit, RR

Inkotinensia urine 18
BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Hasil asuhan keperawatan pada klien 1 dan klien 2 yang
mengalami BPH dengan gangguan eliminasi urine di RSU. Wahidin
Sudiro Husodo Kota Mojokerto selama 3 hari bahwa: Pengkajian pre op
yang didapatkan kesamaan pada klien 1 dan klien 2 mengeluh susah
BAK, nyeri saat BAK didaerah bladder, ketidak puasan saat berkemih.
Dan pada post op juga didapatkan kesamaan pada klien 1 dan klien 2
tidak ada keluhan mengenai eliminasi urine, karakteristik dari urine saat
dilakukan drinase berwarna kuning bening sedikit kemerahan. Diagnosa
keperawatan pada klien 1 dan klien 2 yaitu gangguan eliminasi urine
(retensi urine) berhubungan dengan hyperplasia. Intervensi yang
dilakukan peneliti adalah mengobservasi warna, jumlah, frekuensi urine,
menjelaskan penyebab dan perubahan pola eliminasi urine.

perkusi/palpasi area supra pubik. Implementasi dilakukan sesuai


dengan rencana asuhan, namun peneliti menambahkan edukasi kapada
keluarga pasien mengenai monitoring system kateter/ drainase selama
irigasi pasca bedah, dan ditambahkan pemberian HE serta pemberian
motivasi untuk klien agar tidak terbiasa menahan BAK. Evaluasi pada
klien 1 dan klien 2 masalah teratasi pada hari ke 2 post operasi, dengan
keadaan pasien baik, kesadaran komposmentis, GCS: 4,5,6 serta
tidak ada keluhan dari klien 1 dan klien 2.

Inkotinensia urine 19
4.2 Saran
Selama dalam perawatan di harapkan klien tetap mengikuti
prosedur perawatan yang diterima, menghindari dan menerapkan hal-hal
yang mampu memperparah penyakitnya seperti menghindari konsumsi
makanan dan minumn yang menjadi pantangan, banyak minum air
putih dan mengurangi melakukan pekerjaan berat yang berlebih.

Inkotinensia urine 20
DAFTAR PUSTAKA

Amin Huda Nurarif & Hardhi Kusuma. (2015). NANDA NIC-NOC Jilid 1.
Jogjakarta: Mediaction Jogja.

Amin Huda Nurarif, H. K. (2016). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan NANDA NIC- NOC Jilid 1.
Jogjakarta: Mediaction Jogja.

Barbara Kozier, d. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,


Proses, & Praktik. Volume 2. Ed 7. Jakarta: EGC.

Brunner & Suddarth . (2001). Keperawatan Medical Bedah. Jakarta: EGC.

Carpenito, L. J. (2009). Diadnosis Keperawatan: Aplikasi Pada Praktik


Klinis, Ed. 9. Jakarta: EGC

Nanda Internasional Inc. (2015). Diagnosis Keperawatan: definisi &


klasifikasin2015-2017. Jakarta: EGC.

Ns. Andra Saferi Wijaya & Ns. Yessie Mariza Putri. (2017). KMB
1

Nursalam, D. (2006). Asuhan Keperawatan pad Pasien dengan Gangguan


Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

PPNI, t. P. (2017). Standar diaknosa keprawatan indonesia Diagnosis


Keperawatan Indonesia . Jakarta: DPP PPNI.

Prabowo, E. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan . Yogyakarta:


Nuha Medika.
Inkotinensia urine 21
Pusrwanto, H. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: Pusdik SDM
Kesehatan.

Tarwoto, w. (2010). Kebutuhan Dasar Mansia dan Proses Keperawatan.


Jakarta: Salemba Medika.

Wilkinson, J. M. (2016). Diagnosis Keperawatan: diagnosis NANDA-I,


intervensi NIC, hasil NOC, Ed 10. Jakarta: EGC.

Pusrwanto, H. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: Pusdik SDM


Kesehatan.

Tarwoto, w. (2010). Kebutuhan Dasar Mansia dan Proses Keperawatan.


Jakarta: Salemba Medika.

Wilkinson, J. M. (2016). Diagnosis Keperawatan: diagnosis NANDA-I,


intervensi NIC, hasil NOC, Ed 10. Jakarta: EGC.

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta


: Salemba Medika.
Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses
pemulihan inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses
dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=
76387&lokasi=lokal pada tanggal 19 Mei 2014
Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi
konsep dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika

Inkotinensia urine 22
Nanda. 2009. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
Potter, Patricia A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Proses dan
praktik. Ed. 4. Jakarta: EGC
Rochani. (2002). Penduduk indonesia idap inkontinensia urin. Diakses dari
http://www.pdpersi.co.id pada tanggal 19 Mei 2014
Uliyah, Musfiratul. 2008. Ketrampilan Dasar praktik Klinik. Jakarta : Salemba
Medika
Wilkinson M Judith. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan

Inkotinensia urine 23
Inkotinensia urine 24

Anda mungkin juga menyukai