Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 1

” INKONTINENSIA URIN ”
Dosen Pengampuh : Indriono Hadi, S.Kep.,Ns.,M.Kes

Disusun Oleh :
Kelompok 10

Wulandari ( P00320022062 )
Widi Asmaidar ( P003200220
Riswan ( P00320022076 )
Ruslan ( P00320022089 )

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan


segala rahmat, hidayah dan petunjuk-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penulisan makalah ini.
Kami menyusun makalah ini guna melengkapi tugas dan memenuhi tugas
“Keperawatan Medikal Bedah 1” Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
dan dorongan dari beberapa pihak.
Kami mengharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, segala saran dan kritik atas kekurangan makalah ini
masih akan sangat membantu. Akhir kata saya selaku penulis mengucapkan
terimakasih.

Kendari, 9 Mei 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................ 1-2


B. Rumusan Masalah........................................................................................... 2
C. Tujuan............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Inkontinensia urin........................................................................ 3


2. Etiologi Inkontinensia urin......................................................................... 4-5
3. Patofisiologi Inkontinensia urin..................................................................... 5
4. Klasifikasi Inkontinensia urin.....................................................................6-8
5. Penatalaksanaan Inkontinensia urin......................................................... 8-10

BAB III PENUTUP

Kesimpulan......................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Persalinan merupakan masa krisis yang dialami oleh ibu dan janinnya
karena hal ini dapat menimbulkan komplikasi yang mengancam kesehatan
ibu dan janinnya yang dapat berakibat terjadinya kematian. Proses persalinan
yang sering kali menyebabkan kematian pada ibu maupun bayi karena adanya
cedera jaringan jalan lahir dan juga pada bayi. Persalinan yang lama, berat
bayi lahir besar, dan paritas merupakan sebagian faktor penyebab terjadinya
komplikasi persalinan. Pribakti (2006) mengatakan lamanya persalinan dapat
mengakibatkan terjadinya kerusakan saraf, otot dasar panggul termasuk
uterus dan otot-otot kandung kemih.
Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang serius yang
akan mengganggu aktivitas sehari-hari, kualitas hidup serta meningkatkan
resiko infeksi postpartum. Inkontinensia urin adalah salah satu komplikasi
dari persalinan yang biasanya sering terjadi pada periode postpartum.
Inkontinensia urin tidak mengancam jiwa penderita, namun hal ini dapat
berdampak terhadap fisik dan kualitas hidup. Selain menimbulkan dampak
terhadap mental, inkontinensia urin secara tidak langsung akan meningkatkan
terjadinya infeksi pada periode postpartum. Menurut Susan (2008)
komplikasi fisik yang umumnya terjadi pada penderita inkontinensia urin
adalah infeksi kandung kemih, infeksi uretra dan iritasi vagina.
Data WHO menyebutkan 200 juta penduduk di dunia mengalami
inkontinensia urin. Menurut Yunizaf (1999) di Indonesia kasus inkontinensia
urin belum banyak terdeteksi sehingga angka prevalensi secara pasti sulit
ditentukan, karena banyak penderita menganggap peristiwa inkontinensia
urin normal terjadi pada wanita, terutama setelah melahirkan dan biasanya
penderita malu untuk memeriksakan dirinya ke tenaga kesehatan. Di
Kalimantan Barat khususnya Kota Pontianak masih belum didapatkan data
yang pasti jumlah penderita inkontinensia urin karena belum ada data statistik
yang mendukung, penulis melakukan studi wawancara kepada salah satu
bidan yang bekerja di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Kalbar yang
mengatakan bahwa setiap tahunnya pasti ada ibu postpartum yang berobat

1
dengan keluhan inkontinensia urin. Berdasarkan hasil beberapa penelitian
bahwa inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang serius pada
periode postpartum dan dapat menghambat aktivitas sehari-hari.

b. Rumusan Masalah

 Apa itu Inkontinensia urin ?

 Apa Saja Etiologi Inkontinensia urin ?

 Apa Saja Patofisiologi Inkontinensia urin ?

 Bagaimana Klasifikasi Inkontinensia urin ?

 Bagaimana Penatalaksanaan Inkontinensia urin ?

c. Tujuan

Kami mengharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para

pembaca dan mampu menambah wawasan tentang Inkontinensia urin.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi
Inkontinensia urin (UI) didefinisikan oleh International Continence
Society sebagai "kehilangan urin tanpa disengaja yang secara objektif
merupakan masalah yang dapat ditunjukkan, sosial, dan higienis.
Inkontinensia urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol.
Keadaan seperti ini dapat menyebabkan berbagai permasalahan, antara lain:
masalah medik, sosial, maupun ekonomi. Masalah medik berupa iritasi dan
kerusakan kulit di sekitar kemaluan akibat urine, masalah sosial berupa
perasaan malu, mengisolasi diri dari pergaulannya, dan mengurung diri di
rumah. Pemakaian pempers atau perlengkapan lain guna menjaga supaya
tidak selalu basah oleh urine, memerlukan biaya yang tidak sedikit (Purnomo,
2014).
Prevalensi kelainan ini cukup tinggi, yakni pada wanita lebih kurang
10-40% dan 4-8% sudah dalam keadan cukup parah pada saat datang berobat.
Pada pria, prevalensinya lebih rendah daripada wanita, yaitu lebih kurang
separuhnya. Survei yang dilakukan di berbagai negara Asia didapatkan
bahwa rerata prevalensi pada beberapa bangsa Asia adalah 12,2% (14,8%
pada wanita dan 6,8% pada pria). Beberapa penulis mengatakan bahwa
sebenarnya prevalensi yang dilaporkan itu baru merupakan 80% dari
prevalensi sesungguhnya karena sebagian dari mereka tidak terdeteksi; hal ini
karena pasien menganggap penyakit yang dialaminya merupakan hal yang
wajar atau mereka enggan menceritakan 2 keadaanya kepada dokter karena
takut mendapatkan pemeriksaan yang bertele-tele dan berlebihan. Pada
manusia lanjut usia (manula) prevalensinya lebih tinggi daripada usia
reproduksi. Prevalensi inkontinensia urine pada manula wanita sebesar 38%
dan pria sebesar 19% (Purnomo, 2014).

3
B. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar
panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau
batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni.
Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung
kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah
menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan
gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin
meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika.
Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi
estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani
prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan
misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang
adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa
terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya
gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau.
Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan
mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi
urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan
kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau
gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke
toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila
penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan
dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia,
kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya.
Obat-obatan ini bisa sebagai ‘biang keladi’ mengompol pada orang-orang
tua. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat
jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian

4
obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika,
antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic
adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan
psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga
memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya
mengompol.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi
akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan,
kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi
vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat
menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama
sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar
panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan
jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia
urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia
menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan
otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya
inkontinensia urine.
Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat
operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia.
Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia
urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar
panggul.

C. Patofisiologi
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari
penyakit infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya
perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat
permanen misalnya pada spinal cord trauma atau bersifat temporer pada
wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat berakibat
terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi
pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan
masalah bagi lanjut usia.

5
D. Klasifikasi
Terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urine, di sini hanya
dibahas beberapa jenis yang paling sering ditemukan yaitu :
1. Inkontinensia stres (Stres Inkontinence)
Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya
mekanisme penutup. Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu
batuk, bersin, menaiki tangga atau melakukan gerakan mendadak, berdiri
sesudah berbaring atau duduk.Gerakan semacam itu dapat meningkatkan
tekanan dalam abdomen dan karena itu juga di dalam kandung kemih.
Otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini dan keluarlah urine.
Kebanyakan keluhan ini progresif perlahan-lahan; kadang terjadi sesudah
melahirkan. Akibatnya penderita harus sering menganti pakaian dalam
dan bila perlu juga pembalut wanita.
Frekuensi berganti pakaian, dan juga jumlah pembalut wanita
yang diperlukan setiap hari, merupakan ukuran kegawatan keluhan
inkontinensia ini. Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai
kelainan pada ginjal dan kandung kemih. Pada pemeriksaan vulva
ternyata bahwa sewaktu mengejan dapat dilihat dinding depan vagina.
Informasi yang penting bisa diperoleh dengan percobaan Marshall-
Marchetti. Penderita diminta untuk berkemih di WC sampai habis.
Dalam posisi ginekologis dimasukan kateter ke dalam kandung kemih.
Ditentukan jumlah urine yang tersisa. Kemudian diikuti oleh pengisian
kandung kemih dengan air sampai penderita merasa ingin berkemih.
Dengan demikian ditentukan kapasitas kandung kemih.
Normalnya seharusnya 400-450 ml, Kemudian dicoba menirukan
stres yang mengakibatkan pengeluaran urine dengan meminta penderita
batuk. Jika pada posisi berbaring tidak terjadi pengeluaran urine, maka
percobaan diulang pada posisi berdiri dengan tungkai dijauhkan satu
sama lain.
Pada inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran urine
pada saat ini. Kemudian dicoba dengan korentang atau dengan dua jari
menekan dinding depan vagina kanan dan kiri sedemikian rupa ke arah
kranial sehingga sisto-uretrokel hilang. Penderita diminta batuk lagi. Bila

6
sekarang pengeluaran urine terhenti maka ini menunjukkan penderita
akan dapat disembuhkan dengan operasi kelainan yang dideritanya.
Pemeriksaan ini dapat ditambah dengan sistometri, sistoskopi serta
kalibrasi pada uretra untuk menyingkirkan kemungkinan stenosis.
Pada foto rontgen lateral atas sistogram miksi bisa tampak sudut
terbelakang vesikouretra membesar sampai 1800 atau lebih. Normalnya
sudut ini sekitar 1200. Gambaran ini menegaskan adanya sistokel pada
pemeriksaan badan.Diagnosis dengan pengobatan inkontinensia pada
wanita merupakan masalah interdisipliner antara urologi dan ginekologi.
Di sini pengambilan keputusan yang tepat setidak-tidaknya sama penting
seperti mutu pengobatan. Sering terdapat kelainan ginekologis yang juga
harus diobati. Kebanyakan diagnostik yang tepat ditegakkan dari
kerjasama yang baik antara urolog dan ginekolog.  Pada inkontinensia
stres yang ringan, misalnya yang menghabiskan 3-4 pembalut sehari,
penderita bisa memperoleh perbaikan dengan fisioterapi dan senam untuk
otot-otot dasar panggul

2. Inkontinensia desakan (Urgency Inkontinence)


Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine secara involunter
dihubungkandengan keinginan yang kuat untuk mengosongkannya
(urgensi).Biasanya terjadi akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu
pengisian, otot detusor berkontraksi tanpa sadar secara spontan maupun
karena dirangsang (misalnya batuk). Kandung kemih dengan keadaan
semacam ini disebut kandung kemih tak stabil. Biasanya kontraksinya
disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala gangguan ini yaitu urgensi,
frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis.
Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan
didapatkan pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil
yang menimbulkan inkontinensia karena mekanisme distal masih dapat
memelihara inkontinensia pada keadaan kontraksi yang tidak stabil.
Rasa ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya karena detrusor
(urgensi motorik), akan tetapi juga akibat fenomena sensorik (urgensi
sensorik). Urgensi sensorik terjadi karena adanya faktor iritasi lokal,
yang sering dihubungkan dengan gangguan meatus uretra, divertikula

7
uretra, sistitis, uretritis dan infeksi pada vagina dan serviks. Burnett,
menyebutkan penyebabnya adalah tumor pada susunan saraf pusat,
sklerosis multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada sumsum tulang,
interstisial. Pengobatan ditujukan pada penyebabnya. Sedang urgensi
motorik lebih sering dihubungkan dengan terapi suportif, termasuk
pemberian sedativa dan antikolinegrik. Pemeriksaan urodinamik yang
diperlukan yaitu sistometrik.
3. Inkontinensia luapan (Overflow Incontinence)
Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter
ketiktekanan intravesikal melebihi tekanan maksimal maksimal uretra
akibat dari distensi kandung kemih tanpa adanya aktifitas
detrusor. Terjadi pada keadaan kandung kemih yang lumpuh akut atau
kronik yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih dapat
naik tinggi sekali tanpa disertai kontraksi sehingga akhirnya urine
menetes lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes.
Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti
akibat cedera vertebra, sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular,
meningomyelokel, trauma kapitis, serta tumor otak dan medula
spinalis.Corak atau sifat gangguan fungsi kandung kemih neurogen
dapat berbeda, tergantung pada tempat dan luasnya luka, koordinasi
normal antara kandung kemih dan uretra berdasarkan refleks miksi,
yang berjalan melalui pusat miksi pada segmen sakral medula spinalis.
Baik otot kandung kemih maupun otot polos dan otot lurik pada uretra
dihubungkan dengan pusat miksi.
Otot lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi bagian
penting mekanisme penutupan uretra juga dihubungkan dengan pusat
miksi sakral. Dari pusat yang lebih atas di dalam otak diberikan
koordinasi ke pusat miksi sakral. Di dalam pusat yang lebih atas ini,
sekaligus masuk isyarat mengenai keadaan kandung kemih dan uretra,
sehingga rasa ingin miksi disadari.

E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Aspiani (2014)
yaitu dengan mengurangi faktor risiko, mempertahankan homeostatis,
8
mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi,
latihan otot pelvis, dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut, dapat
dilakukan sebagai berikut :

a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih

Yang dicatat dalam kartu catatan yaitu waktu berkemih, jumlah urin
yang keluar baik secara normal maupun karena tak tertahan.
Banyaknya minuman yang diminum, jenis minuman yang diminum,
dan waktu minumnya juga dicatat dalam catatan tersebut

b. Terapi non farmakologi

Terapi ini dilakukan dengan cara mengoreksi penyebab timbulnya


inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, dan hiperglikemi. Cara yang dapat dilakukan adalah :

 Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval


waktu berkemih) dilakukan dengan teknik relaksasi dan
distraksi sehingga waktu berkemih 6-7x/hari. Lansia
diharapkan mampu menahan keinginan berkemih sampai waktu
yang ditentukan. Pada tahap awal, diharapkan lansia mampu
menahan keinginan berkemih satu jam, kemudian meningkat 2-3 jam
 Promited voiding yaitu mengajari lansia mengenali kondisi
berkemih. Hal ini bertujuan untuk membiasakan lansia
berkemih sesuai dengan kebiasaannya. Apabila lansia ingin
berkemih diharapkan lansia memberitahukan petugas. Teknik
ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif.
c. Melakukan latihan otot dasar panggul atau latihan kegel
Latihan kegel ini bertujuan untuk mengencangkan otot-otot dasar
panggul dan mengembalikan fungsi kandung kemih sepenuhnya serta
mencegah prolaps urin jangka panjang.
d. Terapi farmakologi
Obat yang dapat diberikan pada inkontinensia dorongan (urge) yaitu
antikolenergik atau obat yang bekerja dengan memblokir
neurotransmitter, yang disebut asetilkolin yang membawa sinyal otak
untuk mengendalikan otot. Ada beberapa contoh obat antikolenergik

9
antara lain oxybutinin, propanteline, dyclomine,
lsavoxate, dan imipramine. Pada inkontinensia tipe stress
diberikan obat alfa adregenic yaitu obat untuk melemaskan otot.
Contoh dari obat tersebut yaitu pseudosephedrine yang berfungsi
untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter yang mengalami
relaksasi diberikan obat kolinergik agonis yang bekerja untuk
meningkatkan fungsi neurotransmitter asetilkolin baik langsung
maupun tidak langsung. Obat kolinergik ini antara lain bethanechol
atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk menstimulasi
kontraksi.
e. Terapi pembedahan
Terapi ini bisa dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urge, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Pada inkontinensia overflow biasanya dilakukan pembedahan untuk
mencegah retensi urin. Terapi ini biasanya dilakukan terhadap tumor,
batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolap pelvis.
f. TerapiModalitas

Terapi modalitas ini dilakukan bersama dengan proses terapi dan


pengobatan masalah inkontinensia urin, caranya dengan
menggunakan beberapa alat bantu bagi lansia antara lain pampers,
kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal dan bedpan

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang serius yang
akan mengganggu aktivitas sehari-hari, kualitas hidup serta meningkatkan
resiko infeksi postpartum. Inkontinensia urin adalah salah satu komplikasi
dari persalinan yang biasanya sering terjadi pada periode postpartum.
Inkontinensia urin tidak mengancam jiwa penderita, namun hal ini dapat
berdampak terhadap fisik dan kualitas hidup. Selain menimbulkan dampak
terhadap mental, inkontinensia urin secara tidak langsung akan
meningkatkan terjadinya infeksi pada periode postpartum. Menurut Susan
(2008) komplikasi fisik yang umumnya terjadi pada penderita inkontinensia
urin adalah infeksi kandung kemih, infeksi uretra dan iritasi vagina.

11
DAFTAR PUSTAKA

Melania. E. Efektifitas Kegel Exercise Terhadap Pencegahan Inkontinensia UrinPada


Ibu Postpartum Pervaginam Di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Kalbar.
Nanda. 2009. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC

Pribakti, B., 2006, Tinjauan Kasus Retensio Urin Postpartum di RSUD Ulin
Banjarmasin 2002 – 2003, Dexa Media, vol. 19 Januari – Maret 2006: 10-
13.
World Health Organization., 2006, Maternal and Newborn Health,

12

Anda mungkin juga menyukai