Anda di halaman 1dari 36

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN

GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN

DOSEN :
Ns. SAKA ADIJAYA PENDIT.,M.Kep

KELAS : IV C KEPERAWATAN
KELOMPOK II:
I GUSTI AGUNG GIRI UTAMI (201801106)
MOH.RIZKY (201801113)
MOH. DUR SULE (201801114)
NOVITA A. BOGOLEMBA (201801120)
NILAM SARI (201801118)
NILUH GABRIELA (201801119)

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA NUSANTARA PALU
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih yang maha
penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-nya, yang telah
melimpahkan Rahmat, hidayat, dan inayah-nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan “Askep pada lansia dengan gangguan system perkemihan “.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat mempelancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritikan dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga Askep pada lansia tentang system
perkemihan, untuk pembaca ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi
terhadap pembaca.

Palu, 10 September 2021

Kelompok II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................

DAFTAR ISI.....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................

A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................

A. Definisi..................................................................................................
B. Klasifikasi.............................................................................................
C. Etiologi.................................................................................................
D. Patofisiologi..........................................................................................
E. Manifestasi Klinis.................................................................................
F. Pencegahan............................................................................................
G. Pemeriksaan Penunjang........................................................................
H. Penatalaksanaan....................................................................................
I. Komplikasi............................................................................................
J. Konsep Asuhan Keperawatan………………………………………..
K. Asuhan Keperawatan Kasus ………………………………………....

BAB III PENUTUP..........................................................................................

A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus
berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua
makhluk hidup.

Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian
dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami
oleh setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah
laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai
usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena
yang kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel
dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat
kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut
tidak tertandingi.

Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya


tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh.
Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang
sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung
sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan
jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit
demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.

Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik
maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan
yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses
penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya
daya tahan tubuh , lebih mudah terkena konstipasi merupakan ancaman bagi
integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan
kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang
yang dicintai.

Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme


yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta
menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang
disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan
saling berinteraksi satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada lansia secara
linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment),
keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability),
dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses
kemunduran.

Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan
yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya
tahan tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine maupun tinja merupakan
ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus
berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan
dengan orang-orang yang dicintai.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi inkontinensia urin pada lanjut usia ?


2. Apa saja Klasifikasi dari inkontinensia urin pada lanjut usia ?
3. Apa etiologi inkontinensia urin pada lanjut usia ?
4. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin pada lanjut usia?
5. Apa saja tanda dan gejala inkontinensia urin pada lanjut usia ?
6. Apa saja pencegahan dari inkontinensia urin pada lanjut usia ?
7. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada lanjut usia ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan inkontinensia urin pada lanjut usia ?

C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami mengenai definisi inkontinensia urin pada lanjut
usia.
2. Mengetahui dan memahami mengenai Klasifikasi inkontinensia urin pada
lanjut usia.
3. Mengetahui dan memahami mengenai etiologi inkontinensia urin pada lanjut
usia.
4. Mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi inkontinensia urin pada
lanjut usia.
5. Mengetahui dan memahami mengenai tanda dan gejala inkontinensia urin
pada lanjut usia.
6. Mengetahui dan memahami mengenai Pencegahan inkontinensia urin pada
lanjut usia.
7. Mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan penunjang pada lanjut
usia.
8. Mengetahui dan memahami mengenai asuhan keperawatan inkontinensia urin
pada lanjut usia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang
bersifat sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra
eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit
sedikit (Potter dan Perry, 2015). Menurut Hidayat (2010), inkontinensia urin
merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap
untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab inkontinensia dapat
berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran,
dan penggunaan obat narkotik atau sedatif.

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan


dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena
pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan),
dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang
tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan
keluarnya urin (Hariyati, 2016).

B. Klasifikasi

Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat, 2010


1. inkontinensia dorongan Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin
tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang
kuat setelah berkemih.

Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya


terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame
kandung kemih (Hidayat, 2010). Pasien Inkontinensia
dorongan mengeluh tidak dapat menahan kencing segera
setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini
disebabkan otot detrusor sudah mulai mengadakan
kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih belum
terpenuhi.
2. inkontinensia total Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin
yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain:
disfungsi neorologis, kontraksi independen dan refleks
detrusor karena pembedahan, trauma atau penyakit yang
mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati.
3. inkontinensia stress tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan
peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan
berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia stress terjadi
disebabkan otot spingter uretra tidak dapat menahan
keluarnya urin yang disebabkan meningkatnya tekanan
di abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan
abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin,
mengangkat benda yang berat, tertawa (Panker, 2017).
4. inkontinensia reflex Keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urin
yang tidak dirasakan.

Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh


adanya kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis).
Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung
kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung kemih
tidak dihambat pada interval teratur

5. inkontinensia fungsional keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin


secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.
Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung
kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat
untuk mengeluarkan urin

C. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul
akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk
kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu,
adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga
walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan
gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin
meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.

Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika


terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika.
Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi
estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani
prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan
misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat,
atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi
karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan
metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain
adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi
asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.

Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi


urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan
kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau
gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke
toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya
adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non
farmakologik atau farmakologik yang tepat.

Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena


penyakit yang dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian
atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi
jadwal pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu
diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa,
agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan
psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga
memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya
mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga
terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca
melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas
dan operasi vagina.

D. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan.
Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang
berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi
mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2010).

Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung


kemih melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher
kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang
mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 2015).

Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik


parasimpatis yang menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek
simpatis kandung kemih berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat
penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya
penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia
sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat
mengganggu kondisi antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra
yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan
inkontinensia (Setiati, 2010).

E.Manifestasi Klinis
Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis,2015)

1) Inkontinensia Dorongan :

a) Sering miksi
b) Spasme kandung kemih
2) Inkontinensia total
a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensi kandung kemih.
c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3) Inkontinensia stres
a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
b) Adanya dorongan berkemih.
c) Sering miksi.
d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4) Inkontinensia refleks
a) Tidak dorongan untuk berkemih.
b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.
c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada
interval.
5) Inkontinensia fungsional
a) Adanya dorongan berkemih.
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.

F. Pencegahan
1. Dekatkan kamar mandi
2. Jaga lantai tetap bersih dan tidak licin
3. Minum 6-8 gelas air setiap hari kecuali dokter anda telah
menginstruksikan sebaliknya
4. Batasi asupa alkohol dan minuman berkafein
5. Perhatikan gizi dan hindari obes (Ambil diet seimbang yang
mencakup semua kelompok makanan dan tetap dalam kisaran berat
badan yang sehat)
6. Sertakan cukup cairan dan serat dalam diet anda dan berolahraga
secara teratur untuk mencegah sembelit yang dapat menyebabkan
kontrol kandung kemih yang buruk
7. Memakaika pempers
8. Latihan perilaku berkemih
9. Membuat catatan berkemih
10. Lakukan latihan dasar panggul secara teratur untuk memperkuat otot-
otot yang mendukung outlet kandung kemih.
11. Beri pegangan dikamar mandi 12. WC dibuat datar, tidak tinggi
13. Atur pencahayaan.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa
dalam urine.

2. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
ketika pasien berkemih.

3. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih
dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan
kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan
panas.

4. Urografi ekskretorik
Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju
aliran ketika pasien berkemih. Disebut juga pielografi intravena,
digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan
kandung kemih.

5. Kateterisasi residu pascakemih


Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih
dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien
berkemih.

Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller adalah


mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol
inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,medikasi, latihan otot pelvis dan
pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai
berikut :

a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih


Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan
jumlah urin yang keluar,baik yang keluar secara normal, maupun
yang keluar karena tak tertahan, selain itudicatat pula waktu, jumlah
dan jenis minuman yang diminum.

b. Terapi non farmakologi


Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah :

• Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval


waktu berkemih)dengan teknik relaksasi dan distraksi
sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
• Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih
bila belum waktunya.
• Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu
tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang
secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
• Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah
ditentukan sesuai dengankebiasaan lansia.
• Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia
mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin
berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan
fungsi kognitif (berpikir).

c. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:

• antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine


• Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis,
yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
• Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti
Bethanechol atau alfa kolinergik antagonis seperti prazosin
untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara
singkat.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urgensi, bila terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnyamemerlukan tindakan
pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi inidilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic(pada wanita).

e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkaninkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalamiinkontinensia urin, diantaranya
adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod
dan bedpan

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor
resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin,
modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.

Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :

a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut


misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar
secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat
pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
b. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang
interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga
frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan
keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.Lansia dianjurkan untuk
berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih
setiap 2-3 jam.Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah
ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan
dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta
dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.
Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif
(berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul dengan
mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang.

Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut


adalah dengan cara :

Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka,


kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan
ke belakang ± 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat
kita buang air besar dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot
dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.

c. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis,
yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter
relax diberikan kolinergik agonis sepertiBethanecholataualfakolinergik
antagonis sepertiprazosinuntuk stimulasi kontraksi, danterapi diberikan
secara singkat.

d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress
dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipeoverflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan
untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor,
batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).

e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah
pampers, kateter.

f. Pemantauan Asupan Cairan


Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari
dengan rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari
dengan asumsi tidak ada kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen
dapat membatasi asupan cairan secara tidak tepat untuk mencegah
kejadiankejadian yang memalukan. Pengurangan asupan cairan sebelum
waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia pada malam hari, tetapi
cairan harus diminum lebih banyak selama siang hari sehingga total
asupan cairan setiap harinya tetap sama.

I. Komplikasi
1. Ruam kulit atau iritasi
Diantara komplikasi yang paling jelas dan memanifestasi kita menemukan
masalah dengan kulit, karena mereka yang menderita masalah ini terkait
kandung kemih, memiliki kemungkinan mengembangkan luka, ruam atau
semacam infeksi kulit, karena fakta bahwa kulit mereka overexposed
cairan dan dengan demikian selalu basah. Ruam kulit atau iritasi terjadi
karena kulit yang terus-menerus berhubungan dengan urin akan iritasi,
sakit dan dapat memecah.

2. Infeksi saluran kemih


Inkontinensia meningkatkan risiko infeksi saluran kemih berulang

3. Prolapse
Proleps merupakan komplikasi dari inkontinensia urin yang dapat terjadi
pada wanita. Hal ini terjadi ketika bagian dari vagina, kandung kemih,
dan dalam beberapa kasus uretra, drop-down ke pintu masuk vagina.
Lemahnya otot dasar panggul sering sering menyebabkan masalah.
Prolaps biasanya perlu diperbaiki dengan menggunakan operasi.

4. Perubahan dalam kegiatan


Inkoninensia dapat membuat pasien tidak dapat berpartisipasi dalam
aktivitas normal. Pasien dapat berhenti berolahraga, berhenti menghadiri
pertemuan sosial. Salah satu jenis tersebut adalah inkontinensia stress. Hal
ini terjadi ketika otot-otot dasar panggul mengalami kelemahan dari
beberapa macam, da tidak lagi mampu menjaga uretra tertutup. Karena itu,
membuat gerakan tiba-tiba seperti batuk atau tertawa dapat menyebabkan
kebocoran urin. Penyebab melemahnya otot dasar panggul bisa berbeda
dan disebabkan oleh berbagai faktor, mislanya untuk kehamilan dn
persalinan (strain atau otot terlalu melar), menopouse (kurangnya
esterogen melemahkan otot), penghapusan rahim (yang kadang-kadang
dapat merusak otot), usia, obesitas.

5. Perubahan dalam kehidupan opribadi pasien


Inkontinensia dapat memiliki dampak pada kehidupan pribadi pasien.
Keluarga pasien mungkin tidak memahami perilaku pasien. Pasien dapat
menghindari keintiman seksual karena malu yang disebabkan oleh
kebocoran urin. Ini tidak jarang mengalami kecemasan dan depresi
bersama dengan inkontinensia. (Mayo, 2012)

6. Komplikasi terapi bedah inkontinensia stress terutama terdiri dari


pembentukan sisa urin segera dalam fase pascabedah
Biasanya masalah ini bersifat sementara dan dapat diatasi dengan
kateterisasi intermiten, dengan karakter yang ditinggalkan atau lebih baik
dengan drainase kandung kemih suprapubik. Hal ini memungkinkan
pencarian pembentukan sisa urin tanpa kateterisasi. Komplikasi lain
biasanya berasal dari indikasi yang salah. Perforasi kandung kemih dengan
kebocoran urin, infeksi saluran kemih yang berkepanjangan dan osteitis
pubis pada operasi Marshall-Marchhetti-krantz merupakan komplikasi
yang jarang terjadi. (Andrianto, 2010)

J. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi
pada lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan,
tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko
mengalaminya.

2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang
dirasakan saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah
ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan,
tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan
dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi.
Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum
terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.

b. Riawayat kesehatan masa lalu


Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit
serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien,
apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan
ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.

c. Riwayat kesehatan keluarga


Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita
penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit
bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.

3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan
karena respon dari terjadinya inkontinensia

b. Pemeriksaan sistem
- B1 (Breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis
karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah
kelainan pada perkusi.

- B2 (Blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan
gelisah

- B3 (Brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
- B4 (Bladder)
Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri)
dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila
ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi
pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya.

Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis,


seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga
di luar waktu kencing.

- B5 (Bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri
tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.

- B6 (Bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.

4. Data Penunjang
a. Urinalisis
b. Hematuria
c. Poliuria
d. Bakteriuria
5. Pemeriksaan Radiografi
a. IVP (Intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan
ureter
b. VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk,
dan fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi
prostat), mengkaji PVR (Post Voiding Residual).
6. Kultur Urine
a. Steril
b. Pertumbuhan tak bermakna (100.000 koloni/ml)
c. Organisme
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai
berikut yaitu :

1. Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan


struktur dasar penyokongnya.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu
yang lama.
3. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh
urine
4. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan
akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine

C. Rencana Ashuhan Keperawatan

1. Diagnosa I: Inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot pelvis


Tujuan : Klien akan melaporkan suatu pengurangan / penghilangan
inkonteninsia, klien dapat menjelaskan penyebab.

Intervensi :
1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan gunakan catatan berkemih
sehari.
2. Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang
direncanakan.
3. Observasi meatus perkemihan untuk memeriksa kebocoran saat
kandung kemih.
4. Intruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran,
ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan
klien berdiri jika tidak ada kebocoranyang lebih dulu.
5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan
cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.
6. Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan
kekuatannya dengan latihan
7. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi inkonteninsia.

2. Diagnosa 2
Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu
yang lama.
Tujuan :
Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan, urinalisis dalam
batas normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya bakteri.

Intervensi :
1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.

2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari


(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur)
dan setelah buang air besar
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung
kemih dan naik ke saluran perkemihan.
3. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh
atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal, pengososngan
kantung drainse urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan
teknik asepsis bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine
dari kateter indwelling.
R: Untuk mencegah kontaminasi silang.

4. Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan


anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu
melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.

5. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.


1. Tingkatkan masukan sari buah berri.
2. Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari
buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine.
Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam
pengobatan infeksi saluran kemih.
3. Diagnosa 3 : Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan
dengan irigasi konstan oleh urine Tujuan :
1. Jumlah bakteri < 100.000 / ml.
2. Kulit periostomal tetap utuh.
3. Suhu 37° C.
4. Urine jernih dengan sedimen minimal.

Intervensi :

1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam.


R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari
hasil yang diharapkan.

2. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi.


Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang
baru. Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar
diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang
benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung
urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh. R:
Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal,
memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit
periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan
kulit dan peningkatan resiko infeksi.

4. Diagnosa 4 : Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang


memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine
Intervensi :

1. Yakinkan apakah konseling dilakukan dan atau perlu diversi urinaria,


diskusikan pada saat pertama.

R: Memberikan informasi tentang tingkat pengetahuan pasien / orang


terdekat tentang situasi individu dan Pasien menerimanya(contoh;
inkontinensia tak sembuh, infeksi)

2. Dorong pasien / orang terdekat untuk mengatakan perasaan. Akui


kenormalan perasaan marah, depresi, dan kedudukan karena
kehilangan. Diskusikan “peningkatan dan penurunan” tiap hari yang
dapat terjadi setelah pulang.

R: Memberikan kesempatan menerima isu / salah konsep. Membantu


pasien / orang terdekat menyadari bahwa perasaan yang dialami tidak
biasa dan bahwa perasaan bersalah pada mereka tidak perlu /
membantu. Pasien perlu mengenali perasaan sebelum mereka dapat
menerimanya secara efektif.

3. Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan,


manipulasi atau tidak terlibat pada asuhan.
R: Dugaan masalah pada penyesuaian yang memerlukan evaluasi
lanjut dan terapi lebih efektif. Dapat menunjukkan respon kedukaan
terhadap kehilangan bagian / fungsi tubuh dan kawatir terhadap
penerimaan orang lain, juga rasa takut akan ketidakmampuan yang
akan datang / kehilangan selanjutnya pada hidup karena kanker.

4. Berikan kesempatan untuk pasien / orang terdekat untuk memandang


dan menyentuh stoma, gunakan kesempatan untuk memberikan tanda
positif penyembuhan, penampilan, normal, dsb.
R: Meskipun integrasi stoma ke dalam citra tubuh memerlukan waktu
berbulan-bulan / tahunan, melihat stoma dan mendengar komentar
(dibuat dengan cara normal, nyata) dapat membantu pasien dalam
penerimaan ini. Menyentuh stoma meyakinkan klien / orang terdekat
bahwa stoma tidak rapuh dan sedikit gerakan stoma secara nyata
menunjukkan peristaltic normal.

5. Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya melalui


partisipasi dalam perawatan diri.

R: Kemandirian dalam perawatan memperbaiki harga diri.

6. Pertahankan pendekatan positif, selama aktivitas perawatan,


menghindari ekspresi menghina atau reaksi mendadak. Jangan
menerima ekspresi kemarahan pasien secara pribadi.
R: Membantu pasien / orang terdekat menerima perubahan tubuh dan
menerima akan diri sendiri. Marah paling sering ditunjukkan pada
situasi dan kurang kontrol terhadap apa yang terjadi (tidak terduga),
bukan pada pemberi asuhan.

7. Rencanakan / jadwalkan aktivitas asuhan dengan orang lain.


R: Meningkatkan rasa kontrol dan memberikan pesan bahwa pasien
dapat mengatasinya, meningkatkan harga diri.

8. Diskusikan fungsi seksual dan implan penis, bila ada dan alternatif
cara pemuasan seksual.
R: Pasien mengalami ansietas diantisipasi, takut gagal dalam hubungan
seksual setelah pembedahan, biasanya karena pengabaian, kurang
pengetahuan. Pembedahan yang mengangkat kandung kemih dan
prostat (diangkat dengan kandung kemih) dapat mengganggu syaraf
parasimpatis yang mengontrol ereksi pria, meskipun teknik terbaru ada
yang digunakan pada kasus individu untuk mempertahankan syaraf ini.

J. Asuhan Keperawatan Kasus


Kasus yaitu sebagi berikut :
Ny.W berusia 63 tahun datang kerumah sakit Dr,soetomo dengan keluhan
ingin BAK terus menerus dan tidak bisa ditahan hingga sampai ke toilet.
Ny.W mengatakan kencing sebanyak lebih dari 12 kali dalam sehari. Ny.W
juga mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menahan kencingnya untuk
sampai ke toilet dan terasa perih pada area perianalnya. Karena sering
mengompol, Ny.W mengaku mengurangi minum dan sering menahan haus.
Ny.W merasa malu apabila keluar rumah karena mengompol dan bau air
kencingnya yang menyengat sehingga hanya tinggal di dalam rumah. Saat
ditanyakan tentang riwayat kehamilan, anak klien mengatakan bahwa klien
memiliki 2 orang anak, dan tidak pernah mengalami keguguran. Anaknya
mengatakan bahwa keluarganya tidak ada yang mengalami penyakit seperti
itu sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan. Dulunya klien adalah
seorang penjahit di rumahnya, namun beberapa tahun yang lalu sudah tidak
lagi bekerja. Setelah dilakukan pemeriksaan awal pada Ny.W ditemukan
membran mukosa kering, turgor kulit kering dan keriput serta lecet-lecet
pada kulitnya. Hasil dari TTVnya adalah TD: 160/90 mmHg, Nadi
90x/menit, RR 19x/menit, dan suhunya 37oC. Setelah dilakukan pemasangan
kateter, didapatkan data jumlah urin klien 1500-1600 mm selama 24 jam.
A. Pengkajian
1. Identitas klien :
Nama : Ny. W
Umur : 63 tahun
jenis kelamin : Perempuan
2. Keluhan utama :
Klien BAK terus-menerus, tidak bias menahannya sehingga mengompol.
3. Riwayat penyakit sekarang :
Klien datang kerumah sakit dengan keluhan BAK terus menerus dengan
frekuensi lebih dari 10 kali dalam sehari.Klien tidak bias menahan
kencingnya untuk pergi ke toilet sampai klien mengompol.Klien mengaku
mengurangi minum dan menahan rasa haus.
4. Riwayat penyakit dahulu : -
5. Riwayat penyakit keluarga :
Anak klien mengatakan anggota keluarganya tidak ada yang mengalami
penyakit seperti itu sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan. 6.
Riwayat obat-obatan : - 7. Riwayat psikologis :
Klien merasa malu jika keluar rumah karena sering mengompol dan bau
kencingnya sangat menyengat.
8. Riwayat Pekerjaan : Klien dulunya adalah seorang penjahit
9. Riwayat Kehamilan : Klien memiliki 2 orang anak, dan tidak pernah
mengalami keguguran.
10. Pemeriksaan fisik (Review of System)
• B1 (breathing)
RR : 19 x/menit, normal tidak ada gangguan
• B2 (blood)
TD : 160/90 mmHg (peningkatan tekanan darah), nadi : 90x/menit
• B3 (brain)
Tingkat kesadaran :compos mentis
• B4 (bladder)
BAK > 10 x/hari, bau urin menyengat
• B5 (bowel) : -
• B6 (bone &integumen)
Kelemahan ekstremitas karena bolak-balik pergi ke toilet, kulit kering
dan lelet

B.Analisis Data

No Data Etiologi Masalah


1. DS: Inkontinensia urin Kekurangan volum
Ny.W mengatakan cairan
kencing sebanyak lebih dari Haluaran urine yang sering
10 kali dalam sehari
Ny. A mengaku mengurangi
minum dan sering menahan
haus Pembatasan intake cairan
DO:
membran mukosa kering
Ketidakseimbangan intake
turgor kulit kering
output cairan & elektrolit
Jumlah urine lebih dari
1500-1600 mm dalam 24 jam Kekurangan volume cairan

DS: Seiring pertambahan usia Perubahan pola


2. Klien mengatakan ingin berkemih
BAK terus menerus Kelemahan pada sfingter
Klien mengatakan externa
kencingnya lebih dari 10x
dalam sehari Inkontinensia urin
Klian mengatakan tidak
bisa menahan kencingnya
Gangguan pola eliminasi
DO: Klien sering
mengompol

3. DS: Klien merasa perih di Inkontinensia urin Kerusakan


area perianalnya integritas kulit

DO: lecet-lecet pada kulitnya Urin keluar terus menerus

Meninggalkan sisa di area


perianal

Kelembaban meningkat

Lecet pada area perianal


Kerusakan integritas kulit

I. Diagnosa Keperawatan
a. Inkontinensia urin urgensi berhubungan dengan penurunan kapasitas
kandung kemih, sekunder akibat berkemih sering
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake dan output
yang tidak adekuat
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi konstan oleh
urine
D. Intervensi

Diagnosa 1 : Inkontinensia urin urgensi berhubungan dengan penurunan kapasitas


kandung kemih, sekunder akibat berkemih sering.
ujuan:
Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi klien mampu mengontrol pola
berkemih agar dapat berkemih normal riteria evaluasi:
Klien akan menjadi kontinen dan mampu mengidentifikasi penyebab inkontinens
dan rasional untuk pengobatan
Intervensi Rasional
Tentukan pola berkemih normal klien Memberikan kesempatan menerima isu /
dan tentukan variasi salah konsep. Membantu klien / orang
terdekat menyadari bahwa perasaan yang
dialami tidak biasa dan bahwa perasaan
bersalah pada mereka tidak perlu /
membantu. Klien perlu mengenali
perasaan sebelum mereka dapat
menerimanya secara efektif
Dorong meningkatkan Peningkatan hidrasi membilas bakteri,
pemasukan cairan
Selidiki keluhan kandung kemih Retensi urine dapat terjadi menyebabkan
penuh, palpasi untuk daerah distensi jaringan dan potensial resiko
suprapubik infeksi.
Kolaborasi: Menentukan adanya ISK, yang penyebab
Ambil urine untuk kultur dan atau gejala komplikasi

sensivitas

Diagnosa 2 : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake dan output yang
tidak adekuat
ujuan:
Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi klien mampu menunjukkan
hidrasi yang adekuat/kekurangan cairan dapat diatasi
riteria evaluasi:
TTV stabil
Membran mukosa bibir lembab
Turgor kulit elastic
Intake dan output seimbang
Intervensi Rasional
Dapatkan riwayat klien / orang Memperoleh data tentang penyakit klien,
terdekat sehubungan dengan lamanya agar dapat melakukan tindakan sesuai
gejala seperti pengeluaran urine yang dengan yang dibutuhkan
berlebihan
Pantau TTV, catat adanya perubahan Indikator hidrasi/ volum sirkulasi dan
TD warna kulit dan kelembaban-nya kebutuhan intervensi
Monitor status hidrasi dengan Kondisi turgor kulit, membran mukosa,
mengkaji turgor kulit dan membran dan peningkatan berat jenis urin dapat
mukosa serta memeriksa berat jenis mengindikasikan dehidrasi.
urin setiap 8 jam sekali
Pantau masukan dan Membandingkan keluaran aktual dan yang
pengeluaran setiap hari diantisipasi membantu dalam
mengevaluasi fungsi/ derajat stasis/
kerusakan sistem urinary.
Timbang BB setiap hari Peningkatan BB yang cepat mungkin
berhubungan dengan retensi
Pertahankan untuk memberikan cairan Mempertahankan keseimbangan cairan
paling sedikit 2500 ml/hari dalam
batas yang dapat ditoleransi jantung
Kolaborasi: Memenuhi kebutuhan cairan tubuh
Berikan terapi cairan sesuai indikasi
Berikan cairan IV Mempertahankan volum sirkulasi,
meningkatkan fungsi ginjal

Diagnosa 3 : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi konstan oleh


urine
ujuan:
Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi klien mampu menunjukkan
perbaikan keadaan turgor dan mempertahankan keutuhan kulit
kriteria evaluasi:
Jumlah bakteri < 100.000/ml
Kulit periostomal tetap utuh
Urin jernih dengan sedimen minimal
Intervensi Rasional
Kaji keadaan kulit terhadap perubahan
warna, turgor dan adanya kemerahan
Pantau penampilan kulit periostomal Mengidentifikasi kemajuan serta
setiap 8 jam melihat adanya tanda-tanda kerusakan
integritas kulit.
Jaga agar kulit tetap kering Kulit atau daerah lipatan yang lembab
mudah terjadi tumbuhnya kuman
Berikan perawatan kulit termasuk Kulit yang kotor dapat menimbulkan
kebersihan pada kulit rasa gatal sehingga timbul keinginan
untuk menggaruk.
Ubah posisi setiap 2 jam sekali Menghindari tekanan dan meningkatkan
aliran darah
Berikan pakaian dari bahan yang dapat Mencegah iritasi dermal dan
menyerap air atau anjurkan klien untuk meningkatkan kelembaban pada kulit.
memakai pakaian longgar.
T
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme
yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta
menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang
disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan
saling berinteraksi satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada lansia secara
linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment),
keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability),
dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses
kemunduran.

Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan
yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya
tahan tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine maupun tinja merupakan
ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus
berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan
dengan orang-orang yang dicintai.

B.Saran

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat


banyak kekurangan baik dalam sistematika penulisan maupun dari isi makalah,
oleh karena itu untuk memperbaiki makalah ini dan makalah-makalah
selanjutnya kami berharap saran dan kritik yang membangun demi perbaikan
dimasa yang akan dating.

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2015. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta :


Salemba Medika.

Darmojo B. 2010. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Hariyati, Tutik S. (2016). Hubungan antara bladder retraining dengan proses


pemulihan inkontinensia urin pada pasien stoke.
Hidayat, A. Alimul. (2010). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep
dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai