Dosen Pengampu :
Ns. Neneng Kurwiyah MNS
Disusun Oleh :
Kelompok 3
1. Putri Aprilia Eka Sari
2. Sifa Nabila
3. Ratih Purwasih
4. Rahma Wulan P
5. Nafa Amalia
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia kepada kami
sehingga kami senantiasa dapat menyelesaikan makalah tentang Asuhan Keperawatan pada
Lansia dengan Gangguan Sistem Perkemihan dengan baik. Makalah ini kami susun guna
memenuhi matakuliah Keperawatan Gerontik. Ucapan terimakasih kepada teman-teman yang
telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah Asuhan Keperawatan Pada Lansia dengan Gangguan Sistem Perkemihan ini
dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa.
Makalah yang kami susun ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah
ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang
diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara
alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari
proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap
individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat
diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan
multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada
keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di
dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi.
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun
demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering
menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak
seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan
pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit,
dan terjadi juga pada sistem pencernaan.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang
normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh ,
lebih mudah terkena konstipasi merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut.
Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan
sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang
telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan
adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya
penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama
lain . Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui
tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional
limitations), ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan
dialami bersamaan dengan proses kemunduran.
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang
normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh,
dan adanya inkontinensia baik urine maupun tinja merupakan ancaman bagi integritas
orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan
peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan
pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–
30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit
mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia
urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa
rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan
mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
B. Tujuan
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa
rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan
mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat, 2006:
2. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-
kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang
tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari
dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah
menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain
terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi
urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran
kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis
atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus
dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses,
maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan
cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga
bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan
metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah
asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan
yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat
dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa
disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan
substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat.
3. Faktor Predisposisi
a. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga
berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum
mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena
sistem neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia
lanjut juga akan mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya
terjadi penurunan tonus otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut
menyebabkan kesulitan dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada
manusia usia lanjut berisiko mengalami konstipasi. Begitu pula pada eliminasi
urine, terjadi penurunan kontrol otot sfingter sehingga terjadi inkontinensia
(Asmadi, 2008).
b. Diet
Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya
jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi
karena kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang
banyak dapat menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan
menyumbat saluran kemih sehingga pengeluaran utine menjadi terganggu.
Selain itu, urine juga dapat menjadi bau jengkol. Malnutrisi menjadi dasar
terjadinya penurunan tonus otot, sehingga mengurangi kemampuan seseorang
untuk mengeluarkan feses maupun urine. Selain itu malnutrisi menyebabkan
menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi yang menyerang pada organ
pencernaan maupun organ perkemihan(Asmadi, 2008).
c. Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal
untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih
pekat(Asmadi, 2008).
d. Latihan Fisik
Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus
otot yang baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan diagfragma sangat
penting bagi miksi (Asmadi, 2008).
e. Stress Psikologis
Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan
mengalami diare ataupun beser (Asmadi, 2008).
f. Temperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh
karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh
akan kekurangan cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi dan
pengeluaran urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat memegaruhi
nafsu makan yaitu terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake
cairan (Asmadi, 2008).
g. Nyeri
Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang
seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi urine
(Asmadi, 2008).
h. Sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di
masyarakat Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet merupaka
sesuatu yang pribadi , sementara budaya Eropa menerima fasilitas toilet yang
digunakan secara bersama-sama (Potter & Perry,2006).
i. Status Volume
Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam
keseimbangan, peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan peningkatan
produksi urine. Cairan yang diminum akan meningkatakan volume filtrat
glomerulus dan eksresi urina (Potter & Perry,2006).
j. Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan
hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh kandung kemih,
dan individu mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi. Misalnya
diabetes melitus dan sklerosis multiple menyebabkan kondusi neuropatik yang
mengubah fungsikandung kemih. Artritis reumatoid, penyakit sendi
degeneratif dan parkinson, penyakit ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap
akhir (Potter & Perry,2006).
k. Prosedur Bedah
Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan sebelum menjali
pembedahan yang diakibatkan oleh proses penyakit atau puasa praoperasi,
yang memperburuk berkurangnya keluaran urine. Respons stres juga
meningkatkan kadar aldosteron menyebabkan berkurangnya keluaran urine
dalam upaya mempertahankan volume sirkulasi cairan (Potter & Perry,2006).
l. Obat-obatan
Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik (atropin),
antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat beta
adrenergik (inderal) (Potter & Perry,2006).
4. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis juga
dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang
paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih
disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung kemih di
medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui
penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang
dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar
panggul (Guyton, 1995).
Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah
(2008) yaitu:
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
b. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi
pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien
berkemih.
c. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal,
dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
d. Urografi Eksretori
Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika
pasien berkemih. Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.
3) Terapi farmakologis
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:
- antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
- Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
- Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol
atau alfa kolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi
kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
4) Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urgensi, bila terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnyamemerlukan tindakan
pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi inidilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic(pada wanita).
5) Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkaninkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalamiinkontinensia urin, diantaranya
adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan
bedpan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada
lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak
menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
2. Riwayat Kesehatan
Riwayat Kesehatan Sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang
dirasakan saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada
sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa,
gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran
jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan
diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah
terjadi ketidakmampuan.
3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Pemeriksaan Sistem
B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis
karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah
kelainan pada perkusi.
B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan
gelisah
B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
B4 (bladder)
Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri)
dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila
ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada
meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis,
seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga
di luar waktu kencing.
B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri
tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
4. Data Penunjang
Urinalisis
Hematuria
Poliuria
Bakteriuria
5. Pemeriksaan Radiografi
IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.
VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan
fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat),
mengkaji PVR (Post Voiding Residual).
6. Kultur Urine
Steril
Pertumbuhan tak bermakna (100.000 koloni/ml).
Organisme
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai berikut:
Intervensi :
Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan gunakan catatan berkemih
sehari.
Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang
direncanakan.
Observasi meatus perkemihan untuk memeriksa kebocoran saat
kandung kemih.
Intruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran,
ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan
klien berdiri jika tidak ada kebocoranyang lebih dulu.
Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan
cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.
Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan
kekuatannya dengan latihan
Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi inkonteninsia.
Intervensi :
Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.
Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur)
dan setelah buang air besar.
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung
kemih dan naik ke saluran perkemihan.
Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh
atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal,
pengososngan kantung drainse urine, penampungan spesimen urine).
Pertahankan teknik asepsis bila melakukan kateterisasi, bila
mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
R: Untuk mencegah kontaminasi silang.
Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan
anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu
melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.
Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
1. Tingkatkan masukan sari buah berri.
2. Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari
buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman
urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam
pengobatan infeksi saluran kemih.
Intevensi :
Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam
R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil
yang diharapkan.
Intervensi :
Berikan kesempatan kepada klien dan orang terdekat untuk
mengekspresikan perasaan dan harapannya. Perbaiki konsep yang
salah.
R: Kemapuan pemecahan masalah pasien ditingkatkan bila lingkungan
nyaman dan mendukung diberikan.
7. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Baik, Klien tampak bersih
2) Tingkat Kesadaran
a. Refleks membuka mata (eye) : Spontan = 4
b. Respon Motorik (motorik) : Respon baik dengan perintah = 6
c. Respon Verbal (verbal) : Orientasi baik = 5
d. Jumlah nilai GCS = 15
e. Interpretasi GCS = Normal (compos mentis)
3) Tanda-tanda vital
a. TD = 130/80 mmHg
b. Suhu 36°C,
c. BB 65kg,
d. TB 165 cm.
Analisa Data
Data Masalah Etiologi
DS : Inkontinensia Urine Kehilangan
1. Klien mengatakan tidak Fungsional sensorik dan
dapat menahan BAK. motoric (pada
2. Klien mengatakan sering geriatric)
ngomopol sebelum sampai
kamar mandi.
3. Klien mengatakan sering
terjadi pada malam hari.
4. Klien mengatakan
kondisinya sudah di alami
sejak 2 minggu yang lalu.
DO :
1. Pasien terlihat sedih
2. Hasil Pemeriksaan :
TD :130/80 mmHg
Suhu : 36°C
BB : 65kg
TB : 165 cm.
3. Terdapat distensi kandung
kemih
Ds Isolasi Social Ketidakmampuan
- Klien mengatakan bahwa menjalin hubungan
dirinya merasa berbeda yang memuaskan
dengan yang lain
- Klien mengatakan selalu
ingin sendiri
- Teman sekamarnya
mengatakan klien sering
melamun sendiri
- Klien mengatakan merasa
nyaman jika berada
dirumah
Do
- Hasil Pemeriksaan :
TD :130/80 mmHg
Suhu : 36°C
BB : 65kg
TB : 165 cm.
- Klien tampak sedih
- Klien tampak malu
berinteraksi dengan orang
lain
B. Diagnosa Keperawatan
1. Inkontinensia Urine Fungsional berhubungan dengan Kehilangan sensorik dan motoric
(pada geriatric)
2. Resiko isolasi sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat
mengompol didepan orang lain atau takut bau urine
C. Intervensi keperawatan
Edukasi
1. Mengidentifikasi
penyebab inkontinensia
urine (mis : disfungsi
neurologis, gangguan
medulla spinali,
gangguan refleks
destrusor, obat-obatan,
usia, riwayat operasi,
gangguan fungsi
kognitif)
2. Mengidentifikasi
perasaan dan persepsi
pasien terhadap
inkontinensia urine yang
dialaminya.
Terapeutik
3. Membersihkan daerah
genital dan kulit sekitar
secara rutin
4. Memberikan pujian atas
keberhasilan mencegah
inkontinensia
Edukasi
5. Menjelaskan definisi,
jenis dan penyebab
inkontinensia urine
6. Menganjurkan jenis
pakaian dan lingkungan
yang mendukung proses
berkemih
7. Menganjurkan
membatasi konsumsi
cairan 2-3 jam
menjelang tidur
8. Menajarkan memantau
cairan keluar dan masuk
serta pola eliminasi
urine (dengan membuat
catatan berkemih)
2. 14/10/22 Observasi
1. Mengidentifikasi
kemampuan melakukan
interaksi dengan orang
lain
2. Mengidentifikasi
hambatan melakukan
interaksi dengan orang
lain
Terapeutik
- Memotivasi
berpartisipasi dalam
aktifitas baru dan
kegiatan kelompok
- Memotivasi brinteraksi
di luar lingkungan
Edukasi
- Menganjurkan
berinteraksi dengan
orang lain secara
bertahap
- Menganjurkan berbagi
pengalaman dengan
orang lain
E. Evaluasi Keperawatan
No Hari/Tanggal Evaluasi
1 Jumat, 14 S=
Oktober 2022 1. Klien mengatakan dapat mengeluarkan urinenya tepat
di toilet dengan melihat catatan waktu berkemihnya.
O=
1. Pasien mampu mencatat waktu berkemihnya dengan
mandiri
2. Sedih pasien terlihat berkurang
3. TTV
TD :130/70 mmHg
Suhu : 36,5°C
BB : 65kg
TB : 165 cm.
A=
Masalah teratasi
P=
Intervensi dihentikan
2 S=
1. Klien mengatakan mampu berinterkasi dengan orang
lain
O=
1. Klien tampak sudah tidak sedih
2. Perilaku klien tampak sesuai denga harapan orang lain
A:
Masalah teratasi sebagian
P:
Intervensi dilanjutkan
1. Anjurkan berinteraksi dengan orang lain secara
bertahap
2. Anjurkan berbagi pengalaman dengan orang lain
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba
Medika.
Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses pemulihan
inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi=lokal pada tanggal
15 Mei 2021
Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika