Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN SISTEM


PERKEMIHAN
(INKONTINENSIA URINE)

Dosen Pengampu :
Ns. Neneng Kurwiyah MNS

Disusun Oleh :
Kelompok 3
1. Putri Aprilia Eka Sari
2. Sifa Nabila
3. Ratih Purwasih
4. Rahma Wulan P
5. Nafa Amalia

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia kepada kami
sehingga kami senantiasa dapat menyelesaikan makalah tentang Asuhan Keperawatan pada
Lansia dengan Gangguan Sistem Perkemihan dengan baik. Makalah ini kami susun guna
memenuhi matakuliah Keperawatan Gerontik. Ucapan terimakasih kepada teman-teman yang
telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah Asuhan Keperawatan Pada Lansia dengan Gangguan Sistem Perkemihan ini
dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa.
Makalah yang kami susun ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah
ini.

Jakarta, 10 Oktober 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang
diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara
alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.

Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari
proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap
individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat
diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan
multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada
keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di
dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi.

Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun
demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering
menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak
seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan
pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit,
dan terjadi juga pada sistem pencernaan.

Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang
normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh ,
lebih mudah terkena konstipasi merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut.
Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan
sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.

Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang
telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan
adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya
penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama
lain . Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui
tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional
limitations), ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan
dialami bersamaan dengan proses kemunduran.

Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang
normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh,
dan adanya inkontinensia baik urine maupun tinja merupakan ancaman bagi integritas
orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan
peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.

Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan
pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–
30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit
mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia
urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.

Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang dikeluhkan


oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk
diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak
perlu diobati. Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala yang
menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas
hidup (Rochani, 2002).

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa
rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan
mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

B. Tujuan

1. Mengetahui dan memahami mengenai definisi inkontinensia urin pada lanjut


usia.
2. Mengetahui dan memahami mengenai etiologi inkontinensia urin pada lanjut usia.
3. Mengetahui dan memahami mengenai faktor predisposisi atau faktor pencetus
inkontinensia urin pada lanjut usia.
4. Mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi inkontinensia urin pada lanjut
usia.
5. Mengetahui dan memahami mengenai tanda dan gejala inkontinensia urin pada
lanjut usia.
6. Mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan penunjang pada lanjut usia.
7. Mengetahui dan memahami mengenai pathway inkontinensia urin pada lanjut
usia.
8. Mengetahui dan memahami mengenai asuhan keperawatan inkontinensia urin
pada lanjut usia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian

Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat sementara


atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna. Merembesnya
urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter dan Perry, 2005).

Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot sfingter


eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum
penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat,
penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedatif.

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa
rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan
mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat, 2006:

Inkontinensia Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin


Dorongan tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat
setelah berkemih.

Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya terjadi


miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung
kemih (Hidayat, 2006). Pasien Inkontinensia dorongan
mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul
sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor
sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas
kandung kemih belum terpenuhi.
Inkontinensia Total Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin
yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.

Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain:


disfungsi neorologis, kontraksi independen dan refleks
detrusor karena pembedahan, trauma atau penyakit yang
mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati.
Inkontinensia Stress Tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan
peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih,
dan sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot
spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang
disebabkan meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-
tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu
batuk, bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa (Panker,
2007).
Inkontinensia Reflex Keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urin
yang tidak dirasakan.

Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya


kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis). Inkontinensia
refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk
berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan
kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada
interval teratur
Inkontinensia Keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara
Fungsional tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan
inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan
untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh,
kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan
urin

2. Etiologi

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-
kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang
tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari
dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah
menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain
terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi
urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.

Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran
kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis
atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus
dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses,
maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan
cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga
bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan
metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah
asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan
yang bersifat diuretika seperti kafein.

Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat
dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa
disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan
substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat.

Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang


dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat
jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat.
Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik,
narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan
kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan
sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan
dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia
urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca
melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan
operasi vagina.

Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya


otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga
dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan
penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia
menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu
saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor
risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan
lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin
besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).

3. Faktor Predisposisi

a. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga
berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum
mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena
sistem neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia
lanjut juga akan mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya
terjadi penurunan tonus otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut
menyebabkan kesulitan dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada
manusia usia lanjut berisiko mengalami konstipasi. Begitu pula pada eliminasi
urine, terjadi penurunan kontrol otot sfingter sehingga terjadi inkontinensia
(Asmadi, 2008).

b. Diet
Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya
jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi
karena kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang
banyak dapat menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan
menyumbat saluran kemih sehingga pengeluaran utine menjadi terganggu.
Selain itu, urine juga dapat menjadi bau jengkol. Malnutrisi menjadi dasar
terjadinya penurunan tonus otot, sehingga mengurangi kemampuan seseorang
untuk mengeluarkan feses maupun urine. Selain itu malnutrisi menyebabkan
menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi yang menyerang pada organ
pencernaan maupun organ perkemihan(Asmadi, 2008).

c. Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal
untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih
pekat(Asmadi, 2008).

d. Latihan Fisik
Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus
otot yang baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan diagfragma sangat
penting bagi miksi (Asmadi, 2008).

e. Stress Psikologis
Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan
mengalami diare ataupun beser (Asmadi, 2008).

f. Temperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh
karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh
akan kekurangan cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi dan
pengeluaran urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat memegaruhi
nafsu makan yaitu terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake
cairan (Asmadi, 2008).

g. Nyeri
Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang
seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi urine
(Asmadi, 2008).

h. Sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di
masyarakat Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet merupaka
sesuatu yang pribadi , sementara budaya Eropa menerima fasilitas toilet yang
digunakan secara bersama-sama (Potter & Perry,2006).

i. Status Volume
Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam
keseimbangan, peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan peningkatan
produksi urine. Cairan yang diminum akan meningkatakan volume filtrat
glomerulus dan eksresi urina (Potter & Perry,2006).

j. Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan
hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh kandung kemih,
dan individu mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi. Misalnya
diabetes melitus dan sklerosis multiple menyebabkan kondusi neuropatik yang
mengubah fungsikandung kemih. Artritis reumatoid, penyakit sendi
degeneratif dan parkinson, penyakit ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap
akhir (Potter & Perry,2006).

k. Prosedur Bedah
Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan sebelum menjali
pembedahan yang diakibatkan oleh proses penyakit atau puasa praoperasi,
yang memperburuk berkurangnya keluaran urine. Respons stres juga
meningkatkan kadar aldosteron menyebabkan berkurangnya keluaran urine
dalam upaya mempertahankan volume sirkulasi cairan (Potter & Perry,2006).

l. Obat-obatan
Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik (atropin),
antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat beta
adrenergik (inderal) (Potter & Perry,2006).

4. Patofisiologi

Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis juga
dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang
paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih
disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung kemih di
medulla spinalis (Darmojo, 2000).

Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui
penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang
dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar
panggul (Guyton, 1995).

Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang


menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih
berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang
timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan
karena usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan
kerusakan dapat mengganggu kondisi antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi
uretra yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan
inkontinensia (Setiati, 2001).

5. Tanda Dan Gejala

Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah
(2008) yaitu:

1. Ketidaknyamanan daerah pubis


2. Distensi vesika urinaria
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih
4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)
5. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya
6. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
7. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
b. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi
pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien
berkemih.

c. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal,
dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.

d. Urografi Eksretori
Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika
pasien berkemih. Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.

e. Kateterisasi Residu Pascakemih


Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan
jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.
Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller adalah
mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol
inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,medikasi, latihan otot pelvis dan
pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai
berikut :
1) Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah
urin yang keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar
karena tak tertahan, selain itudicatat pula waktu, jumlah dan jenis
minuman yang diminum.

- Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval


waktu berkemih)dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga
frekwensi berkemih 6-7 x/hari.

- Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih


bila belum waktunya.

- Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu,


mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap
sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.

- Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah


ditentukan sesuai dengankebiasaan lansia.

- Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia


mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin
berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan
fungsi kognitif (berpikir).
2) Terapi non farmakologis
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah :

3) Terapi farmakologis
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:
- antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
- Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
- Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol
atau alfa kolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi
kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.

4) Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urgensi, bila terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnyamemerlukan tindakan
pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi inidilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic(pada wanita).

5) Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkaninkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalamiinkontinensia urin, diantaranya
adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan
bedpan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada
lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak
menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.

2. Riwayat Kesehatan
 Riwayat Kesehatan Sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang
dirasakan saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada
sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa,
gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran
jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan
diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah
terjadi ketidakmampuan.

 Riwayat Kesehatan Dahulu


Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah
terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi
saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.

 Riwayat Kesehatan Keluarga


Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau
keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.

3. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum
 Pemeriksaan Sistem
B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis
karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah
kelainan pada perkusi.

B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan
gelisah

B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh

B4 (bladder)
Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri)
dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila
ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada
meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis,
seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga
di luar waktu kencing.

B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri
tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.

B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.

4. Data Penunjang
 Urinalisis
 Hematuria
 Poliuria
 Bakteriuria

5. Pemeriksaan Radiografi
 IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.
 VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan
fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat),
mengkaji PVR (Post Voiding Residual).

6. Kultur Urine
 Steril
 Pertumbuhan tak bermakna (100.000 koloni/ml).
 Organisme

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai berikut:

1. Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur


dasar penyokongnya.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu
yang lama.
3. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh
urine
4. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat
mengompol di depan orang lain atau takut bau urine
5. Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik berhubungan
dengan deficit pengetahuan tentang penyebab inkontinen, penatalaksaan, progam
latihan pemulihan kandung kemih, tanda dan gejala komplikasi, serta sumbe
komonitas.
C. Rencana Asuhan Keperawatan

1. Inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot pelvis


Tujuan :
Klien akan melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkonteninsia, klien
dapat menjelaskan penyebab.

Intervensi :
 Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan gunakan catatan berkemih
sehari.
 Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang
direncanakan.
 Observasi meatus perkemihan untuk memeriksa kebocoran saat
kandung kemih.
 Intruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran,
ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan
klien berdiri jika tidak ada kebocoranyang lebih dulu.
 Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan
cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.
 Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan
kekuatannya dengan latihan
 Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi inkonteninsia.

2. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam


waktu yang lama.
Tujuan :
Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan, urinalisis dalam batas
normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya bakteri.

Intervensi :
 Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.
 Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur)
dan setelah buang air besar.
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung
kemih dan naik ke saluran perkemihan.
 Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh
atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal,
pengososngan kantung drainse urine, penampungan spesimen urine).
Pertahankan teknik asepsis bila melakukan kateterisasi, bila
mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
R: Untuk mencegah kontaminasi silang.
 Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan
anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu
melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.
 Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
1. Tingkatkan masukan sari buah berri.
2. Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari
buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman
urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam
pengobatan infeksi saluran kemih.

3. Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi


konstan oleh urine
Tujuan :
a. Jumlah bakteri < 100.000 / ml.
b. Kulit periostomal tetap utuh.
c. Suhu 37° C.
d. Urine jernih dengan sedimen minimal.

Intevensi :
 Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam
R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil
yang diharapkan.

 Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi.


Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru.
Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter
stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar
menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah
seperempat sampai setengah penuh.
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal,
memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit
periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit
dan peningkatan resiko infeksi.

4. Resiko isolasi sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan


akibat mengompol didepan orang lain atau takut bau urine
Intervensi:
 yakinkan apakah konseling dilakukan atau perlu diversi urinaria,
diskusikan pada saat pertama
R: Memberikan informasi tentang tingkat pengetahuan pasien / orang
terdekat tentang situasi individu dan Pasien menerimanya(contoh;
inkontinensia tak sembuh, infeksi)
 Dorong pasien / orang terdekat untuk mengatakan perasaan. Akui
kenormalan perasaan marah, depresi, dan kedudukan karena
kehilangan. Diskusikan “peningkatan dan penurunan” tiap hari yang
dapat terjadi setelah pulang.
R: Memberikan kesempatan menerima isu / salah konsep. Membantu
pasien / orang terdekat menyadari bahwa perasaan yang dialami tidak
biasa dan bahwa perasaan bersalah pada mereka tidak perlu /
membantu. Pasien perlu mengenali perasaan sebelum mereka dapat
menerimanya secara efektif.
 Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan,
manipulasi atau tidak terlibat pada asuhan
R: Dugaan masalah pada penyesuaian yang memerlukan evaluasi
lanjut dan terapi lebih efektif. Dapat menunjukkan respon kedukaan
terhadap kehilangan bagian / fungsi tubuh dan kawatir terhadap
penerimaan orang lain, juga rasa takut akan ketidakmampuan yang
akan datang / kehilangan selanjutnya pada hidup karena kanker
 Berikan kesempatan untuk pasien / orang terdekat untuk memandang
dan menyentuh stoma, gunakan kesempatan untuk memberikan tanda
positif penyembuhan, penampilan, normal, dsb.
R: Meskipun integrasi stoma ke dalam citra tubuh memerlukan waktu
berbulan-bulan / tahunan, melihat stoma dan mendengar komentar
(dibuat dengan cara normal, nyata) dapat membantu pasien dalam
penerimaan ini. Menyentuh stoma meyakinkan klien / orang terdekat
bahwa stoma tidak rapuh dan sedikit gerakan stoma secara nyata
menunjukkan peristaltic normal
 Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya melalui
partisipasi dalam perawatan diri
R: Kemandirian dalam perawatan memperbaiki harga diri
 Pertahankan pendekatan positif, selama aktivitas perawatan,
menghindari ekspresi menghina atau reaksi mendadak. Jangan
menerima ekspresi kemarahan pasien secara pribadi
R: Membantu pasien / orang terdekat menerima perubahan tubuh dan
menerima akan diri sendiri. Marah paling sering ditunjukkan pada
situasi dan kurang kontrol terhadap apa yang terjadi (tidak terduga),
bukan pada pemberi asuhan.

5. Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik yang


berhubungan dengan defisit pengetahuan tentang penyebab inkontinen,
penatalaksaan, progam latihan pemulihan kandung kemih, tanda dan
gejala komplikasi, serta sumbe komonitas
Tujuan :
 Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, pemeriksaan diagnostik,
dan macam terapeutik.
 Keluhan berkurang tentang cemas atau gugup.
 Ekspresi wajah rileks.

Intervensi :
 Berikan kesempatan kepada klien dan orang terdekat untuk
mengekspresikan perasaan dan harapannya. Perbaiki konsep yang
salah.
R: Kemapuan pemecahan masalah pasien ditingkatkan bila lingkungan
nyaman dan mendukung diberikan.

 Berikan informasi tentang:


Sifat penyakit
Deskripsi singkat tentang tidur.
Pemeriksaan setelah perawatan.

Bila informasi harus diberikan selama episode nyeri, pertahankan


intruksi dan penjelasan singkat dan sederhana. Berikan informasi lebih
detail bila nyeri terkontrol
R: Pengetahuan apa yang akan dirasakan membantu mengurangi
ansietas, nyeri mempengaruhi prose belajar.
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS
Kasus :
Seorang perempuan berusia 60 tahun, tinggal dipanti. Hasil pengkajian didapatkan data klien
tidak dapat menahan BAK, sering ngompol sebelum sampai kekamar mandi, terutama pada
malam hari. Kondisi ini terjadi sejak 2 minggu yang lalu, klien sedih dengan kondisi yang
dialami. Hasil pemeriksaan : TD:130/80 mmHg, suhu 36°C, BB 65kg, TB 165 cm.
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama Inisial : Ny.A
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 60 Tahun
Agama : Islam
Status : Menikah
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl.Merdeka 7

2. Riwayat Kesehatan saat ini :


Keluhan yang dialami klien yaitu klien tidak dapat menahan BAK dan sering terjadi
pada malam hari.

3. Riwayat Kesehatan Dahulu


Pasien tidak memiliki riwayat Kesehatan di masa lalu

4. Riwayat Kesehatan Keluarga


Keluarga mengatakan tidak memiliki riwayat Kesehatan di keluarganya.

5. Aktivitas Hidup Sehari-hari (Berdasarkan indeks katz, disimpulkan skore..)


Pengukuran pada kondisi ini meliputi Indeks Katz.
No Aktivitas Keterangan
1 Mandi Dapat mengerjakan sendiri
2 Berpakaian Seluruhnya tanpa bantuan
3 Pergi ke toilet Tanpa bantuan
4 Berpindah (berjalan) Tanpa bantuan
5 BAB dan BAK Sering ngompol sebelum sampai kekamar mandi
6 Makan Tanpa bantuan

6. Berdasarkan indeks KATZS, pemenuhan kebutuhan ADL klien diskor dengan C,


Karena berdasarkan pengamatan, klien hanya mampu memenuhi 5 kebutuhan dasar
yaitu mandi, berpakaian, berjalan, dan makan.
Psikologis
a. Persepsi klien : Persepsi klien terhadap penyakitnya, pasien merasa
sedih
b. Konsep diri : Sedang, Pasien merasa sedih karena
merepotkan
c. Emosi : Kurang stabil
d. Adaptasi : Klien belum beradaptasi dengan baik
e. Mekanisme pertahanan diri : Klien mengatakan lebih senang dan nyaman
tinggal dirumah Bersama keluarganya

7. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Baik, Klien tampak bersih
2) Tingkat Kesadaran
a. Refleks membuka mata (eye) : Spontan = 4
b. Respon Motorik (motorik) : Respon baik dengan perintah = 6
c. Respon Verbal (verbal) : Orientasi baik = 5
d. Jumlah nilai GCS = 15
e. Interpretasi GCS = Normal (compos mentis)
3) Tanda-tanda vital
a. TD = 130/80 mmHg
b. Suhu 36°C,
c. BB 65kg,
d. TB 165 cm.

Analisa Data
Data Masalah Etiologi
DS : Inkontinensia Urine Kehilangan
1. Klien mengatakan tidak Fungsional sensorik dan
dapat menahan BAK. motoric (pada
2. Klien mengatakan sering geriatric)
ngomopol sebelum sampai
kamar mandi.
3. Klien mengatakan sering
terjadi pada malam hari.
4. Klien mengatakan
kondisinya sudah di alami
sejak 2 minggu yang lalu.
DO :
1. Pasien terlihat sedih
2. Hasil Pemeriksaan :
 TD :130/80 mmHg
 Suhu : 36°C
 BB : 65kg
 TB : 165 cm.
3. Terdapat distensi kandung
kemih
Ds Isolasi Social Ketidakmampuan
- Klien mengatakan bahwa menjalin hubungan
dirinya merasa berbeda yang memuaskan
dengan yang lain
- Klien mengatakan selalu
ingin sendiri
- Teman sekamarnya
mengatakan klien sering
melamun sendiri
- Klien mengatakan merasa
nyaman jika berada
dirumah
Do
- Hasil Pemeriksaan :
 TD :130/80 mmHg
 Suhu : 36°C
 BB : 65kg
 TB : 165 cm.
- Klien tampak sedih
- Klien tampak malu
berinteraksi dengan orang
lain

B. Diagnosa Keperawatan
1. Inkontinensia Urine Fungsional berhubungan dengan Kehilangan sensorik dan motoric
(pada geriatric)
2. Resiko isolasi sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat
mengompol didepan orang lain atau takut bau urine

C. Intervensi keperawatan

No Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
1. Inkontinensia Urine Setelah dilakukan Tindakan Observasi
Fungsional keperawatan selama 3×24
berhubungan jam. Klien mampu 1. Identifikasi penyebab
dengan Kehilangan mengontrol eliminasi urine. inkontinensia urine (mis :
sensorik dan Dengan Kriteria Hasil : disfungsi neurologis,
motoric (pada gangguan medulla spinali,
geriatric) 1. Mengidentifikasi gangguan refleks destrusor,
keinginan berkemih. obat-obatan, usia, riwayat
2. Merespon tepat operasi, gangguan fungsi
waktu terhadap kognitif)
dorongan berkemih. 2. Identifikasi perasaan dan
3. Mencapai toilet persepsi pasien terhadap
antara waktu inkontinensia urine yang
dorongan berkemih dialaminya.
dan pengeluaran
urine. Terapeutik

3. Bersihkan daerah genital


dan kulit sekitar secara rutin
4. Berikan pujian atas
keberhasilan mencegah
inkontinensia

Edukasi

5. Jelaskan definisi, jenis dan


penyebab inkontinensia
urine
6. Anjurkan jenis pakaian dan
lingkungan yang
mendukung proses
berkemih
7. Anjurkan membatasi
konsumsi cairan 2-3 jam
menjelang tidur
8. Ajarkan memantau cairan
keluar dan masuk serta pola
eliminasi urine (dengan
membuat catatan berkemih)

2. Isolasi social b.d Setelah dilakukan tindakan Observasi


ketidakmampuan keperawatan selama 3x24
menjalin hubungan jam. Klien dapat 1. Identifikasi kemampuan
yang memuaskan berinterkasi dengan orang melakukan interaksi dengan
lain dan klien dapat orang lain
membuna hubungan saling 2. Identifikasi hambatan
percaya dengan KH : melakukan interaksi dengan
orang lain
- Afek sedih
(menurun) Terapeutik
- Minat interaksi
(meningkat) 3. Motivasi berpartisipasi
- Verbalisasi berbeda dalam aktifitas baru dan
dengan orang lain kegiatan kelompok
(menurun) 4. Motivasi brinteraksi di luar
- Perilaku sesuai lingkungan
dengan harapan
orang lain Edukasi
(membaik)
5. Anjurkan berinteraksi
dengan orang lain secara
bertahap
6. Anjurkan berbagi
pengalaman dengan orang
lain
D. Implementasi Keperawatan
No Tanggal Tindakan Paraf
1 14/10/22 Observasi

1. Mengidentifikasi
penyebab inkontinensia
urine (mis : disfungsi
neurologis, gangguan
medulla spinali,
gangguan refleks
destrusor, obat-obatan,
usia, riwayat operasi,
gangguan fungsi
kognitif)
2. Mengidentifikasi
perasaan dan persepsi
pasien terhadap
inkontinensia urine yang
dialaminya.

Terapeutik

3. Membersihkan daerah
genital dan kulit sekitar
secara rutin
4. Memberikan pujian atas
keberhasilan mencegah
inkontinensia

Edukasi

5. Menjelaskan definisi,
jenis dan penyebab
inkontinensia urine
6. Menganjurkan jenis
pakaian dan lingkungan
yang mendukung proses
berkemih
7. Menganjurkan
membatasi konsumsi
cairan 2-3 jam
menjelang tidur
8. Menajarkan memantau
cairan keluar dan masuk
serta pola eliminasi
urine (dengan membuat
catatan berkemih)
2. 14/10/22 Observasi

1. Mengidentifikasi
kemampuan melakukan
interaksi dengan orang
lain
2. Mengidentifikasi
hambatan melakukan
interaksi dengan orang
lain

Terapeutik

- Memotivasi
berpartisipasi dalam
aktifitas baru dan
kegiatan kelompok
- Memotivasi brinteraksi
di luar lingkungan

Edukasi

- Menganjurkan
berinteraksi dengan
orang lain secara
bertahap
- Menganjurkan berbagi
pengalaman dengan
orang lain

E. Evaluasi Keperawatan
No Hari/Tanggal Evaluasi
1 Jumat, 14 S=
Oktober 2022 1. Klien mengatakan dapat mengeluarkan urinenya tepat
di toilet dengan melihat catatan waktu berkemihnya.
O=
1. Pasien mampu mencatat waktu berkemihnya dengan
mandiri
2. Sedih pasien terlihat berkurang
3. TTV
TD :130/70 mmHg
Suhu : 36,5°C
BB : 65kg
TB : 165 cm.
A=
Masalah teratasi
P=
Intervensi dihentikan
2 S=
1. Klien mengatakan mampu berinterkasi dengan orang
lain
O=
1. Klien tampak sudah tidak sedih
2. Perilaku klien tampak sesuai denga harapan orang lain

A:
Masalah teratasi sebagian

P:
Intervensi dilanjutkan
1. Anjurkan berinteraksi dengan orang lain secara
bertahap
2. Anjurkan berbagi pengalaman dengan orang lain
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba
Medika.

Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses pemulihan
inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi=lokal pada tanggal
15 Mei 2021

Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai