Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN GANGGUAN SISTEM

PERKEMIHAN

Disusun Oleh :

1. Lida Woryaningsih ( G2A219018 )


2. Renny Isnaeni ( G2A2190219 )
3. Dyah Ratna ( G2A219020 )
4. Kholifiana Maulida ( G2A219021 )
5. Yeni Dwi Cahyanti ( G2A219022 )
6. Haris Afandi ( G2A219023 )
7. Ana Amaliyah ( G2A219024 )
8. Ilham Mubasirun ( G2A219026 )

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN LINTAS JALUR

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tahap lanjut dari suatu proses kehidupan ditandai dengan penurunan
kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan disebut lansia.
Menua merupakan kemunduran dari semua sistem tubuh, dimana fenomena
biologis universal yang ditandai dengan evolusi dan maturasi organisme
secara progresif. Secara fisiologis proses menua adalah penurunan bertahap
dan teratur dari organ atau sistem organ serta penurunan kendali homeostasis
(Sutarmi dkk, 2016). Penurunan yang terjadi dapat dilihat dari semua sistem
tubuh, mulai dari sistem integumen, respirasi, kardiovaskuler, pencernaan,
muskuloskletal, neorologis, sensori, perkemihan, endokrin, imunitas, dan
reproduksi (Touhy & Jett, 2010).
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan
proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan
umumnya dialami pada semua makhluk hidup.Usia lanjut adalah tahap akhir
dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses alamiah kehidupan
yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Penuaan
adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat
diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang
kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan
berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat
kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses
tersebut tidak tertandingi.Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan
proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa

2
ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses
menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa,
misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan
jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada
sistem pencernaan.Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik
secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi
dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik
sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya
ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh , lebih mudah terkena
konstipasi merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belumlagi
mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan
sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.Proses menua
(aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah
mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan
adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan
adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling
berinteraksi satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada lansia secara
linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment),
keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability),
dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses
kemunduran. Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik
maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai
bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman
panca indera, menurunnya daya tahan tubuh, dan adanya inkontinensia baik
urine maupun tinja merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut.
Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri,
kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang
dicintai.Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang
sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia
urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien

3
geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan
kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur
65-74 tahun.Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau
inkontinensia jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap
sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun
pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia
urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan
kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani,
2002).Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan
dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena
pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan),
dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang
tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan
keluarnya urin (Hariyati, 2000).
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Menggambarkan asuhan keperawatan lansia dengan gangguan
perkemihan
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui dan memahami mengenai definisi inkontinensia urin pada
lanjut usia.
b. Mengetahui dan memahami mengenai etiologi inkontinensia urin pada
lanjut usia.
c. Mengetahui dan memahami mengenai faktor predisposisi atau faktor
pencetus inkontinensia urin pada lanjut usia
d. Mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi inkontinensia urin
pada lanjut usia.
e. Mengetahui dan memahami mengenai tanda dan gejala inkontinensia
urin pada lanjut usia.
f. Mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan penunjang pada
lanjut usia.

4
g. Mengetahui dan memahami mengenai pathway inkontinensia urin
pada lanjut usia.
h. Mengetahui dan memahami mengenai asuhan keperawatan
inkontinensia urin pada lanjut usia.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Traktur Urinarius


Tractus Urinarius adalah suatu saluran system tubuh untuk memproduksi urin
yang merupakan suatu cara untuk membuang sisa – sisa hasil metabolism
yang sudah tidak dapat dipakai lagi oleh tubuh.
Komponen dari Tractus Urinarius adalah : 2 buah/sepasang ginjal, 2
buah/sepasang ureter, vesica urinaria, orificium urethra externum
1. Ginjal/Ren
Ginjal adalah organ berbentuk seperti kacang, berwarna merah tua,
panjangnya sekitar 12.5 cm dan tebalnya sekitar 2,5 cm. Terdapat 2 buah
ginjal dalam satu tubuh manusia Ginjal terletak di area yang cukup tinggi,
yaitu pada dinding abdomen posterior yang berdekatan dengan 2 pasang iga
terakhir. Organ ini terletak secara retroperitoneal dan di antara otot – otot
punggung dan dan peritoneum rongga abdomen atas. Setiap ginjal mempunyai
kelenjar adrenal pada bagian atasnya.Ginjal kiri letaknya lebih tinggi daripada
ginjal kanan dikarenakan adanya Hepar pada sisi kanan tubuh. Ginjal tersusun
atas banyak nefron, yang berfungsi untuk filtrasi dan pembentukan urin. Satu
unit nefron terdiri dari(Sherwood,2001) :
a. Glomerulus : Merupakan suatu gulungan kapiler. Dikelilingi oleh sel –
sel epitel lapis ganda atau biasa disebut Kapsul Bowman. Bertindak
seperti saringan, menyaring darah yang datang dari Arteriol Aferen.
Membentuk urin primer yang berupa cairan pekat, kental, dan masih
seperti darah, tapi protein dan glukosa, sudah tidak ditemukan

6
b. Tubulus Kontortus Proksimal : Suatu saluran mikro yang amat berliku dan
panjang. Mempunyai mikrovilus untuk memperluas area permukaan
lumen.
c. Ansa Henle : Suatu saluran mikro yang melengkung dan berliku, terdiri
dari bagian yang tipis dan yang tebal. Pada bagian yang tipis, didominasi
oleh reabsorpsi air. Sedangkan pada bagian yang tebal, didominasi oleh
reabsorpsi elektrolit, seperti NaCl
d. Tubulus Kontortus Distal : Suatu saluram mikro yang juga panjang dan
berliku. Disini, sedikit dilakukan reabsorpsi air.
e. Ductus Coligentus : Suatu saluran lurus dimana berkumpulnya hasil urin
setelah melewati Tubulus Kontortus Distal. Bermuara ke Calix Minor
Renalis. Yang selanjutnya akan dibawa ke Calix Mayor Renalis, lalu ke
Pelvis Renalis

7
Ginjal mendapat suplai darah dari pembuluh darah sebagai berikut :

a. Arteri Renalis
b. Arteri Arkuata
c. Arteri Interlobaris
d. Arteriol Aferen

8
e. Arteriol Eferen
2. Ureter
Ureter adalah saluran perpanjangan tubular berpasangan dan berotot dari pelvis
ginjal yang merentang hingga Vesica Urinaria. Ureter memiliki panjang antara
25 sampai 30 cm. Saluran ini menyempit di 3 tempat (Sherwood,2001) :
a. Proksimal ureter, pada Pelvis Renalis
b. Saat melewati pinggiran pelvis/panggul
c. Distal ureter, pada saat memasuki Vesica Urinaria

Batu ginjal dapat menyangkut pada 3 tempat tersebut sehingga menyebabkan


nyeri yang biasa disebut Colic Ginjal Ureter mempunyai beberapa lapisan.

a. Fibrosa : Lapisan terluar


b. Muskularis Longitudinal (arah dalam), Otot Polos Sirkular (arah luar)
Lapisan tengah
c. Epitellium Mukosa : Lapisan terdalam

Lapisan muscular memiliki aktivitas Peristaltik Intrinsik, mengalirkan urin


menuju Vesica Urinaria untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh

3. Vesica Urinaria
Vesica Urinaria adalah suatu organ yang berfungsi untuk menampung urin.
Pada laki – laki, organ ini terletak tepat dibelakang Symphisis Pubis dan
didepan Rektum. Pada perempuan, organ ini terletak agak dibawah uterus, di
depan vagina. Saat kosong, berukuran kecil seperti buah kenari, dan terletak di
pelvis. Sedangkan saat penuh berisi urine, tingginya dapat mencapai umbilicus
dan berbentuk seperti buah pir. Dinding Vesica Urinaria memiliki beberapa
lapisan (Sloanne, 2004) :
a. Serosa : Lapisan terluar, merupakan perpanjangan dari lapisan peritoneal
rongga abdominopelvis. Hanya di bagian atas pelvis
b. Otot Detrusor : Lapisan tengah. Terdiri dari otot – otot polos yang saling
membentuk sudut. Berperan penting dalam proses urinasi
c. Submukosa : Lapisan jaringan ikat, menghubungkan antara lapisan otot
Detrusor dengan lapisan mukosa

9
d. Mukosa : Terdiri dari epitel – epitel transisional. Membentuk lipatan saat
dalam keadaan relaks, dan akan memipih saat keadaan terisi penuh.
4. Urethra
Urethra adalah saluran akhir dari Tractus Urinarius, yang mengalirkan urine ke
luar tubuh. Pada laki – laki, urethra memiliki panjang hingga 20 cm, dan
selain berfungsi untuk mengeluarkan urine, juga berfungsi untuk membawa
keluar semen, namun tidak pada saat yang bersamaan. Urethra pada laki –
laki dibagi menjadi 3 bagian (Sloanne, 2004):
a. Urethra pars Prostatika : Dikelilingi oleh kelenjar prostat, dan merupakan
muara dari 2 buah duktus ejakulatorius. Juga merupakan muara dari
beberapa duktus dari kelenjar prostat
b. Urethra pars Membranosa : Bagian terpendek. Berdinding tipis dan
dikelilingi oleh otot rangka sfingter urethra eksterna
c. Urethra pars Cavernosa : Bagian terpanjang. Menerima ductus dari kelenjar
bulbourethralis dan bermuara pada ujung penis. Sebelum mulut penis,
bagian ini membentuk suatu dilatasi kecil, yang disebut Fossa Navicularis.
Bagian ini dikelilingi oleh Korpus Spongiosum yang merupakan suatu
kerangka ruang vena yang besar.

Urethra pada perempuan memiliki panjang yang jauh lebih pendek. Ujung
mulut urethra pada perempuan terletak dalam vestibulum, antara Clitoris dan
Vagina. Perbedaan panjang dan letak anatomis dari urethra ini, mengakibatkan
perbedaan resiko akan terjadinya infeksi saluran kemih Pada perempuan, lebih
mudah terjadi infeksi karena pendeknya panjang urethra, dan dekatnya dengan
Vagina, yang memiliki banyak mikroorganisme sebagai flora normal, namun
bersifat infeksius jika berpindah tempat

10
B. Pengertian
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat
sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra
eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit
sedikit (Potter dan Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin
merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap
untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab inkontinensia dapat
berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran,

11
dan penggunaan obat narkotik atau sedatif.Inkontinensia urin yang dialami
oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien,
seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi
dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa
rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga
akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
C. Klasifikasi Inkontenensia urine
Inkontinensia urin dapat di klasifikasikan menjadi 2 yaitu
1. Inkontinensia urine akut (Transient incontinence): Inkontinensia urin ini
merupakan terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6 bulan dan
biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau masalah iatrogenic
menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebab umum dari Inkontinensia
Urin Transien ini sering disingkat DIAPPERS, yaitu:
a) D : Delirium atau kebingungan - pada kondisi berkurangnya kesadaran
baik karena pengaruh dari obat atau operasi, kejadian inkontinensia
dapat dihilangkan dengan mengidentifikasi dan menterapi penyebab
delirium.
b) I : Infection – infeksi saluran kemih seperti urethritis dapat
menyebabkan iritasi kandung kemih dan timbul frekuensi, disuria dan
urgensi yang menyebabkan seseorang tidak mampu mencapai toilet
untuk berkemih.
c) A : Atrophic Uretritis atau Vaginitis – jaringan teriritasi dapat
menyebabkan timbulnya urgensi yang sangat berespon terhadap
pemberian terapi estrogen.
d) P : Pharmaceuticals dapat karena obat-obatan, seperti terapi diuretic
yang meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih.
e) P : Psychological Disorder – seperti stres, depresi, dan anxietas.
f) E : Excessive Urin Output– karena intake cairan, alkoholisme diuretik,
pengaruh kafein.
g) R : Restricted Mobility – dapat penurunan kondisi fisik lain yang
mengganggu mobilitas untuk mencapai toilet.

12
h) S : Stool Impaction – dapat pengaruh tekanan feses pada kondisi
konstipasi akan mengubah posisi pada kandung kemih dan menekan
saraf.
2. Inkontinensia urin kronik (persisten):
Inkontinensia urin tidak berkaitan dengan kondisi akut dan berlangsung
dengan lama (lebih dari 6 bulan) ada 2 penyebab Inkontinensia urin kronik
(persisten) yaitu: menurunnya kapasitas kandung kemihakibat hiperaktif
dan karena kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya
kontraksi otot detrusor. Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi
menjadi 4 tipe (stress, urge, overflow , fungsional). Berikut ini adalah
penjelasan masing-masing tipe Inkontinensia urin
kronik atau persisten:
a) Inkontinensia urin tipe stress: Inkontinensia urin terjadi apabila urin
dengan secara tidak terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di
dalam perut, melemahnya otot dasar panggul, operasi dan penurunan
estrogen. Pada gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk,
mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal yang lain yang
meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan
dengan tanpa operasi (misalnya dengan Kegel exercises, dan beberapa
jenis obat-obatan), maupun dengan operasi.
b) Inkontinensia urin tipe urge: timbulnya pada keadaan otot detrusor
kandung kemih yang tidak stabil, di mana otot ini bereaksi secara
berlebihan Inkontinensia urin dapat ditandai dengan ketidakmampuan
menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul manifestasinya
dapat merupa perasaan ingin kencing yang mendadak (urge), kencing
berulang kali (frekuensi) dan kencing di malam hari (nokturia).
c) Inkontinensia urin tipe overflow : pada keadaan ini urin mengalir
keluar dengan akibat isinya yang sudah terlalu banyak di dalam
kandung kemih, pada umumnya akibat otot detrusor kandung kemih
yang lemah. Biasanya hal ini bisa dijumpai pada gangguan saraf akibat
dari penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, dan

13
saluran kencing yang tersumbut. Gejalanya berupa rasanya tidak puas
setelah kencing (merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih),
urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah.
d) Inkontinensia urin tipe fungsional: dapat terjadi akibat penurunan yang
berat dari fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat
mencapai ketoilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi pada demensia
berat, gangguan neurologic, gangguan mobilitas dan psikologik
(Setiati, 2007; Cameron, 2013).
D. Etiologi dan faktor- faktor Resiko
Secara umum dengan penyebab inkontinensia urin merupakan kelainan
urologis, neurologis dan fungsional. Kelainan urologis pada inkontinensia
urin dapat disebabkan karena adanya tumor, batu, atau radang. Kelainan
neurologis sebagai kerusakan pada pusat miksi di pons, antara pons atau
sakral medula spinalis, serta radiks S2-S4 akan terjadi menimbulkan
gangguan dari fungsi kandung kemih dan hilang sensibilitas kandung kemih.
(Setiati dan Pramantara, 2007). Sering dengan bertambahnya usia, ada
beberapa perubahan pada anatomi atau fungsi organ kemih, antara lain
disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, kebiasaan mengejan yang
salah atau karena penurunan estrogen. Kelemahan otot dasar panggul yang
dapat terjadi karena kehamilan, setelah melahirkan, kegemukan, menopause,
usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Dengan penambahan berat
badan dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot
dasar panggul karena ditekan dengan lamanya sembilan bulan. Proses
persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul menjadikan rusak
akibat regangan otot atau jaringan penunjang serta robekan pada jalan lahir,
sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya Inkontinensi urin. Pada
menurunnya kadar hormon estrogen dalam wanita di usia menopause (50
tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina atau otot pintu
saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya Inkontinensia urin.
Faktor risiko yang lain sebagai obesitas atau kegemukan, riwayat operasi
kandungan dan lainnya juga dapat berisiko mengakibatkan Inkontinensia

14
urin. Semakin lanjut usia seseorang semakin besar kemungkinan dapat
mengalami Inkontinensia urin, karena terjadi pada perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul ini mengakibatkan seseorang yang
tidak dapat menahan air seni. Selain itu adalah kontraksi (gerakan) abnormal
dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih yang baru
terisi sedikit sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Resiko Inkontinensia
urin sangat meningkat pada wanita dengan nilai indeks massa tubuh yang
lebih besar (Setiati dan Pramantara, 2007).
Dengan pembesaran kelenjar prostat pada pria merupakan penyabab yang
paling umum yang terjadinya obstruksi aliran urine dari kandung kemih.
Kondisi ini menyebabkan kejadian inkontinensia urin karena adanya
mekanisme overflow. Namun, inkontinensia ini dapat juga disebabkan oleh
karena obstruksi yang berakibat konstipasi dan juga adanya massa maligna
(cancer) dalam pelvis dialami oleh pria atau wanita. Akibat dari obstruksi,
tonus kandung kemih akan menghilang sehingga disebutkan kandung kemih
atonik. Kandung kemih yang kondisinya penuh gagal berkontraksi, akan
tetapi
kemudian menyebabkan overflow, sehingga dapat terjadi inkontinensia. Baik
secara langsung maupun secara tidak langsung, merokok juga sebagai akibat
pada terjadinya inkontinensia urin, Merokok dapat meningkatkan risiko
terkena inkontinensia urin disebab karena merokok itu dapat menyebabkan
kandung kemih terlalu aktif karena efek nikotin pada dinding kandung
kemih, Konsumsi kafein dan alkohol juga terjadi meningkatkan risiko
inkontinensia urin karena keduanya bersifat diuretik, yang menyebabkan
kandung kemih terisi dengan memicu dan cepat keinginan untuk sering
buang air kecil. ( Stockslager & Jaime, 2007; Stanley &Patricia, 2006).
E. Patofisiologi
Pada usia lanjut inkontinensia urin berkaitan dengan fungsi fisiologis,
psikologis dan lingkungan. Proses miksi sendiri diatur di sakrum.jalur aferen
membawa informasi mengenai volume vesika urinaria di medula spinalis.
Pengisian vesika urinaria dilakukan dengan cara merelaksasi vesika urinaria

15
melalui penghambatan saraf simpatis serta somatik yang mempersarafi otot
dasar panggul. Pada orang orang dengan usia lanjut terjadi degenerasi
neurogenik yang menyebabkan berkurangnya fungsi dari penghambat
kontraksi dari vesica urinaria sehingga akhirnya urin keluar secara involunter
atau tanpa disadari(Guyton, 2010)

F. Manifestasi Klinis
1. Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan
sebagainya. Gejalagejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stres.
2. Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan
gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
3. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi (pancara
lemah, menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi
abdominoperineal), fistula (menetes terus- menerus), penyakit neurologis
(disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya
diabetes) dapat menunjukkan penyakit yang mendasari.
G. Penatalaksanaan
1. Terapi non farmakologi

16
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah :
a. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi
berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk
berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada
interval waktu tertentu, mulamula setiap jam, selanjutnya diperpanjang
secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
b. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengan kebiasaan lansia.
c. Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot
dasar panggul secara berulang-ulang.
2. Terapi farmakologi
a. Obat - obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine.
b. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
c. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan
terapi diberikan secara singkat.

17
Konsep asuhan keperawatan pada paien lansia dengan gangguan inkontinensia urin

A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia
(usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup
kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat
ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang
mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan
cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan
dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih
sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
b. Riwayat Kesehatan Klien
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah
terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran
kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan,
penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
d. Pemeriksaan Fisik

18
1. Keadaan Umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena
respon dari terjadinya inkontinensia.
a) Inspeksi: Adanya kemerahan, iritasi / lecet dan bengkak pada daerah
perineal. Adanya benjolan atau tumor spinal cord Adanya obesitas atau
kurang gerak.
b) Palpasi: Adanya distensi kandung kemih atau nyeri tekan Teraba
benjolan tumor daerah spinal cord
c) Perkusi: Terdengar suara redup pada daerah kandung kemih
2. Diagnosa keperawatan
a) Inkontinensia urin fungsional berhubungan dengan kelemahan struktur
panggul
b) Resiko infeksi berhubungan dengan kurang pengetahuan
c) Hambatan rasa nyaman berhubungan dengan gejela terkait penyakit
3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa SLKI SIKI


.
1. Inkontinensia Kontinensia urin Latihan kebiasaan berkemih :
urin Setelah di berikan 1. Simpan catatan
fungsional intervensi kontinensia spesifikasi penahan selama
berhubungan urin klien dapat 3 hari untuk membentuk
dengan melakukan : pola pengosongan kandung
kelemahan 1. Mengenali kemih
struktur keinginan untuk 2. Tetapkan interval
panggul berkemih jadwal toilet awal
2. Menjaga pola 3. Tetapkan interval
berkemih yang toileting dan sebaiknya tidak
teratur kurang dari 2 jam
3. Respon berkemih 4. Gunakan kekuatan
sudah tepat waktu sugesti
4. Berkemih pada 5. Diskusikan pencatatan

19
tempat yang tepat harian mengenai
inkontinensia terhadap
pasien
6. Libatkan keluarga
dalam pendampingan pasien
2. Gangguan rasa Setelah di berikan Pengurangan kecemasan
nyaman intervensi status 1. Gunakan pendektan yang
berhubungan kenyaman (fisik) tenang dan menyakinkan
dengan gejela klien dapat 2. Jelaskan semua prosedur
terkait melakukan : termasuk sensasi yang akan
penyakit 1. Kontrol terhadap dirasakan
gejala 3. Dorong keluarga untuk
2. Relaksasi otot selalu mendampingi klien
3. Intake cairan

20
DAFTAR PUSTAKA

Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Dewi, S. R. (2014). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Deepublish.

Diethelm Wallwiener and Tilman T. Zittel, editor. 2005. Urinary and Fecal Incontinence.
Epidemiology of Urinary Incontinence. In: Horst-Dieter Becker AS , New
York:Springer Berlin Heidelberg; 2005. p. 1-10

Hall, E John. 2010. Guyton and Hall Textbook Medical Physiology.”Urinary Tract
”.Elsevier Health Sciences:2010.

Iman, B susanto. 2008. Inkontinensia Urin pada Perempuan. Dalam : Maj Kedokteran
indon.Volume 58 No 7. J akarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; H. 258-
644.

Iman, B susanto.2004. Definisi Klasifikasi dan Panduan Tatalaksanaa Inkontinensia


Urine. Dalam : 3rd International Consultation on Incontinence Monaco. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Kholifah, S. N. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Keperawatan


Gerontik.Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

21
Menefee SA, Wall LL. Incontinence, Prolapse and Disorder of The pelvic Floor. In:
Berek JS, Adashi EY, Hillard PA.Novak’s Gynecology. 12 ed. California; Lippincott
Willians & Wilkins, 2002 : 654-84

O’callaghan CA.2006 The renal system at a glance. 2nd ed. Jakarta: Erlangga.

Robinson K., Cardozo L. 2007., Urinary Incontinence. In: Dewhurst’s Textbook of


Obstetrics and Gynaecology. 7 th edition. London: Queen Charlotte and
ChelseHospital.

Setiati Siti, Dewa I Putu P. 2009. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih
Hiperaktif.Sudoyo Aru W,dkk. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi
V.Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sherwood, Lauree. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Sloanne, Ethel.2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula.EGC.Jakarta

Suparman et al .2007. Indonesian Digital Journal. Inkontinensia Urin Pada Wanita


Menopause. Diunggah dari
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/IJOG/article/download/969/9 63 pada
tanggal 24 Juni 2014

Vasavada, et al .2014.Medscape Reference.Urinary Incontinence. Diunggah dari


http://emedicine.medscape.com/article/452289-overview#aw2aab6b2b5 pada tanggal
24 Juni 2014

Victor W. Nitti MJGB, MD, editor :Saunders 2007. Urinary Incontinence:


Epidemiology, Pathophysiology, Evaluation, and Management Overview. In:
Campbell-Walsh Urology. 9th, An Imprint of Elsevier; 2007.7.

22

Anda mungkin juga menyukai