PENDAHULUAN
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik
maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan
yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses
penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya
daya tahan tubuh , lebih mudah terkena konstipasi merupakan ancaman bagi
integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan
kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang
dicintai.
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang
normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan
tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine maupun tinja merupakan ancaman bagi
integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan
kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang
dicintai.
2
1.2 RUMUSAN MASALAH
Fokus dalam penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan konsep dasar
dari inkontinensia urin yang terjadi pada lansia yaitu mulai dari apa definisi dari
inkontinensia urin, etiologi, bagaimana patofisiologinya, tanda dan gejala,
pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan dan bagaimana asuhan keperawatan pada
lansia dengan inkontinensia urin.
1.3 Tujuan
Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan keperawatan
yang tepat untuk klien inkontinensia urine pada lansia. Dan dapat menerapkannya
dalam praktek pemberian asuhan keperawatan kepada pasien.
1.4 MANFAAT
Manfaat dari penulisan makalah yaitu :
1.4.1 Dapat menambah pengetahuan pembaca tentang inkontinensia urin pada lansia
mulai dari definisi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan
penunjang, dan penatalaksanaan.
1.4.2 Dapat menambah pengetahuan pembaca tentang bagaimana gambaran asuhan
keperawatan pada lansia dengan inkontinensia urin.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang
tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan
jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis penderitanya (FKUI,
2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah
kondisi keluarnya urin tak terkendali yang dapat didemonstrasikan secara obyektif
dan menimbulkan gangguan hygiene dan social.
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi Inkontinensia Urine menurut (H. Alimun Azis, 2006)
a. Inkontinensia Dorongan
Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang
mengalami pengluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan
yang kuat untuk berkemih.
b. Inkontinensia Total
Inkontinensia Total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
c. Inkontinensia Stres
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan urin
kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen.
d. Inkontinensia refleks
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluran urin
yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume
kandung kemih mencapai jumlah tertentu.
4
e. Inkontinensia fungsional
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin
tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.
2.3 Etiologi
Etiologi Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono, 2001) :
a. Poliuria, nokturia
b. Gagal jantung
c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh :
1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan
efek akibat melahirkan dapat mgengakibatkan penurunan otot-otot dasar
panggul.
2) Perokok, Minum alkohol.
3) Obesitas
4) Infeksi saluran kemih (ISK)
2.4 Tanda dan Gejala
a. Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006)
1) Inkontinensia Dorongan :
a) Sering miksi
b) Spasme kandung kemih
2) Inkontinensia total
a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensi kandung kemih.
c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3) Inkontinensia stres
a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
b) Adanya dorongan berkemih.
c) Sering miksi.
d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4) Inkontinensia refleks
a) Tidak dorongan untuk berkemih.
b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.
5
c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.
5) Inkontinensia fungsional
a) Adanya dorongan berkemih.
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.
2.5 Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika Urinaria (Kandung
Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml. Dengan sensasi
keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih dapat ditundas 1-2 jam sejak
keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau miksi terjadi pada otot
detrusor kontraksi dan sfingter internal dan sfingter ekternal relaksasi,yang membuka
uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua urine dikeluarkan dengan proses
ini.Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang
dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya retensi
urine.Perubahan yang lainnya pada peroses penuaan adalah terjadinya kontrasi kandung
kemih tanpa disadari. Wanita lansia, terjadi penurunan produksi esterogen
menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan
penurunan pada otot-otot dasar (Stanley M & Beare G Patricia, 2006).
2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih.
Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak
dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang terganggu
menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.
6
2.6 woc
7
2.7 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine menurut (Soeparman&Waspadji
S, 2001). Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat
mahal.Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisik.
Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin.
Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi
tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan
keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi
litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat
diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya
kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
a. Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan
fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.Tes laboratorium tambahan
seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsiumglukosasitol.
b. Catatan Berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini
digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia
urine dan tidak inkontinensia urine, dan gejala berkaitan denga inkontinensia
urine. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selam 1-3 hari. Catatan
tersebut dapat digunakan untuk memantau respons terapi dan juga dapat dipakai
sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor pemicu.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,
medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu
berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang
keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman
yang diminum.
b. Terapi non farmakologi
8
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula
darah tinggi, dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah : Melakukan
latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik
relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan
dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.Lansia dianjurkan
untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya
diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3
jam.Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila
ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif
(berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar
panggul secara berulang-ulang.
Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan
cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian
pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali.
Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10
kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat
tertutup dengan baik.
c. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik
seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada
inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk
meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik
agonis sepertiBethanecholataualfakolinergik antagonis sepertiprazosinuntuk stimulasi
kontraksi, danterapi diberikan secara singkat.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi,
bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia
tipeoverflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan
9
retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
e. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang
mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter.
f.Pemantauan Asupan Cairan
Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari dengan
rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan asumsi tidak ada
kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat membatasi asupan cairan secara
tidak tepat untuk mencegah kejadian-kejadian yang memalukan. Pengurangan asupan
cairan sebelum waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia pada malam hari, tetapi
cairan harus diminum lebih banyak selama siang hari sehingga total asupan cairan
setiap harinya tetap sama.
10
BAB III
Konsep Asuhan Keperawatan inkontinensia urin pada lansia
3.1 Pengkajian
Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan
klien dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine :
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia,
urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha
yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih) yang
berulang. penyakit kronis yang pernah diderita.
5) Riwayat Penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang
menderita DM, Hipertensi.
6) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
a) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b) B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d) B4 (bladder)
11
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran
daerah supra pubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat
berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik /
pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing / dapat juga di
luar waktu kencing.
e) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
f) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.
3.3 Intervensi
1) Diagnosa 1 : Inkontinesia urin berlanjut berhubungan dengan tidak adanya
sensasi untuk berkemih ( disfungsi neurologis ) dan kehilangan kemampuan
untuk menghambat kontraksi kandung kemih (kerusakan refleks kontraksi
detrusor).
12
Tindakan
Observasi :
Periksa kondisi pasien ( misal : kesadaran, ttv, daerah perineal, distensi
kandung kemih, inkontinensia urin, refleks berkemih )
Teraupetik
Siapkan peralatan , bhan bahan dan ruangan tindakan
Siapkan pasien, bebaskan pakaian bawah dan posisikan dorsal rekumben
( wanita) dan supine ( laki laki )
Pasang sarung tangan
Bersihkan daerah perineal atau preposium dengan cairan Nacl
Lakukan insersi kateter urine dengan menrapkan prnsip aseptic
Sambungkan kateter urin dengan urin bag
Isi balon dengan Nacl 0,9% sesuai anjuran
Fiksasi selang katetr di atas simfisis atau paha
pastikan kantung urine lebih rendah dari kandung kemih
Berikan label tanggal pemasangan
Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan kateter urin
Anjurkan menarik nafas saatinsersi selang kateter
Teraupetik
Hitung kkebutuhan cairan
13
Berikan posisi kaki lebih tinggi
Berikan asupan cairan oral
Edukasi
Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (NaCL, RL)
Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis ( glukosa 2,5%, NaCL 0,4%)
Kolaborasi pemberian cairan koloid (albumin, plasbumin )
Kolaborasi pemberian darah
Tindakan
Observasi
Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
Teraupetik
Batasi jumlah pengunjung
Berikan perawatan kulit pada area infeksi
Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi
Edukasi
Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
14
Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Anjurkan meningkatkan Asupan cairan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
Tindakan
Observasi
Identifikasi lokasai, karakteristik, frekuensi, kualitas dan intensitas
nyeri
Identifikasi skala nyeri
Identifikasi respon nyeri non verbal
Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
Monitor efek samping penggunaan analgesic
Teraupetik
Berikan teknik nonfarnakologis untuk mengurangi rasa nyeri ( kompres
hangat atau dingin )
Fasilitasi istirahat dan tidur
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
Jelaskan strategi meredakan nyeri
Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
15
Anjurkan menggunakan analgesic secara tepat
Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi dalam pemberian analgesik
Tindakan
Observasi
Identifikasi kemampuan melakukan interaksi dengan orang lain
Identifikasi hambatan melakukan interaksi dengan orang lain
Teraupetik
Motivasi meningkatkan keterlibatan dalam suatu hubungan
Motivasi kesabaran dalam mengembangkan suatu hubungan
Motivasi berpartisipasi dalam aktivitas baru dan kegiatan kelompok
Motivasi berinterkasi diluar lingkungan (jalan jalan,)
Berikan umpan balik positif dalam perawatan diri
Berikan umpan balik positif pada setiap peninkatan kemampuan
Edukasi
Anjurkan berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
Anjurkan ikut serta kegiatan sosial dan kemasyarakatan
Anjurkan berbagi pengalaman dengan orang lain
Anjurkan menggunakan alat bantu ( kacamata atau alat bantu dengar )
latih bermain peran utuk meningkatkan ketrampilan komunikasi
Latih mengekspresikan marah dengan tepat
16
3.4 Evaluasi
Evaluasi keperawatan terhadap gangguan inkontinensia dapat dinilai dari adanya
kemampuan dalam :
a) Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai
dengan asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan
obat, kompresi pada kandung kemih atau kateter
b) Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal
kering tanpa inflamasi dan kulit di sekitar uterostomi kering.
c) Memerikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak
ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang.
d) Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi
inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.
17
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
18
DAFTAR PUSTAKA
Brunner&Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 1. Jakarta:
EGC.
Hidayah, a. Aziz Alimul. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan (Edisi 2). Jakarta:
Salemba Medika.
Pearce, Evelyn C. 2006. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Stanley, Mickey dan Patricia G. Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2.
Jakarta: EGC
Syaifuddin. 2003. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC.
19