Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA LANSIA DENGAN


INKONTINENSIA URIN

Dosen Pembimbing:
Dr. Retno Indarwati, S.Kep.,Ns.,M.Kep

Disusun Oleh:
Dewi Ayu Kumalasari 132013133003

STASE KEPERAWATAN
GERONTIK

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
Konsep Lanjut Usia (Lansia)
Lansia merupakan tahap akhir perkembangan pada daur hidup
kedihupan manusia. Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan
Lansia disebutkan bahwa Lansia adalah seseorang yang telah mencapai
usia lebih dari 60 tahun (Dewi, 2014). Menurut Azwar (2006) Usia lanjut
adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari.
Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia
(lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit,
namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress
lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan
seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress
fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan
untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual. (Effendi &
Makhfudli, 2009)
Adapun batasan umur lanjut usia menurut beberapa pendapat yaitu:
1) Menurut WHO, batasan lansia meliputi:
a. Usia Pertengahan (Middle Age), adalah usia antara 45-59 tahun
b. Usia Lanjut (Elderly), adalah usia antara 60-74 tahun
c. Usia Lanjut Tua (Old), adalah usia antara 75-90 tahun
d. Usia Sangat Tua (Very Old), adalah usia 90 tahun keatas
2) Depkes RI (2003) mengklasifikasikan lansia dalam kategori berikut
(Dewi, 2014) :
a. Pralansia (prasenilis), seseorang yang berusia antara 45-59
tahun.
b. Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia resiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan.
Teori Penuaan
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu
teori biologi, teori psikologi, teori sosial dan teori spiritual.
a. Teori Biologi
1) Teori radikal bebas
Teori ini menyatakan bahwa penuaan disebabkan karena
akumuasi kerusakan ireversibel akibat senyawa pengoksidasi (Perry
& Potter, 2005). Radikal bebas dapat dibentuk di dalam bebad, tidak
stabilnya radika bebas mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan
organik menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi (Maryam dkk,
2008).
2) Teori genetik dan mutasi
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk
spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan
biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel
pada saatnya akan mengalami mutasi (Maryam dkk, 2008). Teori
mutasi somatik, menurut teori ini penuaan terjadi karena adanya
mutasi somatik akibat pengaruh lingkungan yang buruk. Terjadi
kesalahan dalam proses transkripsi DNA atau RNA dan dalam
proses translasi RNA protein/enzim. Kesalahan ini terjadi secara
terus-menerus sehingga menurunkan fungsi organ atau perubahan sel
kanker atau penyakit (Nugroho, 2008).
3) Teori immunologi
Teori ini mengungkapkan bahwa seiring dengan bertambahnya
usia, kemampuan sistem imun untuk menghancurkan bakteri, virus,
dan jamur melemah. Destruksi bagian jaringan yang luas dapat
terjadi sebelum respon dimulai. Disfungsi sistem imun ini
diperkirakan menjadi faktor dalam perkembangan penyakit kronis,
seperti kanker, diabetes, dan penyakit kardiovaskuler, serta infeksi
(Perry & Potter, 2005).
4) Teori stress
Teori ini mengungkapkan bahwa menua terjadi akibat hilangnya
sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat
mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dn
stres yang menyebabkan sel-sel tubuh telah terpakai (Maryam dkk,
2008).
5) Teori rantai silang
Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak,
protein, karbohidrat, dan asam nukleat. Reaksi kimia ini
menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan
ini menyebabkan kurangnya elastis, kekacauan, dan hilangnya
fungsi (Nugroho, 2008).
b. Teori Psikologi
Perubahan psikologi yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan
keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian
individu yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi
karakteristik konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif
dapat menjadikan seorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah
nilai-nilai yang ada ditunjang dengan status sosialnya. Adanya
penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan
kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut. Persepsi merupakan
kemampuan interpretasi pada lingkungan. Dengan adanya penurunan
fungsi sensorik, maka akan terjadi penurunan kemampuan untuk
menerima, memproses, dan merespon stimulus sehingga terkadang
akan muncul aksi yang berbeda dari stimulus yang ada (Maryam dkk,
2008)
c. Teori Sosial
Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan,
yaitu teori interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan
diri (disengagement theory), teori aktivitas (activity theory), teori
kesinambungan (continuity theory), teori perkembangan (development
theory), dan teori stratifikasi usia (age stratification theory).
1) Teori interaksi sosial
Teori ini menjelaskan mengapa usia lanjut bertindak kepada
situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat.
Kemampuan usia lanjut untuk terus menjalin interaksi sosial
merupakan kunci mempertahankan status sosialnya berdasarkan
kemampuan bersosialisasi. Pada usia lansia, kekuasaan dan
prestisenya berkurang, sehingga menyebabkan interakssi sosial
mereka juga berkurang yang tersisa adalah harga diri. Pokok-pokok
teori interaksi sosial antara lain:
a) Masyarakat terdiri atas aktor sosial yang berupaya mencapai
tujuannya masing-masing.
b) Dalam upaya tersebut terjadi interakssi sosial yang memerlukan
biaya dan waktu.
c) Untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, seorang aktor
harus mengularkan biaya.
d) Aktor senantiasa berusaha mencari keuntungan dan mencegah
terjadinya kerugian.
2) Teori penarikan diri
Teori ini membahas putusnya pergaulan atau hubungan dengan
masyarakat dan kemundurn individu dengan individu ainnya.
Dengan bertambahnya usia lanjut, ditambah dengan adanya
kemiskinan, usia lanjut secara berangsur-angsur mulai melepaskan
diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan
sekitarnya. Hal ini menyebabkan interaksi sosial usia lanjut
menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering usia
lanjut mengalami kehilangan peran, hambatan kontak sosial dan
berkurangnya komitmen (Nugroho, 2008).
3) Teori aktivitas
Teori aktivitas tidak menyetujui teori penarikan diri dan
menegaskan bahwa kelanjutan dewasa tengah penting untuk
keberhasilan penuaan. Usia lanjut yang sukses adalah mereka yang
aktif dan banyak ikut serta dalam kegiatan sosial. Usia lanjut akan
merasa puas bila dapat melakukan aktivitas dan mempertahankan
aktivitas tersebut selama mungkin (Nugroho, 2008).
4) Teori kesinambungan
Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus
kehidupan usia lanjut. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat
merupakan gambaran kelak pada saat menjadi usia lanjut. Pada teori
kesinambungan ini pergerakan dan proses banyak arah, bergantung
dari bagaimana penerimaan seseorang terhadap status kehidupannya.
Pokok-pokok pada teori kesinambungan ini antara lain:
a) Usia lanjut disarankan untuk melepaskan peran atau harus aktif
dalam proses penuaan.
b) Peran usia lanjut yang ilang tidak perlu diganti.
c) Usia lanjut berkesempatan untuk memilih berbagai macam cara
untuk beradaptasi (Maryam dkk, 2008).
5) Teori perkembangan
Teori ini menekankan pentingnya mempelajari apa yang telah
dialami oleh usia lanjut pada saat muda hingga dewasa, dengan
demikian perlu dipahami Erickson (1930), membagi kehidupan
menjadi delapan fase, yaitu:
a) Usia lanjut yang menerima apa adanya.
b) Usia lanjut yang takut mati.
c) Usia lanjut yang merasakan hidup penuh arti.
d) Usia lanjut menyesali diri.
e) Usia lanjut bertanggung jawab dengan merasakan kesetiaan.
f) Usia lanjut yang kehidupannya berhasil.
g) Usia lanjut merasa terlmabat untuk memperbaiki diri.
h) Usia lanjut yang perlu menemukan integritas diri melawan
keputusasaan (Maryam dkk, 2008).
6) Teori stratifikasi usia
Keunggulan teori ini adalah pendekatan yang dilakukan
bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk mempelajari
sifat usia lanjut secara berkelompok atau bersifat makro.
Kelemahan pada teori ini adalah tidak dapat dipergunakan untuk
menilai usia lanjut secara perorangan (Stanley, 2006).
d. Teori spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada
pengertian hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi
individu tentang arti kehidupan. Kepercayaan adalah sebagai suatu
bentuk pengetahuan dan cara berhubungan dengan kehidupan akhir.
Sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan antara orang dan
lingkungan yang terjadi karena adanya kombinasi antara nilai-nilai
dan pengetahuan.
Faktor Penuaan
Menurut Darmojo (2006) tujuan hidup manusia itu ialah menjadi tua
tetapi tetap sehat (Healthy aging). Healthy aging artinya menjadi tua dalam
keadaan sehat. Takemi (1977) yang pertama kali menyatakan “Gerontology
is concerned primarily with problem of healthy aging rather than the
prevention of aging”. Healthy aging akan dipengaruhi oleh faktor:
a. Endogenoc aging, yang dimulai dengan cellular aging, lewat tissue
dan anatomical aging kearah proses menuanya organ tubuh. Proses ini
seperti jam yang terus berputar.
b. Exogenix faktor, yang dapat dibagi dalam sebab lingkungan
(environment) dimana seseorang hidup dan faktor sosio budaya yang
paling tapat disebut gaya hidup (Life style). Faktor exogenix aging
tadi, sekarang lebih dikenal denga ssebutan faktor resiko.
Permasalahan Lansia
Menurut Kemenkes (2018) masalah - masalah kesehatan lain yang sering
dialami oleh lansia berbeda dengan masalah yang dialami oleh orang dewasa
atau yang sering disebut dengan sindroma geriatri. Yaitu kumpulan -
kumpulan gejala mengenai kesehatan yang sering dikeluhkan oleh para lansia
dikenal dengan istilah (14 I) :
1) Immobility (kurang bergerak)
Keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau lebih. Penyebab utama
imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, masalah psikologis, depresi atau demensia. Komplikasi
yang timbul adalah luka di bagian yang mengalami penekanan terus menerus
timbul lecet bahkan infeksi, kelemahan otot, kontraktur/kekakuan otot dan
sendi, infeksi paru-paru dan saluran kemih, konstipasi dan lain-lain.
Penanganan immobilisasi sendiri adalah dengan latihan fisik, perubahan
posisi secara teratur, menggunakan kasur anti dekubitus, monitor asupan
cairan dan makanan yang berserat.
2) Instability (instabilitas dan jatuh)
Penyebab jatuh misalnya kecelakaan seperti terpeleset, sinkop/kehilangan
kesadaran mendadak, dizzines/vertigo, hipotensi orthostatik, proses penyakit
dan lain-lain. Lansia yang mengalami instability dan jatuh dipengaruhi oleh
faktor intrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien misalnya kekakuan sendi,
kelemahan otot, gangguan pendengaran,penglihatan, gangguan
keseimbangan, penyakit misalnya hipertensi, DM, jantung,dll ) dan faktor
risiko ekstrinsik (faktor yang terdapat di lingkungan misalnya alas kaki tidak
sesuai, lantai licin, jalan tidak rata, penerangan kurang, benda-benda dilantai
yang membuat terpeleset dll). Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan
masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah mengobati berbagai kondisi
yang mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan terapi fisik dan
penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu
atau sandal yang sesuai, serta mengubah lingkungan agar lebih aman seperti
pencahayaan yang cukup, pegangan, lantai yang tidak licin.
3) Incontinence Urin dan Alvi (beser BAK dan BAB)
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak
dikehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu sehingga menimbulkan
masalah sosial dan atau kesehatan. Sedangkan inkontinensia alvi/fekal adalah
perjalanan spontan atau ketidakmampuan untuk mengendalikan pembuangan
feses melalui anus, penyebab cedera panggul, operasi anus/rektum, prolaps
rektum, tumor dll.
4) Intelectual impairment (gangguan intelektual seperti demensia dan
delirium)

Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang


disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan
tingkat kesadaran sehingga mempengaruhi aktifitas kerja dan sosial secara
bermakna. Faktor risiko dari demensia adalah hipertensi, DM, gangguan
jantung, PPOK dan obesitas. Sedangkan sindroma derilium akut adalah
sindroma mental organik yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan
atensi serta perubahan kognitif atau gangguan persepsi yang timbul dalam
jangka pendek dan berfluktuasi.
5) Infection (infeksi)
Pada lanjut usia terdapat beberapa penyakit sekaligus, menurunnya daya
tahan/imunitas terhadap infeksi, menurunnya daya komunikasipada lanjut
usia sehingga sulit/jarang mengeluh, sulitnya mengenal tanda infeksi secara
dini. Ciri utama pada semua penyakit infeksi biasanya ditandai dengan
meningkatnya temperatur badan, dan hal ini sering tidak dijumpai pada usia
lanjut, malah suhu badan yang rendah lebih sering dijumpai. Keluhan dan
gejala infeksi semakin tidak khas antara lain berupa konfusi/delirium sampai
koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-tiba, badan menjadi lemas, dan
adanya perubahan tingkah laku sering terjadi pada pasien usia lanjut.
6) Impairment of hearing, vision, and smell (gangguan pendengaran,
penglihatan, dan penciuman)

Gangguan pendengaran sangat umum ditemui pada lanjut usia dan


menyebabkan pasien sulit untuk diajak komunikasi. Penatalaksanaan untuk
gangguan pendengaran pada geriatri adalah dengan cara memasangkan alat
bantu dengar atau dengan tindakan bedah berupa implantasi koklea.
Gangguan penglihatan bisa disebabkan gangguan refraksi, katarak atau
komplikasi dari penyakit lain misalnya DM, HT dll, penatalaksanaan dengan
memakai alat bantu kacamata atan dengan operasi pada katarak.
7) Isolation (depression)
Isolation (terisolasi) / depresi, penyebab utama depresi pada lanjut usia adalah
kehilangan seseorang yang disayangi, pasangan hidup, anak, bahkan binatang
peliharaan. Selain itu kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan,
menyebabkan dirinya terisolasi dan menjadi depresi. Keluarga yang mulai
mengacuhkan karena merasa direpotkan menyebabkan pasien akan merasa
hidup sendiri dan menjadi depresi. Beberapa orang dapat melakukan usaha
bunuh diri akibat depresi yang berkepajangan.
8) Inanition (malnutrisi)
Asupan makanan berkurang sekitar 25% pada usia 40-70 tahun. Anoreksia
dipengaruhi oleh faktor fisiologis (perubahan rasa kecap, pembauan, sulit
mengunyah, gangguan usus dll), psikologis (depresi dan demensia) dan sosial
(hidup dan makan sendiri) yang berpengaruh pada nafsu makan dan asupan
makanan.
9) Impecunity (tidak memiliki penghasilan)

Dengan semakin bertambahnya usia maka kemampuan fisik dan mental akan
berkurang secara berlahan-lahan, yang menyebabkan ketidakmampuan tubuh
dalam mengerjakan atau menyelesaikan pekerjaan sehingga tidak dapat
memberikan penghasilan. Usia pensiun dimana sebagian dari lansia hanya
mengandalkan hidup dari tunjangan hari tuanya. Selain masalah finansial,
pensiun juga berarti kehilangan teman sejawat, berarti interaksi sosial pun
berkurang memudahkan seorang lansia mengalami depresi.
10) Iatrogenic (penyakit karena pemakaian obat-obatan)
Lansia sering menderita penyakit lebih dari satu jenis sehingga membutuhkan
obat yang lebih banyak, apalagi sebagian lansia sering menggunakan obat
dalam jangka waktu yang lama tanpa pengawasan dokter sehingga dapat
menimbulkan penyakit. Akibat yang ditimbulkan antara lain efek samping
dan efek dari interaksi obat-obat tersebut yang dapat mengancam jiwa.
11) Insomnia (sulit tidur)
Dapat terjadi karena masalah-masalah dalam hidup yang menyebabkan
seorang lansia menjadi depresi. Selain itu beberapa penyakit juga dapat
menyebabkan insomnia seperti diabetes melitus dan gangguan kelenjar
thyroid, gangguan di otak juga dapat menyebabkan insomnia. Jam tidur yang
sudah berubah juga dapat menjadi penyebabnya
Konsep Inkontinensia Urin pada Lansia
Definisi Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin adalah kondisi dimana berkemih secara
involunter. Inkontinensia urin adalah keluhan keluarnya urin diluar
kehendak sehingga menimbulkan masalah sosial dan/atau kesehatan.
Definisi ini mengacu kepada definisi yang dibuat oleh Internatinal
Continence Society (ICS). Keadaan ini banyak terjadi pada populasi
dewasa dengan usia diatas 60 tahun. Hampir semua orang menghindar
untuk mencari perawatan karena mereka merasa malu, yang mana berarti
bahwa masalah ini banyak yang tidak terlaporkan dan kurang didiagnosis.
Banyak penyedia pelayanan kesehatan tidak mengerti tentang efek
inkontinensia urin pada kualitas hidup. Populasi yang terkena dapat
kehilangan gaya hidup aktif mereka dan menjadi pribadi yang tertutup
karena ketakutan mereka yang disebabkan malu.
Klasifikasi Inkontinensia Urin
Terdapat 3 tipe inkontinensia :
1. Inkontinensia urin tekanan (stress urinary incontinence)
Inkontinensia urin yang ditandai dengan keluarnya urin di luar
kehendak yang berhubungan dengan meningkatnya tekanan abdomen
yang terjadi ketika bersin, batuk, atau tekanan fisik lainnya.
2. Inkontinensia urin desakan (urgency urinary incontinence)
Inkontinensia urin yang ditandai dengan keluarnya urin diluar
kehendak yang diawali oleh desakan berkemih. Pelepasan urin yang
tidak terkontrol sebentar setelah ada peringatan ingin melakukan
urinasi. Disebabkan oleh aktivitas otot destrusor yang berlebihan atau
kontraksi kandung kemih yang tidak terkontrol
3. Inkontinensia urin luapan (overflow urinary incontinence)
Keluarnya urin diluar kehendak yang disebabkan karena luapan urin
yang berkaitan oleh sumbatan infravesika atau kelemahan otot
detrusor kandung kemih.
Etiologi Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin biasanya disebabkan oleh banyak faktor, termasuk
kelainan anatomis dan fisik, fisiologis, psikososial, dan faktor
farmakologis.
a. Inkontinensia karena kelainan anatomis dan fisiologis disebabkan oleh
kelemahan atau kerusakan sfingter, deformitas uretra, perubahan tonus
otot pada jembatan uretrovesika, dan instabilitas detrusor.
b. Inkontinensia karena kelainan fisik sering berhubungan dengan
imobilitas fisik, terutama dengan dewasa tua. Klien-klien ini sering
kali secara fisik tidak dapat ke toilet sendiri karena stroke, fraktur,
atau kelemahan.
c. Alkohol, ketika dikonsumsi dalam jumlah yang lebih besar akan
menumpulkan kemampuan kognitif psien untuk mengenali dorongan
buang air kecil sehingga inkontinensia
d. Kondisi neurologis yang mempengaruhi otak dan sumsum tulag
belakang seperti penyakit parkinson atau multiple sklerosis
e. Penyebab psikososial dari inkontinensia beragam dari masalah
psikologis asli seperti demensia, hingga kebingungan. Klien dapat
menjadi tidak sadar akan kebutuhan berkemih atau tidak dapat
merespons secara wajar ketika mereka butuh mengosongkan buli-buli.
f. Obat-obatan yang juga dapat berkontrinusi terhadap inkontinensia,
terutama inkontinensia overflow, contohnya meliputi :
 Opioid, penenang, sedatif, dan egen-egen hipnotik semuanya dapat
memengaruhi persepsi sensorik
 Diuretic kerja cepat
 Antihistamin
 Atropin dan subtansi seperti atropine
 Agen hipotensif
 Alfa adrenergic blocker
 Agen beta adrenergic
 Ganglionic blocker
Patofisiologi Inkontinensia Urin
a. Stress incontinence
Stress incontinence merupakan keluarnya urin yang tidak
disadari ketika tekanan intra vesikal melebihi tekanan penutupan
uretra maksimum dengan tidak adanya aktivitas detrusor. Penyebab
peningkatan tekanan intra vesikal adalah meningkanya tekanan intra
abdomen misalnya batuk, bersin, tertawa, melompat, atau mengangkat
benda berat, dan wanita muda yang pernah melahirkan sehingga otot
sfingter tidak mampu lagi menutup.
Kondisi ini juga dapat terjadi pada wanita menopause karena
kekurangan hormone estrogen yang mengakibatkan hilangnya tonus
jaringan kavernosus uretra dan otot uretra.
b. Urge incontinence
Merupakan kebocoran urin disertai perasaan kuat untuk kencing,
terjadi siang ataupun malam hari disebabkan vesika urinaria hiperaktif
dimana terjadi kontraksi kuat otot detrusor untuk mengeluarkan urin
diluar kehendak penderita.
Sebagian besar kasus inkontinensiaini penyebabnya masih belum
diketahui atau idiopatik sehingga disebut sebagai over active bladder.
Penyebab lain adalah kelainan neurologi misalnya trauma spinal,
stroke, sklerosis multiple, infeksi, keganasan, dan batu kandung
empedu.
c. Inkontinensia overflow
Ditandai dengan buang air kecil dalam jumlah yang kecil namun
sering. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan dalam
mengosongkan kandung kemih. Inkontinensia overflow sering terjadi
pada orang-orang yang uretranya terblokir atau karena kerusakan pada
kandung kemih, dan orang-orang yang mengalami masalah prostat.
Manifestasi Klinis Inkontinensia Urin
a. Ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan gambaran seringnya
terburu – buru untuk brkemih. Kontraksi otot destrukstor yang tidak
terkontrol menyebabkan kebocoran urin, kandung kemih yang
hiperaktif, atau ketidakstabilan destruktor.
b. Ketidaknyamanan pada area pubis
c. Urin keluar sedikit sedikit namun sering
d. Penderita selalu merasa ada sisa urin yang mengganjal, meskipun sudah
berusaha mengosongkan kandung kemih
WOC

Perubahan terkait usia pada Fungsi otak yang Penyakit infeksi dan trauma Faktor lain : merokok,
anatomi&fisiologi system terganggu saluran kemih konsumsi alkohol
vesika urinaria
Kontraksi kandung Detrusor Arefleksia
Hiperrefleksia kemih
detrusor/overaktif Sensasi penuh pada bladder
Pelebaran
Bladder Spastik kandung kemih Kontraksi pada bladder

Terjadi hambatan
pengeluaran urin, Distensi bladder tanpa gejala
urin di VU
meningkat

Inkontinensia Urin

MK: Inkontinensia Urin MK: Inkontinensia Urin Genitalia eksterna Urgensi


Stress Refleks lembab/basah
Ketidakmampuan
Timbul lecet akibat mencapai toilet
perawatan genitalia
eksterna tidak Mengompol
bersih
Timbul bau tidak
MK: Risiko Infeksi sedap pada badan

Dijauhi oleh orang

Rasa malu, minder,


tidak percaya diri

MK: Isolasi Sosial

Pemeriksaan Diagnostik Inkontinensia Urin


1. Pengkajian Fisik
a. Pengkajian Umum dan Kemampuan Fungsional
Kemampuan fungsional ialah kemampuan mobilisasi, kesadaran
dan ketangkasan yang dimiliki oleh klien. Metode untuk menguji
klien ialah dengan meminta klien berjalan dari meja periksa ke
tempat tidur, kemudian meminta klien berkemih untuk pemeriksaan
spesimen urin (Ismail, 2013).
b. Pengkajian Abnormalitas
Mengkaji adanya abnormalitas yang berpengaruh langsung
terhadap inkontinensia urine (Ismail, 2013).
c. Pengkajian Kekuatan Otot Pelvis
Pengkajian kekuatan otot pelvis bertujuan untuk melihat fungsi
neuromuskular dan kemampuan otot dasar panggul yang berperan
saat berkemih. Metode pengkajian ialah dengan meminta klien
mengkontraksikan dan merilekskan bagian otot dasar panggul.
Elektomyography dan pemeriksaan tekanan dengan menggunakan
Probe yang sensitif ialah beberapa cara yang dapat digunakan
untuk mengukur kekuatan otot pelvis. Pemeriksaan tekanan
menggunakan probe sensitif dilakukan dengan cara memasukkan
probe pada vagina atau rektal dan meminta klien untuk
mengkontraksikan otot dasat panggul. Kekuatan normal otot pelvis
ialah antara 35-42 cm H2O (Hay-Smith et al. 2002).
d. Pengkajian Kulit Sekitar Perineal
Pengkajian terhadap kulit sekitar perineal dilakukan untuk melihat
adanya lesi atau ekskoriasi akibat sering terjadinya kebocoran
berkemih (Ismail, 2013).
e. Pengkajian Rektal
Pentingnya pengkajian rektal ialah untuk memvalidasi penyebab
terjadinya inkontinensia urine pada wanita utamanya massa atau
tumor. Sedangkan, digital rektal examibation (DRE) berfungsi
untuk mengetahui adanya massa atau pembesaran prostat pada laki-
laki (Chin, 2001).
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Urinalisis
Urinalisis merupakan pemeriksaan yang penting bagi klien dengan
inkontinensia urine. Pemeriksaan dapat mendeteksi zat-zat yang
terlarut dalam urine klien dengan inkontinensia urine diantaranya
ialah darah, glukosa, pus, bakteri, protein (Chan, 1999).
b. Kultur Urine
Kultur urine dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi pada
saluran kemih (Chan, 1999).
c. Pemeriksaan Serum
Pemeriksaan serum darah dilakukan untuk mendeteksi adanya
komplikasi sistemik. Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya
ialah peningkatan BUN dan Ureum Creatinin pada klien dengan
obstruksi dan memiliki komplikasi hidronefrosis (Chan, 1999).
d. PVR
PVR dapat diukur dengan menggunakan USG, kateter atau bladder
scan. PVR dilakukan pada pasien dengan LUTS (Lower Urinary
Tract Symptoms), kecurigaan penurunan kemampuan pengosongan
kandung kemih, maupun dugaan efek samping pengobatan yang
menyebabkan penurunan kontraktilitas kandung kemih atau
peningkatan resistensi bladder outlet.
e. Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis (QUID).
Kuesioner ini merupakan kuesioner yang telah diakui
validitas dan progresifitasnya dalam menegakkan diagnosis dan
tipe inkontinensia urin. Kelebihan QUID terletak pada jumlah
pertanyaan yang singkat (6 pertanyaan), konsisten, serta nilainya
berubah sesuai dengan perbaikan gejala. Perubahan nilai sesuai
dengan perbaikan gejala dinilai selama 3 bulan setelah menpat
terapi non-bedah. QUID diakui sebagai metode diagnostik
inkontinensia urin yang valid dan responsif, sehingga
pemakaiannya terbukti bermanfaat terhadap dokter dan pasien.
QUID meliputi kehadiran dan frekuensi gejala IU tipe stress
dan tipe urgensi. Kuesioner ini terdiri dari 6 pertanyaan untuk
menegakkan diagnosis inkontinensia urin tipe stress maupun tipe
urgensi. Setiap pertanyaan memiliki 6 respon dengan nilai antara 0
sampai dengan 5. Nilainya masing masing pertanyaan dikalkulasi
sehingga menghasilkan nilai tress dan nilai urgensi, yang masing-
masing bernilai 0-15.
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Urodinamik
Urodinamik adalah pemeriksaan yang digunakan untuk melihat
proses transportasi, penyimpanan dan eliminasi urin pada saluran
kemih bagian tengan atau bawah (Ismail, 2013).
b. Endoskopi dan Pencitraan
Endoskopi ialah metode yang digunakan untuk melihat adanya
tumor epitel, divertikel yang dapat menyebabkan sumbatan pada
saluran kemih (Ismail, 2013).
Penatalaksanaan Inkontinensia Urin
Penatalaksanaan pada inkontinensia urin secara non farmakologis
bila dilakukan dengan latihan otot dasar panggul atau latihan Kegel, agar
otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan uretra dapat tertutup dengan
baik (Setiati, 2001)
Secara farmakologis yaitu menggunakan obat-obatan untuk
merelaksasikan kandung kemih. Ini biasanya dilakukan bila terapi non
farmakologis tidak dapat menyelesaikan masalah inkontinensia urin
(Setiati, 2001)
Bladder training/ bladder re-education
Bladder training sangat direkomendasikan pada pasien yang
mengalami Inkontinensia Urge atau overactive Bladder (OAB) dan bisa
juga dilakukan untuk pasien dengan stress inkontinensia. Latihan yang
dilkukan dalam bladder training adalah menunda berkemih sampai dengan
batas waktu yang telah ditentukan untuk melatih fungsi bladder dalam
menampung urin sesuai ukuran normal. Dalam penelitian terdapat
perbaikan pada klien UI dengan bladder training sebesar 10-15 % (Roe et
al, 2002; Chin, 2001; NIH, 1988). Terdapat persyaratan untuk klien yang
akan menjalani bladder training, klien mampu secara fisik, kognitif dan
memiliki motivasi untuk latihan. Bentuk latihan yang dilakukan adalah
klien harus mematuhi jadwal berkemih yang telah disepakati, selanjutnya
klien diminta untuk menahan keinginan berkemih dengan melakukan
relaksasi atau distraksi sampai dengan interval waktu yang disepakati
selesai (2-3jam). Latihan ini membutuhkan waktu beberapa bulan sehingga
memperlihatkan perubahan pada klien.
Latihan otot dasar panggul
Latihan otot dasar panggul sangat berpengaruh dalam memperbaikai
stress inkontinensia. Tujuan latihan ini adalah untuk meningkatkan
kekuatan otot periuretra dan otot dasar pelvis. Pasien yang dapat
melakukan latihan ini sebaiknya memiliki beberapa kriteria sepert : 1)
kondisi anatomi normal dan intact; 2) tidak terdapat organ pelvis yang
prolaps; 3) kekuatan dan kontraktilitas otot cukup. Terdapat 5 tahapan
dalam latihan ini (terlampir). Beberapa alat telah diciptakan untuk
meningkatkan kekuatan otot dasar panggul seperti; vaginal cone, stimulasi
electrik, Biofeedback dan extracorporeal Magnetic Innervation therapy
(Doughty, 2006).

Pengukuran dan Dukungan Perawatan


1. Kateter urin intermiten
Kateter urin intermiten di rekomendasikan pada pasien dengan UI
fungsional, UI Neurogenik atau Reflek, atau klien yang mengalami
penurunan kemampuan kognitif (Doughty,2006). Tujuan tindakan ini
adalah untuk mencegah kerusakan pada otot detrusor sebagai akibat
regangan yang berlebihan. Pengeluaran urin dengan menggunakan
intermitent kateter dilakukan setiap 3-6 jam.
2. Indwelling urinary catheterisation
Indwelling urinary catheter jarang digunakan pada pasien UI.
Menurut CDC dan AHCR indwelling catheter diindikasikan pada : 1)
klien yang mengalami retensi urin dan tidak dapat dikelola; 2) pada
klien dengan penyakit terminal dan parah; 3) pasien yang mengalami
ulkus dekubitus stage 3 atau 4 dilakukan sampai luka sembuh; 4)
pasien UI yang dirawat dirumah dan caregiver tidak dapat membantu
toileting. Perlu diperhatikan tanda-tanda ISK pada pasien dengan
indwelling kateter (Doughty,2006).
3. External collection systems
External collection system digunakan oleh klien laki-laki, secara
umum dibagi dua yaitu peralatan kompresi uretra dan external kateter.
Peralatan kompresi uretra menahan urin dengan melakukan penekanan
pada korpus spongiosum, terdapar dua tipe alat yaitu penile clamp dan
inftable compression cuff. Alat ini jarang digunakan karena adanya
risiko iskemia pada penis, prosedur ini biasanya dilakukan pada pasien
yang dapat mengerti dan dapat menjalankan prosedur pengosongan
setiap 3 jam. External catheter atau komdom kateter merupakan alat
yang sering menjadi pilihan pada klien laki-laki disbanding absorbent
dan indwelling kateter. Klien yang menggunakan alat ini harus
memiliki kulit penis yang intact (Jayachandran et al, 1985).
4. Absorbent Products
Absorbent products digunakan untuk mencegah kebocoran pada saat
klien beraktivitas sosial atau pada klien dengan UI yang tidak dapat
dikelola. Terdapat dua tipe absorben yaitu : underpads atau bedpads
dan bodyworn product. Risiko yang terjadi pada pengguanaan
absorbent adalah maserasi dan iritasi perineal. Sehingga
direkomendasikan untuk menggunakan pelindung kulit seperti cream
atau ointment (Jayachandran et al, 1985).
5. Perawatan Kulit
Merupakan tindakan pencegahan yang dilakukan untuk menurunkan
risiko terjadinya kerusakan kulit atau terjadinya ulkus dekubitus.
Metode yang dilkukan pada perawatan kulit (Kennedy, 1992) :
a. Inspeksi kebersihan dan tanda kemerahan pada arae perineal.
b. Bersihkan kulit segara bila terken bocoran urin atau feses.
c. Gunakan pembersih kulit dan cream untuk melindungi kulit
perineal.
6. Manajemen diet dan cairan
Klien inkontinensia dianjurkan untuk meningkatkan asupan cairan dan
makanan berserat. Klien dianjurkan untuk mengurangi minuman yang
mengandung kafein, minuman karbonasi, jenis minuman lain yang
dapat meningkatkan rangsang berkemih lebih cepat. Peningkatan
makan berserat sangat penting untuk klien guna mencegah terjadinya
konstipasi atau impaksi yang dapat menjadi faktor predisposisi
terjadinya UI karena adanya penekanan pada bladder dalam jangka
waktu lama.
7. Modifikasi Lingkungan
Modifikasi lingkungan lingkungan agar klien dengan mudah mencapai
toilet sehingga tidak terjadi kebocoran. Berikan pencahayaan yang
cukup, lantai yang tidak mudah licin. Sediakan peralatan bantu seperti
urinal didekat tempat tidur agar mudah dijangkau.

Asuhan Keperawatan Umum Inkontinensia Urin


A. Pengkajian
1) Anamnesa
a. Data demografi
Meliputi nama, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal, usia, latar
belakang pendidikan, agama dan suku bangsa.
b. Keluhan utama
Keluhan utama terkait dengan perasaan subjektif klien terhadap
masalah saat berkemih, ketidak mampuan menahan kencing,
kebocoran urin,
c. Riwayat penyakit sekarang
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang
mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan),
masukan cairan, usia/kondisi fisik, kekuatan dorongan/aliran
jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada
penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi
inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
d. Riwayat penyakit dahulu
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya,
riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran
kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
e. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita
penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit
bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan
f. Riwayat psikologi dan Sosial
Pengkjian ini fungsi seksual juga menjadi unsur yang harus dikaji
pada klien untuk mengetahui kemungkinan kebocoran urin saat
melakukan hubungan seksual.
2) Pengkajian Fisik
a. Pengkajian umum dan kemampuan fungsional
Kemampuan fungsional meliputi kemampuan klien untuk
melakukan mobilisasi, kesadaran dan ketangkasan. Metode yang
dapat digunakan untuk menguji klien adalah dengan meminta klien
berjalan dari meja periksa ke tempat tidur, meminta klien berkemih
untuk pemeriksaan spesimen urin.
b. Pengkajian Kekuatan otot pelvis
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk melihat fungsi neuromuskular
dan kemampuan otot dasar panggul yang sangat berperan saat
berkemih. Metode yang digunakan adalah dengan meminta klien
mengkontraksikan dan merilekskan bagaian otot dasar panggul.
c. Pengkajian terhadap kulit perineal
Pemeriksaan ini untuk melihat adanya lesi atau ekskoriasi terkait
dengan seringnya kebocoran berkemih.
d. Pengkajian rektal
Pada wanita kepentingan pengkajian rektal untuk memvalidasi
penyebab terjadinya Inkontinensia Urin yaitu mengkaji adanya
massa atau tumor. Sedangkan pada laki-laki digital rektal
examibation (DRE) berfungsi untuk mengetahui adanya massa atau
pembesaran prostat.
Adapun pemeriksaan head to toe menggunakan metode B6 yaitu
sebagai berikut :
1. B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis
karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah
kelainan pada perkusi.
2. B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan
gelisah
3. B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4. B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme
(bakteri) dalam kandung kemih serta disertai
keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder,
pembesaran daerah suprapubik lesi pada meatus
uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien
terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik /
pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu
kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
5. B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri
tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
6. B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremita yang lain, adakah nyeri pada persendian.
3) Pengkajian Psikososial
Psikososial yang sering muncul pada lansia inkontinensia urin yaitu
Bersedih, Murung, Mudah tersinggung, Mudah marah, Isolasi social,
dan Perubahan peran.

4) Pemeriksaan Diagnostik
1. Tes Laboratorium
a. Urinalysis
Urinalisis merupakan pemeriksaan yang esensial untuk
klien dengan Inkontinensia Urin. Pemeriksaan bertujuan
untuk mengetahui substansi yang terdapat dalam urin yang
dapat berhubungan Inkontinensia urin seperti darah,
glukosa, pus, bakteri, protein. Pemeriksaan lain yang harus
disertakan untuk menyingkirkan adanya infeksi saluran
kemih adalah kultur urin (Chan, 1999).
1. Pemeriksaan serum
Pemeriksaan serum darah diindikasi untuk melihat adanya
komplikasi sistemik. Seperti kemungkinan terjadinya
peningkatan BUN dan Ureum Creatinin pada klien
denganobstruksi dan memiliki komplikasi hidronefrosis
(Chan, 1999).
2. Urodinamik
Urodinmik adalah pemeriksaan untuk melihat transportasi,
penyimpanan dan eliminasi urin pada saluran kemih bagian
tengan atau bawah.
3. Endoskopi dan Pencitraan
Endoskopi untuk melihat kemungkinan adanya tumor epitel,
divertikel yang dapat menyebabkan sumbatan pada saluran
kemih.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Inkontinensia urin stress b.d perubahan degenaratif pada otot-otot
pelvik d.d rembesan involunter sedikit urine 00017
2. Inkontinensia urin refleks b.d tidak adanya sensasi untuk berkemih dan
kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih
d.d ketidakmampuan menahan berkemih secara volunter, tidak ada
sensasi berkemih 00018
3. Resiko infeksi b.d inkontinensia, imobilitas 0004
4. Isolasi Sosial b.d faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan personal
yang memuaskan 0053
C. Intervesi Keperawatan
Inkontinensia urin stress b.d perubahan degenaratif pada otot-otot
pelvik d.d rembesan involunter sedikit urine 00017
NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan Latihan otot pelvis 0560
keperawatan, diharapkan - Kaji kemampuan urgensi
inkontinensia urine stres klien berkemih pasien
dapat teratasi, dengan kriteria - Intruksikan pasien untuk
hasil: menahan otot-otot sekitar
Kontinensia urin 0502 uretra dan anus kemudian
- Klien dapat mengenali relaksasi seolah-olah ingin
keinginan untuk menahan buang air kecil
berkemih dan besar
- Klien dapat menjaga pola - Intruksikan pasien untuk
berkemih yang teratur tidak mengkontraksikan
- Klien dapat berrespon perut, pangkal paha dan
berkemih sudah tepat pinggul, menahan nafas
waktu atau mengejan selam
- Klien dapat berkemih latihan
pada tempat yang tepat - Intruksikan pasien untuk
- Klien dapat melakukan latihan
mngosongkan kantong pengencangan otot, dengan
kemih sepenuhnya melakukan 300 kontraksi
Penuaan fisik 0113 setiap hari, menahan
- Tonus otot kandung kontraksi selam 10 detik,
kemih klien membaik dan relaksasi selam 10
menit diantara seksi
kontraksi, sesuai dengan
protokol
- Ajarkan pasien untuk
memonitor keefektifan
latihan dengan mencoba
menahan BAK 1 kali dalam
seminggu
- Kombinasikan dengan
terapi biofeedback atau
stimulais elektrik pada
pasiens sesuai kebutuhan
untuk mengidentifikasi
kontraksi otot dan atau
untuk meningkatkan
kekuatan kontraksi otot.
Perawatan inkontinensia urin 0610
- Identifikasi faktor apa saja
penyebab inkontinensia
pada pasien
- Jelaskan penyebab
terjadinya inkontinensia
dan rasioanlisasi setiap
tindakan yang dilakukan
- Monitor eliminasi urinen,
meliputi frekuensi,
konsistensi, bau, voolume
dan warna urin
- Modifikasi pakaian dan
lingkungan untuk
mempermudah akses ke
toilet
- Bantu psien untuk memilih
diapers ata popok kain yang
sesuai untuk penangana
sementara selama terapi
pengobatan sedang
dilakukan,
- Menyediakan popok kain
yang nyaman dan
melindungi
- Membatasi intake cairan 2-
3 jam sebelum tidur
Menginstruksikan klien
untuk meminum minmal
1.500ml perhari
-

Inkontinensia urin refleks b.d tidak adanya sensasi untuk berkemih dan
kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih
d.d ketidakmampuan menahan berkemih secara volunter, tidak ada
sensasi berkemih 00018
NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan Manajemen cairan 4120
keperawatan, diharapkan - Menjaga intake/ asupan
inkontinensia urine refleks klien yang akurat dan catat
dapat teratasi, dengan kriteria output
hasil: - Monitor status hidrasi (
Kontinensia urin 0502 membran mukosa lembab,
- Klien dapat memulai dan denyut nadi adekuat, dan
menghentikan aliran urin tekanan darah ortostatik)
- Klien dapat mengenali Latihan kandung kemih 0570
keinginan untuk - Pertimbangkan kemampuan
berkemih untuk mengenali dorongan
- Klien dapat menjaga pola pengosongan kandung
berkemih yang teratur kemih
- Klien dapat berrespon - Bantu pasien untuk
berkemih sudah tepat mengidentifikasi pola-pola
waktu inkontinensia
- Klien dapat berkemih - Tetapkan jadwal awal
pada tempat yang tepat berdasarkan pola berkemih
- Klien dapat - Lakukan eliminasi pada
mngosongkan kantong pasien atau ingatkan pasien
kemih sepenuhnya untuk mengosongkan
Eliminasi urin 0503 kandung kemih pada
- Pola eliminasi klien interval yang sudah
membaik ditentukan
- Klien dapat - Gunakan kekuatan sugesti
mengosongkan kandung (misalnnya penggunaan air
kemih sepenuhnya yang mengalir atau
- Klien dapat mengnali menyiram toilet) untuk
keinginan untuk membantu pasien
berkemih mengosongkan kandung
- Klien tidak mengalami kemih
inkontinensia urin lagi - Ajarkan pasien secara sadar
menahan urin sampai saa
buang hajat dijadwalkan
Katerisasi urin: sementara 0580
- Jelaskan prosedur dan
rasionalisasi katerisasi
- Passang alt dengn tepat
- Lakukan atau ajarkan psien
untuk membersihkan selang
kateter di waktu yang tepat
- Ajarkan pasien dan
keluarga mengenai
perawatan kateter yang
tepat

Resiko infeksi b.d inkontinensia, imobilitas 0004

NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan Kontrol infeksi 6540
keperawatan, diharapkan resiko - Ajarkan pasien dan
infeksi klien dapat teratasi, keluarga mengenai tanda
dengan kriteria hasil: dan gejala infeksi dan
Deteksi resiko 1908 kapan harus
- Klien dapat mengenali melaporkannya kepada
tanda dan gejala penyedia perawatan
mengindikasikan resiko kesehatan.
infeksi - Ajarkan pasien dan
- Klien dapat anggota keluarga
mengidentifikasi mengenai bagaimana
kemungkinan risiko menghindari infeksi
kesehata - Gunakan katerisasi
- Klien dapat memonitor intermiten untuk
perubahan: status menghindari infeksi
kesehatan Perlindungan infeksi
- Monitor adanya tanda dan
gejala infeksi sitemik dan
lokal
- Monitor kerentanan
terhadap infeksi
Perawatan selang: perkemihan
1876
- Menentukan indikasi untuk
digunakannya kateter urin
indwelling
- Lakukan perawatan rutin
meatus dengan sabun dan
air selama mandi setiap
hari
- Bersihkan kateter urin
eksternal pada meatus
- Bersihkan daerah sekitar
kulit secara berkala
- Anjurkan pasien dan
keluarga mengenai
perawatan kateter yang
tepat

Isolasi Sosial b.d faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan personal


yang memuaskan 0053
NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan Peningkatan keterlibatan keluarga
keperawatan, diharapkan Isolasi - Bangun hubungan pribadi
sosial klien dapat teratasi, dengan pasien dan anggota
dengan kriteria hasil: keluarga yang akan terlibat
Keparahan kesepian 1203 dlam perawatan.
- Klien tidak ada lagi - Identifikasi kemapuan
perasaan terisolasi secara keluarga untuk terlibat
sosial dalam perawatan pasien
- Klien tidak ada lagi - Dorong anggota keluarga
perasaan dicampakkan dan pasien untuk membantu
Keterlibatan sosial 1503 dalam mengembangkan
- Klien dapat berinteraksi rencana perawatan,
dengan teman dekat, termasuk hasil
tetangga, dan anggota yangdiharapkan dan
keluarga pelaksanaan rencana
- Klien dapat perawatan
berpartisipasi dalam - Dorong anggota keluarga
aktivitas waktu luang untuk menjaga dan
dengna orang lain mempertahankan hubungan
Dukungan sosial 1504 keluarga yang sesuai
- Klien mau untuk Dukungan emosional 5270
menghubungi orang lain - Bantu pasien untuk
untuk meminta bantuan mengenali perasaannya
- Orang-orang disekitar seperti adanya cemas,
klien dapat membantu marah,, atau sedih
sesuai kebutuhan - Rangkul atau sentuh pasien
dengan penuh dukungan
- Dengarkan/dorong ekspresi
keyakinan dan perasaan
- Dorong untuk bicara atau
menangis sebagai cara untuk
menurunkan respon emosi
- Temani pasien dan berikan
jaminan keselamatan dan
keamanan selam periode
cemas
DAFTAR PUSTAKA

Alimul Aziz. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Edisi 2. Jakarta:


Salemba Medika. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal.
Jakarta: EGC.
Bekasi, S. T. (2015). Asuhan keperawatan inkontinensia urin pada lansia.
Retrieved from https://dokumen.tips/documents/174416641-asuhan-
keperawatan-inkontinensia-urin-pada-lansia.html
Black, Joyce M dan Jane Hokanson Hawks. 2014. Keperawatan Medikal Bedah.
Singapura:Elsevier
Black, Joyce M. 2014. Keperawatan Medikal Bedah Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Singapore : Elsevier
Boedhi, Darmojo R., Martono, Hadi. 2004. BUKU AJAR GERIATRI (Ilmu
Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Bulechek, Gloria M., et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) 6th
ed. United Kingdom: Mosby Elsevier
Chan K M, Yap K B, Wong S F, et al. 1999. Geriatric Medicine for Singapore.
Singapore: Amour Publishing Pte Ltd.
Chin C M. 2001. Clinical handbook on the management of incontinence. 2nd
edition. Society for Continence, Singapore.
Effendi, F., & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas. Jakarta:
Salemba Medika.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds.). (2014). NANDA International Nursing
Diagnoses : Definitions & Classification, 2015-2017. Oxford : Wiley
Blackwell
Ismail, D. D. (2013). ASPEK KEPERAWATAN PADA INKONTINENSIA
URIN. JURNAL ILMU KEPERAWATAN Volume 1 No. 1, 3-11.
Pratiwi , N. (2017, 10 10). Makalah Inkontinensia. Retrieved from KUPDF:
https://kupdf.com/download/makalah-inkontinensia-
_59dbc0ed08bbc5c855544889_pdf
Purba, A. A. (n.d.). Retrieved from
https://www.academia.edu/16655113/ASKEP_INKONTENENSIA_URIN
E?auto=download
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Vol.2. Edisi 8. Jakarta: EGC
W. Sudoyo, Aru. 2006. Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM. JILID III, EDISI
IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Depertemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indoneesia.

Anda mungkin juga menyukai