Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahanlahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang
diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah.
Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari
proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap
individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat
diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan
multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada
keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di
dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi. Menua bukanlah
suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam
menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang
harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia.
Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya
dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain
sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang
normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh,
lebih mudah terkena konstipasi merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut.
Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan
sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. Proses menua (aging)
merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan
intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan
waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis
maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada
lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment),
keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan
keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran.
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental, khususnya
kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan
penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya
ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh, dan adanya inkontinensia baik
urine maupun tinja merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi
mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta
perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering
ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar
antara 1530% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di
rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat
inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Ketidakmampuan mengontrol
pengeluaran urin atau inkontinensia jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena
dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun
pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan
penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial,
psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002). Inkontinensia urin
yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien,
seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka
pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi
pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

B. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami mengenai definisi inkontinensia urin pada lanjut usia.
2. Mengetahui dan memahami mengenai etiologi inkontinensia urin pada lanjut usia.
3. Mengetahui dan memahami mengenai faktor predisposisi atau faktor pencetus
inkontinensia urin pada lanjut usia.
4. Mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi inkontinensia urin pada lanjut
usia.
5. Mengetahui dan memahami mengenai tanda dan gejala inkontinensia urin pada lanjut
usia.
6. Mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan penunjang pada lanjut usia.
7. Mengetahui dan memahami mengenai pathway inkontinensia urin pada lanjut usia.
8. Mengetahui dan memahami mengenai asuhan keperawatan inkontinensia urin pada
lanjut usia.




























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat
sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna.
Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter dan
Perry, 2005). Inkontenensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang
tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. (Brunner dan Suddart, 2002)
Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat, 2006
inkontinensia dorongan Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin
tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat
setelah berkemih.
Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya terjadi
miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung
kemih (Hidayat, 2006). Pasien Inkontinensia dorongan
mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul
sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor
sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas
kandung kemih belum terpenuhi.
inkontinensia total Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang
terus menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan
penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi neorologis,
kontraksi independen dan refleks detrusor karena
pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf
medulla spinalis, fistula, neuropati.
inkontinensia stress tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan
peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih,
dan sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot
spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang
disebabkan meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-
tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu
batuk, bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa (Panker,
2007).
inkontinensia reflex Keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urin
yang tidak dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya
kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis). Inkontinensia
refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk
berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan
kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada
interval teratur
inkontinensia fungsional keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara
tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan
inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan
untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh,
kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan
urin

B. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal
dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit,
sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain
terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin
meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran
kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka
tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi
penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan
jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus
dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang
adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena
produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti
diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang
berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika
seperti kafein. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet
bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan
substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang
dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika
memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat
yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis
adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan
psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil
dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal
yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar
panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia
lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama
kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama
sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak
akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon
estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus
otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya
inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat
operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua
seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi
perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).

C. Faktor Predisposisi atau Faktor Pencetus
1. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga
berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum mampu
untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena sistem
neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan
mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus
otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam
pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada manusia usia lanjut berisiko mengalami
konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol otot sfingter
sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008).
2. Diet
Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya
jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi karena
kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang banyak dapat
menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan menyumbat saluran
kemih sehingga pengeluaran utine menjadi terganggu. Selain itu, urine juga dapat
menjadi bau jengkol. Malnutrisi menjadi dasar terjadinya penurunan tonus otot,
sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk mengeluarkan feses maupun urine.
Selain itu malnutrisi menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi
yang menyerang pada organ pencernaan maupun organ perkemihan(Asmadi, 2008).
3. Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal
untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih
pekat(Asmadi, 2008).
4. Latihan fisik
Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus
otot yang baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan diagfragma sangat penting
bagi miksi (Asmadi, 2008).
5. Stres psikologi
Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan
mengalami diare ataupun beser (Asmadi, 2008).
6. Temperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh
karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh akan
kekurangan cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi dan pengeluaran
urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat memegaruhi nafsu makan yaitu
terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan (Asmadi, 2008).
7. Nyeri
Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang
seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi urine
(Asmadi, 2008).
8. Sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di masyarakat
Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet merupaka sesuatu yang pribadi ,
sementara budaya Eropa menerima fasilitas toilet yang digunakan secara bersama-
sama (Potter & Perry,2006).
9. Status volume
Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam keseimbangan,
peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan peningkatan produksi urine. Cairan
yang diminum akan meningkatakan volume filtrat glomerulus dan eksresi urina
(Potter & Perry,2006).
10. Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan
hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh kandung kemih, dan
individu mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi. Misalnya diabetes melitus
dan sklerosis multiple menyebabkan kondusi neuropatik yang mengubah
fungsikandung kemih. Artritis reumatoid, penyakit sendi degeneratif dan parkinson,
penyakit ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap akhir (Potter & Perry,2006).
11. Prosedur bedah
Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan sebelum menjali
pembedahan yang diakibatkan oleh proses penyakit atau puasa praoperasi, yang
memperburuk berkurangnya keluaran urine. Respons stres juga meningkatkan kadar
aldosteron menyebabkan berkurangnya keluaran urine dalam upaya mempertahankan
volume sirkulasi cairan (Potter & Perry,2006).
12. Obat-obatan
Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik (atropin),
antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat beta adrenergik
(inderal) (Potter & Perry,2006).

D. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis
juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang
paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih
disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung kemih di medulla
spinalis (Darmojo, 2000). Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi
kandung kemih melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher
kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang
mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 1995). Pengosongan kandung kemih melalui
persarafan kolinergik parasimpatis yang menyebabkan kontraksi kandung kemih
sedangkan efek simpatis kandung kemih berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat
penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat
kortikal ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia
urin. Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi antara kontraksi kandung
kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan
menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).

E. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah
(2008) yaitu:
1. Ketidaknyamanan daerah pubis
2. Distensi vesika urinaria
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih
4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)
5. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya
6. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
7. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

F. Pemeriksaan penunjang
1. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
2. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu
bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
3. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan mengukur
efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung
kemih terhadap rangsangan panas.
4. Urografi ekskretorik
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi
ginjal, ureter dan kandung kemih.
5. Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah urine
yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

G. Penatalaksanaan Medis
Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller adalah
mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin,
modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal
tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
2. Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang
keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain
itudicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan
lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
1. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)dengan
teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
2. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.
3. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3
jam.
4. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengankebiasaan lansia.
5. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih
mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin
berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif
(berpikir).
Terapi farmakologi
1. Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:
2. antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
3. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine
untuk meningkatkan retensi urethra.
4. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfa
kolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan
secara singkat.
Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnyamemerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi
inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic(pada wanita).
Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang
mengalamiinkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet
sepertiurinal, bedpan













BAB 3
ASKEP INKONTINENSIA URIN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Nama : Ny. M
Tempat/Tanggal Lahir : 61 th
Jenis kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Menikah
Pendidikan : SD
Pekerjaan : -
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Tanggal Masuk RS : Rabu, 15 November 2011
No. RM : 235501
Ruang : Dahlia
Penanggung Jawab
Nama : Tn. F
Umur : 64 th
Pekerjaan : swasta
Alamat : Mojokerto
2. Riwayat Sakit dan Kesehatan
a. Keluhan Utama
Klien datang dengan keluarganya ke RS dengan keluhan ingin BAK terus-
menerus dan tidak bisa ditahan sampai ke toilet.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengatakan kencingnya lebih dari 10 kali dalam sehari. Klien juga
mengatakan dia tidak bisa menahan kencingnya, karena dia tidak sempat lagi
untuk sampai toilet. klien mengaku dia mengurangi minum agar tidak
mengompol lagi. Klien mengatakan sering menahan haus. Klien mengatakan
lecet-lecet pada kulitnya. Klien mengatakan malu apabila keluar rumah, karena
mengompol dan bau air kencingnya yang menyengat. sehingga hanya diam
dirumah.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Klien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumya. Klien
mengatakan pernah dirawat di RS dan dipasang kateter.
d. Riwayat kesehatan keluarga
e. Klien mengatakan keluarganya tidak pernah mengalami penyakit yang sama
sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan.
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : klien tampak lemas, dan gelisah
b. Tanda-Tanda Vital :
TD : 160/90 mmHg
ND : 90x/mnt
RR : 18x/mnt
S : 370C
c. Integumen
Kulit kering dan keriput
Terdapat luka tekan (dekubitus)
d. Kepala
Simetris dan tidak ada benjolan, warna rambut putih, distribusi rambut merata
e. Mata
Konjungtiva merah muda
Pupil : an isokor
f. Telinga
Bersih, tidak ada serumen
g. Mulut dan gigi
Gigi tanggal
Mulut kering, air liur mudah mengental
Bibir pecah-pecah
h. Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid atau pembesaran limpa nodi
i. Kardiovaskuler
Peningkatan TD
j. Abdomen
Bising usus (+), Pulsasi, nyeri tekan abdomen
k. Perkemihan
Inkontinensia urine, BAK .> 10 kali, Lebih dari 1500-1600 ml dalam 24 jam
Nyeri saat mengeluarkan urine
l. Genetalia
Kelemahan otot vagina dan uterus
m. Ekstremitas
Kelemahan
n. System endokrin
Penurunan produksi hormon estrogen
4. Pengkajian psikososial
Murung
Mudah tersinggung
Mudah marah
Depresi
Dimensia
Isolasi social
Perubahan peran
5. Pengkajian lingkungan
Kondisi rumah :
a. Penerangan : penerangan baik, pada siang hari ada cahaya dari ventilasi rumah
b. Lantai : lantai tidak licin
c. Keadaan rumah datar
d. Tata ruang
Tata ruang tidak sering diubah
Kamar mandi jauh, didekat dapur
Peralatan yang diperlukan tidak jauh dari jangkauan










B. ANALISA DATA
NO Data Etiologi Masalah
1. DS :
- Klien mengatakan ingin BAK terus
menerus
- Klien mengatakan kencingnya lebih
dari 10 kali dalam sehari.
- Klien juga mengatakan dia tidak bisa
menahan kencingnya
DO:
- Klien sering mengompol
Sering berkemih,
urgensi
Perubahan pola
eliminansi
3. DS :
- Klien mengatakan jarang minum agar
tidak mengompol
- Klien mengatakan sering menahan
haus
DO :
- Jumlah urine lebih dari 1500-1600
mm dalam 24 jam
- klien tampak lemas
- kulit klien kering
Intake dan output
yang tidak adekuat
Kekurangan volum
cairan

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Kekurangan volum cairan berhubungan dengan intake dan output yang tidak adekuat
2) Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan sering berkemih, urgensi

D. INTERVENSI
NO Dx
keperawatan
Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional
1. Kekurangan
volum
cairan
berhubungan
dengan
intake dan
output yang
tidak
adekuat



Setelah
dilakukan
intervensi
selama 2x24
jam
diharapkan
Klien
menunjukkan
hidrasi yang
adekuat/
kekurangan
cairan dapat
TTV stabil
Membrane
mukosa bibir
lembab
Turgor kulit
elastic
Intake dan output
seimbang
Mandiri :
Dapatkan riwayat
pasien/ orang
terdekat
sehubungan
dengan lamanya
gejala seperti
muntah dan
pengeluaran urine
yang berlebihan
Pantau TTV, catat
adanya perubahan

Untuk
memperoleh data
tentang penyakit
pasien, agar
dapat melakukan
tindakan sesuai
yang dibutuhkan


Indicator
hidrasi/volum











diatasi TD warna kulit
dan kelembaban-
nya
Pantau masukan
dan pengeluaran
urine





Timbang BB
setiap hari



Pertahankan
untuk memberikan
cairan paling
sedikit 2500
ml/hari dalam
batas yang dapat
ditoleransi jantung
Kolaborasi:
Berikan terapi
cairan sesuai
indikasi
Berikan cairn IV




sirkulasi dan
kebutuhan
intervensi.
Membandingkan
keluaran actual
dan yang
diantisipasi
membantu dalam
evaluasi adanya/
derajat stasis/
kerusakan ginjal
Peningkatan BB
yang cepat
mungkin
berhubungan
dengan retensi
Memper-
tahankan
keseimbangan
cairan




Memenuhi
kebutuhan cairan
tubuh
Mempertahankan
volum sirkulasi,
meningkatkan
fungsi ginjal
2. Perubahan
pola
eliminasi
berhubungan
dengan
sering
berkemih,
urgensi
Mengurangi
atau
mengatasi
pola
eliminasi
agar dapat
berkemih
normal
Individu akan
Menjadi
kontinen
(terutama
selama siang
hari, malam, 24
jam) dan
mampu
mengidentifikasi
penyebab
Mandiri :
Tentukan pola
berkemih
normalpsien dan
tentukan variasi






Kalkulus dapat
menyebabkan
eksitalitas saraf,
yang
menyebabkan
sensasi berkemih
segera. Biasanya
frekuensi dan
urgensi
inkontinens dan
rasional untuk
pengobatan






Dorong
mningkatkan
pemasukan cairan




Selidiki keluhan
kandung kemih
penuh, palpasi
untuk daerah
suprapubik



Kolaborasi:
Ambil urine
untuk kultur dan
sensivitas
meningkat bila
kalkulus
mendekati
pertemuan
uretrovesikal
Peningkatan
hidrasi membilas
bakteri,
darah,dan debris
dan dapat
membantu
lewatnya batu
Retensi urine
dapat terjadi
menyebabkan
distensi jaringan
dan potensial
resiko infeksi,
gagal ginjal


Menentukan
adanya ISK,
yang penyebab
atau gejala
komplikasi


E. EVALUASI
NO Diagnosa keperawatan Implementasi Evaluasi
1. Kekurangan volum
cairan berhubungan
dengan sering berkemih,
urgensi
Jam 8.00 WIB
Mandiri :
mendapatkan riwayat
pasien/ orang terdekat
sehubungan dengan
lamanya gejala seperti
muntah dan
pengeluaran urine yang
berlebihan
memantau TTV, catat
adanya perubahan TD
Jam 10.00 WIB
S:
Klien mengatakan masih
BAK terus menerus, tetapi
sudah berkurang
frekuensinya
Klien mengatakan
kencingnya sudah kurang
dari 10 kali dalam sehari.
Klien mengatakan dia
masih tidak bisa menahan
warna kulit dan
kelembaban-nya
memantau masukan
dan pengeluaran urine
menimbang BB setiap
hari
mempertahankan untuk
memberikan cairan
paling sedikit 2500
ml/hari dalam batas
yang dapat ditoleransi
jantung
Kolaborasi:
memberikan terapi
cairan sesuai indikasi
memberikan cairn IV
kencingnya
O:
Klien terlihat masih
mengompol tetapi sudah
berkurang frekuensinya
TTV:
TD : 150 mmHg
ND : 70x/i
S : 37
0
C
RR : 18x/i
A :Masalah belum teratasi
P :Intervensi dilanjutkan
pantau masukan dan
pengeluaran urine
memberikan terapi cairan
sesuai indikasi
memberikan cairan IV
2. Perubahan pola
eliminasi berhubungan
dengan sering berkemih,
urgensi
Jam 20.00 WIB
Mandiri :
menentukan pola
berkemih normal
pasien dan tentukan
variasi
mendorong
mningkatkan
pemasukan cairan
menyelidiki keluhan
kandung kemih penuh,
palpasi untuk daerah
suprapubik
Kolaborasi:
mengambil urine
untuk kultur dan
sensivitas
Jam 22.00 WIB
S:
Klien mengatakan belum
berani minum banyak agar
tidak mengompol
Klien mengatakan
terkadang masih menahan
haus
O:
klien masih tampak sedikit
lemas
kulit klien masih terlihat
kering
A:
Masalah teratasi sebagian
P:
Intervensi dilanjutkan
tentukan pola berkemih
normal pasien dan tentukan
variasi
dorong meningkatkan
pemasukan cairan



BAB 4
PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial.
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali,
kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak
dapat menahan air seni.Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan
gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat
atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet

B. Saran
1. Bagi pembaca diharapkan menambah pengetahuan tentang inkontinensia urin.
2. Bagi penyusun diharapkan menambah pengetahuan tentang asuhan keperawatan
tentang inkontinensia urin.

















DAFTAR PUSTAKA

Nanda. 2009. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
Wilkinson M Judith. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
NOC. Jakarta: EGC
FKUI. 2006. Ilmu Penyakit Dalam jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Brunner & Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC
Doengoes, E Marilynn, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

























KEGEL EXERCISE

A. Definisi senam kegel
Senam Kegel adalah senam yang bertujuan untuk memperkuat otot-otot dasar
panggul terutama otot pubococcygeal sehingga seorang wanita dapat memperkuat otot-
otot saluran kemih (berguna saat proses persalinan agar tidak terjadi ngompol) dan
otot-otot vagina (memuaskan suaminya saat berhubungan seksual). Nama senam ini
diambil dari penemunya Arnold Kegel, seorang dokter spesialis kebidanan dan penyakit
kandungan di Los Angeles sekitar tahun 1950-an. Dokter Kegel seringkali melihat
pasiennya yang sedang dalam proses persalinan sering tidak dapat menahan keluarnya air
seni (ngompol). Timbullah inisiatifnya untuk menemukan exercise agar pasiennya tidak
mengalami hal tersebut.

B. Manfaat dan tujuan senam kegel
Dalam perkembangan selanjutnya, senam ini selain dilakukan oleh wanita juga
dilakukan oleh para pria. Pada pria kerja otot ini lebih mudah diamati dari luar dibanding
wanita. Hal ini dapat dilihat dengan gerakan penis naik-turun dalam keadaan ereksi.
Pria yang terlatih akan mendapatkan orgasme yang lebih intens, dapat mencegah
ejakulasi dini dan memperpendek waktu untuk siap melakukan hubungan seks ulang.
Pada wanita kerja otot pubococcygeal dapat dirasakan berupa denyutan pada dinding
vagina. Bila otot ini terlatih dan kuat , kontraksi otot vagina dapat dengan sengaja
dilakukan saat berhubungan intim tanpa menunggu orgasme terlebih dahulu. Wanita
dengan otot pubococcygeal terlatih lebih mudah mengalami perangsangan seksual (tidak
frigid), lebih cepat basah untuk mengalami orgasme yang sering dan memuaskan
bahkan dapat mencapai orgasme hanya dengan rangsangan pada G spot-nya. Senam
kegel juga dapat digunakan untuk mencegah konstipasi pada kehamilan. Dengan
melakukan senam kegel sirkulasi darah disekitar dubur dapat meningkat sehingga dapat
mencegah wasir. Senam kegel diketahui bisa membantu perempuan yang mengalami
inkontinensia urin (beser). Tujuan dsenam kegel adalah melatih kandung kemih untuk
mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi
pegeluaran air kemih

C. Langkah-langkah Senam Kegel
1. Latihan I
a. Instruksikan klien untuk berkonsentrasi pada otot panggul.
b. Minta klien berupaya untuk menghentikan aliran urine selama berkemih dan
kemudian memulainya kembali. Apabila klien masih terpasang kateter, latihan
dapat dilakukan dengan memberi klem pada selang urine bag sehingga urine
tertahan pada kandung kemih, didiamkan beberapa lama, lalu dilepas jika
kandung kemih sudah terasa penuh.
c. Praktekan setiap kali berkemih.
Rasional: membantu klien untuk merasakan otot-otot anterior pada dasar
panggul dan mengajarkan teknik pengontrolan.
2. Latihan II
a. Minta klien mengambil posisi duduk atau berdiri.
b. Instruksikan klien untuk mengencangkan otot-otot di sekitar anus.
Rasional: membantu klien merasakan otot-otot posterior pada dasar panggul.
3. Latihan III
a. Minta klien mengencangkan otot di bagian posterior dan kemudian kontraksikan
otot anterior secara perlahan sampai hitungan ke empat
b. Kemudian minta klien merelaksasikan otot-otot secara keseluruhan.
c. Ulangi latihan 4x/jam saat terbangun dari tidur selama 3 bulan.
Rasional: Meningkatkan pengontrolan otot panggul dan membantu relaksasi
sfingter selama berkemih
4. Latihan IV
a. Apabila memungkinkan, ajarkan klien melakukan sit-ups yang dimodifikasi
(lutut ditekuk).
Rasional: Menguatkan otot-otot abdomen untuk pengontrolan kandung kemih.

Langkah tersebut juga dapat dilakukan seperti berikut :
1. Pemanasan.
Kendurkan otot-otol perut, bokong dan paha atas se-rilek mungkin. Untuk
memastikan otot-otot tersebut rilek, letakkan kedua tangan di atas perut. Jika perut
tidak ikut bergerak ketika otot-otot dasar panggul (PC) dikontraksi, berarti gerakan
Anda benar.
2. Kontraksi.
Kontraksikan otot-otot PC Anda dengan menarik ke dalam dan keras sekitar vagina,
anus dan saluran kencing (uretra) seperti menahan air seni. Tujuannya untuk
menemukan letak otot PC. Untuk mudahnya dapat melakukan latihan berikut:
Ketika Anda ingin buang air kecil, tahanlah aliran air seni, lalu lepaskan kembali.
Lakukan beberapa kali sehingga bisa merasakan benar letak otot PC lersebut.
3. Ulangan.
Setelah Anda mampu melakukan, mulailah berlatih sebanyak 10 kali ulangan. Setiap
kali kontraksi, tahan selama tiga hitungan. Kemudian secara perlahan naikkan
hitungan kontraksinya hingga Anda bisa menahan selama 10-15 hitungan, dengan
istirahat selama 10 detik diantaranya. Jumlah optimum kira-kira 50-100 kali
sepanjang hari, pagi, siang, sore dan malam.
4. Variasi.
Lakukan variasi untuk menghindari kebosanan dengan munggabungkan latihan otot-
otot PC dengan latihan pengencangan otot-otot lain di sekitarnya, yaitu otot-otot
perut, paha atas, dan otot bokong, dalam posisi berdiri, duduk atau berbaring.
5. Catatan.
Latihan Kegel dengan menahan air seni, disarankan hanya dilakukan pada saat awal
berlatih. Gunanya untuk menemukan letak otot PC. Setelah itu sebaiknya jangan
dilakukan lagi karena akan mengganggu pola kencing Anda. Sebaiknya
berkonsultasi lebih dulu sebelum berlalih dan lakukan evaluasi dalam jangka waktu
tertentu.

D. Factor pendukung senam kegel
Tindakan berikut dapat membantu klien yang menderita inkontinensia untuk
memperoleh kembali kontrol berkemihnya dan merupakan bagian dari perawatan
rehabilitatif serta restorasi.
1. Mempelajari latihan untuk menguatkan dasar panggul.
2. Memulai jadwal berkemih pada bangun tidur, setiap 2 jam sepanjang siang dan
sore hari, sebelum tidur, dan setiap 4 jam pada malam hari.
3. Menggunakan metode untuk mengawali berkemih (misalnya air mengalir dan
menepuk paha bagian dalam)
4. Menggunakan metode untuk relaks guna membantu pengosongan kandung kemih
secara total (misalnya membaca dan menarik nafas dalam).
5. Jangan pernah mengabaikan keinginan untuk berkemih (hanya jika masalah klien
melibatkan pengeluaran urine yang jarang sehingga dapat mengakibatkan retensi).
6. Mengonsumsi cairan sekitar 30 menit sebelum jadwal waktu berkemih.
7. Hindari teh, kopi, alkohol, dan minuman berkafein lainnya.
8. Minum obat-obatan diuretic yang sudah diprogramkan atau cairan yang dapat
meningkatkan dieresis (seperti teh atau kopi) dini pada pagi hari.
9. Semakin memanjangkan atau memendekkan periode antar berkemih.
10. Menawarkan pakaian dalam pelindung untuk menampung urine dan mengurangi
rasa malu klien (bukan popok).
11. Mengikuti program pengontrolan berat tubuh apabila masalahnya adalah obesitas.
12. Memberikan umpan balik positif saat tercapai pengontrolan berkemih.

Anda mungkin juga menyukai