oleh
Kelompok 1
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
i
PRAKATA
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas membuat makalah mengenai “Askep Kritis pada Syok”
untuk memenuhi Tugas Makalah Keperawatan kritis ini tepat pada waktunya. Dalam pembuatan
makalah ini penulis menemukan beberapa kesulitan dan hambatan akan tetapi berkat semangat
dan arahan serta bimbingan dari berbagai pihak kami mampu menyelesaikan tugas ini dengan
baik, oleh karena itu pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Tuhan Yang Maha Esa, Dosen penanggungjawab mata kuliah Keperawatan kritis Ns.
Ahmad Rifai, MS.
2. Ayah dan Ibu yang selalu memberikan semangat serta dukungan pada kami dalam
menyelesesaikan makalah.
Pemakalah mengakui bahwa tugas ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
Pemakalah sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca, guna untuk kesempurnaan tugas
makalah ini agar bermanfaat bagi kami dan pembaca pada umumnya.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Syok kardiogenik adalah kegagalan perfusi yang disebabkan oleh gangguan pada fungsi
jantung dan ditandai dengan nadi lemah, penurunan tekanan arteri (<65 mmHG), peningkatan
LVEDP (>18 mmHg) dan penurunan curah jantung(CO <3,2 L/menit) (Firdaus I, 2016) Syok
kardiogenik adalah kondisi yang mengancam jiwa yang biasanya terjadi setelah infark miokard
akut, namun penyakit kardiovaskuler lain seperti kardiomiopati, disritmia, temponade jantung,
emboli, dan disritmia juga dapat menjadi faktor penyebab terjadinya syok kardiogenik. Kondisi
syok mneggambarkan kegagalan sistem kardiovaskular untuk menyediakan perfusi jaringan dan
pengahantaran oksigen yang adekuat untuk menjaga metabolisme seluler yang normal. Syok
kardiogenik merupakan suatu keadaan penurunan curah jatung dan perfusi sistemik pada kondisi
volume intravaskular yang adekuat sehingga akan menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan
(Alsagaff, M 2017)
2.2 Epidemiologi
Syok kardiogenik memiliki angka mortalistas yang cukup tinggi yaitu sekitar 50% dan searuh
kematian terjadi dalam 48 jam pertama, kodisi ini kemungkinan disebabkan karena adanya
kerusakan miokardium luas dan organ vital yang permanen. Angka mortalitas sering meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, pada usia >75 tahun angka mortalitas mencapai 55 %
sedangkan pada usia <75 tahun angka mortalitas sebesar 29,8%.
Di Amerika Serikat angka kejadian syok kardiogenik pada pasien dengan infark miokard
akut sebesar 5-10%, sedangkan di Eropa prevalensi syok kardiogenik lebih tinggi yaitu mencapai
11,4 %. Di Indonesia sendiri belum terdapat data jumlah kasus pasien dengan syok kardiogenik.
(Tasia, Y 2018).
2.3 Etiologi
Komplikasi mekanik akibat infark miokard akut dapat menyebabkan terjadinya syok.
Diantara komolikasi tersebut adalah : ruptur septa ventrikel, ruptur atau disfungsi otot papilaris
dan ruptur miokard yang keseluruhan dapat mengakibatkan timbulnya syok kardiogenik tersebut.
Sedangkan infark ventrikel kanan tanpa disertai infark atau disfungsi ventrikel kiri dapat
meyebabkan terjadinya syok.
Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya syok kardiogenik adalah takiaritmia atau
bradiaritmia yang rukuren, dimana biasanya terjadi akibat disfungsi ventrikel kiri, dan dapat
timbul bersamaan dengan aritmia supraventrikularataupun ventrikuler. Syok kardiogenik juga
dapat timbul sebagai manifestasi tahap akhir dari disfungsi miokard yang progresif, termasuk
akibat penyakit jantung iskemia, maupun kardiomiopati hipertrofik dan restriktif.
Picard, MH, et al, melaporkan, abnormalitas struktural dan fungsional jantung dalam rentang
lebar ditemukan pada pasien syok kardiogenik akut. Mortalitas jangka pendek dan jangka
panjang dikaitkan dengan fungsi sistolik ventrikel kiri awal dan regurgitasi mitral yang dinilai
dengan ekokardiografi, dan tampak manfaat revaskularisasi dini tanpa dipengaruhi nilai fraksi
ejeksi ventrikel kiri pada awal (baseline) atau adanya regurgitasi mitral.
2.4 klasifikasi
Walaupun syok kardiogenik diakibatkan oleh disfungsi mekani hebat pada ventrikel kiri,
namun beberapa subkelompok hemodinamika telah dikenal : disfungsi mekanik, hipovolemia
relatif dan gangguan mekanisme kendali vasomotor perifer.
a. Disfungsi mekanik : Pada syok kardiogenik karena disfungsi mekanik, kerusakan luas
miokardium ventrikel sangat mengganggucurah jantung dan pengosongan sistolik ventrikel
kiri
b. Hipovolemia relatif : Pada pasien hipovolemia relatif keadaannya, syok dapat berkembang
sementara tekanan pengisian ventrikel kiri normal atau sedikit meningkat. Perubahan
hemodinamik menyerupai keadaan syok yang ditimbulkan peredaran atau aliran balik vena
yang tidak adekuat ke jantung.
c. Gangguan mekanisme pengendalian vasomotor perifer : Kategori syok ketiga bisa akibat
mekanisme hormon dan neurogenik yang mengubah tidak sebanding tonus vasomotor
perifer.
2.5 patofisiologi
Tanda dan gejala syok kardiogenik mencerminkan sifat sirkulasi patofisiologi gagal
jantung. Kerusakan jantung mengakibatkan penurunan curah jantung, yang pada gilirannya
menurunkan tekanan darah arteria ke organ-organ vital. Aliran darah ke arteri koroner berkurang,
sehingga asupan oksigen ke jantung menurun, yang pada gilirannya meningkatkan iskemia dan
penurunan lebih lanjut kemampuan jantung untuk memompa, akhirnya terjadilah lingkaran setan.
Tanda klasik syok kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat dan lemah, hipoksia otak
yang termanifestasi dengan adanya konfusi dan agitasi, penurunan haluaran urin, serta kulit yang
dingin dan lembab. Disritmia sering terjadi akibat penurunan oksigen ke jantung.seperti pada
gagal jantung, penggunaan kateter arteri pulmonal untuk mengukur tekanan ventrikel kiri dan
curah jantung sangat penting untuk mengkaji beratnya masalah dan mengevaluasi
penatalaksanaan yang telah dilakukan. Peningkatan tekananakhir diastolik ventrikel kiri yang
berkelanjutan (LVEDP = Left Ventrikel End Diastolik Pressure) menunjukkan bahwa jantung
gagal untuk berfungsi sebagai pompa yang efektif.
b. chocardiography :
c. Radiografi toraks
sangat penting dilakukan untuk mengeksklusikan penyebab lain syok atau nyeri dada.
Mediastinum yang melebar mungkin adalah suatu diseksi aorta. Tension pneumothorax atau
pneumomediastinum yang mudah ditemukan pada foto toraks dapat bermanifestasi syok dengan
low-output. Gambaran radiologis pasien syok kardiogenik kebanyakan memperlihatkan
gambaran kegagalan ventrikel kiri berupa redistribusi pembuluh darah peulmonal, edema paru
interstisial, bayangan hilus melebar, dijumpai garis kerley-B, kardiomegali serta effusi pleura
bilateral. Edema alveolar tampak pada foto toraks berupa opasitas perihilar bilateral (butterfly
distribution)
d. Ultrasonografi
Dapat menjadi panduan dalam manajemen cairan. Pada pasien yang bernafas spontan, vena
kava inferior yang kolaps saat respirasi menandakan adanya dehidrasi. Sedangkan jika tidak
maka status cairan intravaskular adalah euvolume.
Perlu dilakukan segera pada pasien dengan iskemik atau infark miokard yang mengalami
syok kardiogenik. Angiografi penting untuk menilai anatomi arteri koroner dan tindakan
revaskularisasi segera jika diperlukan. Pada kasus dimana ditemukan kelainan yang luas pada
angiografi, maka respon kompensasi berupa hiperkinetik tidak dapat berlangsung akibat beratnya
aterosklerosis arteri koroner. Penyebab tersering syok kardiogenik adalah infark miokard yang
luas atau infark yang lebih kecil pada pasien yang sebelumnya telah mengalami dekompensasi
ventrikel kiri.
f. Elektrokardiografi
Iskemik miokard akut didiagnosa berdasarkan munculnya elevasi segmen ST, depresi
segmen ST, gelombang Q. Inversi gelombang T, meskipun paling tidak sensitif, dapat pula
terlihat pada orang-orang dengan iskemik miokard. EKG pada dada kanan dapat memperlihatkan
adanya infark pada ventrikular kanan selain sebagai diagnostik juga dapat berguna sebagai faktor
prognostik. Hasil EKG yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan infark miokard akut.
2.8 Penatalaksanaan
a. Penanganan Suportif (Resusitasi dan Ventilasi)
Manajemen awal berupa resusitasi cairan bila dijumpai hipovolemia dan hipotensi,
kecuali dijumpai adanya edema paru. Pemasangan jalur vena sentral dan arteri, katetrisasi Swan-
Ganz, serta pulse oksimeter perlu dilakukan. Oksigenasi dan proteksi jalan nafas merupakan hal
yang penting di awal penanganan khususnya pada kondisi hipoksemia (SpO2 <90% atau PaO2
< 1 mmHg), oksigen dapat diberikan mulai dari 40-60% selanjutnya dapat dititrasi sampai SpO2
> 90%. Jika diperlukan, intubasi jalan nafas dan ventilasi mekanik dapat dilakukan. Selain itu
monitoring tekanan darah juga harus dilakukan.
Hipovolemia dapat terjadi pada kasus syok kardiogenik misalnya dengan riwayat
penggunaan diuretik atau jika ada muntah. Pemberian terapi pengganti cairan harus dipantau
dengan pemeriksaan PCWP, saturasi oksigen arteri (SaO2), tekanan arteri sistemik, serta curah
jantung. Pemberian challenge volume intravaskular yakni saline isotonik sebanyak sekurangnya
1 mL dalam 10 menit dapat dilakukan sebelum tindakan kateterisasi pada jantung kanan jika
tidak ada bukti bendungan paru pada pemeriksaan fisik maupun rontgen torak serta pasien tidak
dalam keadaan distres pernafasan.
Pada beberapa kondisi dukungan cairan yang lebih besar kadang-kadang diperlukan
misalnya pada syok kardiogenik akibat infark ventrikular kanan, dimana tekanan pengisian yang
tinggi diperlukan untuk memaksimalkan aliran ke ventrikel kiri. Infark pada ventrikel kanan
dapat disangkakan jika dijumpai gambaran infark inferior, lapangan paru bersih pada
pemeriksaan auskultasi serta syok. Pemberian cairan dalam jumlah banyak diindikasikan dalam
kasus ini sepanjang tidak dijumpai peningkatan tekanan vena jugularis/sentral.
Pasien yang datang dengan overload cairan dan edema paru kardiogenik tanpa adanya
hipotensi dapat diterapi dengan diuretik, morfin, suplemen oksigenm serta vasodilator.
b. Manajemen Hemodinamik
Pada Pasien dengan status perfusi jaringan tidak adekuat dan volume intravaskular yang
adekuat, inisiasi permberian obat inotropik dan atau vasopresor dapat mulai diberikan. Yang
termasuk obat vasopresor adalah dopamin, norepinefrin, epinefrin dan levosimendan Dosis
reguler dopamine adalah 5-10 mcg/kg/min namun dapat ditingkatkan hingga 20 mcg/kg/min.
Dosis norepinefrin adalah 8-12 mcg/min dapat ditingkatkan dan dalam keadaan sepsis dapat
ditingkatkan hingga 3,3 mcg/kg/min. obat-obat inotropik antara lain : dobutamin dan
fosfodiesterasi inhibitor (PDIs). Dosis dobutamin adalah 2,5-10 mcg/kg/min. Dalam keadaan
hipotensi ringan (TDS > 70-100 mmHg tanpa klinis syok), Dobutamin dapat digunakan, namun
dalam kondisi hipotensi berat dengan klinis syok yang nyata, pilihan yang terbaik adalah
dopamin (TDS 70-100 mmHg dengan klinis syok) dan norepinefrin (TD < 70 mmHg).
e. Reperfusi
Reperfusi koroner dapat dilakukan dengan fibrinolisis, PCI (percutaneous coronary
intervention), atai CABG (coronary artery grafting baypass). Semakin cepat reperfusi dilakukan,
maka hasil yang didapat semakin baik. Keuntungan tindakan revaskularisasi dini pada syok
kardiogenik jelas terlihat pada beberapa studi observasional terutama pada SHOCK trial yakni
sebesar peningkatan angka keselamatan pada 1 tahun pertama sebesar 13% pada pasien syok
kardiogenik yang menjalani reperfusi dini. ACC/AHA merekomendasikan dalam guideline agar
revaskularisasi dilakukan pada pasien syok kardiogenik dengan usia <75 tahun. Terapi
trombolitik kurang efektif dibanding PCI namun dapat diindikasikan jika transport pasien
menuju sarana PCI tidak memungkinkan ataupun membutuhkan waktu yang lama dan jika onset
infark miokard dan syok kardiogenik terjadi dalam rentang waktu kurang dari atau sama dengan
3 jam. Waktu yang terbaik untuk PCI dini adalah 0-6 jam sejak onset. CABG diindikasikan pada
pasien dengan oklusi pada arteri left main atau sembatan terjadi pada 3 pembuluh darah. Stenting
dan pemberian obat golongan glikoprotein IIb/IIIa inhibitor memperlihatkan peningkatan akan
keberhasilan pada beberapa studi. Algoritma rencana revaskularisasi pada syok kardiogenik
dapat dilihat pada gambar3
a. Identitas Klien
Meliputi nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan,
alamat, agama, suku bangsa, tanggal masuk rumah sakit, no registrasi/MR.
b. Riwayat Kesehatan
1. Diagnosa Medis
2. Keluhan utama : susah bernafas, mengeluh muntah dan mual
3. Riwayat penyakit sekarang : riwayat trauma, riwayat penyakit jantung
(sesak nafas), riwayat pemakaian obat-obatan (kesadaran menurun setelah
mengkonsumsi obat)
4. Riwayat kesehatan terdahulu
a. Alergi (obat, makanan, plester, dll)
b. Imunisasi
c. Kebiasaan/pola hidup/life style
d. Obat-obatan yang digunakan
5. Riwayat penyakit keluarga : apakah keluarga ada yang pernah
mengalami sakit yang sama seperti pasien sebelumnya.
c. Pengkajian Keperawatan
1. Persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
2. Pola nutrisi/metabolik (ABCD) (saat sebelum sakit dan saat di rumah sakit)
Gejala : mual, muntah, anoreksia, nyeri ulu hati, nyeri abdominal, sangat
kehausan
Tanda : penurunan turgor kulit, kulit kering, berkeringat, perubahan berat
badan
3. Pola eliminasi (saat sebelum sakit dan saat di rumah sakit)
Gejala : oliguri
Tanda : produksi urin < 20 mL/jam
4. Pola aktivitas dan latihan (saat sebelum sakit dan saat di rumah sakit)
Gejala : kelemahan, kelelahan
Tanda : takikardi, dispnea pada saat istirahat atau beraktifitas
5. Pola tidur dan istirahat (saat sebelum sakit dan saat di rumah sakit)
Gejala : insomnia (susah tidur)
Tanda : kesulitan saat akan tidur dan sering terbangun saat tidur akibat
nyeri dan sesak napas
6. Pola kognitif dan perceptual
7. Pola persepsi diri
8. Pola seksualitas dan reproduksi
9. Pola peran dan hubungan
10. Pola manajemen koping stress
11. System nilai dan keyakinan
d. Pemeriksaan Fisik
1. Tampilan umum (inspeksi)
- Pasien tampak pucat, diaforesis (keringat berlebihan), gelisah
- Pasien tampak sesak/sulit bernafas
- Oliguri (urin < 20 mL/jam)
- Tekanan vena sentral > 10 mmH2 O
2. Denyut nadi dan tekanan darah (palpasi)
- Sinus takikardi (>100 x/menit)
- Adanya sinus bradikardi atau blok jantung sebagai komplikasi dari infark
- Nadi teraba lemah dan cepat
- Tensi turun <80-90 mmHg
3. Pemeriksaan jantung (auskultasi)
- Adanya bunyi jantung S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi
jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung ke dua
- Dapat ditemukan murmur mid sistolik atau late sistolik apikal bersifat
sementara
- Bunyi jantung sangat lemah, bunyi jantung III sering terdengar
- Indeks jantung kurang dari 2,2 L/menit/m2
e. Pemeriksaan Penunjang
1. Electrocardiography
- Elevasi segmen ST dapat terobservasi. Right sided leads dapat
menunjukkan suatu pola infark ventrikel kanan yang mengindikasikan
terapi yang berbeda dari terapi untuk penyebab-penyebab lainnya dari
syok kardiogenik.
- Pada pasien infark miokard akut dengan gagal ventrikel kiri (LV
failure) gelombang Q dan/ atau > 2 mm ST elevasi pada multiple leads
atau left bundle branch block biasanya tampak.
2. Radiografi
- Radiografi dada (chest rontgenogram) dapat terlihat normal atau
menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kongestif akut (acute
congestive heart failure), yaitu :
a. Cephalisation karena dilatasi pembuluh darah pulmoner
b. Saat tekanan diastolik akhir ventrikel kiri meningkat, akulmulasi
cairan interstitial ditunjukkan secara radiografis dengan adanya
gambaran fluffy margins to vessels, peribronchial cuffing srta garis
curley A dan B. Dengan tekanan hidrostatik yang sangat tinngi
cairan dilepaskan ke alveoli menyebabkan diffuse fluffy alveolar
infiltrates.
- Gambaran foto/rontgen dada (chest x-ray) lainnya yang tampak pada
penderita syok kardiogenik :
a. Kardiomegali ringan
b. Edema paru (pulmonary edema)
c. Efusi pleura
d. Pulmonary vascular congestion
3. Bedside ecocardiography
Berguna untuk :
a. Fungsi ventrikel kiri yang buruk (poor left ventricular function)
b. Menilai keutuhan katub (assessing valvular integrity)
c. Menyingkirkan penyebab lain syok seperti cardiac tamponade
4. Laboratorium
- Leukosit meningkat
- Tidak adanya prior renal insufficiency, fungsi ginjal normal, blood urea
nitrogen (BUN) dan creatinin meningkat
- Hepatic transminases meningkat karena hipoperfusi hati
- Perfusi jaringan yang buruk dapat menyebabkan anion gap acidosis dan
peningkatan kadar asam laktat
- Gas darah arteri menunjukkan hipoksemia dan metabolik asidosis
dimana dapat dikompensasi oleh respiratory alkalosis
21
BAB III. ASUHAN KEPERAWATAN KASUS SYOK KARDIOGENIK
Seorang laki-laki, Tn. H, usia 66 tahun, suku Madura, datang pada tanggal
23 Februari 2017 ke instalasi rawat darurat Rumah Sakit (RS) Dokter Soetomo
dengan keluhan utama sesak napas. Sesak napas telah dirasakannya sejak empat
hari sebelumnya dan bertambah berat satu hari sebelum masuk RS. Sesak tidak
berkurang dengan istirahat. Tidak ada keluhan nyeri dada dan keringat dingin.
Pasien pernah dirawat dengan keluhan yang sama sebanyak tiga kali. Pasien tidak
pernah melakukan kontrol rutin. Riwayat hipertensi, diabetes melitus, dan stroke
disangkal. Pasien memiliki riwayat merokok sebanyak satu bungkus per hari. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum yang lemah, Glasgow coma scale
(GCS) 456, tekanan darah 80/50 mmHg, nadi 90x/menit reguler, pernapasan
28x/menit, suhu 35,6o C, dan saturasi oksigen 77% dengan oksigen bebas.
Pemeriksaan kepala leher tidak menunjukkan adanya kelainan. Dari pemeriksaan
jantung didapatkan ictus cordis di sela iga V 2 cm lateral mid clavicula line
sinistra, bunyi jantung pertama dan kedua reguler, didapatkan murmur sistolik di
apeks jantung grade III/VI menjalar ke axilla, tidak didapatkan ekstrasistol dan
gallop. Dari pemeriksaan paru didapatkan suara napas vesikuler, didapatkan
ronchi basah halus minimal di lapangan paru kanan kiri, tidak didapatkan
wheezing. Pada pemeriksaan abdomen tidak didapatkan kelainan. Dari
pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral dingin dan basah dan tidak didapatkan
edema.
1. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : Tn. H
b. Usia : 66 tahun
d. Nomor RM :-
2. RIWAYAT KESEHATAN
Sesak napas telah dirasakan- nya sejak empat hari sebelumnya dan
bertambah berat
Tanda vital:
a. Jantung
pemeriksaan jantung didapatkan ictus cordis di sela iga V 2 cm
lateral mid clavicula line sinistra, bunyi jantung pertama dan kedua
reguler, didapatkan murmur sistolik di apeks jantung grade III/VI
menjalar ke axilla, tidak didapatkan ekstrasistol dan gallop.
b. Paru-paru
pemeriksaan paru didapatkan suara napas vesikuler, didapatkan
ronchi basah halus minimal di lapangan paru kanan kiri, tidak
didapatkan wheezing. Pada pemeriksaan abdomen tidak didapatkan
kelainan. Dari pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral dingin dan
basah dan tidak didapatkan edema.
25
CATATAN PERAWATAN DAN PERKEMBANGAN KLIEN “HERE AND NOW”
Subjektif (S) Objektif (O) Diagnosis Kep (A) Perencanaan (P) Implementasi (I) Evaluasi (E) (SOAP)
Sesak napas telah Tanda vital: Penurunan curah 1. Evaluasi nyeri dada (ex : S : Pada hari kedua,
1. mengevaluasi
dirasakan- nya jantung b.d. perubahan pasien tidak memiliki
- Tekanan Darah intensitas, lokasi, nyeri dada (ex :
sejak empat hari kontraktilitas keluhan
: 80/50 penjalaran, durasi, dan intensitas, lokasi,
sebelumnya dan miokardial O : kondisi tekanan
mmHg faktor penyebab dan faktor penjalaran,
bertambah berat darah 90/60 mmHg,
- Nadi yang mengurangi nyeri durasi, dan faktor
nadi 85x/menit,
: penyebab dan
2. Melakukan penilaian yang
frekuensi napas
90x/menit faktor yang
komprehensive terhadap
16x/menit, suhu
- RR mengurangi nyeri
sirkulasi periferal (ex:
36,5OC, dan saturasi
: 28x/menit, periksa tekanan periferal, 2. Melakukan
oksigen 97%.
- Suhu edema, kapiler refill, penilaian yang
A : intervensi teratasi
: warna, dan temperatur komprehensive t
sebagian dilanjutkan
suhu 35,6o C, ekstremitas) erhadap sirkulasi
1
- Saturasi 3. Dokumentasikan adanya periferal (ex: dengan intervensi Input
: 77% periksa tekanan 850 cc dan output 1125
kardiak distrimia
periferal, edema, cc, defisit 275 cc per
pemeriksaan 4. Catat tanda dan gejala
kapiler refill, 24 jam. NE dan
jantung didapatkan penurunan curah jantung
warna, dan dobutamin mulai
ictus cordis di sela
5. Monitor frekuensi tanda temperatur tappering down.
iga V 2 cm lateral
vital ekstremitas) P : Diberikan tambahan
mid clavicula line
6. Monitor status terapi lisinopril 1x 2,5
sinistra, bunyi 3. mendokumentasi
kardiovaskuler mg dan warfarin 1x 4
jantung pertama dan kan adanya
mg.
kedua reguler, 7. Monitor distrimia kardiak, kardiak distrimia
S : Pada hari ketiga,
didapatkan murmur termasuk gangguan kedua 4. mencatat tanda
tidak ada keluhan dari
sistolik di apeks irama dan konduksi dan gejala
pasien.
jantung grade III/VI 8. Monitor status respirasi penurunan curah
O : Tekanan darahnya
menjalar ke axilla, untuk gejala gagal jantung jantung
90/70 mmHg, N
tidak didapatkan
9. Monitor abdomen untuk 5. memonitor 80x/menit RR
ekstrasistol dan
adanya indikasi penurunan frekuensi tanda 16x/menit.
gallop
perfusi vital A : intervensi teratasi
sebagian lanjutkan
2
intervensi
10. Monitor keseimbangan 6. memonitor status
P : Obat vasoaktif
cairan (ex: intake/output kardiovaskuler
dihentikan dan terapi
dan berat badan setiap 7. memonitor
lain diteruskan dengan
hari) distrimia kardiak,
ditambah bisoprolol.
11. Monitor pacemaker yang termasuk
S : Di hari kelima,
berfungsi, jika diperlukan gangguan kedua
kondisi hemodinamik
irama dan
12. Mengenali adanya pasien stabil
konduksi
perubahan tekanan darah O : pasien dipindahkan
8. memonitor status ke ruang perawatan.
13. Mengenali efek psikologis
respirasi untuk A: intervesnsi teratasi
yang menekankan kondisi
gejala gagal P : lanjutkan intervesi
14. Evaluasi respon pasien
jantung sesuai keluhan pasien
pada ektopi atau distrimia
9. memonitor di rawat inap
15. Menyediakan terapi
abdomen untuk
antiaritmia berdasarkan
adanya indikasi
unit kebijaksanaan (obat
penurunan
antiaritmia,
perfusi
kardioversion/defibrilasi),
3
jika diperlukan 10. memonitor
16. Monitor respon pasien keseimbangan
terhadap pengobatan cairan (ex:
antiaritmia intake/output dan
berat badan setiap
17. Instruksikan pasien dan
hari)
keluarga pada pembatasan
aktivitas dan progresi 11. memonitor
pacemaker yang
18. Atur periode latihan dan
berfungsi, jika
istirahat untuk
diperlukan
menghindari kelelahan
12. Mengenali
19. Monitor toleransi aktivitas
adanya
klien
perubahan
tekanan darah
4
kondisi
14. mengevaluasi
respon pasien
pada ektopi atau
distrimia
15. Menyediakan
terapi antiaritmia
berdasarkan unit
kebijaksanaan
(obat antiaritmia,
kardioversion/def
ibrilasi), jika
diperlukan
16. memonitor
respon pasien
terhadap
pengobatan
antiaritmia
5
17. menginstruksikan
pasien dan
keluarga pada
pembatasan
aktivitas dan
progresi
19. memonitor
toleransi aktivitas
klien , lokasi,
penjalaran,
durasi, dan faktor
penyebab dan
faktor yang
6
mengurangi nyeri
20. Melakukan
penilaian yang
komprehensive t
erhadap sirkulasi
periferal (ex:
periksa tekanan
periferal, edema,
kapiler refill,
warna, dan
temperatur
ekstremitas)
21. Dokumentasikan
adanya kardiak
distrimia
7
23. Monitor
frekuensi tanda
vital
8
penurunan
perfusi
28. Monitor
keseimbangan
cairan (ex:
intake/output dan
berat badan setiap
hari)
29. Monitor
pacemaker yang
berfungsi, jika
diperlukan
30. Mengenali
adanya
perubahan
tekanan darah
9
psikologis yang
menekankan
kondisi
33. Menyediakan
terapi antiaritmia
berdasarkan unit
kebijaksanaan
(obat antiaritmia,
kardioversion/def
ibrilasi), jika
diperlukan
10
antiaritmia
35. Instruksikan
pasien dan
keluarga pada
pembatasan
aktivitas dan
progresi
37. Melakukan
penilaian yang
komprehensive t
erhadap sirkulasi
periferal (ex:
periksa tekanan
11
periferal, edema,
kapiler refill,
warna, dan
temperatur
ekstremitas)
38. Dokumentasikan
adanya kardiak
distrimia
40. Monitor
frekuensi tanda
vital
12
kardiak, termasuk
gangguan kedua
irama dan
konduksi
45. Monitor
keseimbangan
cairan (ex:
intake/output dan
berat badan setiap
13
hari)
46. Monitor
pacemaker yang
berfungsi, jika
diperlukan
47. Mengenali
adanya
perubahan
tekanan darah
14
50. Menyediakan
terapi antiaritmia
berdasarkan unit
kebijaksanaan
(obat antiaritmia,
kardioversion/def
ibrilasi), jika
diperlukan
52. Instruksikan
pasien dan
keluarga pada
pembatasan
aktivitas dan
progresi
15
53. Atur periode
latihan dan
istirahat untuk
menghindari kele
lahan
54. Monitor toleransi
aktivitas klien
16
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, M. 2017. Pemberian Agen Vasoaktif Berdasarkan Hemodinamik pada Syok Kardiogenik.Journal of Cardiology. Vol
38(2):89-98
Firdaus, I. 2016. Panduan Praktik Klinis (PPK) dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
Sutjahjo,Ari. 2016 . Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Dalam. Penerbit : Airlangga University Press. Surabaya.
Harahap , S., N. Dalimunthe, R. Isnanta, Z. Safri, R. Hasan, G. Gintir. 2013. Syok Kardiogenik. Disivi Kardiologi Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU.
17