Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asma Bronkial adalah suatu keadaan Saluran nafas yang mengalami
peyempitan karena hipereaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang
menyebabkan peradangan dan peyempitan yang bersifat sementara.
Asma merupakan penyakit paru yang tidak menular, dengan gejala
berupa serangan sesak, napas berbunyi (wheezing), dan batuk berulang.
Serangan dapat berlangsung hanya selama beberapa menit, jam, hari, atau
sampai beberapa minggu. Asma bronkial adalah salah satu penyakit kronik
dengan pasien terbanyak di dunia (Junaidi, 2010 dalam Purnomo,et al, 2017).
Berdasarkan data organisasi kesehatan dunia (WHO), jumlah penderita
asma di dunia mencapai 300 juta orang, angka ini dikhawatirkan terus
meningkat hingga 400 juta orang pada tahun 2025, penyakit asma di dunia
termasuk 5 besar penyebab kematian, di perkirakan 250.000 orang meninggal
setiap tahunnya dikarenakan asma (Aliya, 2015)
Asma merupakan maslah kesehatan di seluruh dunia, yang
mempengaruhi kurang lebih 300 jiwa. Angka kematian di dunia akibat asma
diperkirakan mencapai 250.000 orang per tahun, penyakit tersebut merupakan
salah satu penyakit utama yang menyebabkan pasien memerlukan
perawatan baik di rumah sakit maupun di rumah, separuh dari semua kasus
asma berkembang sejak masa kanak-kanak, sedangkan sepertinya pada saat
dewasa sebelum umur 40 tahun, namun demikian, asma dapat dimulai pada
segala usia, mempengaruhi pria dan wanita tanpa kecuali dan bisa terjadi
pada setiap orang pada segala etnis (Masriadi, 2016).
Secara nasional di Indonesia prevalensi asma juga meningkat dari 4,2 %
tahun 1995 menjadi 5,4 % tahun 2001. Kota Jakarta sendiri memiliki
prevalensi gejala asma yang cukup besar yaitu 7,5 % pada tahun 2005.
Masalahnya bukan sekedar kenaikan prevalensi semata, tetapi yang tidak
kalah penting adalah dampak dari asma itu sendiri (Sundaru, 2015).
Pengamatan di 5 propinsi di Indonesia (Sumatra Utara, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Klimantan Barat dan Sulawesi Selatan) yang di laksanakan oleh
Subdit Penyakit Kronik dan Degeneratif Lain pada bulan April tahun 2007,
menunjukkan bahwa pada umumnya upaya pengendalian asma belum
terlaksana dengan baik dan masih sangat minimnya ketersediaan peralatan
yang di perlukan untuk diagnosis dan tatalaksana pasien asma di fasilitas
kesehatan (Direktorat PPTM, 2009).
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik rumah sakit wilayah
Kabupaten Pekalongan tahun 2014 menunjukan bahwa jumlah asma di setiap
Rumah Sakit berbeda-beda, diantaranya RSUD Kraton sebanyak 90 kasus,
RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan 82 kasus dan RSUD Kajen 60 kasus
(Susanto, 2015).
Pada kasus asma bronkial dimana gejala tersebut berkaitan dengan
produksi lendir pada trakheobronchiale yang berlebihan sehingga cukup untuk
menimbulkan batuk. Pada kasus ini yang menderita asma akan kesulitan
dalam mengeluarkan dahak. Berdasarkan sudut pandang fisioterapi, pasien
asma bronkial menimbulkan berbagai problematik yaitu body function and
body structure berupa adanya sesak nafas, kesulitan mengeluarkan sputum,
spasme otot bantu pernafasan, penurunan ekspansi sangkar thoraks, dan
activities meliputi gangguan aktivitas sehari-hari, dapat terhambat bila tidak
segera dilakukan fisioterapi. Berdasarkan problematik yang ditimbulkan oleh
asma bronkial, fisioterapi memberikan modalitas yaitu infra red yang dapat
mengurangi spasme otot pernapasan, sehingga otot-otot akan menjadi rileks
dan terapi latihan berupa breathing exercise dengan jenis diafragmatic
breathing exercise, pulsed lip breathing exercise, postural drainage,
tappotement, batuk efektif, dan stretching.
Ada pengaruh infra red dengan latihan nafas dan senam asma terhadap
pengurangan frekuensi kekambuhan sesak nafas pada penyandang asma
dan tidak ada beda pengaruh di antara keduanya terhadap pengurangan
frekuensi kekambuhan sesak nafas pada penyandang asma (Rianto, 2011
dalam Purnomo, et al, 2017).
Berdasarkan latar belakang penulis memahami peranan fisioterapi pada
kasus asma bronkial terutama adalah pembersihan jalan nafas dan
memperbaiki pola nafas sehingga menurunnya sesak nafas dengan
menggunakan infra red dan terapi latihan berupa diafragmatic breathing
exercise, pulsed lip breathing exercise, postural drainage, tapotement, batuk
efektif, dan stretching, maka penulis tertarik untuk mengambil judul Karya
Tulis Ilmiah yaitu : “PENATALAKSANAAN INFRA RED DAN TERAPI
LATIHAN PADA ASMA BRONKIAL”.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana penatalaksanaan infra red dan terapi latihan pada asma bronkial ?

C. Tujuan
Untuk mengetahui penatalaksanaan infra red dan terapi latihan pada asma
bronkial.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Definisi Operasional
Penatalaksanaan berasal dari kata “tata” dan “laksana”. Tata berarti
susunan, sistem dan cara. Sedangkan laksana menurut kamus besar bahasa
Indonesia artinya adalah pengaturan pelaksanaan (KBBI, 2016).
Infra red adalah salah satu jenis terapi dalam bidang Ilmu Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi yang menggunakan gelombang elektromagnetik infrared
dengan karakteristik superficial heating panjang gelombang 750-400.000A
(Laswati, et al, 2015).
Terapi latihan adalah gerakan tubuh, postur, atau aktivitas fisik yang
dilakukan secara sistematis dan terencana guna memberikan manfaat pada
pasien atau klien untuk memperbaiki atau mencegah gangguan,
meningkatkan, mengembalikan,atau menambah fungsi fisik, dan
mengoptimalkan kondisi kesehatan, kebugaran, atau rasa sejahtera secara
keseluruhan (Kisner dan Colby, 2016).
Asma bronkial adalah suatu keadaan saluran napas yang mengalami
penyempitan karena hipereaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang
menyebabkan peradangan dan peyempitan yang bersifat sementara, ditandai
dengan gejala berupa wheezing, kelainan nafas, sesak dada dan atau batuk,
dan oleh keterbatasan aliran udara ekspirasi. Gejala dan batasan aliran udara
secara khas bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya. Variasi ini
sering dipicu oleh faktor-faktor seperti olah raga, paparan alergi atau iritasi,
perubahan cuaca, atau infeksi pernapasan virus (GINA, 2017).

B. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi
a. Sangkar Torak
Berfungsi untuk melindungi organ-organ penting dari respirasi dan
sirkulasi, termasuk pula liver dan perut.
Sangkar torak dibentuk oleh :
1) 12 VTh
2) Sternum
3) 12 pasang costa dan cartilago costa.
a) Costa 1-7 pada bagian posterior berhubung langsung dengan
collumna vertebralis, sedang pada bagian depan melalui
cartilago costa akan melekat pada sternum.
b) Costa 8-10 cartilago costanya akan melekat pada cartilago
costa diatasnya
c) Costa 11-12 tidak melekat pada tulang costa diatasnya
Ada dua buah persendian yang dibentuk oleh costa & VTh
1) costovertebral joint
2) costotransvers joint
b. Paru-paru
Paru-paru adalah organ yang berbentuk kerucut dengan puncak
(apex) diatas dan muncul sedikit lebih tinggi dari klavikula didalam dasar
leher. Paru-paru dibungkus oleh pleura, paru-paru di bagi menjadi 2:
paru kanan dan paru kiri, paru kanan lebih besar dari paru kiri, karena
paru kanan terdapat 3 lobus dan 10 segment, sedangkan paru kiri
terdapat 2 lobus dan 8 segment (Muttaqin,2014).
Gambar 2.1 Anatomi Paru-Paru (Imania, 2016)
Keterangan gambar :

a. Paru kanan
1) Lobus Superior
b. Paru kiri
1. Segment Apikal
1) Lobus Superior
2. Segment Posterior
1. Segment Apicoposterior
3. Segment Anterior
2. Segment Anterior
2) Lobus Medius
3. Segment Lingula Superior
4. Segment Lateralis
4. Segment Lingula Inferior
5. Segment Medialis
2) Lobus Inferior
3) Lobus Inferior
a. Segment Superior
6. Segment Superior
b. Segment Anteromediobasal
7. Segment Mediobasal
5. Segment Laterobasal
8. Segment Anterobasal
6. Segment Posteriorbasal
9. Segment Laterobasal
10. Segment Posterobasal
c. Otot-otot pernafasan
Tabel 2.1 Otot-otot inspirasi utama Pernafasan
No Nama otot Origo Insertio Innervasi
1 M. Diafragma Margo costali C7- Processus n. Phrenicus C3-
Th12 dan processus transversus VL1- 6
xypoideus VL4
2 M. Intercostalis Externus ruang Kartilago costae nn. Intercostalis
external intercosta (1-11) 1-11, nn.
tuberositas costae Intercostalis 1-9
pars sternalis tiap
costae
3 M. Levator Processus Pada os costae Ramus anterior n.
costalis transversus C7-Th12 yang terletak Cervicalis 8 dan
melewati 1 costa di nn. Interotalis 1-9
bawahnya
4 M. Scaleni Processus Costa 1-2 n. Plexus C2-8
transversus C7-Th12

Tabel 2.2 Otot-Otot Inspirasi Bantu Pernafasan


No Nama otot Origo Insertio Innervasi
1 M. Trapezius Linea nurce superior Clavicula pars n. Assesorius
protube sternalis acromion
rantiaoccipitale spina scapula
externe
2 M. Permukaan anterior Permukaan lateral nn.
Sternocleidomastoideus incisura tubularis processus Intercostalis
dan permukaan mastoideus dan 11-12
anterior articulation linea nuchea
sternoclavicularis suprema
3 M. Serratus anterior Pada costa 1-10 Os scapula n. Torachis
angulus medialis longus C5,6,7
margo vertebralis
dan angulus
superior
4 M. Pectoralis major 2/3 medical Tuberculi majoris nn.
permukaan anterior humeri Thorachales
os sternum, cartilago anterior VC3-
costalis II-VI VTh1
5 M. Pectoralis minor Permukaan anterior Processus n. Thorachales
os costae II-IV coracoideus anterior VC7
6 M. Latissimus dorsi Fascia lumbo Tuberculi minoris n. Thoraco
dorsalis, crista humeri dorsalis
illiaca,processus
spinosus VTh1,
costa XII-VIII angula
inferior scapula

Tabel 2.3 Otot-otot Ekspirasi Utama Pernafasan


No Nama otot Origo Insertio Innervasi
1 M. Intercostalis Margo inferior tiap os Os costae n. Intercostalis I-II
internus costae berikutnya
Tabel 2.4 Otot-otot Ekspirasi Bantu Pernafasan
No Nama otot Origo Insertio Innervasi
1 M. Rectus abdominis Permukaan anterior Ramus inferior n. Intercostalis
kartilago V-VII, ossis pubis 6-10
processus xyphoideus
dan ligamentum
xyphoideum
2 M. Obliqus externus Permukaan luar costa Mm. Vagina n. Intercostalis
5-12 racti 5-12
abdominus illionguiralis
3 M. Obliqus internus Permukaan posterior Margo inferior n. Intercostalis
facia thoraco lumbal, costa 10-12, 5-12, n.
linea intermedia ccrista cartilago costa Illiohypag ost
illiaca, 2/3 lateral 9-10 ricus, n.
ligamentum inguinale Illionguiralis
4 M.Quadratus Ligamentum illio Processus nn. Thorachales
lumborum lumbale dengan tranversus 12, n. Lumbalis
euponeurosis VL1-4 1
5 M. Longissimus Processus transversus Processus n. Spinalis
VL1 dan facia lumbal tranversus vlh
dorsalis dan angulus
costa 2-12
6 M. Illiocostalis Crista illiaca dan Angulus costa n. Spinalis
sacrum sebagai tendon

2. Fisiologi
Proses respirasi dapat dibagi dalam tiga proses mekanis utama yaitu sebagai
berikut (Somantri, 2009) :
a. Ventilasi pulmonal, yaitu keluar masuknya udara antara atmosfir dan
alveoli paru-paru.
b. Difusi oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan darah.
c. Transportasi oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan
tubuh ke dan dari sel-sel.
Proses fisiologis respirasi yang memindahkan oksigen dari udara ke
dalam jaringan dan karbon dioksida yang dikeluarkan ke udara dapat
dibagi menjadi tiga stadium, yaitu sebagai berikut :
a. Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi
eksterna) serta antara darah sistemik dan sel-sel jaringan.
b. Distribusi darah dalam sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannya
dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus.
c. Reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan karbon dioksida dengan
darah.
C. Mekanika Pernafasan
Pada waktu menarik nafas, otot diafragma berkontraksi. Semula
kedudukan diafragma melengkung keatas sekarang menjadi lurus sehingga
rongga dada menjadi mengembang. hal ini disebut pernafasan perut.
Bersamaan kontraksi otot diafragma, otot-otot tulang rusuk juga berkontraksi
sehingga rongga dada mengembang, hal ini disebut pernafasan dada (Widia,
2015)
Otot-otot pernafasan merupakan sumber untuk menghembuskan udara.
Diafragma (dibantu oleh otot-otot yang dapat mengangkat tulang rusuk dan
tulang dada) merupakan otot utama yang ikut berperan meningkatkan volume
paru. Pada saat istirahat, otot-otot pernafasan mengalami relaksasi, udara
bergerak masuk dan keluar dari paru-paru karena adanya perbedaan tekanan
antara atmosfer dan alveolus serta dibantu oleh kerja mekanik otot-otot
pernafasan, selama inspirasi volume torak bertambah besar karena diafragma
turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot, musculus
sternocleidomastoideus mengangkat sternum ke atas, sedangkan musculus
serratus, scaleneus, serta intercostalis eksternus berperan mengangkat iga
(Somantri, 2009).
Pada keadaan sesak nafas, beberapa otot lain terlibat dalam gerakan
pernafasan, m.trapezius, m.pectoralis major, dan m.sternocleidomastoideus
(Dwisang, 2014).
Berdasarkan gambar 2.2 dapat dilihat bahwa otot abdominal mempunyai
mempunyai peranan penting sebagai otot bantu pernafasan, (a) gambaran
secara lateral pada saat istirahat tanpa ada pergerakan udara kedalam paru,
(b) inhalasi, menggambarkan kemampuan otot untuk melakukan elevasi atau
mengembangkan tulang rusuk, (c) ekshalasi, menggambarkan kemampuan
otot-otot dalam mendepresi atau menarik kembali tulang rusuk.
Gambar 2.2 Pergerakan Toraks (Muttaqin, 2014)

1. Inspirasi
Inspirasi terjadi bila tekanan intra pulmonal (intra-alveoli) lebih
rendah dari tekanan udara luar. Pada inspirasi biasa tekanan ini berkisar
antara -1 mmHg sampai -3 mmHg. Pada inspirasi dalam, tekanan intra-
alveoli mencapai -3 mmHg.
Proses terjadinya inspirasi dimulai dari kontraksi otot diafragma
sampai dengan masuknya udara ke dalam paru, dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.

Kontraksi otot diafragma dan interkostalis

Volume thoraks membesar

Tekanan intrapleura menurun

Paru mengembang

Tekanan intra-alveoli menurun

Udara masuk ke dalam paru

Gambar 2.3 Skema Proses Inspirasi (Muttaqin, 2014)


2. Ekspirasi
Ekspirasi berlangsung bila tekanan intra pulmonal lebih tinggi dari
pada tekanan udara luar, sehingga udara bergerak ke luar paru.
Meningkatnya tekanan dalam rongga paru terjadi apabila volume rongga
paru mengecil akibat proses penguncupan yang disebabkan daya
elastisitas jaringan paru. Penguncupan paru terjadi bila otot-otot
inspirasi mulai berelaksasi. Pada proses ekspirasi biasa tekanan intra-
alveoli sekitar +1cmHg sampai +3cmHg.
Proses terjadinya ekspirasi dimulai dari rileksasi otot diafragma hingga
keluarnya udara dari paru, dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Otot inspirasi relaksasi

Volume thoraks mengecil

Tekanan intrapleura meningkat

Volume paru mengeil

Tekanan intra-alveoli meningkat

Udara bergerak keluar paru

Gambar 2.4 Skema Proses Ekspirasi (Muttaqin, 2014)

D. Etiologi
Etiologi asma dijelaskan melalui 3 tipe asma (Somantri, 2009), yaitu:
1. Asma alergi (Ekstinsik)
Asma tipe ini disebut juga asma atopi atau asma ekstrinsik. Jenis
asma ini disebabkan oleh alergen seperti bulu binatang, debu, ketombe,
tepung sari, makanan dan lain-lain. Alergen yang tersering adalah alergen
yang penyebaranya lewat udara (airborne) dan alergen yang muncul
musiman (seasonal). Pasien dengan asma ini biasanya memiliki riwayat
penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan excema dan rhinitis
alergika. Onset asma tipe ini adalah saat anak-anak.
2. Asma non alergi (Idiopatik atau Intrinsik)
Jenis asma ini tidak berhubungan langsung dengan alegen spesifik.
Faktor-faktor seperti dingin, aktifitas, infeksi saluran pernapasan atas,
emosi, dan polusi lingkungan dapat menimbulkan asma ini. Serangan
asma ini dapat menjadi lebih berat dan seringkali berkembang menjadi
emfisema atau bronkitis. Pada beberapa pasien asma ini berkebang
menjadi asma campuran. Bentuk asma ini biasanya dimulai ketika dewasa
(> 35 tahun).
3. Asma campuran
Merupakan asma yang paling sering ditemukan, dikarakteristikkan dengan
bentuk kedua jenis asma alergi dan idiopatik atau non alergi.

E. Patologi
Dalam asma, penyempitan saluran pernapasan disebabkan oleh
penyempitan bronkus dan peradangan bronkial. Konstriksi bronkus dan hasil
peradangan pada gangguan kronis paru-paru dimana saluran udara
cenderung dipersempit, menyebabkan episode mengi, sesak dada, batuk dan
sesak napas yang berkisan dalam keparahan dari ringan sampai berpotensi
mengancam kehidupan, kelainan utama pada bronkus adalah hipertensi
kelenjar mukus dan menyebabkan penyempitan pada saluran bronkus, yang
menyebabkan diameter bronkus menebal lebih dari 30-40% dari tebalnya
dinding bronkus normal, dan akan terjadi sekresi mukus yang berlebihan dan
kental. Sekresi mukus menutupi cilia, karena lapisan dahak menutupi cilia,
sehingga cilia tidak mampu lagi mendorong dahak keatas, satu-satunya
adalah dengan cara mengeluarkan dahak dari bronki adalah dengan batuk.
Broncopasme, edema mukosa dan dinding bronkus, serta hipersekresi
mukus menyebabkan terjadinya penyempitan bronkus dan percabangannya
sehingga akan menimbulkan rasa sesak, napas berbunyi (wheezing), dan
batuk yang produktif (Muttaqin, 2014).
Gambar 2.5 Penyempitan Saluran Nafas (Medshisof, 2013)
Gambaran pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama
ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru
selama ekspirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus
sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari
tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama
ekspirasi.

F. Patofisiologi
Dua dekade yang lalu, penyakit asma dianggap merupakan penyakit yang
disebabkan karena ada penyempitan bronkus saja, sehingga terapi utama
saat itu adalah suatu broncodilator, seperti beta agonis golongan metil xantin
saja. Namun, para ahli mengemukakan konsep baru yang kemudian di
gunakan hingga kini, yaitu bahwa asma merupakan penyakit inflamasi pada
saluran nafas, yang ditandai dengan bronkokonstriksi, asma juga merupakan
penyakit inflamasi dan respon berlebihan terhadap rangsangan
(hyperresponssiveness). Selain itu juga terjadi penghambat terhadap aliran
udara dan penurunan kecepatan aliran udara akibat penyempitan bronkus.
Akibatnya terjadi hiperinflasi distal perubahan mekanis paru-paru dan
meningkatkan kesulitan bernafas. Selain itu juga terjadi peningkatan sekresi
mukus yang berlebihan (Masriadi, 2016).
Gambar 2.6 Skema Patofisiologi Asma Bronkial (Somantri, 2009)

Pencetus-pencetus serangan di atas ditambah dengan pencetus lainnya


dari internal klien akan mengakibatkan timbulnya reaksi antigen dan antibodi.
Reaksi ini akan mengeluarkan substansi pereda alergi yang sebetulnya
merupakan mekanisme tubuh dalam menghadapi serangan. Zat yang keluar
dapat berupa histamin, bradikinin, dan anafilatoksin. Hasil dari reaksi tersebut
adalah timbulnya tiga gejala, yaitu berkontraksinya otot polos, peningkatan
permeabilitas kapiler, dan peningkatan sekret mukus.

G. Tanda dan Gejala


Ada beberapa orang yang dapat mengalaminya dari waktu kewaktu, ada
juga beberapa orang lainnya selalu mengalaminya sepanjang hidupnya gejala
asma sering kali memburuk pada malam hari atau setelah mengalami kontak
dengan pemicu asma.
Gejala asma terdiri atas triad, yaitu dispnea, batuk dan mengi. Gejala
yang di sebutkan terakhir sering dianggap sebagai gejala yang harus ada
(sine qua non), data lainnya seperti terlihat pada pemeriksaan fisik. (Somantri,
2009)
Tanda dan gejala klinis yang timbul pada penderita asma tergantung
pada luas dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada tidaknya
komplikasi lanjut. Tanda dan gejala yang timbul pada penderita asma antara
lain :
1. Batuk
Awalnya hanya batuk ringan dan kemudian dan kemudian berubah
menjadi batuk produktif serta sering muncul pada musim dingin.
a. Mekanisme Batuk

Secara normal mekanisme batuk adalah sebagai berikut :

1) Akan inspirasi yang dalam.

2) Glottis menutup dan pita suara menegang.

3) terjadi kontraksi pada otot abdominal dan diagfragma terelevasi


sehingga, meningkatkan tekanan pada intrathoracic dan intra-
abdominal.

4) Glottis terbuka.

5) terjadi explosive expiration / batuk.


Batuk pada penderita asma awalnya adalah merupakan
gejala, tetapi pada akhirnya akan menjadi suatu permasalahan
tersendiri dari sekian banyak permasalahan yang ada. Beberapa
permasalahan yang sering kali menyertai pada penderita asma
adalah adanya sesak napas, adanya gangguan pembersihan jalan
napas, air flow, penyempitan jalan napas, gangguan pertukaran
gas, disfungsi otot-otot pernapasan, serta gangguan pola
pernapasan (abnormal breathing pattern) dan batuk yang pada
hakekatnya saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
Batuk pada penderita asma sangat bervariasi, yang dapat dilihat
dari frekuensi atau seringnya batuk (Medshisof, 2013).
Frekuensi seringnya batuk pada penderita asthma dipengaruhi oleh
faktor-faktor sebagai berikut:
1) Hiperskeresi bronkus yang menghasilkan mucus yang berlebihan.
2) Penumpukan mucus atau sputum karena menurunnya fungsi silia.
3) Ventilasi yang rendah karena obstruksi jalan napas.
4) Daya tahan tubuh yang menurun.
2. Sesak nafas
Sesak nafas dikarenakan obstruksi saluran pernafasan sehingga saluran
pasokan oksigen menjadi berkurang.
Mekanisme pernafasan pada seseorang yang sedang mengalami
serangan asma adalah penderita memiliki saluran udara tabung bronkial
yang menyempit karena kontaksi otot disekelilingnya, sehingga penderita
susah bernafas dan akhirnya menjadi batuk-batuk.
Serangan asma menyebabkan tiga reaksi, penyempitan saluran
udara, penebalan lapisan dalam dan sekresi sputum ke saluran udara.
Ketiga reaksi ini menghalangi saluran napas, sehingga penderita asma
sulit bernafas dan mengakibatkan sesak napas. Saluran udara anak-anak
lebih kecil dari orang dewasa, yang membuat serangan asma pada anak-
anak lebih parah
3. Sputum atau dahak yang sulit dikeluarkan
Pada awalnya batuk tidak disertai dahak, kemudian akan
mengeluarkan dahak berwarna putih atau kuning. Selanjutnya dahak
akan bertambah banyak warna kuning atau kehijauan.
Hasil kelebihan dari secret tracheobronchial dan dapat dibersihkan
dari saluran pernafasan melalui proses coughing atau huffing. Berisi
mucus ,cellular debris, microorganisms, blood dan foreign particles,
warna,viscositas, dan kuantitas.
4. Spasme otot pernafasan
Spasme otot pernafasan biasanya terjadi apabila otot berkontraksi
terus-menerus yang mengakibatkan kerja otot berlebihan. Pada saat
batuk secara otomatis beban kerja otot bertambah dan akhirnya terjadilah
spasme otot pernafasan.
Selama serangan asma, otot-otot yang mengelilingi saluran udara
berkontraksi atau merapat, sehingga saluran tabung bronkial menyempit
dan membatasi jumlah suplai udara ke paru-paru. Hal ini menyulitkan
udara masuk dan keluar dari paru-paru, menyebabkan gejala seperti
batuk, mengi, sesak napas dan atau sesak dada.
5. Wheezing
Merupakan bunyi pernafasan yang musikal dan dapat didengar oleh
pasien maupun orang lain. Gejala mengi disebabkan oleh obstruksi
parsial jalan nafas akibat sekret, inflamasi jaringan atau benda asing.

H. Pemeriksaan
1. Palpasi
Palpasi toraks bertujuan untuk mengetahui disfungsi pada jaringan di
bawahnya termasuk paru-paru, dinding dada, dan mediastinum (Kisner dan
Colby, 2007).
a. Taktil (vokal) fremitus
Taktil fremitus adalah getaran yang dirasakan saat meraba-raba
dinding dada saat pasien berbicara.
Prosedur: letakkan telapak tangan anda dengan lembut di dinding
dada dan mintalah pasien untuk mengucapkan beberapa kata atau
ulangi "ninty nine" atau “delapan puluh delapan” beberapa kali.
Biasanya, fremitus terasa merata di dinding dada. Fremitus meningkat
dengan adanya sekresi di saluran udara dan menurun atau tidak ada
saat udara terperangkap akibat saluran udara yang tersumbat.
b. Nyeri dinding dada
Daerah tertentu atau titik nyeri pada aspek anterior, posterior, atau
lateral dinding dada dapat diidentifikasi dengan palpasi.
Prosedur: tekan dengan kuat pada dinding dada dengan tangan
anda untuk mengidentifikasi area nyeri tertentu yang berpotensi
berasal dari muskuloskeletal. Minta pasien untuk menarik napas
dalam-dalam dan mengidentifikasi area yang menyakitkan di dinding
dada. Nyeri dinding dada asal muskuloskeletal sering meningkat
dengan tekanan titik langsung saat palpasi dan selama inspirasi
mendalam.
c. Luas ekspansi thorak
Tingkat mobilitas dada dapat diukur dengan dua metode. Pertama
ukur lingkar dada dengan pita pengukur pada tiga tingkat (axilla,
xiphoid, lower costal). Catat selisih setelah inspirasi dan ekspirasi .
Tempatkan kedua tangan di dada pasien atau punggung. Kedua
perhatikan jarak antara ibu jari anda setelah mendapatkan inspirasi
maksimal.
Pada palpasi pasien asma biasanya kesimetrisan, ekspansi, dan taktil
fremitus normal (Muttaqin, 2014).
2. Inspeksi
a. Simetri dari dada dan batang tubuh: Amati anterior, posterior, dan
lateral, apakah torak simetris atau tidak.
b. Mobilitas dari trunk: Periksa gerakan aktif ke segala arah dan identifikasi
gerakan tulang belakang yang dibatasi, terutama di tulang belakang
toraks.
c. Bentuk dan dimensi dada: Anteroposterior (AP) dan dimensi lateral
biasanya 1:2. Kelainan bentuk dada yang umum meliputi:
1) Barrel chest: keliling dada bagian atas tampak lebih besar dari dada
bagian bawah. Sternum tampak menonjol, dan diameter dada ap
lebih besar dari biasanya. Banyak pasien dengan gangguan paru
obstruktif kronik, yang biasanya bernafas dengan dada bagian atas,
merupakan pengembangan dari barrel chest.
2) Pectus excavatum (funnel breast): bagian bawah sternum tertekan
dan rusuk bawah melebar. Pasien dengan deformitas ini biasanya
menggunakan pernafasan diafragma. Tonjolan perut yang berlebihan
dan gerakan dada bagian atas sedikit terjadi saat bernafas.
3) Pectus carinatum (pigeon breast): sternum menonjol ke anterior.
d. Postur atau posisi yang dipilih: Kenali sikap duduk atau posisi pasien
yang disukai. Seorang pasien yang mengalami kesulitan bernafas akibat
penyakit paru kronis sering bersandar ke depan di tangan atau lengan
bawah untuk menstabilkan dan mengangkat korset bahu untuk
membantu mendapatkan inspirasi. Posisi ini meningkatkan keefektifan
otot anterior pectoralis dan serratus untuk bertindak sebagai otot
pengenal inspirasi dengan tindakan sebaliknya. Penting juga untuk
mengidentifikasi posisi tidur pasien. Seorang pasien dengan disfungsi
kardiopulmoner lebih sering memilih untuk tidur dalam posisi kepala
daripada posisi yang sepenuhnya telentang. Dengan asumsi posisi
horizontal bisa mengakibatkan sesak napas. Selain itu, catat adanya
deformitas postural seperti kyphosis dan skoliosis dan asimetri postural
dari operasi toraks, yang bisa membatasi gerakan dada dan ventilasi.
e. Pola pernafasan: Pengkajin dari tingkat, keteraturan, dan lokasi ventilasi
saat istirahat dan dengan aktivitas. Tingkat pernapfasan normal untuk
orang dewasa yang sehat adalah 12 sampai 20 nafas per menit. Hal ini
paling tepat ditentukan ketika pasien tidak menyadari bahwa laju
pernafasannya diukur, seperti saat mengambil denyut nadi. Rasio
normal inspirasi dan ekspirasi saat istirahat adalah 1: 2 dan dengan
aktivitas 1:1. Otot leher yang berfungsi sebagai otot bantu inspirasi
harus tidak aktif selama inspirasi santai. Untuk menilai urutan
pernapasan, mintalah pasien dalam posisi yang nyaman (semireclining
atau telentang).
Pola nafas abnormal :
1) Dispnea. Tertekan, susah bernafas sebagai hasil sesak napas.
2) Takipnea. Nafas cepat dan dangkal, penurunan volume tidal namun
laju meningkat, terkait dengan penyakit paru-paru yang membatasi
atau obstruktif dan penggunaan otot inspirasi aksesori.
3) Bradypnea. Tingkat lambat dengan kedalaman dangkal dan normal
dan ritme teratur, mungkin terkait dengan overdosis obat.
4) Hiperventilasi. Deep, respirasi cepat, peningkatan volume tidal dan
peningkatan laju respirasi, irama teratur
5) Orthopnea. Kesulitan bernafas dalam posisi telentang.
6) Apnea. Penghentian pernapasan dalam fase ekspirasi.
7) Apneusis. Penghentian pernapasan dalam fase inspirasi.
8) Cheyne-stokes. Siklus volume tidal yang meningkat secara
bertahap diikuti oleh serangkaian volume tidal yang menurun secara
bertahap dan kemudian periode apnea. Hal ini kadang terlihat pada
pasien dengan luka kepala yang parah.
f. Mobilitas dada: Analisis simetri dada yang bergerak saat bernafas
memberi informasi kepada terapis tentang mobilitas toraks dan
menunjukkan secara tidak langsung area paru-paru mana yang mungkin
atau tidak akan mungkin meresponsnya.
Prosedur: letakkan tangan anda di dada pasien dan periksa setiap sisi
toraks selama inspirasi dan ekspirasi. Masing-masing dari tiga area
lobus dapat diperiksa. Untuk memeriksa ekspansi lobus atas,
berhadapan dengan pasien, letakkan ujung jempolmu di garis tengah di
sisi sternal. Perluas jari-jari anda di atas klavikula. Minta pasien
menghembuskan nafas secara penuh dan kemudian tarik napas dalam-
dalam. Untuk memeriksa ekspansi lobus tengah, letakkan ujung jempol
anda pada processus xiphoid dan pegang jari anda di sekitar tulang
rusuk. Sekali lagi, mintalah pasien bernafas dalam-dalam. Untuk
memeriksa ekspansi lobus yang lebih rendah, letakkan ujung jempol
anda di sepanjang punggung pasien pada processus spinosus (tingkat
toraks yang lebih rendah) dan rentangkan jari-jari anda di sekitar tulang
rusuk. Mintalah pasien bernafas dalam-dalam.
Pada klien asma terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi
pernafasan, serta penggunaan otot bantu pernafasan. Inspeksi dada
terutama untuk melihat postur bentuk dan kesimetrisan, adanya
peningkatan diameter anteroposterior, retraksi otot-otot intercostalis, sifat
dan irama pernafasan, dan frekuensi pernafasan (Muttaqin, 2014).
3. Perkusi
Perkusi adalah teknik pemeriksaan yang dirancang untuk menilai
kerapatan paru-paru, khususnya rasio udara di paru-paru (Kisner dan
Colby, 2007).
Prosedur: letakkan jari tengah tangan nondominan rata ke dinding
dada di sepanjang ruang interkostal. Dengan ujung jari tengah tangan yang
berlawanan, ketuk dengan kuat jari yang diposisikan di dinding dada.
Ulangi prosedur di beberapa titik pada aspek kanan dan kiri dan anterior
dan posterior dinding dada. Manuver ini menghasilkan resonansi, nada
bervariasi dengan kepadatan jaringan di bawahnya. Penentuan subyektif
pitch menunjukkan hal berikut. Suara itu kusam dan rata jika ada jumlah
materi padat (tumor, konsolidasi) yang lebih besar dari normal di paru-paru
dibandingkan dengan jumlah udara. Suara hiperresonant (timpani) jika ada
jumlah udara yang lebih besar dari normal di daerah tersebut (seperti pada
pasien dengan emphysema). Jika temuan asimetris atau abnormal dicatat,
pasien harus dirujuk ke dokter untuk mendapatkan tes obyektif tambahan
seperti radiografi dada.
Pada perkusi pasien asma biasanya didapatkan suara normal sampai
hipersonor serta diafragma menjadi datar dan rendah (Muttaqin, 2014).
4. Auskultasi
Auskultasi adalah istilah umum yang mengacu pada proses
mendengarkan suara di dalam tubuh, khususnya untuk suara nafas selama
pemeriksaan paru-paru. Suara nafas terjadi karena pergerakan udara di
saluran udara selama inspirasi dan ekspirasi. Stetoskop digunakan untuk
memperbesar suara ini (Kisner dan Colby, 2007).
Suara nafas harus dinilai untuk:
a. Identifikasi daerah paru-paru dimana terjadinya sumbatan dan teknik
pembersihan jalan napas harus dilakukan.
b. Tentukan keefektifan setiap tindakan pembersihan saluran
pernafasan
c. Tentukan apakah paru-paru sudah jelas dan apakah intervensi harus
dihentikan.
Prosedur: Saat menilai suara nafas, pastikan ruangan tenang. Mintalah
pasien mengambil posisi duduk yang nyaman, santai, dan memungkinkan
akses ke dinding dada. Tempatkan stetoskop secara langsung ke kulit
pasien di sepanjang dinding dada anterior atau posterior. Pastikan bahwa
stetoskop tidak digosok bersama atau bersentuhan dengan pakaian
selama auskultasi, karena kontak ini menghasilkan suara asing. Ikuti pola
sistematis (Gambar 2.7) dan taruh stetoskop tersebut pada tonjolan toraks
tertentu (T2, T6, T10) di sepanjang sisi kanan dan kiri dinding dada.
Mintalah pasien untuk bernapas dalam-dalam dan keluar dengan cepat
melalui mulut saat Anda memindahkan stetoskop dari titik ke titik.
Perhatikan kualitas, intensitas, dan nada suara nafas.
Gambar 2.7 Pola tonjolan thoraks spesifik untuk auskultasi (Kisner dan Colby, 2007)

Stetoskop ditempatkan di sepanjang kanan dan kiri (A) dinding dada


anterior dan (B) dinding dada posterior di T2, T6, dan T10.
Suara nafas yang normal :
a. Vesicular. Suara lembut, bernada rendah, berangin tapi samar
terdengar di sebagian besar dada kecuali di dekat trakea dan bronkus
mayor dan diantara skapula. Suara Vesicular terdengar lebih lama
pada inspirasi daripada ekspirasi (sekitar rasio 3: 1).
b. Bronchial. Suara keras, berongga, atau tubular bernada tinggi
terdengar diseputar bronkus mayor dan trakea. Suara bronkial
terdengar sama selama inspirasi dan ekspirasi, jeda sejenak dalam
suara terjadi antara inspirasi dan ekspirasi.
c. Bronchovesicular. Lebih lembut daripada suara napas bronkial, juga
terdengar sama selama inspirasi dan ekspirasi namun tanpa jeda
dalam suara di antara siklus. Suara terdengar di daerah
supraklavikular, supraskapular, dan parasternal di anterior dan di
antara skapula di bagian posterior.
perubahan suara nafas:
a. Crackles. Suara yang halus dan tidak terputus (mirip dengan suara
gelembung yang muncul). Crackles, bisa halus atau kasar, didengar
terutama selama inspirasi akibat sekresi bergerak di saluran napas
atau di saluran udara yang terbuka kembali dengan cepat.
b. Wheezes. Suara bernada tinggi atau kadang nada musik terdengar
saat menghembuskan napas tapi terkadang terdengar saat inspirasi.
Bronkospasme atau sekresi yang mempersempit lumen saluran udara
menyebabkan angin kencang. Istilah yang sebelumnya digunakan
untuk wheezes adalah rhonchi.
Pada auskultasi pasien asma biasnya terdapat suara vesikuler yang
meningkat disertai dengan ekspansi lebih dari 4 detik atau lebih dari 3 kali
inspirasi, dengan bunyi nafas tambahan utama wheezing pada akhir
ekspirasi (Muttaqin, 2014).
5. Skala Borg
Skala borg tentang derajat sesak yang juga dikenal sebagai “Borg CR
Scale” ini di kembangkan oleh Gunnar Borg pada tahun 1982. Awalnya
instrument ini digunakan untuk mengukur secara general tentang persepsi
dan pengalaman seseorang, termasuk nyeri, rasa dan bau, tingkat
kebisingan, emosional, dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya
“Borg CR Scale” ini mengalami pengkhususan dalam pemakaiaannya.
“Borg CR Scale” yang sering di gunakan untuk mengukur derajat sesak
saat ini lebih di kenal dengan nama “Borg Scale of Shortness of Breath”.
Sedangkan yang digunakan untk mengukur derajar berat aktivitas telah
mengalami modifikasi dan lebih dikenal sebagai “Borg Scale of Perceived
Exertion” (Trisnowiyanto, 2012).
Tabel 2.5 Borg Scale of Shortness of Breath
Nilai Deskripsi
0 Tidak sesak sama sekali
0,5 Sesak sangat ringan sekali
1 Sesak sangat ringan
2 Sesak ringan
3 Sesak sedang
4 Sesak kadang berat
5 Sesak berat
6
7 Sesak sangat berat
8
9
10 Sesak sangat berat sekali, hampir maksimal
(Borg, 2013)
Tabel 2.6 Borg Scale of Perceived Exertion
Nilai Derajat Berat Aktivitas
6 Setara dengan berbaring
7 Sangat sangat ringan
8
9 Sangat ringan
10
11 Masih wajar
12
13 Sedikit berat
14
15 Berat
16
17 Sangat berat
18
19 Sangat sangat berat
20 Aktivitas paling berat
(Borg, 1998 dalam CDC, 2015)
Berdasarkan kedua skala di atas, terdapat nilai yang deskripsinya
kososng,hal tersebut maksudnya adalah tingkatannya berada diantara nilai
atas dan bawahnya. Sebagai contoh, pada nilai 14, derajat aktivitasnya
adalah diantara sedikit berat dan berat.
6. Six Minute Walk Test
Tes dilakukan saat terapi pertama dan terapi terakhir sebagai evaluasi.
Prosedur dari tes ini adalah (1) terapis menjelaskan tujuan dan cara
pelaksanaan tes ini kepada pasien, (2) terapis memeriksa denyut nadi,
tekanan darah, respiratory rate, dan Skala Borg untuk derajat sesak napas
sebelum tes dimulai, (3) pasien diminta untuk meminum obat-obatan dari
dokter sebelum memulai tes, (4) tes dilakukan 2 jam setelah makan, (5)
pasien diminta berjalan pada lintasan sejauh 25 meter dari ujung ke ujung
selama 6 menit, (6) Area tes harus bebas hambatan, (7) pasien diberikan
informasi mengenai waktu yang telah ditempuh, (8) segera sesudah tes,
pasien diminta untuk menunjuk derajat sesak napas, dan derajat beratnya
aktivitas dengan skala borg, diukur heart rate, tekanan darah dan denyut
nadi (ATS, 2002).
a. Tujuan
1) Menentukan keterbatasan fungsi kardiorespirasi terkait aktivitas
2) Menentukan level atau tingkat kebugaran kardiorespirasi
3) Memeriksa toleransi aktivitas pasien
4) Monitor keberhasilan terapi
b. Indikasi
1) Orang normal
2) Atlet
3) Geriatri
4) Gangguan fungsi respirasi
5) Gangguan kardiovaskular
c. Kontra Indikasi
1) Gangguan fungsi luhur / dementia
2) Pasien tidak kooperatif
3) Gangguan muskuloskeletal mengganggu ambulasi
Kontraindikasi absolut :
4) Penyakit koroner tidak stabil
5) Infark miokard pada bulan sebelumnya
Kontraindikasi relatif
6) TD sistolik lebih dari 200 mmHg
7) TD diastolik turun lebih dari 10 mmHg
8) Takikardia diatas perkiraan HRmax
9) Skala borg

HRmax : 220 – usia


Target HR : (HRmax) x (60%-80%)
(220 – usia) x (60%-80%)
7. Antopometri
Pemeriksaan mobilitas thorak digunakan sebagai faktor penentu
pengembangan paru, dengan menggunakan alat yaitu pita ukur.
Pemeriksaan mobilitas thorak terapis dapat mengetahui gangguan
mobilitas thorak ke arah inspirasi atau ekspirasi pasien. Langkah untuk
melakukan pemeriksaan ini adalah sebagai berikut: a) terapis menjelaskan
tujuan dan prosedur dari tes ini kepada pasien, b) posisi pasien dapat
duduk tegak atau berdiri, c) terapis meletakan pita ukur pada axilla,
interkostalis ke 4 dan procesus xipoideus dan mengusahakan pita ukur
tersebut pada posisi ketinggian yang sama, d) pengukuran dimulai dari
inspirasi biasa (inspirasi normal pasien) diikuti ekspirasi biasa, e) terapis
mencatat hasil pengukuran pada saat inspirasi dan ekspirasi, Setelah
mendapatkan hasil pengukuran kemudian hitung selisih antara inspirasi
maksimal dan ekspirasi tersebut.
8. Visual Analogues Scale
VAS berupa sebuah garis dengan panjang 10 cm / 100 nm.
Pelaksanaan pengukuran nyeri, pasien diminta untuk memberi tanda pada
garis sesuai yang dirasakan pasien, penentuan nilai VAS dilakukan dengan
mengukur jarak antara titik / ujung garis yang menunjukkan tidak nyeri
hingga ke titik yang ditunjukkan pasien.
Pengukuran dengan VAS dapat dilakukan untuk menilai nyeri diam,
nyeri tekan, maupun nyeri gerak, pengukuran dilakukan sesuai tujuan
penilaian. Sebagai contoh untuk mengukur nyeri gerak, pasien diminta
mengisi VAS saat melakukan gerakan tertentu.

I. Teknologi Fisioterapi
1. Infra Red
Terapi superficial heating dengan panjang gelombang 750-400.000A.
terdapat 2 jenis generator yaitu luminous dan non luminous (Laswati, et al,
2015).
Sifat sinar infra red :
a. Diproduksi oleh benda dengan energi listrik atau energi lainnya
b. Dapat ditransmisikan tanpa bantuan medium
c. Sinar matahari terdiri atas 40%-45% sinar luminous / visible rays dan
52%-60% sinar infra red dan sisanya sedikit sinar ultra violet
Berikut adalah indikasi, kontra indikasi dan efek samping dari terapi infra
red (Soemarjono, 2015).
a. Indikasi terapi infra red
1) Nyeri otot, sendi dan jaringan lunak sekitar sendi. Misal: nyeri
punggung bawah, nyeri leher, nyeri punggung atas, nyeri sendi
tangan, sendi lutut, dsb.
2) Kekakuan sendi atau keterbatasan gerak sendi karena berbagai
sebab.
3) Ketegangan otot atau spasme otot.
4) Peradangan kronik yang disertai dengan pembengkakan.
5) Penyembuhan luka di kulit.
b. Kontraindikasi terapi infra red
Kontra indikasi absolut (yang mutlak tidak boleh) meliputi:
1) Kelainan perdarahan
2) Kelainan pembuluh darah vena atau peradangan pembuluh darah,
seperti thrombophlebitis
3) Gangguan sensoris berupa rasa raba maupun terhadap suhu
4) Gangguan mental
5) Tumor ganas atau kanker
6) Penggunaan infra red pada mata.
Kontra indikasi relatif (boleh diberikan tetapi dengan pengawasan ketat
dari dokter ataupun terapis yang memberikan) meliputi :
1) Trauma atau peradangan akut
2) Kehamilan
3) Gangguan sirkulasi darah
4) Gangguan regulasi suhu tubuh
5) Bengkak atau edema
6) Kelainan jantung
7) Adanya metal di dalam tubuh
8) Luka terbuka
9) Pada kulit yang sudah diolesi obat-obat topikal atau obat gosok
10) Kerusakan saraf.
c. Efek samping terapi infra red
Secara umum terapi infra red sangat jarang menimbulkan efek
samping, bila terjadi efek samping pun bersifat reversibel atau dapat
kembali sempurna setelah terapi dihentikan atau dalam waktu 2-3 hari.
Efek samping yang dapat terjadi :
1) Luka bakar derajat ringan.
2) Bertambahnya peradangan.
3) Nyeri yang bertambah.
4) Alergi kulit, terutama pada penderita yang mempunyai riwayat
alergi terhadap suhu panas.
5) Perdarahan yang bertambah pada luka terbuka.
6) Pingsan.
d. Prosedur terapi infra red
1) Menggunakan pakaian yang longgar dan nyaman.
2) Terapis akan memeriksa kembali daerah yang akan diberikan
terapi dan melakukan wawancara kembali mengenai kelainan
yang diderita dan kemungkinan kontraindikasi untuk pemberian
terapi dan riwayat alergi terhadap suhu panas.
3) Terapis akan membersihkan daerah yang akan diterapi dari
minyak ataupun kotoran yang menempel di kulit termasuk dari
lotion atau obat-obat gosok yang dipakai sebelumnya
menggunakan kapas alkohol atau kapas yang diberi air.
4) Terapis akan memposisikan bagian yang akan diterapi senyaman
mungkin, bagian yang akan diterapi tidak ditutupi oleh pakaian
sehingga infra red akan langsung mengenai kulit dan memberikan
hasil yang optimal.
5) Terapis akan melakukan pengaturan dosis waktu dan posisi alat
infra red (± 10 menit, tegak lurus dengan jarak 35 – 45 cm).
6) Kemudian segera infra red akan diberikan, jangan menatap
langsung lampu infrared.
7) Bila terasa nyeri atau panas berlebihan saat terapi berlangsung
segera bilang kepada terapis atau dokter yang menerapi.
8) Selesai terapi akan ditandai oleh bunyi timer dari alat infra red.
Jangan langsung berdiri atau duduk, tetap berbaring beberapa
saat untuk mengembalikan aliran darah ke normal.
9) Terapis akan kembali melakukan pemeriksaan dan wawancara
mengenai efek yang dirasakan setelah selesai terapi.
2. Diafragmatic Breathing Exercise
Diafragmatic Breathing exercise merupakan latihan pernapasan
dengan teknik bernapas secara perlahan dan dalam, menggunakan otot
diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan
dada mengembang penuh. Di berikan pada penderita gangguan respirasi
yang sedang mengalami serangan sesak nafas. Penderita asma yang
sedang kambuh. Pada saat serangan asma, otot nafas akan mengalami
kelelahan karena bekerja keras untuk bernafas. Maka perlu di istirahatkan
agar sesak tidak bertambah. Oleh karena penggunaan tehnik ini akan
mengurangi serangan sesak nafas. Teknik pernapasan terkendali, yang
menekankan pernafasan diafragma, dirancang untuk meningkatkan
efisiensi ventilasi, penurunan kerja pernapasan, meningkatkan
pengembangan (turun atau naik) dari diafragma, dan memperbaiki
pertukaran gas dan oksigenasi. Latihan pernapasan diafragma juga
digunakan selama postural drainase untuk memobilisasi sekresi paru-paru.
(Kisner dan Colby, 2007).
3. Pulsed Lip Breathing Exercise
Latihan ini menekankan pada proses ekspirasi. Metode kontemporer
yang digunakan dalam latihan ini adalah penggunaan ekspirasi secara
pasif. Ketika melakukan ekspirasi pasien sedikit mengatupkan kedua bibir
untuk menghambat udara keluar. Hambatan ini menyebabkan tekanan
dalam mulut lebih positif. Tekanan positif ini akan menjalar ke dalam
saluran pernapasan yang menyempit dan mempertahankan saluran napas
tetap terbuka. Pasien diminta untuk melakukan latihan ini dengan rileks
tanpa mengeluarkan tenaga saat ekspirasi. Pursed lips breathing memiliki
beberapa manfaat yang potensial dalam menurunkan respiratory rate,
mengeliminasi otot-otot penggerak bantu, menaikan tekanan O2 dalam
arteri, menurunkan tekanan CO2, dan menaikan toleransi latihan (Kisner
dan Colby, 2007).
4. Postural Drainage
a. Definisi
Suatu bentuk pengaturan posisi pasien untuk membantu pengaliran
mucus sehingga mucus akan berpindah dari segmen kecil ke segmen
besar dengan bantuan gravitasi dan akan memudahkan mucus di
ekspectorasikan dengan bantuan batuk, dan dapat dibantu dengan
pemberian vibrasi saat ekspirasi, serta clapping pada dinding toraks.
Postural drainage berbeda-beda sesuai dengan letak sputum yang
dekeluarkan (Putri, 2013)
b. Prosedur Postural Drainage
1. memposisikan / meletakkan pasien pada posisi gravitasi untuk
memudahkan pengeluaran sekret / mengalirkan sekret dari daerah
khusus di paru-paru.
2. Penting pengetahuan anatomi dari bronchial tree.
3. Prinsipnya adalah seperti menuang air dalam botol. Apabila air
dituang dalam posisi tegak, air tidak dapat keluar, namun bila
dimiringkan air akan lebih mudah keluar.
4. sebelum postural drainage dipastikan dengan auskultasi lobus paru
mana yang banyak sekretnya.
5. Jangan diberikan setelah makan, minimal 2 jam setelah makan dan 1
jam setelah minum.
6. Waktu yang tepat adalah pagi hari, karena saat tidur terjadi
penimbunan sekret.
7. Dihentikan bila ada keluhan takhikardi, palpitasi,sesak, nyeri dada.
c. Kontra Indikasi postural drainage:
1. Hemoptysis
2. Severe Hypertension
3. Edema Cerebri
4. Aneurysma Aorta
5. Aneurysma Cerebral
6. Aritmia
7. Edema Pulmonum
d. Tehnik Postural Drainage Paru Kanan

Gambar 2.8 Segmen Apical Lobus Atas (Gani, 2012)


Posisi pasien half lying dengan punggung kanan di ganjal bantal
Gambar 2.9 Segmen Medial Lobus Tengah (Gani, 2012)
Posisi pasien tidur telentang punggung kanan diganjal bantal cenderung
miring ke kiri, bagian kaki dinaikkan 16 inchi.

Gambar 2.10 Segmen Lateral Lobus Tengah (Gani, 2012)


Posisi pasien tidur tengkurap dengan dada kanan diganjal bantal,
bagian kaki dinaikkan 16 inchi.

Gambar 2.11 Segmen Basal Anterior dan Medial Lobus Bawah (Gani, 2012)
Posisi pasien tidur miring kearah kiri, bagian kaki dinaikkan 20 inchi.
e. Tehnik Postural Drainage Paru Kiri

Gambar 2.12 Segmen Apical Lobus Atas (Gani, 2012)


Posisi pasien duduk dengan memeluk bantal badan condong kedepan
dan paru kiri lebih ditinggikan dari paru kanan.

Gambar 2.13 Segmen Superior Lobus Bawah (Gani, 2012)


Posisi pasien tidur tengkurap dengan dada sebelah kiri di ganjal bantal,
bagian kaki dinaikkan 16 inchi.

Gambar 2.14 Segmen Inferior Lobus Lingula (Gani, 2012)


Posisi pasien tidur miring kekanan dengan punggung kiri diganjal bantal,
bagian kaki dinaikka 16 inchi.
Gambar 2.15 Segmen Basal Posterior Lobus Bawah (Gani, 2012)
Posisi pasien tidur miring kekanan cenderung kearah tengkurap,
dengan bagian kaki dinaikkan 20 inchi.

5. Tapotement
Tapotement berguna untuk membantu meruntuhkan sputum yang
menempel di dinding saluran pernafasan dan di dingding paru-paru.
Percussion dilakukan dengan cara tangan membentuk seperti mangkuk
dan fisioterapis melakukan percussion diatas permukaan kulit tepatnya
didaerah yang telah diperiksa banyak sputumnya (Amin, 2014).
6. Vibration
Vibration atau getaran tujuannya hampir sama dengan percussion
yakni untuk membantu meruntuhkan sputum yang menempel di dingding
paru dan di saluran pernafasan. Selain itu getaran tersebut juga
merangsang dingding yang dilapisi ciliated epithelium atau sel epitel
berambut pada saluran pernafasan, sehingga memungkinkan untuk timbul
reaksi batuk, yang akan memindahkan bahkan mengeluarkan sputum dari
saluran pernafasan, Vibration diterapkan dengan menempatkan kedua
tangan secara langsung pada kulit dan di atas dinding dada (atau satu
tangan di atas yang lain) hal ini dilakukan dengan lembut serta
mengompresi dan bergetar dengan cepat pada dinding dada pasien dan
dilakukan bersamaan saat ekspirasi berlangsung (Amin, 2014).
7. Batuk Efektif
Batuk effektif Adalah merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang
berfungsi untuk mengeluarkan benda asing atau sekresi yang banyak di
saluran pernafasan. Batuk efektif merupakan suatu metode batuk dengan
benar, dimana pasien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah
dan dapat mengeluarkan dahak secara maksimal. Untuk menyiapkan paru-
paru dan saluran nafas sebelum melaksanakan tehnik batuk, keluarkan
semua udara dari dalam paru-paru dan saluran nafas (Putri, 2013)
Meknisme terjadinya arus udara yang kuat yang dihasilkan oleh latihan
batuk efektif:
1) Inspirasi maksimal
2) Glottis tertutup
3) Arus udara ekspirasi terpatah dan pendek
a. Tujuan
Tujuan dilakukannya teknik batuk effektif ini adalah membantu
mengeluarkan sekresi pada saluran pernafasan akibat pengaruh ne-
crose serta membantu membersihkan jalan nafas.
b. Indikasi
1) Produksi sputum yang berlebih
2) Pasien dengan batuk yang tidak efektif
3) Susah mengeluarkan dahak
c. Kontra indikasi
1) Hemoptisis
2) Tension pneumotoraks
3) Gangguan kardiovaskuler
4) Edema paru
5) Efusi pleura yang luas
8. Stretching
Stretching respiratory muscle adalah suatu desain latihan yang
bertujuan untuk mengulur otot inspirasi dinding dada ketika inspirasi dan
otot ekspirasi dinding dada ketika ekspirasi, Stretching respiratory muscle
dirancang untuk mengurangi kekakuan dinding dada, khususnya otot-otot
pernapasan dinding dada sehingga dapat meningkatkan kemampuan
mobilitas dinding dada, ada tiga prinsip dalam penguluran yaitu,
berlawanan dengan fungsi otot, menjauhkan origo dan insertio, dan searah
dengan serabut otot tersebut (Fajriah, 2014).
BAB III
PROSES FISIOTERAPI

A. Pengkajian Fisioterapi
Dalam pelaksanaaan pelayanan Fisioterapi diperlukan asessment.
Tindakan ini bertujuan untuk memperoleh data dari pasien sehingga
menemukan masalah yang dialami penderita. Asessment bertujuan sebagai
penegak diagnosis dan pedoman dalam pelaksanaan terapi tentang
keluhaan yang dialami. Dalam asma bronkial pemeriksaan yang diperlukan
meliputi :
1. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan dengan dua cara yaitu autoanamnesis
dan heteroanamnesis. Autoanamnesis dilakukan dengan cara tanya
jawab langsung kepada pasien, sedangkan heteroanamnesis dilakukan
dengan tanya jawab dengan orang lain. Untuk pasien ini dilakukan
dengan cara Autoanamnesis, berdasarkan anamnesis didapatkan
keterangan pasien sebagai berikut :
a. Anamnesis Umum
Pasien atas nama Ny. W, umur 52 tahun, jenis kelamin
perempuan, agama islam, pekerjaan buruh cuci, alamat Tosaran
Rt. 01 Rw. 04 Kedungwuni, Pekalongan.
b. Anamnesis Khusus
Anamnesis khusus meliputi:
1) Keluhan Utama :
Keluhan utama merupakan satu atau lebih yang
mendorong atau membawa pasien mencari pertolongan atau
nasihat medik, ditanyakan kepada pasien apa yang dirasakan
saat ini. Pada kasus ini, pasien mengeluhkan sesak nafas
disertai dahak yang sulit dikeluarkan.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Memperinci keluhan utama, gejala-gejala dasar harus
digambarkan secara lengkap. Sehingga diperoleh informasi
bahwa Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak dua hari yang
lalu (5 November 2017) disertai batuk berdahak yang sulit
dikeluarkan, kemudian pasien dirawat inap di RSUD Kajen
Pekalongan pada tanggal 6 November 2017. Sesak nafas di
rasakan bertambah saat udara dingin dan kelelahan.
Berdasarkan catatan medis, pasien tidak memiliki alergi.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Ditanyakan riwayat pengobatan terdahulu bila asma
kambuh. Kemudian pernahkah ada riwayat hospitalisasi. Hal ini
ditanyakan untuk mengetahui apakah ada pengaruh terhadap
penyakit yang dialami pasien sekarang. Didapatkan informasi
bahwa pasien mulai mengeluhkan sesak nafas setelah
melahirkan anak kembar 15 tahun yang lalu, terakhir kambuh
sekitar enam bulan yang lalu. Bila asma kambuh, pasien biasa
dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan
4) Riwayat Pribadi
Ditanyakan apakah hobi dan atau aktifitas kehidupan
sehari-hari, adakah hambatan beraktifitas karena masalah
pernafasan, diperoleh informasi bahwa pasien adalah seorang
buruh cuci yang bekerja di tempat yang cukup dingin dan sering
mengangkat cucian berat.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda – Tanda Vital
1) Tekanan darah
Pengukuran tekanan darah bertujuan untuk mengetahui
kondisi umum pasien, dengan mengetahui kondisi umum pasien
yang berkaitan dengan tekanan darah, terapis dapat menentukan
dosis terapi yang sesuai dengan kondisi umum pasien serta dapat
menghindari hal-hal yang menjadi kontraindikasi terhadap kondisi
umum tersebut. Hasil dari pengukuran tekanan darah ini adalah
130/80 mmHg dan tergolong normal.
2) Denyut nadi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kerja sistem
kardiovaskuler, reaksi tubuh terhadap terapi, dan juga sebagai
salah satu indikator untuk mengetahui kondisi umum pasien.
Denyut nadi normal adalah 60-80 kali/menit. Denyut nadi pasien
ini adalah 115 kali per menit, sehingga dapat dikatakan bahwa
pasien dalam kategori tachycardia, yaitu suatu kondisi ketika
frekuensi nadi lebih dari nilai normal.
3) Pernafasan
Pemeriksaan pernafasan dilakukan dengan cara
mengalihkan perhatian pasien dan jangan mengajak pasien bicara
agar pasien tidak sadar jika nafasnya sedang dihitung,
pengukuran pernafasan dilakukan setelah pengukuran nadi.
Frekuensi pernafasan pasien ini adalah 26 kali/menit. Frekuensi
pernafasan pasien ini termasuk golongan takipneu, yaitu,
pernapasan yang menjadi lebih cepat dan dangkal (frekuensi
pernapasan > 24 kali/menit).
4) Temperatur
Suhu badan dikategorikan normal antara 36,50C - 37,50C,
dikatakan demam apabila suhu badan 37,50C - 37,90C, dan
demam tinggi (febris) 380C, serta hipertermia bila suhu badan
lebih dari 400C. Hasil dari pengukuran suhu tubuh pasien ini
adalah 36,80C. Sehingga dapat dikatakan bahwa pasien dalam
kondisi normal.
5) Tinggi Badan
Pengukuran tinggi badan dilakukan menggunakan midline, hasil
pengukuran tinggi badan dari pasien ini adalah 150 cm.
6) Berat Badan
Pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan
timbangan berat badan, hasil dari pengukuran ini adalah 38 Kg.
7) Inspeksi
Inspeksi terbagi menjadi 2 yaitu inspeksi statis dan inspeksi
dinamis. Kedua pemeriksaan ini dapat dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien, misalkan saat anamnesis pasien,
pemeriksaan tersebut meliputi:
Postur dan bentuk dada : postur cenderung kifosis & bentuk
dada normal
Pola nafas : pernafasan dada
Wajah & anggota gerak : pucat dan lemah
8) Palpasi
Fremitus : normal
Tonus otot : spasme m.trapezius upper dan
m.sternocleidomastoideus
Chest Expansion : belum maksimal
9) Perkusi
Hasil dari pemeriksaan ini adalah Sonor
10) Auskultasi
Tujuan dilakukannya auskultasi adalah memeriksa area
yang mengalami gangguan ventilasi atau gangguan dalam
pembersihan mukus dan mengevaluasi efektifitas dari terapi yang
diberikan, dari pemeriksaan ini didapatkan wheezing, ronchi
basah, letak sputum di segmen apical, lobus atas, paru kiri.
11) Gerak Dasar Pernafasan
Saat inspirasi dan ekspirasi pasien mampu mengembangkan
dan mengempiskan dada tetapi belum maksimal oleh karena
sesak nafas, pada gerakan bahu dan leher pasien mampu
menggerakkan ke segala arah dengan full ROM, namun ada
sedikit nyeri pada gerakan leher.
12) Intra Personal
Pasien memiliki semangat yang tinggi untuk sembuh, dilihat dari
kesungguhan dan kemauan pasien saat melakukan latihan.
13) Fungsional Dasar
Pasien mampu bernafas tenang menggunakan pernafasan
dada maupun pernafasan diafragma, pasien juga mampu dari tidur
terlentang ke miring kanan, miring kiri, duduk, pasien mampu
berjalan namun dengan pelan dan jarak yang dekat karena masih
sesak.
14) Fungsional Aktivitas
Pasien mudah lelah dan sesak nafas sehingga akivitas pekerjaan
pasien sebagai buruh cuci terganggu.
15) Lingkungan Aktivitas
Kondisi rumah pasien bersih, ventilasi baik, tidak memelihara
hewan dan terbebas dari polusi. Lingkungan pekerjaan pasien di
tempat cuci yang dingin dan aktivitas mengangkat cucian yang
berat membuat pasien sering mengeluh sesak nafas.
3. Pengukuran Khusus
a. Nyeri
Tabel 3.1 VAS
Jenis nyeri Area VAS
Nyeri diam M. sternocleidomastoideus
M. trapezius upper 0
Nyeri tekan M. sternocleidomastoideus
3.5
M. trapezius upper
3
Nyeri gerak M. sternocleidomastoideus
2.2
M. trapezius upper
3

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa keluhan nyeri


dari pasien merupakan nyeri ringan, yang tidak terlalu mengganggu
aktivitas keseharian pasien.
b. Antopometri
Tabel 3.2 Antopometri
Patokan Inspirasi Ekspirasi Selisih
Axilla 71,5 cm 71 cm 0,5 cm
Ics 4 73 cm 72 cm 1 cm
Proc. Xypoideus 66 cm 65 cm 1 cm
c. Skala Borg
Tabel 3.3 Borg Scale of Shortness of Breath
Skala Derajat Sesak Nafas
0 Tidak merasa sesak sama sekali
0.5 Dirasakan sangat-sangat sedikit sesak nafas
1 Sangat sedikit sesak nafas
2 Sedikit sesak nafas
3 Sesak nafas sedang
4 Sesak nafas sedikit berat
5 Sesak nafas berat
6
7 Sesak nafas sangat-sangat berat
8
9 Sangat-sangat berat bernafas (hampir maksimal)
10 Maksimal
Tabel 3.4 Borg Scale of Perceived Exertion
Skala Derajat Berat Aktivitas
6 Setara dengan berbaring
7 Sangat, sangat ringan
8
9 Sangat ringan
10
11 Masih wajar
12
13 Sedikit berat
14
15 Berat
16
17 Sangat berat
18
19 Sangat, sangat berat
20 Aktivitas paling berat
Hasil dari pemeriksaan skala borg untuk sesak nafas didapatkan
hasil nilai sesak 3 (sesak nafas sedang), dan skala borg untuk derajat
aktivitas didapatkan hasil 14 (sedikit berat, menuju berat).
d. Six Minute Walk Test
Tabel 3.5 Six Minutes Walking Test
Pengukuran T1
Pre terapi Post terapi
Tekanan Darah 130/80 mmHg 140/90 mmHg
Denyut Nadi 115x per menit 132 x per menit
Respiratory Rate 26x 31x
Skala Borg Untuk Sesak Nafas 3 4
Skala Borg Untuk Derajat Aktivitas 14
Jarak 320
HRmax = 220 – 52 = 168 kali/menit
Target HR = 168 x (60% - 80%)
= 101 - 134 kali/menit

B. Diagnosis Fisioterapi
Body Function and Body Structure :
1. Sesak nafas
2. Kesulitan mengeluarkan dahak
3. Spasme otot otot bantu pernafasan (m.trapezius upper dan
m.sternocleidomastoideus)
4. Penurunan ekspansi sangkar thoraks
Activities :
Penurunan aktivitas fungsional terkait dengan pekerjaan pasien sebagai
buruh cuci dan belum mampu berjalan jauh karena masih sesak
Participation :
Pasien masih mampu bersosialisasi dengan lingkungan tetapi belum
bisa ke aktivitas pekerjaannya.
1. Program / Rencana Fisioterapi
a. Tujuan
1) Jangka Pendek
a) Mengurangi sesak nafas dengan PLB dan DB
b) Membantu pengeluaran sputum dengan potural drainage,
tapotement dan latihan batuk efektif
c) Menurukkan spasme otot bantu pernafasan (m.trapezius upper
dan m.sternocleidomastoideus) dengan infra red dan stretching
d) Meningkatkan ekspansi sangkar torak dengan PLB dan
stretching intercostal
2) Jangka Panjang
a) Melanjutkan tujuan jangka pendek
b) Meningkatkan aktivitas fungsional sehari-hari pasien
semaksimal mungkin
b. Tindakan Fisioterapi
1) Infra Red
2) Diafragmatic Breathing Exercise
3) Pulsed Lip Breathing Exercise
4) Postural Drainage + Tapotement
5) Latihan Batuk
6) Stretching
c. Tindakan Promotif / Preventif
1) Pasien dianjurkan untuk latihan pernafasan secara aktif seperti
menarik nafas dalam melalui hidung kemudian tahan 2-3 detik dan
menghembuskan melalui mulut serta latihan menarik nafas
dengan mengbangkan dan mengempiskan perut.
2) Mencegah dan menghilangkan episode sesak dengan cara
mengatur postur tubuh yang santai dan tertekuk ke depan dan
terus bernafas dengan cara yang lambat dan terkontrol sampai
episode sesak mereda.
3) Peregangan, duduk di kursi dengan tangan di belakang kepala,
kemudian regangkan lengan kebelakang selama menarik nafas
mendalam dan tekuk siku ke depan saat menghembuskan nafas.
4) Menguragi aktivitas fisik terlalu berat yang dapat memicu
kekambuhan.
C. Pelaksanaan Fisioterapi
Terapi I : 7 November 2017
1. Infra Red
a. Persiapan alat : siapkan alat kemudian cek keadaan lampu,
perhatikan kabel dan stop kontak
b. Persiapan pasien : posisi pasien duduk senyaman mungkin, periksa
sensabilitas pasien (panas-dingin) bebaskan area yang di terapi dari
pakaian
c. Pelaksanaan : penyinaran sejajar pada dada dan punggung
dengan jarak 35 - 40cm dengan waktu masing masing ±10 menit, dan
di pantau rasa hangat yang dirasakan pasien secara berkala untuk
menghindari panas berlebihan dan hal-hal yang tidak diinginkan.

Gambar 3.1 Pelaksanaan Terapi Infra Red (Dokumentasi Pribadi, 2017)

2. Breathing Exercise
a. Diafragmatic Breathing Exercise
Pasien diposisikan duduk bersandaran pada bantal, lalu meletakan
satu tangan di dada dan tangan yang lain di perut. Terapis
menginstruksikan pasien agar menarik napas pelan dan dalam
sehingga perut mengembang sedangkan dada relatif tenang. Latihan
ini diulang sebanyak 2x8 diselingi dengan istirahat.
b. Pulsed Lip Breathing Exercise
Pasien diinstruksikan menarik nafas panjang melalui hidung
kemudian tahan 2-3 detik dan menghembuskan pelan-pelan lewat
mulut, Ketika melakukan ekspirasi pasien sedikit mengatupkan kedua
bibir untuk menghambat udara keluar. Dilakukan sampai pasien
benar benar nyaman dan rileks, mengulangi 2x8 diselingi istirahat
dengan nafas teratur.

Gambar 3.2 Breathing Exercise dalam Posisi Postural Drainage


(Dokumentasi Pribadi, 2017)
3. Postural Drainage + Tapotement
a. posisi pasien : disesuakan dengan hasil auskultasi yaitu segmen
apical lobus atas paru kiri
b. pelaksanaan : pasien duduk dengan memeluk bantal posisi
membungkuk untuk mengalirkan sputum ke bronkus utama di barengi
dengan pemberian tapotement
postural drainage dilakukan bersamaan dengan breathing exercise
Gambar 3.3 Postural Drainage dan Tapotement (Dokumentasi Pribadi, 2018)

4. Batuk Efektif
a. posisi pasien : duduk di tepi bed
b. pelaksanaan : contohkan dahulu kepada pasien, tarik nafas dalam
dan pelan, pasien diminta menarik dan menghembuskan nafas
selama 3 kali, dalam hitungan ke tiga pasien diminta untuk batuk dua
kali dengan mulut sedikit terbuka. Setelah batuk, pasien di
instruksikan untuk tidak menarik nafas panjang, karena sputum bisa
masuk lagi.
5. Stretching
a. posisi pasien : duduk di tepi bed
b. pelaksaaan : dilakukan secara aktif oleh pasien 1). Untuk rileksasi
awalan, kedua tangan dibelakang kepala dengan kedua lengan
menempel pada telinga, instruksikan pasien untuk mendorong kepala
kearah dada, kemudian tengadahkan kepala kebelakang dengan
menjauhkan lengan dari telinga tapi tangan tetap menempel di
belakang kepala. 2). Untuk meregangkan intercostal space, angkat
lengan kanan lurus keatas kemudian dengan tangan kiri menarik
tangan kanan ke arah kiri sehingga badan miring ke kiri bergantian
kanan dan kiri. 3). Untuk penguluran otot trapezius upper posisi fleksi,
rotasi dan side fleksi neck bergantian kanan dan kiri, kemudian untuk
penguluran otot sternocleidomastoideus posisi ekstensi, rotasi dan
side fleksi neck.
Masing masing latihan dilakukan 8 kali pengulangan dengan
penahanan 8 detik.
Stretching atau penguluran otot ini dilakukan pada otot-otot yang
spasme . Dalam kondisi ini yaitu otot sternocleidomastoideus dan otot
trapezius upper dan otot intercostalis yang tidak bisa di palpasi.
Gerakan pada latihan penguluran otot ini berfungsi mengurangi spasme
pada otot-otot tersebut. Selain itu gerakan ini bertujuan untuk
mensimetriskan mobilitas dan memperbaiki pengembangan paru-
paru.

Gambar 3.4 Pelaksanaan Stretching (Dokumentasi Pribadi, 2017)

Terapi II : 8 November 2017


1. Infra Red
2. Breathing Exercise (DB dan PLB)
3. Postural Drainage + Tapotement
4. Latihan Batuk
5. stretching
Terapi III : 9 November 2017
1. Infra Red
2. Breathing Exercise (DB dan PLB)
3. Postural Drainage + Tapotement
4. Latihan Batuk
5. stretching
Terapi IV : 10 November 2017
1. Infra Red
2. Breathing Exercise (DB dan PLB)
3. Postural Drainage + Tapotement
4. Latihan Batuk
5. Stretching
Terapi V : 11 November 2017
1. Infra Red
2. Breathing Exercise (DB dan PLB)
3. Postural Drainage + Tapotement
4. Latihan Batuk
5. Stretching
Terapi VI : 13 November 2017
1. Infra Red
2. Breathing Exercise (DB dan PLB)
3. Postural Drainage + Tapotement
4. Latihan Batuk
5. stretching
Prognosis :
Quo ad vitam : baik
Quo ad sanam : baik
Quo ad cosmetican : baik
Quo ad fungsional : baik

D. Evaluasi
1. Sesak Nafas dengan Skala Borg
Tabel 3.6 Hasil Evaluai Sesak Nafas
T1 T2 T3 T4 T5 T6
4 3 3 2 2 2

2. Nyeri dengan VAS


Tabel 3.7 Hasil Evaluai Nyeri
Jenis Area T1 T2 T3 T4 T5 T6
Nyeri
Nyeri M.sternocleidomastoideus 0 cm 0 cm 0 cm 0 cm 0 cm 0 cm
Diam M.trapezius upper
M.sternocleidomastoideus 3,5 cm 3 cm 2,4 cm 2cm 1 cm 1 cm
Nyeri
Tekan M.trapezius upper 3 cm 3 cm 3 cm 2 cm 1cm 1 cm
M.sternocleidomastoideus 2,2 cm 2 cm 1,3 cm 1 cm 0 cm 0 cm
Nyeri
Gerak M.trapezius upper 3 cm 3 cm 2,5 cm 2cm 0 cm 0 cm
3. Sputum dengan Auskultasi
Tabel 3.8 Hasil Evaluasi Sputum
T1 T2 T3 T4 T5 T6
wheezing wheezing wheezing wheezing wheezing wheezing
(++) (++) (++) (++) (+) (+)
Keterangan:
(-) : tidak ada
(+) : sedikit nyaring
(++) : sedang nyaring
(+++) : sangat nyaring

4. Antopometri dengan Midline


Tabel 3.9 Hasil Evaluasi Antopometri
Acuan T1 T2 T3 T4 T5 T6
In E Se in ek se In ek Se in ek se in Ek se in ek se
k
Axilla 71,5 71 0,5 72 71 1 72 70,5 1,5 73 71,5 1,5 73 71,5 1,5 73 71 2
ICS 4 73 72 1 73 72 1 73,5 72,5 1 73,5 72 1,5 73,5 72 1,5 74 72,5 1,5
PX 66 65 1 66 65 1 66,5 65 1,5 66,5 65 1,5 67,5 66 1,5 68 66 2

5. VO2maks dengan Six Minute Walk Test


Tabel 3.10 Hasil Evaluasi VO2maks
Tx Ket. TD DN Respir Skala Borg Skala Borg Jarak
(mmHg) (x per menit) atory Untuk Untuk
Rate Derajat Derajat
Sesak Berat
Nafas Aktivitas
Pre 130/80 115 26x 3
1 14 320 m
Post 140/90 132 31x 4
Pre 120/80 98 24x 1
6 12 360 m
Post 130/90 122 29x 2

HRmax = 220 – 52 = 168 kali/menit


Target HR = 168 x (60% - 80%)
= 101 - 134 kali/menit
BAB IV
PEMBAHASAN

1. Infra Red
Penyinaran dengan menggunakan Infra red dapat mengurangi rasa sakit
atau nyeri dan kekakuan pada otot. Adanya kekakuan otot-otot pernapasan
dapat berkurang dengan pemberian Infra red. Sinar Infra red dapat
memberikan efek thermal pada daerah yang disinari sehingga terjadi
vasodilatasi pembuluh darah. Vasodilatasi pembuluh darah meningkatkan
pasokan darah sehingga sisa-sisa hasil metabolisme akan terangkut,
selanjutnya otot-otot akan menjadi rileks dan spasme otot berkurang (Putra,
2005 dalam Purnomo, et al, 2017).
2. Stretching
Bentuk penguluran otot yang diterapkan untuk pasien ini adalah
penguluran otot yang mengalami spasme dan nyeri, terutama pada otot-otot
pernafasan. Penguluran otot dapat memperbaiki sirkulasi darah ke otot.
Sehingga pembuangan sisa-sisa metabolisme otot dapat teralirkan dengan
baik, substansi nyeri juga dapat terbuang, hasilnya nyeri dan spasme
berkurang. Gerakan penguluran otot ini disesuaikan dengan cara kerja otot,
yaitu otot sternocleidomastoideus dan otot ltrapezius upper.
Menurut Yukez (2011), stretching bertujuan untuk membuat otot dan
persendian menjadi fleksibel dan elastis. Dari pernyataan tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa, latihan peregangan (stretching), ketika diterapakan pada
otot pernapasan yaitu otot inspirasi dan otot ekspirasi, maka dapat
memberikan efek meningkatnya fleksibilitas dan elastisitas dari otot tersebut,
yang pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan mobilitas dinding dada.
Hal ini telah sesuai dengan pendapat Nishigaki et al. (2013) bahwa latihan
penguluran (peregangan) otot pernapasan dapat meningkatkan kemampuan
mobilitas dinding dada dan fungsi paru (Fajriah, 2014).
Selama 6 kali pemberian terapi, tidak ditemukan hambatan yang berarti.
Pasien mampu melakukan intruksi pasien dengan baik dan tidak ada efek
buruk yang ditimbulkan setelah pasien melakukan terapi ini. Hasil dari terapi
ini dievaluasi dengan Visual Analogue Scale (VAS) untuk mengetahui derajat
nyeri pasien.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, nyeri yang diderita oleh pasien
merupakan akibat dari adanya spasme otot-otot pernafasan. Hal ini berawal
dari adanya peningkatan work of breathing, yang ditandai dengan
meningkatnya kerja otot bantu pernafasan. Juga disebabkan oleh peningkatan
kerja otot interkostalis oleh karena sesak nafas dan pasien dominan bernafas
dengan pernafasan dada. Nyeri pada otot sternocleidomastoideus merupakan
akibat dari pasien sering batuk. Berikut adalah grafik evaluasi dari nyeri yang
diukur dengan Skala VAS:

VAS
4
Nilai VAS (cm)

2 Nyeri Diam

1 Nyeri Tekan
Nyeri Gerak
0
T1 T2 T3 T4 T5 T6
M. Sternocleidomastoideus

Gambar 4.1 Grafik Nyeri M.Sternocleidomastoideus

VAS
4
Nilai VAS (cm)

2 Nyeri Diam

1 Nyeri Tekan
Nyeri Gerak
0
T1 T2 T3 T4 T5 T6
M. Trapezius Upper

Gambar 4.2 Grafik Nyeri M.Trapezius Upper

Dari gambar di atas, pasien tidak mengeluhkan nyeri diam, selain itu,
terlihat bahwa adanya penurunan derajat nyeri, baik nyeri tekan maupun nyeri
gerak, pada terapi hari terakhir, setelah diberikan tindakan fisioterapi selama
6 kali terapi.
3. Breathing Exercise
Latihan pernafasan bertujuan untuk memperbaiki ventilasi udara,
memeihara elastisitas jaringan paru-paru dan memelihara ekspansi thorax
agar tidak menimbulkan kecacatan lebih lanjut. Ekspansi thorax yang
menurun dapat ditingkatkan dengan latihan penguluran otot yang digabung
dengan diberikan latihan pernapasan. Dengan latihan gerakan pada trunk dan
anggota gerak atas yang digabungkan dengan latihan pernapasan maka
secara otomatis otot-otot pernapasan yang mengalami ketegangan akan
menjadi lentur dan rileks maka sistem pernapasan akan menjadi lancar dan
ekspansi sangkar thorax akan meningkat. Pemberian rangsangan sentuhan
dan penguluran akan memberikan stimulasi pada otot pernapasan untuk
berkontraksi lebih kuat selama inspirasi sehingga akan menambah
pengembangan sangkar thorax dan dapat meningkatkan volume paru
(Purnomo, et al, 2017).
Evaluasi ini dilakukan setiap terapi. Pada terapi pertama, pemeriksaan skala
borg dilakukan 2 kali yaitu sebelum dan sesudah menjalani six minute walking
test. Terapi hari kedua, ketiga, keempat dan ke lima dilakukan tanpa pasien
harus menjalani six minute walking test . Sedangkan pada terapi hari keenam
evaluasi skala borg untuk derajat sesak nafas dilakukan dengan cara seperti
pemeriksaan hari pertama. Berikut ini adalah grafik mengenai evaluasi dengan
skala borg derajat sesak napas. Data merupakan data post terapi pada terapi
ke-1 (T1) sampai dengan terapi ke-6 (T6) :

10
9
8
7
6
5
4 4 Derajat Sesak Nafas
3 3 3
2 2 2 2
1
0
T1 T2 T3 T4 T5 T6

Gambar 4.3 Grafik Derajat Sesak Napas

Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa terjadi penurunan


derajat sesak nafas. Hal ini tidak terlepas dari pemberian terapi umum berupa
nebulizer setiap 8 jam sekali yang mampu mengurangi bronkospasme dan
mengurangi mucus di dalam saluran pernapasan.

2.5
2
1.5 Axilla
1 ICS 4
0.5 PX

0
T1 T2 T3 T4 T5 T6

Gambar 4.4 Grafik Pengukuran Mobilitas Sangkar Torak


Grafik tersebut menandakan bahwa terjadi peningkatan mobilitas sangkar
torak, oleh karena sesak napas yang telah berkurang karena aplikasi dari DB,
dan PLB, nyeri yang berkurang, serta spasme otot yang telah berkurang
karena pemberian intervensi penguluran otot.
4. Postural Drainage, Tapotement dan Latihan Batuk Efektif
Sesak nafas selain karena adanya penumpukan sputum pada lobus baru
juga mengakibatkan tidak efektifnya pernapasan. Sputum yang sulit
dikeluarkan dapat dikurangi dengan diberikan postural drainage, tapotement
dan latihan batuk efektif. Postural drainage dan tapotement yang bertujuan
untuk mengeluarkan mucus dari segmen paru dengan bantuan gravitasi dan
melepaskan sputum dari dinding paru-paru, ditambah dengan latihan batuk
efektif yang bertujuan untuk merangsang dan mengeluarkan sputum dari jalan
napas. Teknik batuk efektif yang menekankan inspirasi maksimal yang dimulai
dari ekspirasi dengan merangsang terbukanya sistem kolateral,
meningkatkan distribusi ventilasi, meningkatkan volume paru, dan
memfasilitasi pembersihan saluran napas sehingga sputum yang tertimbun
dengan latihan batuk efektif akan berkurang (Citra dan Swardana, 2012 dalam
Purnomo, et al, 2017).
(+++) Auskultasi

(++)

(+) Sputum

(-) T1 T2 T3 T4 T5 T6

Gambar 4.5 Grafik Auskultasi


Keterangan:
(-) : tidak ada wheezing
(+) : wheezing sedikit nyaring
(++) : wheezing sedang nyaring
(+++) : wheezing sangat nyaring

Grafik di atas menggambarkan bahwa terjadi penurunan wheezing, dari


yang bersuara nyaring sedang hingga wheezing sedikit nyaring. Hal ini
menandakan bahwa sesak nafas berkurang dan volume sputum dalam paru-
paru berkurang.

Dilihat dari seluruh grafik di atas, terlihat bahwa adanya penurunan


derajat nyeri. Hal ini diakibatkan oleh sesak napas yang mulai berkurang, pola
pernafasan yang stabil dan sputum yang telah berkurang, sehingga work of
breathing kembali stabil dan spasme dapat berkurang. Hal ini menunjukan
bahwa latihan diaphragmatic breathing dan pursed lips breathing telah
berhasil sesuai dari tujuan terapi yaitu untuk mengurangi sesak napas,
rilekasasi. Selain itu, ketegangan otot (spasme) dan nyeri juga dapat
berkurang setelah penyinaran infra red dan penguluran otot (stretching).
Berdasarkan keseluruhan tidakan fisioterapi yang telah dilakukan, yaitu
infra red, PLB, DB, postural drainage, tapotement, latihan batuk efektif dan
penguluran otot dapat memperpaiki kondisi pasien secara umum. Hal ini
dapat meningkatkan toleransi aktivitas pasien yang dapat diukur
menggunakan six minute walking test.
5. Six minute walking tes
Evaluasi ini juga dilakukan sebanyak 2 kali yaitu saat awal dan akhir
terapi. Hal ini dilakukan agar tidak melelahkan pasien dan pasien tetap dapat
terevaluasi kondisinya secara lengkap. Hal ini penting untuk mengetahui
perkembangan kondisi pasien. Dari evaluasi tersebut diketahui bahwa telah
terjadi peningkatan kemampuan fungsional pasien yang ditandai dengan
meningkatnya jarak tempuh pasien untuk berjalan selama 6 menit, yaitu dari
320 meter menjadi 360 meter, skala borg yang semakin berkurang, dan
kondisi umum yang membaik. Peningkatan kemampuan fungsional ini terjadi
oleh karena permasalahan dalam paru-paru pasien telah teratasi dengan
intervensi yang telah diberikan oleh terapis.
Selama pemberian terapi, ditemukan sedikit hambatan pada pasien, yaitu
pasien belum bisa melakukan latihan batuk efektif pada terapi pertama, tetapi
setelah dilakukan berulang-ulang pasien mampu melakukan dengan baik.
Saat melakukan six minutes walking test ditemukan hambatan berupa lintasan
jalan yang terlalu sempit.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fisioterapi memiliki peran penting dalam kondisi ini. Intervensi yang
dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan pemberian infra
red, diaphragmatic breathing (DB) dan pursed lips breathing (PLB),postural
drainage, tapotement, latihan batuk efektif dan latihan penguluran otot.
Setelah pasien mendapatkan intervensi tersebut selama 6 kali terapi,
pasien mengalami perbaikan kondisi yang ditandai dengan berkurangnya
sesak nafas, berkurangnya mukus, berkurangnya nyeri dan spasme pada otot
bantu pernafasan serta peningkatan ekspansi sangkar toraks, serta toleransi
aktivitas yang mengalami peningkatan.

B. Saran
Kepada pasien diharapkan mampu menerapkan program edukasi yang
telah terapis berikan agar lebih mendukung kesehatan pasien selama tidak
menjalani terapi. Kepada keluarga pasien, sebaiknya dapat membantu pasien
untuk menjaga kondisinya sehingga asma tidak kambuh kembali. Keluarga
beserta pasien sebaiknya memperhatikan hal-hal yang dapat menyebabkan
kekambuhan asma pasien, dan menghindari hal tersebut.
Kepada rekan fisioterapis, hendaknya lebih mendalami kasus-kasus
respirasi kembali, karena banyak sekali kasus-kasus respirasi yang
sebetulnya bisa diatasi dengan tindakan fisioterapi tetapi belum tersentuh.
Selain itu, ada baiknya apabila fisioterapis mampu senantiasa menerapkan
long life education, dengan mengikuti jurnal-jurnal terbaru,agar dapat
memberikan pelayanan yang lebih efisien dan tepat kepada pasien.
Kepada pemerintah, hendaknya lebih memperhatikan mengenai
kesehatan lingkungan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyrakat.
Apabila lingkungan bersih, bebas dari polusi udara, penataan lingkungan
perkotaan dan perindustrian yang lebih sesuai, adanya kawasan terbuka hijau
yang memadai, serta peraturan ketat mengenai rokok, maka diharapkan
masyarakat akan terhindar dari masalah kesehatan dan komplikasinya.
DAFTAR PUSTAKA

Aliya, R. (2015). Pengaruh Pemberian Konseling Apotoker Terhadap Hasil Terapi


Pasien Asma Anak di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4)
Yogyakarta. Jurnal permata Indonesia , 6, 49-57.

American Thoracic Siciety. (2002). Guidelines for the Six Minute Walk Test.
American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine , 166, 111-117.

Amin, A. A. (2014). Efektifitas dari Tindakan Chest Physiotherapy pada Individu


dengan Gangguan Faal Paru. Tesis, Universtitas Udayana, Magister Fisiologi
Olahraga Konsentrasi Fisioterapi, Program Pasca Sarjana, Denpasar.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016). KBBI Daring. Retrieved


Maret 20, 2018, from Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia: https://kbbi.kemdikbud.go.id

Borg, E. (2013, February 25). Regulating Force in Putting by Using the Borg
CR100 scale. Retrieved Maret 20, 2018, from National Center for
Biotechnology Information, U.S. National Library of Medicine:
www.ncbi.nlm.nih.gov

Direktorat PPTM. (2009). Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta:


Departemen Kesehatan RI.

Division of Nutrition, Physical Activity and Obesity (DNPAO). (2015, August 11).
Perceived Exertion (Borg Rating of Perceived Exertion Scale). Retrieved
Maret 20, 2018, from Centers for Desease Control and Prevention:
www.cdc.gov

Dwisang, E. L. (2014). Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat dan Bidan.


Tangerang Selatan: Binarupa Aksara.

Fajriah, S. N. (2014). Pengaruh Respiratory Muscle Stretch Gymnastics (RMSG)


Terhadap Mobilitas Dinding Dada pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi
Kronik (PPOK). Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Program
Studi Diploma IV Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan, Surakarta.

GINA. (2017). Global Strategy for Asthma Management and Prevention.


Retrieved Febuari 4, 2018, from www.ginasthma.org

Imania, D. R. (2016). Buku Saku Fisioterapi Anatomi Tubuh Manusia (2 ed.).


Yogyakarta: Universitas Aisyiyah Yogyakarta.

Kisner, C., & Colby, L. A. (2016). Terapi Latihan Dasar dan Teknik (6 ed., Vol. 1).
(N. A. Ghani, Ed., A. Sudarsono, & W. Budhyanti, Trans.) Jakarta: EGC.

Kisner, C., & Colby, L. A. (2007). Therapeutic Exercise Foundations and


Techniques (5 ed.). (J. A. Pine, Ed.) Philadelphia: F.A. Davis Company.
Laswati, H., Andriati, Pawana, A., & Arfianti, L. (2015). Buku Ajar Ilmu
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (3 ed.). Jakarta: Sagung Seto.

Masriadi. (2016). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Trans Info


Media.

Medsishof. (2013). Medical is So Fun. Retrieved Maret 20, 2018, from


http://medshisof.tumblr.com

Muttaqin, A. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Purnomo, D., Amin, A. A., & Amanati, S. (2017). Pengaruh Infra Red dan Terapi
Latihan Terhadap Penderita Asma Bronchiale. Jurnal Akademi Fisioterapi
Widya Husada Semarang , 23-26.

Putri, H., & Soemarno, S. (2013). Perbedaan Postural Drainage dan Latihan
Batuk Efektif pada Intervensi Nebulizer Terhadap Penurunan Frekuensi
Batuk pada Asma Bronchiale Anak Usia 3-5 Tahun. Jurnal Fisioterapi , 13, 4-
7.

Soemarjono, A. (2015, September 4). Terapi Pemanasan Infra Red (IR).


Retrieved Maret 20, 2018, from Flex Free Clinic: www.flexfreeclinic.com

Somantri, I. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gngguan Sistem


Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Sundaru, H. (2015). Kepatuhan Berobat pada Pasien Asma Tidak Terkontrol dan
Faktor-Faktor yang Berhubungan. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia , 2, 140-
150.

Susanto, M., & Ardiyanto, T. (2015, Agustus). Pengaruh Terapi Napas Dalam
Terhadap Perubahan Saturasi Oksigen Perifer pada Pasien Asma di Rumah
Sakit Wilayah Kabupaten Pekalongan. Jurnal Program Studi Ners .

Trisnowiyanto, B. (2012). Instrumen Pemeriksaan Fisioterapi dan Penelitian


Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Widia, L. (2015). Anatomi, Fisiologi dan Siklus Kehidupan Manusia (1 ed.).


Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai