Anda di halaman 1dari 25

RESUSITASI CAIRAN DAN ELEKTROLIT

Dosen : Ns. Kristina Everentia Ngasu, S.Kep., M.Kep


Mata Kuliah : Keperawatan Kritis

Disusun Oleh :
Muhammad Rizky Fadhilah 18215141

Maylinda Indah Sari 18215126

Nur Ayu Fazri 18215157

Nia Pebriyani 18215155

Ratih Pisesa Pebriyani 18215176

Ratih Purna Anjani 18215176

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YATSI
TANGERANG BANTEN
2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Maksud penyusunan makalah
ini adalah untuk memenuhi tugas Keperawatan Kritis yang diberikan sebagai tugas
untuk menambah nilai kami Dalam menyelesaikan tugas ini, kami mendapat banyak
bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan pemikiran, dukungan, materi,
pendanaan atau dalam bentuk apapun, terutama kepada :
1. Ibu Ida Faridah, S.Kp.,M.Kes selaku Ketua STIKes Yatsi Tangerang
2. Ibu Lastri Mei Winarni,S.ST,.Keb selaku Wakil Ketua I STIKes Yatsi
Tangerang
3. Ibu Ns. Febi Ratnasari,S.Kep.,M.Kep selaku Kaprodi Keperawatan
STIKes Yatsi Tangerang
4. Ibu Ns. Kristina Everentia Ngasu, S.Kep., M.Kep selaku Dosen
Pembimbing

Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Sehingga kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak agar kami bisa
meningkatkan kemampuan dan pengetahuan kami dalam membuat makalah yang
selanjutnya dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang. Terima
kasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Tangerang, 9 November 2021

Kelompok 6
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………….. I
DAFTAR ISI……………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG................................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH............................................................ 2
C. TUJUAN......................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian cairan tubuh……………………………………………
B. Fisiologi cairan tubuh dan elektrolit………………………………
C. Perubahan cairan tubuh……………………………………………
D. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pembedahan..
E. Terapi cairan ……………………………………………………..
F. Jenis cairan dan indikasinya……………………………………...
G. Jalur pemberian terapi cairan…………………………………….

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan……............................................................................. N

DAFTAR PUSTAKA N

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana kita ketahui,sebagian besar tubuh manusia terdiri atas cairan
yang jumlahnya berbeda-beda tergantung usia dan jenis kelamin serta banyaknya
lemak di dalam tubuh. Dengan makan dan minum tubuh mendapatkan air,
elektrolit serta nutrien-nutrien yang lain. Dalam waktu 24 jam jumlah air dan
elektrolit yang masuk setara dengan jumlah yang keluar. Pengeluaran cairan dan
elektrolit dari tubuh dapat berupa urin, tinja, keringan dan uap air pada saat
bernafas. Terapi cairan dibutuhkan bila tubuh tidak dapat memasukka air,
elektrolit serta zat-zat makanan ke dalam tubuh secara oral misalnya pada saat
pasien harus berpuasa lama, karena pembedahan saluran cerna, perdarahan
banyak, syok hipovolemik, anoreksia berat, mual muntah dan lain-lain. Dengan
terapi cairan kebutuhan akan air dan elektrolit akan terpenuhi. Selain itu terapi
cairan juga dapat digunakan untuk memasukkan obat dan zat makanan secara
rutin atau juga digunakan untuk menjaga keseimbangan asam basa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian cairan tubuh?
2. Bagaimana Fisiologi cairan tubuh dan elektrolit
3. Perubahan cairan tubuh?
4. Bagaimana Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pembedahan?
5. Bagaimana Terapi cairan ?
6. Apa saja Jenis cairan dan indikasinya?
7. Dimanakah Jalur pemberian terapi cairan?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian cairan tubuh
2. Mengetahui Fisiologi cairan tubuh dan elektrolit
3. Mengetahui Perubahan cairan tubuh
4. Mengetahui Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pembedahan
5. Mengetahui Terapi cairan
6. Mengetahui Jenis cairan dan indikasinya
7. Mengetahui Jalur pemberian terapi cairan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Cairan Tubuh
Resusitasi cairan adalah proses penggantian cairan tubuh, saat pasien dalam
kondisi kritis dan kehilangan terlalu banyak cairan, baik dalam bentuk air maupun
darah. Proses resusitasi cairan dilakukan dengan pemasangan cairan infus.
Cairan tubuh adalah cairan suspensi sel di dalam tubuh makhluk multiseluler
seperti manusia atau hewan yang memiliki fungsi fisiologis tertentu.
B. Fisiologi Cairan Tubuh dan Elektrolit
1) Distribusi cairan tubuh
Air adalah pelarut (solven) terpenting dalam komposisi cairan makhluk hidup.
Persentase air tubuh total (Total Body Water) terhadap berat badan berubah
sesuai umur, menurun cepat pada awal kehidupan. Pada saat lahir, TBW 78%
berat badan. Pada beberapa bulan pertama kehidupan, TBW turun cepat
mendekati kadar dewasa 55-60 % berat badan pada saat usia 1 tahun. Pada
masa pubertas, terjadi perubahan TBW selanjutnya. Karena lemak mempunyai
kadar air yang lebih rendah, persentase TBW terhadap berat badan lebih
rendah pada wanita dewasa yang mempunyai lebih banyak lemak tubuh (55%)
daripada laki-laki, yang mempunyai sedikit lemak. Seluruh cairan tubuh
didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan kompartemen
ekstraselular.
a. Cairan intraseluler
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada orang
dewasa, sekitar dua pertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di
intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat
badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat
badannya merupakan cairan intraselular. Cairan intraseluler terlibat dalam
proses metabolik yang menghasilkan energi yang berasal dari nutrien-
nutrien dalam cairan tubuh.
b. Cairan ekstraseluler
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Cairan
ekstraseluler berperan dalam mempertahankan sistem sirkulasi, mensuplai
nutrient ke dalam sel, dan membuang zat sisa yang bersifat toksik. Jumlah
relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru
lahir, sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular.
Cairan ekstraselular dibagi menjadi
1) Cairan Intersitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar
11- 12 liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume
interstitial.
2) Cairan intravaskuler
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya
volume plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L
dimana 3 liternya merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah
merah, sel darah putih dan platelet.
3) Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu
seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan
sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan
transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak
dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.
c. Komponen cairan tubuh
Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non
elektrolit.
1) Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus
listrik. Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif
(anion). Jumlah kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama
(diukur dalam miliekuivalen).

2) Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+),
sedangkan kation utama dalam cairan intraselular adalah potassium
(K+). Suatu sistem pompa terdapat di dinding sel tubuh yang memompa
keluar sodium dan potassium ini.
3) Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling
berperan di dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium
plasma: 135-145mEq/liter.12 Kadar natrium dalam tubuh
58,5mEq/kgBB dimana + 70% atau 40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah.
Ekresi natrium dalam urine 100-180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan
keringat 58mEq/liter. Kebutuhan setiap hari = 100mEq (6-15 gram
NaCl).
Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial
maupun ke dalam dan keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan
natrium (muntah,diare) sedangkan pemasukkan terbatas maka akan
terjadi keadaan dehidrasi disertai kekurangan natrium. Kekurangan air
dan natrium dalam plasma akan diganti dengan air dan natrium dari
cairan interstitial. Apabila kehilangan cairan terus berlangsung, air akan
ditarik dari dalam sel dan apabila volume plasma tetap tidak dapat
dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi.
4) Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler
berperan penting di dalam terapi gangguan keseimbangan air dan
elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh sekitar 53 mEq/kgBB dimana
99% dapat berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat berpindah adalah
kalium yang terikat dengan protein didalam sel.
Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3
mEq/kgBB. Keseimbangan kalium sangat berhubungan dengan
konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine 60-90
mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter.
5) Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90%
dikeluarkan lewat faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah
pengeluaran ini tergantung pada intake, besarnya tulang, keadaan
endokrin. Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi oleh kelenjar-
kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, da hipofisis. Sebagian besar
(99%) ditemukan didalam gigi dan + 1% dalam cairan ekstraseluler dan
tidak terdapat dalam sel
6) Magnesium
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan unruk
pertumbuhan + 10 mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces.
7) Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan
bikarbonat (HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular
adalah ion fosfat (PO43-).
8) Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu
hasil akhir daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh
ginjal. Sedikit sekali bikarbonat yang akan dikeluarkan urine. Asam
bikarbonat dikontrol oleh paru-paru dan sangat penting peranannya
dalam keseimbangan asam basa.
- Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam
cairan. Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.

d. Proses Pergerakan Cairan Tubuh


Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan
mekanisme transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak
membutuhkan energy sedangkan mekanisme transpor aktif membutuhkan
energi. Difusi dan osmosis adalah mekanisme transpor pasif. Sedangkan
mekanisme transpor aktif berhubungan dengan pompa Na-K yang
memerlukan ATP. Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat
berlangsung secara:
1) Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran
semipermeabel (permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah
menuju larutan berkadar lebih tinggi hingga kadarnya sama. Seluruh
membran sel dan kapiler permeable terhadap air, sehingga tekanan
osmotik cairan tubuh seluruh kompartemen sama. Membran
semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun
tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein. Tekanan osmotik plasma
darah ialah 285+ 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan osmotik kira-kira
sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%, Ringer laktat).
Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah disebut hipotonik
(akuades), sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik.
2) Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan
bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah.
Tekanan hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk
berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi tergantung kepada
perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.
3) Pompa natrium kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang
memompa ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat
bersamaan memompa ion kalium dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa
natrium kalium adalah untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam
sel.
4) Asupan dan ekskresi cairan dan elektrolit fisiologis
Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat
berubah oleh stres akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau
pun oleh adanya cedera pada paru-paru, kulit atau traktus
gastrointestinal.Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-
rata sebanyak 2000-2500 ml per hari, dalam bentuk cairan maupun
makanan padat dengan kehilangan cairan rata rata 250 ml dari feses,
800-1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml kehilangan cairan yang tidak
disadari (insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.
C. Perubahan cairan tubuh
Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :
1. Perubahan volume
 Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan
tubuh yang paling umum. Penyebab paling umum adalah kehilangan
cairan di gastrointestinal akibat muntah, penyedot nasogastrik, diare
dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat berupa kehilangan cairan
pada cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis,
obstruksi usus, dan luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang
cepat akan menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan
jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi
sampai defisi volume cairan ekstraselular yang berat terjadi.
 Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi
serum dari natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L),
hiponatremik (<139 mEq/L) atau hipernatremik (>150 mEq/L).
Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi (80%),
sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10%
dari kasus.
-Dehidrasi isotonis (isonatremik): terjadi ketika kehilangan cairan =
hampir sama dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan
cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam kompartemen
intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular.
-Dehidrasi hipotonis (hiponatremik): terjadi ketika kehilangan= cairan
dengan kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan
hipertonis). Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih
banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum
rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke kompartemen
ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume
intravaskular.15
-Dehidrasi hipertonis (hipernatremik): terjadi ketika kehilangan=cairan
dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan
hipotonis). Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak
dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di
kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular,
sehingga meminimalkan penurunan volume intravaskular.
2. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat
iatrogenic (pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan
kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian cairan intravena glukosayang
menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi
renal (gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif.9,10
Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi kelebihan cairan
tetapi jumlah NaCl tetap atau berkurang.

3. Perubahan konsentrasi
a. Hiponatremia
Kadar natrium normal 135-145 mEq/L, bila kurang dari 135 mEq/ L,
sudah dapat dibilang hiponatremia. Jika < 120 mg/L maka akan timbul
gejala disorientasi, gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan
henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul
gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh
euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi
tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses, diuretika),
hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi dengan
restriksi cairan (Na+ ≥ 125 mg/L) atau NaCl 3% ssebanyak (140-
X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg. Koreksi
hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara
perlahanlahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif.
Untuk menghitung Na serum yang dibutuhkan dapat menggunakan
rumus :
Na= Na1 – Na0 x TBW
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual
TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)
b. Hipernatremia
Bila kadar natrium lebih dari 145 mEq/L disebut dengan hiperkalemia.
Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa
perubahan mental, letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat
disebabkan oleh kehilangan cairan (diare, muntah, diuresis, diabetes
insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium
berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5%
dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140.12
c. Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi
akut kalium dari cairan ekstraselular ke intraselular atau dari
pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejala
hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS
segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan
otot skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat
berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-
obatan), infuse potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild
hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40
mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia
berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang
hebat).Rumus untuk menghitung defisit kalium :
d. hebat).13 Rumus untuk menghitung defisit kalium :
K = K1 – K0 x 0,25 x BB
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)
e. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi
renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-
inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama
melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem
kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk
hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10
menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau
diuretik, hemodialisis.
4. Perubahan komposisi
 Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)
Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk
menurunkan ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut
merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk obstruksi
jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi
abdomen atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang
berlebihan. Manajemennya melibatkan koreksi yang adekuat dari
defek pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu.
Perhatian yang ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif
adalah sangat penting.
 Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)
Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan
ventilasi yang dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum
normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari penurunan PaCO2 yang
cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang mendasari
termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari
ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang terjadi.
 Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)
Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau
kehilangan bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal
ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis
laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan ventilasi dan
depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok, diabetik
ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang berlebihan dan keracunan
metanol. Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang
mendasari. Terapi bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan
asidosis berat dan hanya setelah kompensasi alkalosis respirasi
digunakan.
 Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)
Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan
bikarbonat dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum
terjadi pada pasien bedah adalah hipokloremik, hipokalemik akibat
defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah sodium
klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi
alkalosis harus gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran pH,
PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.
D. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pembedahan
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang
umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif,
intraoperatif dan postoperatif.
1. Faktor-faktor preoperative
a. Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk
oleh stres akibat operasi.
b. Prosedur diagnostic
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena
dapat menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal
karena efek diuresis osmotik.
c. Pemberian Obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi
air dan elektrolit
d. Prasepsi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan
elekrolit dari traktus gastrointestinal.
e. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada
f. Restriksi cairam preoperative
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat
kehilangan cairan sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat
jika pasien menderita demam atau adanya kehilangan abnormal cairan.
g. Defistit cairan yang telah ada sebelumnya
Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi.
2. Faktor-faktor intraoperative
a. Induksi anastesi
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia
preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia
dan vasokonstriksi.
b. Kehilangan darah yang abnormal
c. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya
kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi.
d. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka
operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)
3. Faktor-faktor postoperative
a. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi
b. Peningkatan katabolisme jaringan
c. Penurunan volume sirkulasi yang efektif
d. Risiko atau adanya ileus postoperative
E. Terapi Cairan
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam
batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid
(plasma ekspander) secara intervena. Terapi cairan berfungsi untuk mengganti
defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan
rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi, dan mengganti cairan
yang pindah ke rongga ke tiga.
\

1. Terapi cairan resusitasi


Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan
tubuh atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi
jaringan. Misalnya pada keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi
dapat dilakukan dengan pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat
(RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada
syok hemoragik bisa diberikan 2-3 L dalam 10 menit.
2. Terapi rumutan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi.
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan
elektrolit utama Na+ = 1-2 mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari.
Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat
pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan
pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insnsuble water losses.
F. Jenis-jenis Cairan dan indikasinya
Secara garis besar, cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid
dan koloid.
1. Cairan Kristaloid
Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida).
Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas
dalam ruang intravascular dengan waktu paruh kristaloid di intravascular
adalah 20-30 menit. Beberapa peneliti merekomendasikan untuk setiap 1 liter
darah, diberikan 3 liter kristaloid isotonik. Kristaloid murah, mudah dibuat,
dan tidak menimbulkan reaksi imun. Larutan kristaloid adalah larutan primer
yang digunakan untuk terapi intravena prehospital. Tonisitas kristaloid
menggambarkan konsentrasi elektrolit yang dilarutkan dalam air,
dibandingkan dengan yang dari plasma tubuh. Ada 3 jenis tonisitas kritaloid,
diantaranya :
a. Isotonis.
Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia memiliki
konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “isotonik” (iso, sama; tonik,
konsentrasi). Ketika memberikan kristaloid isotonis, tidak terjadi
perpindahan yang signifikan antara cairan di dalam intravascular dan sel.
Dengan demikian, hampir tidak ada atau minimal osmosis. Keuntungan
dari cairan kristaloid adalah murah, mudah didapat, mudah
penyimpanannya, bebas reaksi, dapat segera dipakai untuk mengatasi
defisit volume sirkulasi, menurunkan viskositas darah, dan dapat
digunakan sebagai fluid challenge test. Efek samping yang perlu
diperhatikan adalah terjadinya edema perifer dan edema paru pada jumlah
pemberian yang besar Contoh larutan kristaloid isotonis:Ringer Laktat,
Normal Saline (NaCl 0.9%), dan Dextrose 5% in ¼ NS.2,3
b. Hipertonis
Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih
terkonsentrasi dan disebut sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi, tonik,
konsentrasi). Administrasi dari kristaloid hipertonik menyebabkan cairan
tersebut akan menarik cairan dari sel ke ruang intravascular. Efek larutan
garam hipertonik lain adalah meningkatkan curah jantung bukan hanya
karena perbaikan preload, tetapi mengandung albumin (83%) juga
mengandung alfa globulin dan beta globulin. Selain albumin, aktivator
Prekallikrein (Hageman’s factor fragments) terdapat dalam fraksi protein
plasma dan sering menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
2. Koloid Sintetik
a. Dextran
Koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah yang
besar. Dextrans diproduksi untuk mengganti cairan karena peningkatan
berat molekulnya, sehingga memiliki durasi tindakan yang lebih lama di
dalam ruang intravaskular. Namun, obat ini jarang digunakan karena efek
samping terkait yang meliputi gagal ginjal sekunder akibat pengendapan
di dalam tubulus ginjal, gangguan fungsi platelet, koagulopati dan
gangguan pada cross-matching darah. Tersedia dalam bentuk Dextran 40
(Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000.
b. Hydroxylethyl Starch (Hetastarch)
Cairan koloid sintetik yang sering digunakan saat ini. Pemberian 500 ml
larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam
waktu 2 hari dan sisanya, yaitu starch yang bermolekul besar, sebesar 64%
dalam waktu 8 hari. Hetastarch nonantigenik dan jarang dilaporkan
adanya reaksi anafilaktoid. Low molecular weight Hydroxylethyl starch
(PentaStarch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma
hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam.
Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan
toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Pentastarch
dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan jumlah besar.
c. Gelatin
Merupakan bagian dari koloid sintesis yang terbuat dari gelatin, biasanya
berasal dari collagen bovine serta dapat memberikan reaksi. Larutan
gelatin adalah urea atau modifikasi succinylated cross-linked dari kolagen
sapi. Berat molekul gelatin relatif rendah, 30,35 kDa, jika dibandingkan
dengan koloid lain. Pengangkut berisi NaCl 110 mmol/l. Efek ekspansi
plasma segera dari gelatin adalah 80-100% dari volume yang dimasukkan
dibawah kondisi hemodilusi normovolemik. Efek ekspansi plasma akan
bertahan 1-2 jam. Tidak ada batasan dosis maksimum untuk gelatin.
Gelatin dapat memicu reaksi hipersensitivitas, lebih sering daripada
larutan HES. Meskipun produk mentahnya bersumer dari sapi, gelatin
dipercaya bebas dari resiko penyebaran infeksi. Kebanyakan gelatin
dieskskresi melalui ginjal, dan tidak ada akumulasi jaringan.
Berdasarkan penggunaannya, cairan infus dapat digolongkan menjadi empat
kelompok, yaitu:
1. Cairan Pemeliharaan
Terapi cairan intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu pada
penyediaan IV cairan dan elektrolit untuk pasien yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan mereka dengan rute enteral, namun sebaliknya baik
dalam hal keseimbangan cairan dan elektrolit dan penanganan (yaitu
mereka yang pada dasarnya euvolemik tanpa signifikan defisit elektrolit,
kerugian yang abnormal yang sedang berlangsung atau masalah
redistribusi internal yang kompleks). Tujuan saat memberikan cairan
perawatan rutin adalah untuk menyediakan cukup cairan dan elektrolit
untuk memenuhi insensible losses
(500-1000 ml), mempertahankan status normal tubuh kompartemen cairan
dan memungkinkan ekskresi ginjal dari produk-produk limbah (500-1500
ml.). Jenis cairan rumatan yang dapat digunakan adalah : NaCl 0,9%,
glukosa 5%, glukosa salin, ringer laktat/asetat, NaCl 0,9% hanya untuk
rumatan yang tinggi kandungan NaCl dari saluran cerna ataupun ginjal,
glukosa 5% atau glukosa salin.7,8Jumlah kehilangan air tubuh berbeda
sesuai dengan umur, yaitu
Dewasa 1,5-2 ml/kg/jam
Anak-anak 2-4 ml/kg/jam
Bayi 4-6 ml/kg/jam
Neonatus 3 ml/kg/jam
Kebutuhan cairan rumatan adalah 25-30 ml/kg/hari. Kebutuhan K, Na dan
Cl kurang lebih 1mmol/kg/hari. Kebutuhan glukosa 50-100 g/hari. Setelah
cairan pemeliharaan intravena diberikan, monitor dan lakukan penilaian
ulang pada pasien. Hentikan cairan intravena jika tidak ada indikasi yang
tepat. Cairan nasogastrium atau makanan enteral lebih dipilih untuk
kebutuhan pemeliharaan lebih dari 3 hari.
2. Cairan Pengganti
Banyak pasien yang membutuhkan cairan intravena memiliki kebutuhan
spesifik untuk menutupi penggantian dari deficit cairan atau kehilangan
cairan atau elektrolit serta permasalahan redistribusi cairan internal yang
sedang berlangsung, sehingga harus dihitung untuk pemilihan cairan
intravena yang optimal. Cairan dan elektrolit intravena pengganti
dibutuhkan untuk mengangani deficit yang ada atau kehilangan yang tidak
normal yang sedang berlangsung, biasanya dari saluran pencernaan
(contoh: ileostomy, fistula, drainase nasogastrium, dan drainase bedah)
atau saluran kencing (contoh: saat pemulihan dari gagal ginjal akut).
Secara umum, terapi cairan intravena untuk penggantian harus bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan ekstra dari cairan dan elektrolit seperti
kebutuhan pemeliharaan, sehingga homeostasis dapat kembali dan
terjaga.Lakukan penilaian cairan dan elektrolit pasien dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, monitor klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Cari
defisit, kehilangan yang sedang berlangsung, distribusi yang tidak normal
atau permasalahan kompleks lainnya. Periksa kehilangan yang sedang
berlangsung dan perkirakan jumlahnya dengan mengecek untuk muntah
dan kehilangan
NG tube, diare, kehilangan darah yang berlangsung. Periksa redistribusi
dan masalah kompleks lainnya dengan memeriksa pembengkakan, sepsis
berat, dan lainnya. Berikan tambahan cairan dari kebutuhan pemeliharaan
rutin, mengatur sumber-sumber cairan dan elektrolit yang lain. Monitor
dan periksa ulang pasien setelah meresepkan.
3. Cairan untuk Tujuan Khusus
Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya
natrium bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi khusus
terhadap gangguan keseimbangan elektrolit.
4. Cairan Nutrisi
Cairan nutrisi biasanya digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien
yang tidaak mau makan, tidak boleh makan dan tidak bisa makan peroral.
Jenis cairan nutrisi parenteral pada saat ini sudah dalam berbagai
komposisi baik untuk parenteral parsial atau total maupun untuk kasus
penyakit tertentu.
Adapun syarat pemberian nutrisi parenteral yaitu berupa:
a. Gangguan absorpsi makanan seperti pada fistula enterokunateus,
atresia intestinal, kolitis infektiosa, obstruksi usus halus.
b. Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pankreatitis
berat, status preoperatif dengan malnutrisi berat, angina intestinal,
stenosis arteri mesenterika, diare berulang.
c. Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan,
pseudo-obstruksi dan skleroderma.
d. Kondisi dimana jalur enteral tidak dimungkinkan seperti pada
gangguan makan, muntah terus menerus, gangguan hemodinamik,
hiperemesis gravidarum.
G. Jalur Pemberian Terapi Cairan
Secara umum telah disepakati bahwa pemberian terapi cairan dilakukan
melalui jalur vena, baik vena perifer maupun vena sentral melalui kanulasi
tertutup atau terbuka dengan seksi vena.
1. Kanulasi Vena Perifer
Syarat dari pemilihan kanulasi ini adalah vena di daerah ekstremitas atasm
berikutnya dilanjutkan pada vena bagian ekstremitas bawah. Hindari vena
di daerah kepala karena sangat tidak fiksasinya, sehingga mudah terjadu
hematom. Pada bayi baru lahir, vena umbilikalis bisa digunakan untuk
kanulasi terutama dalam keadaan darurat. Tujuan dilakukannya kanulasi
vena perifer ini adalah untuk:
a. Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Apabila lebih dari
tiga hari, harus pindah lokasi vena dan set infus harus diganti pula.
b. Terapi cairan pengganti dalam keadaan darurat, untuk menganti
kehilangan cairan tubuh atau perdarahan akut.
c. Terapi obat lain secara intravena yang diberikan secara kontinyu atau
berulang
2. Kanulasi Vena Sentral
Kanulasi dengan penggunaan jangka panjang, misalnya untuk nutrisi
parenteral total, kanulasi dikalukan melalui vena subklavikula atau vena
jugularis interna. Sedangkan untuk jangka pendek, dilakukan melalui vena-
vena di atas ekstremitas atas secara tertutup atau terbuka dengan vena
seksi.
Tujuan dari kanulasi vena sentral ini tersendiri adalah12,13:
a. Terapi cairan dan nutrisi pareterla jangka panjang. Terutama untuk
cairan nutrisi parenteral dengan osmolaritas yang tinggi untuk
mencegah iritasi pada vena.
b. Jalur pintas terapi cairan pada keadaan darurat, misalnya cardio
vascular, vena perifer sulit diidentifikasi
c. Untuk pemasanganan alat pemacu jantung

BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Tubuh mengandung 60 % air yang disebut juga cairan tubuh. Cairan tubuh
didalamnya terkandung nutrisi-nutrisi yang amat penting peranannya dalam
metabolisme sel, sehingga amat penting dalam menunjang kehidupan.
Dalam pembedahan, tubuh kekurangan cairan karena perdarahan selama
pembedahan ditambah lagi puasa sebelum dan sesudah operasi. Gangguan dalam
keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada pasien
bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, perioperatif dan
postoperative.
Terapi cairan parenteral digunakan untuk mempertahankan atau
mengembalikan volume dan komposisi normal cairan tubuh. Dalam terapi cairan
harus diperhatikan kebutuhannya sesuai usia dan keadaan pasien, serta cairan
infus itu sendiri. Jenis cairan yang bisa diberikan untuk terapi cairan adalah cairan
kristaloid dan cairan koloid.
 
 

DAFTAR PUSTAKA
Adelmen, R.D., Solhaug, M.J., 2000. Patofisiologi Cairan Tubuh dan Terapi Cairan.
In: Behrman, R.E., Kliegman, R.M., Arvin, Ann.M., Ilmu Kesehatan Anak
Nelson ed 15, jilid 2. Jakarta: EGC; 258-266
Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi
Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Hasan F. Terapi Cairan. 2008. Di unduh pada tanggal 28 November 28, 2021 dari
http://drfhasan.blogspot.com/2008/01/referat-terapi-cairan.html.
Latief AS, dkk. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan.
Ed.Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.

Anda mungkin juga menyukai