Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN PERITONITIS DI

RUANG INTENSIF RSD dr. SOEBANDI JEMBER

STASE GADAR KRITIS

oleh
Yeffri Dwi Fradika, S.Kep
NIM 202311101166

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021

i
DAFTAR ISI

COVER
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................1
BAB 1. KONSEP DASAR............................................................................2
1.1 Anatomi dan Fisiologi.......................................................................2
1.2 Definisi..............................................................................................3
1.3 Epidemiologi.....................................................................................4
1.4 Etiologi..............................................................................................5
1.5 Klasifikasi..........................................................................................6
1.6 Manifestasi Klinis.............................................................................7
1.7 Patofisiologi......................................................................................8
1.8 Pemeriksaan Penunjang...................................................................11
1.9 Penatalaksanaan..............................................................................12
BAB 2. CLINICAL PATHWAY...............................................................15
BAB 3. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN......................................16
3.1 Pengkajian........................................................................................16
3.2 Diagnosa Keperawatan....................................................................20
3.3 Intervensi Keperawatan...................................................................21
3.4 Implementasi Keperawatan.............................................................26
3.5 Evaluasi Keperawatan.....................................................................26
3.6 Discharge Planning..........................................................................26
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................27

1
BAB 1. KONSEP DASAR

1.1 Anatomi dan Fisiologi

Peritoneum berasal dari bahasa yunani yaitu “peri” yang berarti sekitar dan
tonos yang berarti peregangan yang ketika digabungkan keduanya memiliki
arti membentang di sekitar. Peritoneum adalah sebuah membran yang dilapisi
oleh selapis sel mesotelial, luasnya sebesar 1,7m² hampir sama dengan luas
total permukaan tubuh. Rongga peritoneal mengandung beberapa mililiter
cairan peritoneal yang steril dan berperan sebagai pertahanan lokal terhadap
bakteri. Lapisan peritoneum parietal dan visceral memiliki ruangan diantara
keduanya, ruangan tersebut disebut kantong piretoneum. Pada laki-laki
kantong peritoneum tertutup sedangkan pada perempuan kantong piretonium
terbuka yaitu pada saluran telur atau tuba fallopi yang membuka masuk ke
rongga peritoneum. Di dalam kantong tersebut memiliki banyak lipatan atau
kantong yang terdapat dalam peritoneum sebuah lipatan besar yaitu omentum.
Omentum dibagi menjadi dua yaitu omentum minus dan majus. Omentum
majus atau mayor kaya akan lemak bergantungan di sebelah depan lambung.
Omentum minus atau mayor berjalan dari porta hepatis setelah menyelaputi
hati ke bawah. Kolon juga terbungkus peritoneum ini, kedua omentum mayor
dan minor ini mesentrium usus halus dan meso kolon memmuat penyaluran
darah vaskuler dan limfe dari organ-organ yang diselimutinya (Simbiring
2018).

2
Peritotenum terdiri atas dua bagian utama yaitu:
1. Peritoneum Parietal
Peritoneum parietal adalah peritoneum yang melapisi bagian anterior,
lateral dan posterior dinding abdominal yaitu permukaan inferior
diafragma dan juga pelvis. Peritoneum parietal ini sensitif terhadap nyeri,
temperatur dan tekanan. Iritasi pada peretoneum parietal memberikan rasa
nyeri lokal
2. Peritoneum Visceral
Peritoneum visceral adalah peritoneum yang melapisi permukaan dari
organ intraperitoneal (lambung, jejunum, ileum, kolon transversum, hati
dan limpa). Peritoneum visceral ini sensitif terhadap regangan dan
sobekan, peritoneum visceral ini tidak memberikan rasa nyeri.
Fungsi peritoneum adalah menutupi sebaian besar organ-organ abdomen
dan pelvis, membentuk perbatasan halus yang memungkinkan organ saling
bergeseran tanpa ada penggasekan. Kelenjar limfe dan pembuluh darah ada di
dalam peritoneum, maka peritoneum ini berfungsi untuk melindungi terhadap
infeksi. Fungsi lain peritoneum adalah setengah bagiannya memiliki membran
basal semipermiabel yang berguna untuk difusi air, elektrolit, makro maupun
mikro sel. Oleh karena itu peritoneum digunakan sebagai media cuci darah
yaitu peritoneal dialisis (Pearcce, 2009).

1.2 Definisi

Peritonitis merupakan suatu proses inflamasi pada membran serosa yang


membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya dan
merupakan peyakit berbahaya dalam bentuk akut maupun kronis (Melly,

3
2016). Peritonitis biasanya disebabkan oleh infeksi dari organ abdomen,
perforasi saluran cerna, dan luka tembus abdomen. Peritonitis merupakan
suatu kegawatdaruratan abdomen yang biasanya ditandai dengan adanya
bakteri atau adanya sepsis yang terjadi karena masalah bedah dan non bedah.
Peritonitis akut biasanya sering dikaitkan dengan perfusi viskus (Hidayati dkk,
2018).
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput
organ perut atau peritoneum. Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang
membungkus organ dan dinding perut bagian dalam. Lokasi terjadinya
peritonitis bisa terlokalisir atau difuse yaitu pada lokasi tertentu di abdomen
atau bisa terjadi di semua area abdomen. Peritonitis bisa ditandai dengan
riwayat nyeri akut atau kronik dan lokasi nyeri pada pasien yang bisa
diakibatkan dari dalam atau luar abdomen. Semua umur bisa terkena penyakit
peritonitis baik anak-anak, remaja, wanita, dan laki-laki hingga lanjut usia.
Peritonitis terbanyak pada anak-anak biasanya adalah perforasi apendiks, pada
orang tua biasanya terjadi komplikasi divertikulitis atau perforasi ulkus
peptikum. Komplikasi peritonitis berupa gangguan pembekuan darah dan
sepsis yang dapat mengakibatkan syok pada penderitanya. Organisme yang
sering menginfeksi adalah organisme yang biasanya hidup di usus besar atau
kolon yaitu eschericia coli. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri
adalah keluarnya eksudat fibrosa dari peritoneum yang kemudian terbentuk
kantong-kantong nanah (abses) antara perlekatan fibrosa yang menempel.
Perlekatan biasanya menghilang apabila infeksi menghilang, tetapi bisa
menetap dan menjadi pita-pita fibrosa yang dapat menyebabkan terjadinya
obstruksi usus (Japanesa dkk, 2016).

1.3 Epidemiologi
Prevalensi kasus peritonitis di dunia masih sangat tinggi, peritonitis akut
terjadi pada 9,3 pasien per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit. Peritonitis
adalah kegawatdaruratan bedah yang paling sering terjadi di dunia. Peritonitis
banyak terjadi pada negara-negara dengan pendapatan menengah kebawah

4
seperti pada negara afrika sub-sahara dengan tingkat prevalensi 915 kematian.
Kasus baru ditemukan sebanyak 305 kasus yaitu kasus ulkus gastrointestinal,
perforasi apendisitis, dan perforasi ileum thypoid. Tingkat kematian setelah
dilakukan operasi peritonitis akut bervariasi antara (8,4%) dan (34%) yang
disebabkan oleh perforasi ileum thypoid sebanyak (34,7%), setelah operasi
peritonitis sebanyak (19,5%), perforasi ulkus peptikum sebanyak (15,2%),
perforasi apendisitis sebanyak (8,7%), dan perforasi kolon sigmoid sebanyak
(8,7%) (Touchie dkk, 2020).
Penelitian di India mendapatkan hasil selama 3 tahun terdapat 545 pasien
yang menderita peritonitis sekunder yang sedang menjalani pengobatan,
(48,44%) diakibatkan oleh perforasi gastroduenal, (36,1%) diakibatkan oleh
infeksi luka. Di dalam penelitian ini pasien yang menderita peritonitis
sekunder di dominasi oleh laki- laki yaitu sebanyak 461 pasien (84,58%)
dengan angka kematian (8,4%) (Sarathi gosh dkk, 2016). Peritonitis
tuberkolosis merupakan salah satu penyakit dengan prevalensi paling banyak
dengan angka kejasian 0,4-2% dari semua kasus tuberkolosis yang ada
terutama pada negara-negara maju. Di Indonesia khususnya Padang terdapat
144 kasus peritonisis tuberkolosis dalam satu tahun pada tahun 2013 yang
sedang menjalani rawat inap (Japanesa dkk, 2016).

1.4 Etiologi
Penyebab terjadinya peritonitis adalah bakteri, bakteri ini masuk ke rongga
peritoneum yang mengakibatkan terjadinya peradangan. Peritonitis ini juga
bisa disebabkan oleh kalainan di dalam abdomen berupa inflamasi seperti
perforasi apendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi thypoid abnominalis,
ileus obstruktif, dan perdarahan. Menurut (Hidayati, 2018) peritonitis
berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi dua yaitu disebabkan dari dalam
tubuh dan dari luar tubuh, yaitu:
a. Dari dalam tubuh
1) Infeksi Bakteri

5
Peritonitis yang disebabkan oleh infeksi yang menyebar dari saluran
pencernaan seperti adanya bakteri atau jamur seperti eschericia coli
dan stafilokokus

2) Apendisitis
Apendisitis yang meradang dan adanya perforasi yaitu bakteri masuk
ke peritoneum melalui lubang pada saluran pencernaan
3) Pankreatitis
Adanya peradangan pada pankreas yang mengakibatkan infeksi dan
dapat menyebabkan peritonitis apabila bakteri menyebar secara luas
4) Divertikulisis
Infeksi kantong kecil yang menonjol pada saluran pencernaan, hal
tersebut bisa mengakibatkan peritonitis apabila salah satu kantong
pecah ke dalam rongga abdomen
b. Dari luar tubuh
1) Pembedahan Medis
Infeksi dapat muncul dikarenakan lingkungan yang kotor, kurang
terjaganya kebersihan, peralatan yang terkontaminasi, komplikasi dari
operasi pencernaan, dan komplikasi kolonoskopi atau endoskopi
2) Trauma pada kecelakaan
Dapat menyebabkan peritonitis apabila bakteri atau bahan kimia dari
bagian organ tubuh lain memasuki peritoneum.

1.5 Klasifikasi
Menurut Wyers & Matthews (2016) Klasifikasi peritonitis menurut
penyebabnya dibagi menjadi 3 yaitu primer, sekunder, dan tersier:
1. Peritonitis Primer
Peritonitis primer merupakan infeksi pada peritoneum yang tidak
berhubungan dengan abnormalitas organ dan biasanya terjadi secara
spontan. Peritonitis primer bisa juga disebabkan karena penyebaran infeksi
melalui darah dan kelenjar getah bening di peritoneum. Peritonisis primer

6
biasanya sering dikaitkan dengan penyakit sirosis hepatis yang biasanya
dikenal dengan spontaneounus bacterial peritonitis (SBP). Pasien sirosis
hepatis yang mengalami asites biasanya akan rentan terhadap infeksi
bakteri, hal ini disebabkan karena mekanisme pertahanan tubuh yang tidak
adekuat. Peritonitis juga bisa disebakan karena penggunaan/pemasangan
kateter peritoneum dimana terdapat akses untuk masuknya benda asing ke
dalam rongga peritoneum yang bisa menyebabkan peritonitis
2. Peritonitis Sekunder
Peritonitis sekunder terjadi disebabkan karena adanya proses inflamasi
pada rongga perinoteum yang bisa disebabkan adanya inflamasi, perforasi,
dan gangren dari struktur intraabdominal. Contoh dari peritonitis sekunder
yang paling sering ditemui adalah perforasi apendisistis, ulkus peptikum,
divertikulisis, dan komplikasi pasca operasi merupakan beberapa
penyebab yang sering ditemui pada peritonitis sekunder. Penyebab lain
terjadinya peritonitis sekunder adalah bocornya darah kedalam rongga
peritoneal yang disebabkan robekan pada kehamilan di tuba fallopi dan
kista
3. Peritonitis Tersier
Peritonitis tersier yaitu peritonitis berulang dari rongga peritoneum setelah
dilakukannya terapi peritonitis sekunder. Peritonitis tersier biasanya timbul
setelah 48 jam pengobatan peritonitis sekunder. Peritonitis ini terjadi
ketika imunitas pasien tidak adekuat sehingga terjadi disfungsi pada organ
abdomen.

1.6 Manifestasi Klinis


Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat
dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat terjadu hanya pada satu
tempat ataupun tersebar di seluruh abdomen. Dan semakin hebat nyeri yang
dirasakan saat penderita/pasien bergerak. Gejala lainnya meliputi
(Warsinggih, 2017):

7
a. Terdapat distensi abdomen yang biasanya ditandai dengan penurunan
bising usus atau bising usus tidak terdengar sama sekali
b. Demam dan menggigil dengan temperatur lebih dari 380C, pada kondisi
sepsis berat dapat hipotermia
c. Mual dan muntah yang timbul akibat adanya kelainan patologis organ
visera atau akibat iritasi peritoneum
d. Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma
mengakibatkan kesulitan bernafas
e. Kehilangan selera makan (nafsu makan menurun)
f. Rigiditas abdomen atau sering disebut ‘perut papan’ terjadi akibat
kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi
terhadap penekanan pada dinding abdomen ataupun involunter sebagai
respon terhadap iritasi peritoneum
g. Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
h. Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
i. Tidak dapat BAB/buang angin
j. Buang air kecil (BAK) sedikit
k. Perasaan haus terus menerus.

1.7 Patofisiologi
Peritonitis disebabkan dari berbagai penyebab baik infeksius ataupun non-
infeksius yang menyebabkan terjadinya peradangan pada peritoneum viseral
dan parietal. Ketika ada inflamasi respon awal peritoneum terhadap infeksi
adalah adanya vasodilatasim edema pada jaringan, transudasi cairan, dan
masuknya makorofag dan leukosit sebagai tanda inflamasi. Reaksi awal
peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi
usus.

8
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya
interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh
mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh
ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi
hipovolemia.Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding
abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh
darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam
rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra
peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal
menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum
peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intra
abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan
penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum.
Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi,
syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. Sumbatan yang lama pada
usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan
mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha
untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu
obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat
bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya
pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis
atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran

9
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis (Sembiring
2018).
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari
makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid
plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum
pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2
minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri
perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena
toksemia. Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium
yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis
generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan
peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan
hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan
di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung,
empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi
bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu
menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam
yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bakteri. Pada apendisitis biasanya biasanya
disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid,
fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin
lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem,
diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding

10
apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai
organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul
sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat
kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya
paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas,
misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah
trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah
seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme
membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul
gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.

1.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada pasien peritonitis menurut Wyers & Matthews
(2016) adalah:
1. Pemeriksaan Laboratorium
Yaitu untuk mengtahui hasil leukosit dan hematrokit apakah ada
peningkatan atau tidak, apabila ada peningkatan leukosit lebih dari 11.000
sel/ml maka diduga peritonitis
2. Pemeriksaan X-Ray
Pemeriksaan X-ray dilakukan untuk mendapatkan foto abdomen dari 3
posisi yaitu posisi anteriorm, posterior, atau lateral. Pemeriksaan x-ray ini
bertujuan untuk mengetahui keadaan abdomen apakah ada abses atau tidak
di dalam rongga peretoneum
3. CT-Scan Abdomen
CT-Scan dilakukan untuk melihat tempat pastinya terjadi perforasi.
Pemeriksaan CT-Scan akan bisa mendeteksi adanya lesi. Walaupun
sensitivitasnya tinggi, CT-Scan tidak selalu diperlukan berkaitan dengan

11
biaya yang tinggi dan efek radiasinya. CT-Scan dapat memberi ketepatan
sampai 95%
4. USG
Pemeriksaan USG dapat menggambarkan adanya abses, dilatasi saluran
empedu, dan adanya penumpukan cairan
5. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
DPL dilakukan dengan cara memasukkan 1 liter saline normal ke dalam
peritoneal melalui keteter. Cairan keluar akan diperiksa jika mengandung
leukosit lebih dari 500 sel/ml dan kadar enzim amilase atau bilirubin
meningkat maka kemungkinan terjadi peritonitis sekunder
6. Laparoskopi
Pemeriksaan laparaskopi dilakukan untuk menentukan jenis perotonitis
dan penyebab penyakitnya, laparoskopi sangat akurat untuk melihat hasil
peritonitis pada pasien dan bisa diatasi menggunakan laparoskopi.

1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan peritonitis bisa dilakukan dalam dua hal yaitu pre operatif
dan pos operatif. Menurut Japanesa dkk (2016) penatalaksanaan peritonitis
adalah:
1. Penanganan Preoperatif
a) Resusitasi Cairan
Pengembalian volume cairan melalui intravaskular yang diperlukan
untuk menjaga produksi urin tetap baik dan menjaga keseimbangan
status hemodinamik tubuh. Cairan yang diberikan adalah cairan
larutan kristaloid dan koloid, cairan koloid lebih efektif untuk
mengatasi kehilangan cairan akan tetapi cairan koloid harganya lebih
mahal sehingga biasanya tenaga kesehatan medis menggunkan cairan
kristaloid dengan jumlah yang lebih besar
b) Antibiotik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk melawan kuman aerob atau
anaerob yang menginfeksi peritoneum. Terapi antibiotik ini biasanya

12
digunakan sebelum dan setelah pasien dilakukan pembedahan. Banyak
jenis antibiotik yang bisa digunakan secara tunggal atau bisa
dikombinasikan antara lain sefalosporin, betalaktam, metronidazol,
dan aminoglikosida
c) Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada peritonitis biasanya diberikan kepada pasien
peritonitis dengan hipoksemia. Oksigen perlu diberikan dikarenakan
ketika mengalami peritonitis biasanya terjadi peningkatan metabolisme
tubuh akibat adanya infeksi sehingga menimbulkan gangguan ventilasi
pada paru-paru
d) Pemasangan Kateter Urin dan Monitor Hemodinamik
Pemasangan keteter urin digunakan untik mengetahui fungsi dari
kandung kemih dan pengeluaran urin. Memonitor tanda tanda vital
setiap 4 jam sekali
2. Operatif (Pembedahan)
Terapi yang dilakukan untuk peritonitis adalah tindakan operasi atau
pembedahan. Operasi ini bertujuan untuk mengontrol sumber dari
kontaminasi peritoneum. Tindakan pembedahan ini berupa penutupan
perforasi usus dan reseksi usus. Beberapa tindakan pembedahan yang bisa
dilakukan untuk mengatasi peritonitis adalah:
a) Kontrol Sepsis
Tujuan pembedahan pada peritonitis adalah untuk menghilangkan
sepsis dan mencegah kompilkasi lebih lanjut. Kontrol sespis ini
dilakukan dengan insisi. Insisi merupakan teknik operasi yang terbaik,
insisi dilakukan dengan membuang jaringan yang terkontaminasi yang
sudah menjadi abses atau nekrosis
b) Peritoneal Drainage
Peritoneal drainage ini efektif digunakan pada peritonitis ditempat
yang terlokalisir dan melekat pada dinding yang biasanya gagal untuk
masuk ke rongga peritoneum. Pembedahan ini dilakukan dengan cara
mencuci atau mengirigasi semua rongga pertoneum untuk

13
mengeluarkan semua bakteri akan keluar setelah irigasi. Cairan yang
digunakan yaitu 3 liter cairan fisiologis saline atau ringer laktat untuk
membersihkan pus, feses, bahan nekrotik dan kemudian cairan tersebut
akan dibuang. Prosedur drainage ini dilakukan berulang sampai semua
rongga peritoneum bersih dari semua bakteri

c) Pembedahan Laparotomi
Laparotomi merupakan pilihan utama untuk menemukan infeksi
peritoneal dengan ditemukannya pus yang kemudian dilakukan piihan
antibiotik sebagai terapi
d) Pembedahan Laparoskopi
Laparoskopi ekftif untuk peritoitis dengan apendisitis akut, perofrasi
ulkus duodenum dan perforasi kolon
3. Penanganan Posoperatif
Monitor tanda-tanda vital secara intensif, pemberian cairan dan elektrolit,
dan bantuan ventilator pada klien yang tidak stabil untuk mencapai
stabilitas pembedahan hemodinamik dan perfusi organ-organ vital.
Antibiotik diberikan selama 10-14 hari bergantung pada keparahan
peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang
normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan
umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi
dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin,
nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder
(Doherty, 2006).
Komplikasi yang dapat terjadi pada perintonitis sekunder antara lain syok
septik, abses, dan perlengketan intraperitoneal. Sedangkan komplikasi
yang dapat terjadi pada perintonitis tersier yaitu perintonitis berulang dan
abses intraabdominal, bila terjadi perintonitis tersier ini sebaiknya kateter
dialysis dilepaskan (Melly, 2016).

14
BAB 2. CLINICAL PATHWAY
Iritan langsung (getah
Komplikasi dari organ Luka atau trauma Pembedahan medis yang
lambung/getah Devertikulosis
intrabdominal penetrasi tidak steril
empedu/getah pancreas)

Peningkatan
Komplikasi dari proses Pelepasan berbagai indicator
Kuman dari luar masuk permeabilitas kapiler Mengaktifkan neutrophil dan
inflamasi organ-organ kimiawi (histamine,
ke cavum peritonium dan membrane makrofag
intraabdominal bradikinin, dan serotonin)
mengalami kebocoran

Terjadi inflamasi pada Keluarnya Merangsang Pelepasan zat pirogen


peritonium Peumpukan cairan di endogen
eksudat fibrosa nosiseptor nyeri
rongga peritonium

Aktivitas peristaltic usus Membentuk Merangsang sel


Risiko Infeksi Nyeri Akut Peningkatan tekanan
menurun abses endotel hipotalamus
intraabdominal

Defisit Nutrisi
Ileus paralitik Terjadi perlekatan Penurunan ekspansi Memicu pengeluaran
pada fibrosa Menekan diafragma prostaglandin
paru
Terjadi Usus menjadi meregang
penurunan BB Meningkatkan set Memicu kerja
Pola Napas Sesak napas
Tidak Efektif (dyspnea) point suhu tubuh hipotalamus
Absropsi makan
Mual dan muntah
terganggu
Suhu tubuh
Hipertermia
meningkat

15
BAB 3. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
a. Identitas Pasien
Pada tahap ini meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama
atau kepercayaan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan tanggal
MRS (masuk rumah sakit)
b. Keluhan Utama
Pada pasien dengan perintonitis sering sekali mengeluh nyeri pada bagian
abdomen atau perut. Selain hal tersebut kaji lebih dalam atau tanyakan
pada klien kapan nyeri tersebut muncul, nyeri menyebar atau tidak,
bagaimana kualitas nyeri, serta apakah yang menyebabkan nyeri tersebut
muncul
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan dan kronologi klien datang ke pelayanan kesehatan. Klien dengan
perintonitis umunya mengalami nyeri pada bagian perut yang akan hilang
dengan sendirinya. Selain keluhan nyeri pada bagian perut klien dengan
perintonitis juga mengalami demam atau menggigil dengan suhu mencapai
380C, perut terasa kaku, mual dan muntah, kesulitan buang air besar
(BAB), kehilangan nafsu makan, terdapat nyeri tekan pada bagian
abdomen, serta perasaan haus terus menerus
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji atau tanyakan kepada klien terkait penyakit yang sebelumnya pernah
dialami, apakah ada penyakit yang berhubungan dengan kondisi yang saat
ini dialami oleh klien
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Kaji riwayat penyakit yang dialami oleh keluarga baik penyakit menular
atau penyakit tidak menular. Tanyakan kepada keluarga apakah ada
anggota keluarga yang mengalami penyakit yang saat ini dialami oleh
klien

16
f. Pengkajian Keperawatan
1. Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan
Persepsi tentang kesehatan dapat berubah disebabkan karena tindakan
medis dan perawat di rumah sakit, terkadang muncul persepsi yang
salah terhadap pemeliharaan kesehatan. Pola hidup sehat klien yang
menderita perintonitis harus ditingkatkan dalam menjaga kebersihan
diri, perawatan, dan tatalaksana hidup sehat
2. Pola Nutrisi/Metabolik (ABCD) (saat sebelum sakit dan saat di RS)
Status nutrisi klien dapat diketahui melalui pengukuran tinggi badan
dan berat badan, kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama
MRS juga harus ditanyakan, pasien dengan perintonitis akan
mengalami penurunan nafsu makan akibat dari rasa nyeri pada
abdomen dan penekanan pada struktur abdomen. Sehingga pasien
dengan perintonitis keadaan umumnya tampak lemah, membrane
mukosa pucat, dan turgor kulit tidak elastis
3. Pola Eliminasi (saat sebelum sakit dan saat di RS)
Pengkajian pola eliminasi sebelum dan sesudah MRS perlu ditanyakan
mengenai kebiasaan defekasi. Keadaan umum pasien yang lemah,
pasien lebih banyak bed rest sehingga dapat menimbulkan konstipasi,
selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan
penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus. Pada umumya klien
dengan perintonitis mengalami kesulitan buang air besar (BAB) dan
sedikit mengeluarkan urine
4. Pola Aktivitas dan Latihan (saat sebelum sakit dan saat di RS)
Akibat dari sesak nafas kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi,
sehingga pasien akan cepat mengalami kelelahan dalam melakukan
aktivitas. Selain itu aktivitas pasien dalam sehari-hari akan berkurang
akibat dari nyeri pada bagian abdomen yang dialami, dengan demikian
kebutuhan ADL pasien dibantu perawat atau keluarga

17
5. Pola Istirahat dan Tidur
Adanya nyeri pada abdomen, sesak napas, dan peningkatan suhu tubuh
akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur
klien
6. Pola Kognitif dan Perceptual
Kaji apakah klien mengetahui terkait hal-hal yang berhubungan
dengan penyakit atau prosedur yang akan dilakukan, dan kaji apakah
klien mengetahui tatalaksana yang harus dilakukan terkait prosedur
tersebut
7. Pola Konsep Diri
Kaji bagaimana klien memandang dirinya dalam kondisi sakit saat ini,
kaji apakah klien bisa menerima dan mudah adaptasi dengan penyakit
yang di derita saat ini
8. Pola Seksualitas dan Reproduksi
Kaji apakah klien mengalami gangguan seksualitas dan reproduksi
setelah keadaan sakit. Klien dengan perintonitis biasanya terdapat
ganggua dalam memenuhi hubungan intim
9. Pola Peran dan Hubungan
Kaji ada atau tidaknya dukungan untuk meningkatkan motivasi klien
dalam hal kesembuhan, kaji hubungan dengan pasangan, anak, cucu,
dan keluarga. Klien dengan perintonitis membutuhkan dukungan
penuh dari keluarga untuk proses penyembuhan penyakit yang dialami
10. Pola Mekanisme Koping
Kaji apakah ketika ada masalah klien selalu terbuka untuk
menceritakan masalah yang dialami, kaji apakah klien dapat
beradaptasi dengan lingkungan setelah mengetahui kondisi
penyakitnya
11. Sistem Nilai dan Keyakinan

18
Kaji apakah klien mengalami ganggun dalam keyakinan melakukan
ibdanhnya saat pada kondisi sakit.
g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Pasien tampak lemah, nyeri pada abdomen, dan demam dan menggigil
2) Pemeriksaan TTV
- TD (bisa hipotensi, berada dibawah 90/60 mmHg)
- RR (takipnea, lebih dari 24 x/menit)
- N (takikardi, lebih dari 100 x/menit)
- Suhu (hipertermia lebih dari 370C)
3) Pemeriksaan sistem respirasi
- Inspeksi pada pasien perintonitis tampak semetris, pergerakan
pernafasan menurun, dan pasien biasanya sesak nafas (dyspnea)
- Kaji apakah suara paru terdengar sonor atau tidak
- Auskultasi suara nafas (apakah terdapat suara napas tambahan atau
tidak)
4) Pemeriksaan sistem cardiovaskuler
- Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, pemeriksaan ini
bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung
- Perkusi dilakukan untuk menentukan batas jantung dimana daerah
jantung terdengar pekak, hal ini bertujuan untuk menentukan ada
tidaknya pembesaran jantung atau ventrikel kiri
- Auskultasi untuk menentukan adanya suara tambahan seperti
gallop dan murmur
5) Pemeriksaan sistem pencernaan
- Pada saat inspeksi perlu diperhatikan apakah abdomen membuncit
atau datar, selain itu ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa
- Pada saat palpasi juga perlu diperhatikan adakah nyeri tekan pada
abdomen, massa (tumor), turgor kulit abdomen, dan apkaah hepar
teraba atau tidak

19
- Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan
menimbulkan suara pekak
- Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltic usus, dimana nilai
normalnya 5-35 x/menit
6) Pemeriksaan sistem musculoskeletal
Dilakukan untuk mengetahui kekuatan otot pada daerah ekstremitas
7) Pemeriksaan sistem integument
Pada pasien dengan perintonitis biasanya tampak sianosis akibat
adanya kegagalan sistem transport oksigen. Pada saat dilakukan
palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin, hangat,
demam), tekstur kulit (halus, lunak, kasar), serta turgor kulit untuk
mengetahui derajat dehidrasi seseorang.

3.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada kasus perintonitis, yaitu:
1. Nyeri Akut (D.0077) b.d agen pencedera fisiologis (cedera pada organ
peritoneum) d.d mengeluh nyeri, tampak meringis, sulit tidur, frekuensi
nadi meningkat, bersikap protektif, gelisah, tekanan darah meningkat, pola
napas berubah, da nafsu makan berubah
2. Pola Nafas Tidak Efektif (D.0005) b.d hiperventilasi (penurunan ekspansi
paru) d.d dispnea, fase ekspansi memanjang, penggunaan otot-bantu
pernafasan, penurunan kapasitas vital, pernafasan cuping hidung, pola
nafas abnormal, dan takipnea
3. Hipertermia (D.0130) b.d proses penyakit (inflamasi) d.d suhu tubuh
diatas normal, kulit merah, takikardi, takipnea, dan kulit terasa hangat
4. Defisit Nutrisi (D.0019) b.d ketidakmampuan mengabsorpbsi nutrient d.d
kram atau nyeri abdomen, nafsu makan menurun, berat badan menurun
min 10% dibawah rentang ideal, bising usus hiperaktif, membran mukosa
pucat, dan otot menelan lemah
5. Risiko Infeksi (D.0142) dibuktikan dengan efek prosedur invasif.

20
3.3 Intervensi Keperawatan (Nursing Care Plan)
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi Keperawatan (SIKI)
(SDKI)
1 Nyeri Akut (D.0077) SLKI (L.08066) Manajemen Nyeri (I.08238)
Tingkat Nyeri Observasi
Tujuan: a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama kualitas, dan intensitas nyeri
3x24 jam diharapkan tingkat nyeri menurun b. Identifikasi skala nyeri
dengan
c. Identifikasi nyeri non verbal
Kriteria Hasil:
Tingkat Nyeri (L.08066) Terapeutik
a. Kemampuan menuntaskan aktivitas dari skala d. Berikan teknik non-farmakologis untuk mengurangi rasa
2 (cukup menurun) ke skala 5 (meningkat) nyeri (teknik relaksasi napas dalam)
b. Keluhan nyeri dari skala 2 (cukup meningkat) e. Fasilitasi istirahat dan tidur
ke skala 5 (menurun) Edukasi
f. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
c. Meringis dari skala 2 (cukup meningkat) ke
g. Jelaskan strategi meredakan nyeri
skala 5 (menurun)
h. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d. Gelisah dari skala 2 (cukup meningkat) ke
i. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
skala 5 (menurun)
j. Ajarkan teknik non-farmakologis untuk mengurangi
e. Sulit tidur dari skala 2 (cukup meningkat) ke
nyeri
skala 5 (menurun)
Kolaborasi
k. Kolaborasi pemberian analgetik, jika pelu
Terapi Relaksasi (I.09326)
Observasi
a. Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif

21
digunakan
b. Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah,
suhu sebelum dan sesudah melakukan terapi relaksasi
Terapeutik
c. Ciptakan lingkungan yang tenang dan tanpa gangguan
dengan pencahayaan dan suhu ruangan yang nyaman
Edukasi
d. Jelaskan tujuan, manfaat, dan jenis relaksasi yang akan
digunakan (terapi murrotal Al-Qur’an)
e. Jelaskan secara rinci terapai relaksasi yang dipilih
f. Anjurkan mengambil posisi yang nyaman
g. Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi
h. Anjurkan sering mengulangi terapi relaksasi yang dipilih
2 Pola Napas Tidak Efektif SLKI (L.01004) Manajemen Jalan Napas (I.01011)
(D.0005) Pola Napas Observasi
Tujuan: a. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
Setelah dilakuakan tindakan keperawatan selama b. Monitor bunyi napas tambahan
3x24 jam diharapkan pola napas membaik dengan Terapeutik
Kriteria Hasil: c. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-till dan
Pola Napas (L.01004)
chin-lift
a. Dyspnea dari skala 2 (cukup meningkat) ke
d. Posisikan semi-fowler atau fowler
skala 5 (menurun)
e. Berikan minuman hangat
b. Penggunaan otot bantu napas dari skala 2
f. Lakukan fisioterapi dada
(cukup meningkat) ke skala 5 (menurun)
g. Berikan oksigen, jika perlu
c. Frekuensi napas dari skala 2 (cukup
Edukasi
memburuk) ke skala 5 (membaik)

22
h. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari
i. Ajarkan batuk efektif
Kolaborasi
j. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, dan
mukolitik, jika perlu
3 Hipertermia (D.0131) SLKI (L.14134) Manajemen Hipertermia (I.15506)
Termoregulasi Observasi
Tujuan: a. Identifikasi penyebab hipertermia (mis dehidrasi)
Setelah dilakuakan tindakan keperawatan selama
b. Monitor suhu tubuh
3x24 jam diharapkan termoregulasi membaik
dengan c. Monitor kadar elektrolit
Kriteria Hasil: d. Monitor haluaran urine
Termoregulasi (L.14134) e. Monitor komplikasi akibat hipertermia
a. Menggigil dari skala 2 (cukup meningkat) ke Terapeutik
skala 5 (menurun) f. Sediakan lingkungan yang dingin
b. Suhu tubuh dari skala 2 (cukup memburuk) ke g. Longgarkan atau lepaskan pakaian
skala 5 (membaik) h. Berikan cairan oral
c. Suhu kulit dari skala 2 (cukup memburuk) ke i. Lakukan pendinginan eksternal (mis kompres dingin
skala 5 (membaik) pada dahi, leher, dada, abdomen, dan aksila)
d. Pucat dari skala 2 (cukup meningkat) ke skala Edukasi
5 (menurun) j. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
k. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
4 Defisit Nutrisi (D.0019) SLKI (L.03030) Manajemen Nutrisi (I.03119)
Status Nutrisi Observasi
Tujuan: a. Identifikasi status nutrisi

23
Setelah dilakuakan tindakan keperawatan selama b. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
3x24 jam diharapkan status nutrisi membaik c. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
dengan d. Monitor asupan makanan
Kriteria Hasil:
e. Monitor berat badan
Status Nutrisi (L.03030)
a. Nyeri abdomen dari skala 2 (cukup meningkat) f. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
ke skala 5 (menurun) Terapeutik
b. Berat badan dari skala 2 (cukup memburuk) ke g. Lakukan oral hygiene sebelum makan
skala 5 (membaik) h. Sajikan makanan yang menarik dan suhu yang sesuai
c. IMT dari skala 2 (cukup memburuk) ke skala 5 i. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
(membaik) j. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
d. Frekuensi makan dari skala 2 (cukup Edukasi
memburuk) ke skala 5 (membaik) k. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
e. Nafsu makan dari skala 2 (cukup memburuk) Kolaborasi
ke skala 5 (membaik) l. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
f. Bising usus dari skala 2 (cukup memburuk) ke kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan
skala 5 (membaik)
5 Risiko Infeksi (D.0142) SLKI (L.14137) Pencegahan Infeksi (I.14539)
Tingkat Infeksi Observasi
Tujuan: a. Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
Setelah dilakuakan tindakan keperawatan selama
Terapeutik
3x24 jam diharapkan tingkat infeksi menurun
dengan b. Batasi jumlah pengunjung
Kriteria Hasil: c. Berikan perawatan kulit pada area edema
Tingkat Infeksi (L.14137) d. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
a. Demam dari skala 2 (cukup meningkat) ke dan lingkungan pasien

24
skala 5 (menurun) e. Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi
b. Kemerahan dari skala 2 (cukup meningkat) ke Edukasi
skala 5 (menurun) f. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
c. Nyeri dari skala 2 (cukup meningkat) ke skala g. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
5 (menurun) h. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
d. Bengkak dari skala 2 (cukup meningkat) ke i. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
skala 5 (menurun) j. Anjurkan meningkatkan asupan cairan

25
3.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan suatu kegiatan yang direncanakan serta
dilaksanakan dengan serius juga mengacu pada norma-norma tertentu guna
mencapai suatu tujuan
3.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan penilaian dari keberhasilan atau tidaknya suatu tindakan
untuk mengatasi masalah yang dihadapi pasien. Pada tahap evaluasi juga dapat
melihat bagaimana perubahan dan respon yang dirasakan oleh pasien
3.6 Discharge Planning
Discharge Planning dapat mencegah terjadinya kekambuhan, meningkatkan
perkembangan kondisi kesehatan klien dan menurunkan beban perawatan
pada keluarga (Smeltzer & Bare, 2002). Discharge planning dilakukan
sebelum klien pulang ke rumah. Discharge planning pada klien dengan
peritonitis dapat berupa:
a. Menganjurkan klien dan keluarga untuk segera menghubungi petugas
kesehatan atau segera menuju ke pelayanan kesehatan apabila terjadi
tanda-tanda dan gejala infeksi.
b. Memberitahu klien dan keluarga tentang daftar nama obat, dosis, cara, dan
waktu pemberian obat. Menganjurkan klien dan keluarga untuk
mengamati respon terhadap pengobatan
c. Memberitahukan pada klen dan keluarga tentang penjadwalan
pemeriksaan lebih lanjut
d. Menganjurkan klien menjaga pola makan dengan tidak memakan makanan
cepat saji dan meningkatkan frekuensi pola makan
e. Menganjurkan klien untuk menjaga kebersihan diri agar kuman tidak
mudah masuk kedalam tubuh yang menyebabkan infeksi kembali
f. Menganjurkan klien menjaga pola tidur agar tidak kelelahan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Hidayati, Afif Nurul., Ikbar M. Ilham Adika., dan Rosyid Nur A. 2018. Gawat
Darurat Medis dan Bedah. Airlangga University Press: Surabaya
Japanesa, A., A. Zahari, dan S. Renita Rusjdi. 2016. Pola Kasus dan
Penatalaksanaan Peritonitis Akut di bangsal bedah RSUP dr. M. Djamil
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 5(1):209–214

Melly, M. M. 2016. Peritonitis Primer akibat dari Penggunaan Kateter Vena


Umbilikalis pada Neonatus sebuah Laporan Kasus. 4(1):64–75

Pearce Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta:


Gramedia
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Sembiring Octavia Azriana. 2018. Prevalensi Peritonitis pada Pasien Apendisitis


di RSUP Haji Adam Malik Periode 2017. Skripsi. Repository Institusi USU:
Universitas Sumatera Utara

Tochie, J. N., N. V. Agbor., T. T. Frank Leonel., A. Mbonda., D. Aji Abang, dan


C. Danwang. 2020. Global Epidemiology of Acute Generalised Peritonitis:
A Protocol for a systematic review and meta-analysis. BMJ Open. 10(1):1–4

Warsinggih. 2017. Peritonitis dan Illeus. Bahan Ajar DR Dr. Warsinggih, Sp. B-
KBD. 24
Wyers, S. G & Matthews. 2016. Surgical peritonitis and Other Disease of The
Peritoneum, Mesentry, Omentum and Diaphragm’in Slesenger and
Fordtran’s Gastrointentinal and Liver Disease. United Stase of Amerika
634-641

27

Anda mungkin juga menyukai