Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

PERITONITIS

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Program Internsip Dokter Indonesia

oleh:
dr. Wangi Kamtala Syafti

DPJP Kasus:
dr. Azdiana Fitri, Sp.B

Pendamping:
dr. Suciati Lestari

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PERIODE NOVEMBER 2023
RSUD MUARA LABUH SOLOK SELATAN

2023

1
KATA PENGANTAR

Puji dan ayukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
penyertaannya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Peritonitis” ini dengan baik. Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai
salah satu syarat untuk memenuhi syarat program Internsip Dokter Indonesia.

Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan
arahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada
dr.Azdiana Fitrir, Sp.B atas kesediaan beliau meluangkan waktu untuk membimbing,
dan memberikan masukan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus ini dengan sebaik-baiknya.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih belum sempurna, baik dari
segi materi maupun tata cara penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca demi perbaikan laporan kasus ini di
kemudian hari. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan memberikan
sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan.

Solok Selatan, Desember 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR..........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ i

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1 Latar Belakang....................................................................................1

1.2 Tujuan................................................................................................. 1

1.3 Manfaat............................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 3

2.1 Anatomi dan Fisiologi Peritoneum....................................................3

2.2 Peritonitis........................................................................................... 3

2.2.1 Definisi....................................................................................3

2.2.2 Klasifikasi................................................................................4

2.2.3 Patofisiologi..............................................................................5

2.2.4 Manifestasi Klinis.....................................................................8

2.2.5 Penegakan Diagnosis................................................................8

2.2.6 Tatalaksana.............................................................................. 10

2.2.7 Komplikasi...............................................................................13

BAB III STATUS ORANG SAKIT.................................................................. 15

BAB IV KESIMPULAN.................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 19

3
4
BAB I
PENDAHULUA
N
1.1 Latar Belakang

Peritonitis merupakan salah satu penyebab tersering dari akut abdomen. Akut abdomen
adalah suatu kegawatan abdomen yang dapat terjadi karena masalah bedah dan non-bedah.
Peritonitis atau peradangan pada lapisan peritoneum abdomen dapat terjadi akibat proses dari
luar maupun dalam abdomen. Secara klinis, seseorang yang mengalami peritonitis memiliki
keluhan nyeri abdomen dan pada pemeriksaan umumnya dijumpai kekakuan abdomen2.

Spektrum klinis peritonitis dapat diklasifikasikan menurut pathogenesis, sebagai peritonitis


primer, sekunder, atau tersier. Pada peritonitis primer, sumber infeksi berasal dari luar abdomen
dan menginfeksi rongga peritoneum melalui hematogen, limfatik, atau penyebaran transmural.
Peritonitis sekunder muncul dari rongga/ kavitas abdomen itu sendiri, umumnya melalui
pecahnya viskus intraabdominal atau abses di dalam organ. Peritonitis tersier mengacu pada
penyakit difus berulang dan dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk daripada peritonitis
sekunder2.

Di lapangan, selain abses intra-abdominal, peritonitis cukup banyak ditakuti karena berisiko
tinggi terjadinya syok septik dan kegagalan organ. Peritonitis yang tidak ditangani dengan tepat
dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi yang mengancam nyawa, misalnya
trombosis vena mesenterika, respiratory distress syndrome, kegagalan multi- organ hingga
kematian. Prognosis terhadap peritonitis umumnya bergantung pada penyebab infeksi, penyakit
komorbid, dan respon oleh pasien terhadap proses inflamatorik. Adapun dengan adanya
penanganan modern saat ini, mortality rate pada kasus peritonitis mencapai hingga 10% 11.

1.2 Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami tentang anatomi, definisi, epidemiologi,
etiologi, patogenesis, diagnosis dan manifestasi klinis, penatalaksanaan, komplikasi, serta
prognosis perforasi
1.3 Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode penulisan tinjauan pustaka yang merujuk pada
berbagai literatur.

4
5
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI PERITONEUM

Peritoneum adalah membran serosa yang melapisi rongga perut, yang terdiri dari sel-sel
mesotelial yang didukung oleh lapisan tipis jaringan fibrosa. Secara embriologis, peritoneum
berasal dari mesoderm. Peritoneum berfungsi untuk mendukung organ-organ perut dan
berfungsi sebagai tempat untuk lewatnya saraf, pembuluh darah, dan limfatik. Meskipun tipis,
peritoneum terdiri dari 2 lapisan dengan ruang potensial di antara mereka. Ruang potensial
antara 2 lapisan mengandung sekitar 50 hingga 100 ml cairan serosa yang mencegah gesekan
saat viscera abdomen bergerak satu terhadap yang lain. Lapisan luar adalah peritoneum parietal,
yang menempel pada dinding perut dan panggul. Lapisan visceral dalam membungkus di sekitar
organ internal yang terletak di dalam ruang intraperitoneal1.

Rongga peritoneum berisi omentum, ligamen, dan mesenterium. Organ intraperitoneal


meliputi lambung, limpa, hati, bagian duodenum pertama dan keempat, jejunum, ileum, kolon
transversum, dan kolon sigmoid. Organ retroperitoneal terletak di belakang selubung posterior
peritoneum, termasuk aorta, kerongkongan, bagian duodenum kedua dan ketiga, kolon asendens
dan descending, pankreas, ginjal, ureter, dan kelenjar adrenal. “The greater omentum”
menggantung dari curvatura mayor gaster dan melekat pada usus transversum, yang bertindak
sebagai lapisan pelindung atau isolasi. Mesenterium berfungsi sebagai tempat melekatnya organ
perut ke dinding perut dan mengandung banyak pembuluh darah, saraf, dan limfatik. Organ
intraperitoneal biasanya bergerak sementara organ retroperitoneum biasanya melekat pada
dinding perut posterior 1.

2.2 PERITONITIS

2.2.1 Definisi

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi aseptik pada
selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus
organ perut dan dinding perut bagian dalam. Peritonitis juga menjadi salah satu penyebab
tersering dari akut abdomen2.

2.2.2 Klasifikasi

a. Peritonitis Primer

5
6
Peritonitis primer, sering juga dikenal sebagai spontaneous bacterial peritonitis,
umumnya tidak berhubungan langsung dengan abnormalitas atau gangguan
intraabdomen. Jenis peritonitis ini kebanyakan terjadi pada orang dewasa dengan sirosis
hepatis, pasien dengan penyakit kolagen vaskular, ataupun anak-anak dengan
glomerulonpati tertentu, dan hampir selalu monomikrobial. Patogen penyebab yang khas
biasanya adalah basil gram negatif enterik seperti E. coli atau Klebsiella spp 3.

b. Peritonitis Sekunder

Peritonitis sekunder, disebut juga surgical peritonitis, merupakan jenis peritonitis


yang paling sering terjadi. Peritonitis sekunder disebabkan oleh infeksi pada peritoneum
yang berasal dari traktus gastrointestinal, ataupun biasanya berhubungan dengan
abnormalitas atau gangguan intraabdomen2. Peritonitis sekunder terjadi akibat adanya
proses inflamasi pada rongga peritoneal yang dapat disebabkan oleh inflamasi, perforasi,
ataupun gangren dari struktur intraabdomen dan retroperitoneal. Perforasi akibat ulkus
peptikum, apendisitis, diverticulitis, kolesistitis akut, pankreatitis dan komplikasi pasca
operasi merupakan beberapa penyebab tersering dari peritonitis sekunder. Penyebab non-
bakterial lainnya termasuk bocornya darah ke dalam rongga peritoneal akibat robekan
pada kehamilan di tuba fallopi, kista ovarian, atau aneurisma3.

Pada analisis mikrobiologis dari cairan peritoneum purulen pasien dengan


peritonitis sekunder umumnya dijumpai B. fragilis dan E. coli. B. fragilis merupakan
anaerob obligat yang paling sering diisolasi, sementara E. coli merupakan organisme
fakultatif yang paling sering diisolasi. Sementara, Enterococcus spp., Candida spp.,
Clostridium spp., dan Pseudomonas aeruginosa jarang dijumpai pada hasil isolasi4.

c. Peritonitis Tersier

Peritonitis tersier dapat dijelaskan sebagai tahap lanjutan dari peritonitis, ketika
gejala klinis peritonitis dan tanda-tanda sistemik sepsis menetap bahkan setelah mendapat
pengobatan untuk peritonitis primer atau sekunder5 . Peritonitis tersier seringterjadi
pada pasien immunocompromised dan orang-orang dengan kondisi komorbid 6.Organisme
penyebab biasanya mencakup satu atau lebih jenis Staphylococci spp. (sering MRSA) dan
Enterococcus spp., Candida spp., atau Pseudomonas spp. Adapun peritonitis tersier
umumnya berprognosis buruk dengan persentase kematian 30 sampai 64%7.

Berdasarkan luas infeksinya peritonitis dapat dibagi menjadi peritonitis lokalisata


dan peritonitis generalisata. Peritonitis sekunder generalisata adalah salah satu

6
7
8
kegawatdaruratan bedah yang paling umum .

2.2.3 Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus9.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami


kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapatmenimbulkan
kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak
organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah
jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia9.

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem.


Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebutmeninggi.
Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh
organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal
menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan
yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih
lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan
menimbulkan penurunan perfusi9.

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus9.

7
8

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha
untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang
tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan
berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena
penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis9.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.
Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya
terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala,
batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan
umum yang merosot karena toksemia9.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung
dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi
ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama
dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan
atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut
pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia,
adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam garam
yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi
peritonitis bakterial9.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama
mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya
mengakibatkan peritonitis baik lokalisata maupun generalisata9.
8
9
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat
mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra
peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,
mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia
onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya
didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi
gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi
gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam
timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum9.

2.2.4 Manifestasi Klinis

Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-tanda
rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular,
dan pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus
menurun hingga menghilang akibat usus mengalami kelumpuhan sementara. Apabila telah
terjadi peritonitis bakterial, temperatur tubuh pasien akan meningkat dan terjadi takikardia,
hipotensi serta penderita tampak letargik dan syok. Selain itu, dapat dijumpai nyeri subjektif
berupa nyeri ketika pasien bergerak seperti berjalan, batuk, atau mengejan; dan nyeri objektif
berupa nyeri ketika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lain10.

2.2.5 Penegakan Diagnosis

Anamnesis yang jelas, evaluasi cairan peritoneal, dan tes diagnostik tambahan sangat
diperlukan untuk membuat suatu diagnosis peritonitis yang tepat sehingga pasien dapat diterapi
dengan benar.

a. Anamnesis

Anamnesis dapat dilakukan dengan menanyakan adanya nyeri abdomen yang dapat
bersifat akut atau terjadi tiba-tiba dan beberapa gejala yang dapat dijumpai pada peritonitis
seperti demam, anoreksia, nausea, dan lain-lain.

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi, pernapasan,
suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen. Gejala
dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan.
Pada saat melakukan inspeksi, pemeriksa mengamati ada tidaknya jaringan parut bekas

9
10
operasi

menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran usus


atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan
4.
ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended
Bagian anterior dari peritoneum parietal adalah yang paling sensitif. Palpasi harus
selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini
berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri.
Nyeri tekan dan rigiditas muskular menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai
peritoneum parietale (nyeri somatik). Rigiditas yang murni adalah proses refleks otot
akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap
rangsangan tekanan. Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya
udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan
pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan
menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas tadi4.
Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus.
Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama sekali,
hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut
lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik). Sementara pada peritonitis lokal, bising usus
dapat terdengar normal. Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus
dilakukan pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan
diagnosis4.

c. Pemeriksaan Penunjang

Kegunaan utama pencitraan pada pasien dengan dugaan peritonitis adalah untuk
membantu menentukan penyebab primer atau sekunder dan perlunya laparotomi yang
mendesak. Pemeriksaan pencitraan yang dapat dilakukan untuk membantu penegakan
diagnosis peritonitis adalah dengan radiologis (X-Ray), USG, dan CT Scan11..
Pemeriksaan foto polos abdomen dapat dilakukan dengan posisi supine, upright,
dan left lateral decubitus. Radiografi abdomen polos dapat menunjukkan bukti ileus
paralitik,dan udara bebas di bawah diafragma pada pandangan tegak menegaskan adanya
viskus perforasi. CT scan lebih sensitif, 70 hingga 100%, daripada radiografi polos untuk
mendeteksi udara bebas dan juga dapat menunjukkan penyebab yang mendasarinya. Pada
pasien muda, radang usus buntu dan ulkus duodenum berlubang adalah penyebab umum.
Pada pasien yang lebih tua, divertikula perforasi dan kanker ebih sering terjadi. Pada

10
11
wanita muda, kehamilan tuba dan abses tubo-ovarium yang pecah harus
dipertimbangkan12

Dalam banyak kasus, riwayat medis pasien, hasil pemeriksaan klinis, temuan laboratrium,
dan hasil radiografi polos abdomen atau dada cukup untuk menunjukkan perlunya
pembedahan segera, dan pemeriksaan ultrasonografi tidak diindikasikan dalam pasien-
pasien ini. Namun, dalam kasus lain, ketika diagnosis klinis tidak pasti dan pengobatan
tidak jelas, ultrasonografi dapat mengidentifikasi penyebab yang tepat yang mendasari
nyeri perut akut yang memerlukan pembedahan. Temuan ultrasonografi yang paling
umum adalah ascites, dilatasi loop usus kecil dengan ketebalan dinding,
pneumoperitoneum, ketebalan antrum atau dinding duodeal, apendisitis perforata dengan
akumulasi eksudat perifokal, dan pembentukan abses12
Pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai leukositosis dengan pergeseran ke kiri
pada hitung jenis (shift to the left). Hiperkapnia dijumpai sebagai akibat dari
hiperventilasi. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein
(lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan
kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma
tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan
didapat11.

2.2.6 Tatalaksana

Pada sebagian besar kasus peritonitis, terutama peritonitis sekunder, resusitasi cairan dan
terapi antibiotik diikuti dengan intervensi bedah seperti laparotomi atau laparoskopi yang
mendesak (urgent) merupakan tatalaksana utama3.

a. Resusitasi Cairan

Resusitasi cairan dilakukan secara agresif untuk menangani penurunan volume


intravaskuler sekunder akibat perpindahan cairan keluar dari ruang vaskular. Resusitasi
cairan (bolus mL/kg) disertai oleh pemantauan parameter fisiologis secara berkala,
termasuk tekanan darah, denyut jantung, tekanan vena sentral (central venous pressure/
CVP), saturasi oksigen vena campuran, dan keluaran urin (urine output). Hematokrit,
leukosit, elektrolit, glukosa, kreatinin, dan gas darah juga perlu dipantau. Hipovolemia,
hipotensi, asidosis metabolik, hipoksia, dan hemokonsentrasi akibat hilangnya plasma ke
dalam rongga peritoneum dapat terjadi pada kondisi ini. Terapi vasopresor harus dimulai
hanya setelah resusitasi volume yang memadai gagal untuk memperbaiki hipotensi dan

11
12
3.
hipoperfusi

b. Terapi Antibiotik

Peritonitis primer ditatalaksana menggunakan antibiotik yang ditujukan pada


patogen infeksi, tanpa adanya intervensi bedah. Peritonitis primer biasanya bersifat
monomikroba. Adanya berbagai bakteri campuran pada pemeriksaan cairan asites pasien
suspek peritonitis mengarahkan pada dilakukannya tindakan laparotomi untuk
melokalisasi perforasi yang merupakan kemungkinan sumber infeksi intraabdominal.
Terapi antibiotik dengan cakupan spektrum luas, seperti Cefotaxime, harus dimulai
segera, dengan perubahan selanjutnya tergantung pada pengujian sensitivitas. Terapi
umumnya dilanjutkan selama 10-14 hari7.

Pada pasien asites dugaan peritonitis dengan kultur negatif (culture-negative


neurocytic ascites) – yang merupakan varian dari peritonitis primer dengan hitung
leukosit >500/mm3 cairan asites, hasil kultur negatif, tidak ditemukannya sumber infeksi
intraabdomen, dan tidak ada riwayat terapi antibiotik – maka diterapi sesuai dengan
peritonitis primer7.

Pada peritonitis sekunder, terapi antibiotik diberikan sebelum, selama, dan setelah
intervensi bedah. Jenis bakteri yang menyebabkan peritonitis sekunder bergantung pada
flora normal di saluran gastrointestinal, yang pada keadaan ini merupakan sumber infeksi
maupun sepsis. Adapun pedoman terbaru untuk pengelolaan infeksi intraabdominal yang
rumit (complicated intra-abdominal infections) merekomendasikan terapi antimikroba
yang lebih luas untuk infeksi yang didapat di rumah sakit (hospital-acquired infections)
daripada infeksi yang didapat dari masyarakat (community-acquired infections). Pada
peritonitis yang community- acquired, umumnya ditemukan basil Gram negatif yang
rentan, bakteri anaerob, dan Enterococci.

Sementara itu pada peritonitis yang hospital-acquired, flora normal kemungkinan


telah mengalami perubahan akibat paparan antibiotik sebelumnya dan juga penyakit
sebelumnya, sehingga umumnya ditemukan lebih banyak organisme yang resisten
antibiotik. Secara umum, terapi antibiotik yang diberikan ditujukan pada patogen yang
kemungkinan besar menginfeksi pasien3.Kegagalan terapi pada peritonitis sekunder
setelah pemberian antibiotik yang tepat atau terjadinya peritonitis kembali (rekurensi)
dapat digolongkan dalam peritonitis tersier. Infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien
setelah perawatan jangka panjang/ lama di rumah sakit berisiko infeksi oleh
Pseudomonas yang multiresisten, Enterobacter, Enterococcus, Staphylococcus, dan
12
13
Candida spp.. Terjadinya multiple organ dysfunction syndrome (MODS) setelah operasi
awal mendorong pencarian kontrol sumber infeksi yang tidak adekuat dan abses, yang
melibatkan pemeriksaan CT ulang, drainase abses perkutan ataupun operatif, serta kultur
pengumpulan cairan persisten, sebagai tambahan di luar terapi antibiotik 3.

c. Intervensi Bedah

Kebocoran isi usus (leakage of gut contents) maupun abses yang besar tidak dapat
disterilkan hanya dengan terapi antibiotik tanpa adanya drainase. Intervensi bedah untuk
pengendalian sumber peritonitis harus segera dilakukan setelah pasien diresusitasi cairan,
stabil secara hemodinamik dan antiobiotik telah diberikan. Laparotomi merupakan gold
standard untuk diagnosis pasti dan juga terapi andalan dalam peritonitis sekunder
(surgical). Adapun literatur terbaru menegaskan peningkatan jumlah prosedur laparoskopi
yang berhasil pada beberapa kasus peritonitis. Baik laparoskopi maupun laparotomi,
tujuan dilakukannya intervensi bedah adalah untuk mengendalikan sumber, dekontaminasi
peritoneum, dan pencegahan infeksi berulang3.

Pada beberapa kasus juga dapat dilakukan tindakan bedah re-eksplorasi. Adapun beberapa
indikasi dilakukan re-eksplorasi adalah sebagai berikut :
1) kontrol lemah terhadap sumber infeksi;

2) penilaian ulang viabilitas usus;

3) drainase yang tidak memadai atau buruk;

4) ketidakstabilan hemodinamik;

5) nekrosis pankreas yang terinfeksi atau peritonitis fekal difus pada operasi awal;

6) penilaian ulang anastomosis yang lemah atau renggang; dan

7) perkembangan hipertensi intraabdomen (sindrom kompartemen abdominal). Sindrom


kompartemen abdominal terjadi ketika penutupan abdomen, baik pada tingkat fasia
atau kulit, menyebabkan peningkatan tekanan intraabdominal hingga menganggu
fungsi pernapasan, hati, dan ginjal.

2.2.7 Komplikasi

Peritonitis yang disebabkan oleh infeksi memiliki beberapa komplikasi yang dapat
mengancam jiwa. Beberapa di antaranya adalah mesenteric vein thrombosis, adult respiratory
distress syndrome (ARDS), kegagalan organ multipel, hingga kematian. Komplikasi-komplikasi
13
14
yang berat umumnya berkaitan dengan peritonitis sekunder. Beberapa komplikasi lainnya
termasuk prolonged ileus, abses intraabdominal, fistula enterik, dan adhesi inflamatorik11.

Prognosis terhadap peritonitis umumnya bergantung pada penyebab infeksi, penyakit


komorbid, dan respon oleh pasien terhadap proses inflamatorik. Dengan adanya penanganan
modern saat ini, mortality rate pada kasus peritonitis mencapai hingga 10%. Secara umum
komplikasi pada peritonitis terbagi dua, yaitu komplikasi lokal dan komplikasi sistemik 11.

Tabel 2.1 Komplikasi Peritonitis13

Komplikasi Lokal Komplikasi Sistemik


Ileus paralitik Syok septik
Residual atau Recurrent abcess atau Systemic inflammatory response

Inflammatory mass syndrome


Portal pyremia/ Liver abscess Multi-organ dysfunction syndrome
Adhesional small bowel obstruction Kematian

Peritonitis rekuren atau peritonitis tersier merupakan istilah yang digunakan pada kondisi
yang terjadi setelah terapi peritonitis sekunder yang berlangsung lama. Pasien dengan kondisi
ini tetap mengalami gejala meskipun telah menerima terapi antibiotik yang sesuai dan cairan
peritoneum menunjukkan inflamasi yang persisten. Kegagalan organ multipel dan outcome yang
buruk sering kali diasosiasikan dengan peritonitis tersier. Mekanisme yang menyebabkan
terjadinya inflamasi peritoneum secara terus – menerus, belum diketahui dengan baik. Beberapa
peneliti mengajukan kemungkinan adanya disfungsi regulasi imun dan pemberian nutrisi yang
tidak adekuat sebagai faktor yang berkontribusi14.

Pembentukan fistula enterokutaneus merupakan salah satu komplikasi yang ditakutkan


pada inflamasi peritoneum dan bowel injury. Lebih dari 80% fistula yang terbentuk terjadi pada
saat post operatif. Fistula yang terjadi secara primer dari infeksi biasanya jarang terjadi. Adanya
fistula dapat menjadi sumber infeksi yang tidak terdeteksi untuk sepsis. Fistula dapat menjadi
tempat terjadinya abses pada sepanjang kanal fistula atau terbentuk secara interal dan
menghubungkan dua struktur intraabdomen6.

14
15

BAB III
STATUS ORANG
SAKIT
3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn P
RM : 00818722
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 17 tahun
Alamat : Koto baru
Pekerjaan : Pelajar

3.2 AUTOANAMNESIS

Keluhan utama: Nyeri seluruh bagian perut sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang

 Awalnya pasien sering merasakan nyeri pada perut kanan bawah yang hilang timbul sejak
2 bulan yang lalu,namun diabaikan saja. Saat ini nyeri dirasakan di seluruh perut yang
diawali dengan nyeri di ulu hati. Nyeri dirasakan semakin berat dan terus-menerus.
 Mual disertai muntah frekuensi lebih dari 4 kali, muntah berisi apa yang dimakan.
 Demam ada terus menerus sejak 1 hari SMRS. Demam tidak tinggi dan tidak menggigil
 Buang air besar biasa
 Buang air kecil jumlah dan warna biasa
 nafsu makan menurun tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu: tidak ada menderita keluhan serupa sebelumnya


Riwayat penyakit keluarga : tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang
sama
Riwayat pengobatan: tidak ada
15
16
3.3 PEMERIKSAAN
FISIK

STATUS GENERALISATA

Kesadaran : Compos Mentis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Tekanan Darah : 110/80

HR : 78 x/menit

RR : 21 x/menit

Temperatur : 38oC

Kepala

Wajah : dalam batas normal

Mata : konjungtiva palpebra anemis (-/-), mata cekung (-/-),sklera ikterik


(-/-) Telinga, hidung, mulut : dalam batas normal
Thorax

 Paru

Inspeksi : pergerakan dinding dada


simetris

Palpasi : fremitus kanan = kiri


Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, Rhoki (-/-)
wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak
tampak Palpasi: Iktus kordis
teraba i jari medial Linea Mid
Clavikula
Perkusi : Batas atas jantung ICS II LMCS

Batas kiri jantung ICS IV 1 cm LMCS


Batas kanan jantung ICS IV LPSD
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reg, gallop (-), murmur (-)
16
17
Abdomen

Inspeksi : Distensi (-), jaringan parut (-),

Palpasi : Defans muskular (+), nyeri tekan (+) seluruh lapangan abdomen
Perkusi : timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) menurun
Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 15.2 g/dL
Hematokrit : 47%
Trombosit : 341.000%
Leukosit : 16.900/ml
Gula darah Sewaktu: 114 gr/d
BT : 2.5
CT :3
HBsAG :Non Reaktif

Pemeriksaan radiologi: USG Abdomen Upper Lower


17
18

Kesimpulan
Kesan Appendisitis, adanya perforasi belum dapat disingkirkan
Saat ini Hepar/lien/pancreas/ginjal kanan kiri/buli/ prostat tak tampak kelainan
3.5 DIAGNOSIS
Peritonitis diffuse ec. apendisitis perforasi
3.6 DIAGNOSIS BANDING
Peritonitis diffuse ec. perforasi gaster
3.7 TERAPI AWAL

− Bed rest

− Puasakan pasien untuk operasi

− IVFD Ringer lactat

− Injeksi cefepim 2x1 gr IV

− Injeksi omeprazole 1x40mg IV

− Paracetamol 3x500mg PO

18
19
3.8 RENCANA

− Laparotomi

19
BAB IV
KESIMPULAN
Seorang pasien laki-laki berusia 17 tahun masuk IGD RSUD Muara Labuh pada tanggal 23
november 2023 dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut yang menetap sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan nyeri perut kanan bawah ini disertai dengan, mual. Kemungkinan
diagnosis yang bisa dipikirkan dari gejala pasien saat datang ke IGD tersebut antara lain penyakit
(akut abdomen) yang yang berhubungan dengan organ-organ di regio perut antara lain: Peritonitis,
Ileus obstruksi, Crohn’s disease, irritable bowel syndrome, dan lain-lain.
Dari anamnesis diketahui bahwa pasien tidak mengalami konstipasi dan tidak distensi pada
abdomen yang dapat menyingkirkan tidak adanya gejala dari ileus obstruksi. pasien tidak
mengalami diare, tidak ada BAB berdarah yang merupakan gejala tersering crohn’s disease.
irritable bowel syndrome juga dapat disingkirkan dengan tidak adanya perbaikan nyeri perut
setelah defekasi dan perubahan bentuk, frekuensi pada BAB. Dari hasil pemeriksaan fisik suhu
pasien 38oC dan dari pemeriksaan abdomen didapatkan defans muscular,nyeri seluruh lapang
abdomen, dan Bising usus menurun menunjukan bahwa pasien mengalami peritomitis. Dari Hasil
laboratorium ditemukan leukosit pasien 16.900/mm3.. Dari pemeriksaan penunjang Usg abdomen
didapatkan hasil kesan appendisitis dengan adanya perforasi. maka dapat disimpulkan peritonitis
disebabkan karena adanya appendisitis perforasi.
Pada pasien peritonitis, terapi utama yang direncanakan adalah laparotomy. Pada kasus
pasien ini sudah dilakukan dengan benar karena telah dilakukan laparotomy. Untuk persiapan
operasi, pasien diberikan antibiotik sprektum luas yaitu golongan Cephalosporin (cefepim),
antibiotika spektrum luas terutama terhadap gram negatif yang memang dikaitkan dengan infeksi
pada peritonitis terkait flora normal kolon. Penanganan peritonitis tetap mengacu pada antibiotik
yang lebih umum digunakan terlebih dahulu untuk mengurangi kejadian resistensi antibiotik.
Injeksi cefepime diberikan pre dan post operasi dengan dosis 2x1 gr IV. Terapi cairan pada pasien
ini dilakukan seperti biasa karena tidak ada tanda-tanda gangguan sirkulasi yaitu pemberian
Intravena Fluid Drip Ringer Laktat. Terapi cairan juga diberikan karena pasien akan menjalani
operasi segera sehingga untuk memperatahankan hemodinamika pasien serta sebagai akses untuk
memasukkan obat durante dan post operasi.

20
Dokumentasi : 2 minggu post laparotomi masih tampak adanya jahitan dikarenakan adanya tanda
infeksi pada luka bekas operasi dikarenakan kurangnya perawatan luka oleh pasien.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Kalra, A., Wehrle, C., & Tuma, F. 2020. Anatomy, Abdomen and Pelvis, Peritoneum.
2. Japanesa, A., Zahari, A., & Rusjdi, S. 2016. Pola Kasus dan Penatalaksanaan Peritonitis
Akut di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(1),
209-213.
3. Wyers, S., & Matthews, J. 2016. Surgical Peritonitis and Other Diseases of the
Peritoneum, Mesentery, Omentum, and Diaphragm. In M. Feldman, L. Friedman, L.
Brandt, M. Feldman, L. Friedman, & L. Brandt (Eds.), Sleisenger and Fordtran’s
Gastrointestinal and Liver Disease (10th ed., Vol. I, pp. 636-648). United States of
America (USA): Saunders.
4. Wagner, J., Chen, D., Barie, P., & Hiatt, J. 2017. Peritonitis and Intraabdominal
Infection.Textbook of Critical Care. (7th ed.). Philadelphia: Elsevier.
5. Levison, M., & Bush, L. 2015. Peritonitis and Intraperitoneal Abcesses. In J. Bennett, R.
Dolin, & M. Blaser (Eds.), Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of
Infectious Disease (8th ed., pp. 935-947). Philadelphia: Elsevier
6. Maqbool, A., Wen, J., & Liacouras, C. 2020. Peritonitis. In R. Kliegman, J. StGeme, N.
Blum,
7. S. Shah, R. Tasker, & K. Wilson, Nelson Textbook of Pediatrics (21st ed., pp. 2147-2148).
87.Doklestić, S., Bajec, D., Djukić, R., Bumbaširević, V. D., Detanac, S., Bracanović, M.,
et al. (2014). Secondary Peritonitis Evaluation of 204 Cases and Literature Review. J Med
Life, 7(2), 132-138.Philadelphia: Elsevier.
8. .Fauci, et al 2008. Harrison’s Principal Of Internal Medicine. United States of America:
The McGraw-Hill.
9. Doherty, G. 2006. Current Surgical Diagnosis & Treatment. United States of America
(USA): The McGraw-Hill.
10. Rangel, S., Townsend, S., Karki, M., & Moss, L. 2018. Peritonitis. In S. Long, C. Prober,
& M. Fischer (Eds.), Principles and Practice of Pediatric Infectious Disease (5th ed., pp.
423- 428). Philadelphia: Elsevier
11. Kuemmerle, J. 2020. Inflammatory and Anatomic Diseases of the Intestine, Peritoneum,
Mesentery, and Omentum. In L. Goldman, & A. I. Schafer (Eds.), Goldman-Cecil
Medicine (26th ed., pp. 908-916). United States of America (USA): Elsevier
12. Williams, S (2016). Balley and love’s short pratice of surgery. London: Taylor & Francis
Group.
13. Cherry, J., Demmler-Harrison, G., Kaplan, S., Steinbach, W., & Hotez, P. 2019. Feigin
and Cherry’s Textbook of Pediatric Infectious Disease (8th ed.). Philadelphia: Elsevier.
14. 13.Williams, N., O’Connel, P., & McCaskie, A. 2018. Bailey & Love’s Short Practice of
Surgery (27th ed.). London: Taylor & Francis Group.

22

Anda mungkin juga menyukai