Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

PERITONITIS

Pembimbing:
dr. Radian Tunjung Baroto, MSi. Med,SpB
Disusun oleh:
Ignatius Jasen Hutomo (406162118)

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah

RSUD K.R.M.T Wongsonegoro

Periode 5 Juni – 19 Agustus 2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : ignatius jasen hutomo


NIM : 406162118
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Tarumanagara
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bidang Pendidikan : Ilmu Bedah
Periode Kepaniteraan Klinik : 5 Juni Sampai 19 Agustus 2017
Judul Referat : Peritonitis
Diajukan : Agustus 2017
Pembimbing : dr. Radian Tunjung Baroto,Msi.Med, Sp.B

Telah Diperiksa Dan Disahkan Tanggal : …. Agustus 2017

Pembimbing

(dr. Radian Tunjung Baroto,Msi.Med, Sp.B)

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Peritonitis” sebagai salah satu syarat kelulusan dalam menempuh Kepaniteraan
Klinik Bagian Ilmu Bedah Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara di RSUD
Kota Semarang. Bagi pembaca, penulisan referat ini bertujuan untuk menambah
pengetahuan.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan
dan kerjasama yang telah diberikan selama penyusunan laporan kasus ini kepada:

 dr. Susi Herawati, M.kes selaku direktur RSUD Kota Semarang

 dr. Tanto Edy, Sp.OT selaku ketua SMF ilmu bedah RSUD Kota Semarang
dan pembimbing kepaniteraan klinik di bagian ilmu bedah

 dr. Radian Tunjung Baroto, Msi.Med, Sp.B selaku pembimbing kepaniteraan


klinik ilmu bedah RSUD Kota Semarang

 dr. Hakimansyah, Sp.B selaku pembimbing kepaniteraan klinik ilmu bedah


RSUD Kota Semarang

 dr. Andrew Robert Diyo, SpBS selaku pembimbing kepaniteraan klinik ilmu
bedah RSUD Kota Semarang

Penulis Menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar laporan ini dapat menjadi lebih sempurna dan memberikan
informasi yang berguna dan meningkatkan wawasan pembaca. Penulis memohon
maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan maupun kekurangan dalam
laporan ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Semarang, Agustus 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

4
BAB I

PENDAHULUAN

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga

perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan

ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya

pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan

cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut

oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1,4

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi

akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,

salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post

operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.4

Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara

inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen,

resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif,

merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.8

Peritonitis merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada penderita

bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%. Beberapa peneliti mendapatkan angka ini

mencapai 60% bahkan lebih dari 60%.

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena

setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan

morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung

dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.1,8

5
Dalam penulisan referat ini akan dibahas tentang definisi, etiologi,

patofisiologi,manifestasi klinik, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, komplikasi

serta prognosis dari peritonitis.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Peritonitis adalah inflamasi dari peritonium (lapisan serosa yang menutupi

rongga abdomen dan organ – organ abdomen didalamnya). Suatu bentuk penyakit

akut, dan merupakan kasus bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum

melalui proses infeksi akibat perforasi usus, misalnya pada ruptur appendiks atau

divertikulum kolon, maupun infeksi, misalnya akibat keluarnya asam lambung pada

perforasi gaster, keluarnya asam empedu pada perforasi kandung empedu. Pada

wanita biasanya peritonitis disebabkan oleh infeksi tuba falopi atau ruptur ovarium.

Keadaan ini juga sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen,

perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering

menginfeksi adalah organisme yang hidup dalm kolon ( pada kasus ruptura

appendiks) yang mencakup Eschericia coli atau Bacteroides. Sedangkan stafilokokus

dan streptokokus sering kali masuk dari luar1,2.

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat

fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) di antara perlekatan fibrinosa

yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi

infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat

menetap sebagai pita-pita fibrosa yang kelak dapat menyebabkan terjadinya obstruksi

usus. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila

infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan

timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus

paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke

7
dalam lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria,

dan mungkin shock2,3.

2.2. Anatomi dan Fisiologi

Peritonium adalah lapisan serosa paling besar dan paling kompleks yang

terdapat dalam tubuh. Membran serosa tersebut membentuk suatu kantung tertutup

(coelom) dengan batas-batas:

 anterior dan lateral : permukaan bagian dalam dinding abdomen

 posterior : retroperitonium

 inferior : struktur ekstraperitoneal di pelvis

 superior : bagian bawah dari diafragma

Peritonium dibagi atas :

 peritoneum parietal

 peritoneum viseral

 peritoneum penghubung yaitu mesenterium, mesogastrin, mesocolon,

mesosigmidem, dan mesosalphinx.

 Peritoneum bebas yaitu omentum

Lapisan parietal dari peritoneum membungkus organ organ viscera membentuk

peritoneum viscera, dengan demikian menciptakan suatu potensi ruang diantara

kedua lapisa tersebut yang disebut rongga peritoneal. Normalnya jumlah cairan

peritoneal kurang dari 50ml. Cairan peritoneal terdiri atas plasma ultrafiltrasi

dengan elektrolit serta mempunyai kadar protein kurang dari 30 g/L, juga

mempunyai sejumlah kecil sel mesotelial deskuamasi dan bermancam sel imun.

8
Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit

yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial (

facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis

eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum abdominis, dan

akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak

preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari sepasang

otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea

alba1,2.

Gambar 1 :Tampak anterior otot dinding abdomen dan penampang melintang otot

abdomen11

Peritoneum parietale mempunyai komponen somatic dan visceral yang

memungkinkan lokalisasi yang berbahaya dan menimbulkan defans muscular dan


1,2
nyeri lepas . Luas peritoneum kira-kira 1,8 meter2, sama dengan luas permukaan

kulit orang dewasa. Fungsi peritoneum adalah setengah bagiannya memiliki membran

basal semipermiabel yang berguna untuk difusi air, elektrolit, makro, maupum mikro

sel. Oleh karena itu peritoneum punya kemampuan untuk digunakan sebagai media

cuci darah yaitu peritoneal dialisis dan menyerap cairan otak pada operasi ventrikulo

peritoneal shunting dalam kasus hidrochepalus.

9
Cavitas peritonealis pada laki-laki tertutup seluruhnya tetapi pada perempuan

mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui tuba uterina, uterus dan vagina.

Spatium Extraperitoneale dapat dibedakan menurut letaknya , di depan (spatium

praepitoneale), di belakang (spatium retroperitoneale) dan dibawah (spatium

subperitoneale). Alat yang terletak di dalam cavitas peritoneale disebut letak

intraperitoneale, seperti pada lambung, jejunum, ileum, dan limpa. Sedangkan yang

terletak di belakang peritoneum disebut retroperitoneale seperti pada ginjal dan

pancreas.

Omentum adalah dua lapisan peritoneum yang menghubungkan lambung dengan alat

viscera lainnya seperti dengan hepar (omentum minus), dengan colon transversum

(omentum majus), dan dengan limpa (omentum gastrosplenicum). Peritoneum dari

usus kecil disebut mesenterium, dari appendik disebut mesoappendix dari colon

trnsversum dan sigmoideum disebut mesocolon transversum dan sigmoideum.

Mesenterium dan omentum berisi pembuluh darah dan limfe serta saraf untuk alat

viscera yang bersangkutan.

Gambar 2. Struktur peritoneum

10
Peritoneum parietale sensitif terhadap nyeri, temperatur, perabaan dan tekanan

dan mendapat persarafan dari saraf-saraf segmental yang juga mempersarafi kulit dan

otot yang ada si sebelah luarnya. Iritasi pada peritoneum parietale memberikan rasa

nyeri lokal, namun insicipada peritoneum viscerale tidak memberikan rasa nyeri.1,2

Peritoneum viscerale sensitif terhadap regangan dan sobekan tapi tidak sensitif untuk

perabaan, tekanan maupun temperature.4,5

Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh

perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI – XII dan a. epigastrika superior. Dari

kaudal terdapat a. iliaca a. sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a.

epigastrika inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut

horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan perdarahan.1,2,3 Persarafan

dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI –XII dan n.lumbalis I

2.3 ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI

Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan oleh bermacam hal, antara lain:

1. Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hepatoma, kehamilan ektopik

terganggu

2. Asites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab

obstruksi vena porta pada sirosis hati, malignitas.

3. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus

alienum, misalnya kain kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi, radang,

trauma

4. Radang, yaitu pada peritonitis

11
Peritonitis diklasifikasikan menjadi:

A. Menurut agens

1. Peritonitis kimia :

misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam lambung, cairan empedu,

cairan pankreas yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.

2. Peritonitis septic :

merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena ada

perforasi usus, sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke peritonium dan

menimbulkan peradangan.

B. Menurut sumber kuman

1. Peritonitis primer

Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari penyebaran

secara hematogen. Sering disebut juga sebagai Spontaneous Bacterial

Peritonitis (SBP). Peritonitis ini bentuk yang paling sering ditemukan dan

disebabkan oleh perforasi atau nekrose (infeksi transmural) dari kelainan

organ visera dengan inokulasi bakterial pada rongga peritoneum.

Kasus SBP disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama oleh bakteri

gram negatif ( E.coli, klebsiella pneumonia, pseudomonas, proteus) , bakteri

gram positif ( streptococcus pneumonia, staphylococcus).

Peritonitis primer dibedakan menjadi:

*Spesifik

Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya

kuman tuberkulosa.

12
* Non- spesifik

Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non spesifik,

misalnya kuman penyebab pneumonia yang tidak spesifik.

2. Peritonitis sekunder

Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama, diantaranya

adalah:

 · invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau

traktus genitourinarius ke dalam rongga abdomen, misalnya pada :

perforasi appendiks, perforasi gaster, perforasi kolon oleh divertikulitis,

volvulus, kanker, strangulasi usus, dan luka tusuk.

 · Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum

saat terjadi pankreatitis, atau keluarnya asam empedu akibat trauma

pada traktus biliaris.

 · Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters.

Terapi dilakukan dengan pembedahan untuk menghilangkan penyebab infeksi (usus,

appendiks, abses), antibiotik, analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri, dan cairan

intravena untuk mengganti kehilangan cairan.

Mengetahui sumber infeksi dapat melalui cara operatif maupun non operatif

 · secara non operatif

dilakukan drainase abses percutaneus, hal ini dapat digunakan dengan

efektif sebagai terapi, bila suatu abses dapat dikeringkan tanpa disertai

kelainan dari organ visera akibat infeksi intra-abdomen

13
 · cara operatif

dilakukan bila ada abses disertai dengan kelainan dari organ visera

akibat infeksi intra abdomen

Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis sekunder antara lain adalah

syok septik, abses, perlengketan intraperitoneal.

3. Peritonitis tersier

biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory Peritoneal

Dialysis (CAPD), dan pada pasien imunokompromise. Organisme penyebab

biasanya organisme yang hidup di kulit, yaitu coagulase negative

Staphylococcus, S.Aureus, gram negative bacili, dan candida, mycobacteri dan

fungus. Gambarannya adalah dengan ditemukannya cairan keruh pada dialisis.

Biasanya terjadi abses, phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Pengobatan

diberikan dengan antibiotika IV atau ke dalam peritoneum, yang

pemberiannya ditentukan berdasarkan tipe kuman yang didapat pada tes

laboratorium. Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah peritonitis

berulang, abses intraabdominal. Bila terjadi peritonitis tersier ini sebaiknya

kateter dialisis dilepaskan.

2.4. Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat

fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,

yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi

infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat

menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.2

14
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran

mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,

maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti

misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa

ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba

untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk

buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi

ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.2,5

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen

mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler

organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan

lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding

abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia

bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.2

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut

meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi

sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas

pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis

umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang

sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan

elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan

sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang

meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan

obstruksi usus.1,2,4

15
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus

karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik

usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana

yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat

total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah

sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan

akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen

sehingga dapat terjadi peritonitis.5

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan

kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang

tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk

keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang

mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal

dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam

selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang

disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang

merosot karena toksemia.4,6

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai

di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata.

Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut.

Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di

perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena

rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas.

Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal

perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia,

16
adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat

asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai

kemudian terjadi peritonitis bakteria.2,3

Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen

apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis

dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa

mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas

dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan

tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem,

diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah

kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti

dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan

akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.2,5

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul

abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ

yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi

dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan

kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling

lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan

terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat

sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena

mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam

timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.2,4,8

Jenis Peritonitis

 Peritonitis Aseptik.

17
Terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus peritonitis di Inggris, dan biasanya

sekunder dari perforasi ulkus gaster atau duodenal. Peritonitis steril dapat berkembang

menjadi bakterial peritonitis dalam beberapa jam mengikuti transmigrasi dari

mikroorganisme (contohnya dari usus)

 Peritonitis bilier

Relatif jarang dari peritonitis steril dan dapat disebabkan dari :

1. iatrogenic (ligasi duktus sistikus saat cholesistektomi)

2. kolesistitis akut

3. trauma

4. idiopatik

Bentuk lain dari peritonitis steril, ada 4 penyebab :

1. Cairan pankreas

Misalnya dari pankreatitis akut, trauma. Pankreatitis bisa disebabkan karen proses

diagnostik laparotomi pada pasien yang tidak mengalami peningkatan serum amilase.

2. Darah.

Misalnya ruptur kista ovarium, aneurisma aorta yang pecah.

3. Urine

Misalnya intraperitoneal ruptur dari kandung kemih.

4. Meconium

Adalah campuran steril dari sel epitel, mucin, garam,, lemak, dan bilier dimana

dibentuk saat fetus mulai menelan cairan amnion. Peritonitis mekonium berkembang

lambat di kehidupan intra uteri atau di periode perinatal saat mekonium memasuki

rongga peritoneum melalui perforasi inestinal.

18
 Peritonitis TB

Biasanya terjadi pada imigran atau pasien dengan imunokompromise.

Menyebar ke peritoneum melalui:

1. secara langsung melalui limfatik nodul, regio ileocaecal atau pyosalping TB.

2. Melalui darah (blood-borne) infeksi dari TB paru.

Kejadiannya dapat secara akut (seperti peritonitis pada umumnya), dan kronik

(onsetnya lebih spesifik, dengan nyeri perut, demam, penurunan berat badan, keringat

malam, massa abdomen). Makroskopik, ada 4 bentuk dari penyakit ini : ascitic,

encysted, plastic, atau purulent. Terapinya berdasarkan terapi anti-TB, digabungkan

dengan laparotomi (apabila di indikasikan) untuk komplikasi intra-abdominal.

 Peritonitis Klamidia

Fitz Hugh Curtis sindroma dapat menyebabkan inflamasi pelvis dan digambarkan

oleh nyeri hipokondrium kanan, pireksia, dan hepatic rub.

 Obat-obatan dan benda asing.

Pada pemakaian isoniazid, practolol, dan kemoterapi intraperitoneal dapat

menyebabkan peritonitis akut. Bedak dan starch dapat menstimulus perkembangan

benda asing granulomata apabila benda-benda itu bertemu pada rongga peritoneum

(contohnya sarung tangan bedah).

2.5 Manifestasi Klinis

Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda –

tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan

defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma.

Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.4

19
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan

terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.4 Rangsangan ini

menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium

dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti

jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan

seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lain.4,5

2.6 Diagnosis

2.6.1 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi,

pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan

abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga

perlu diperhatikan. 1

Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak

baik. Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis hebat

akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena dilepaskannya

mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang disebabkan karena mual dan

muntah, demam, kehilangan cairan yang banyak dari rongga abdomen. Dengan

adanya dehidrasi yang berlangsung secara progresif, pasien bisa menjadi semakin

hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang, dan dengan adanya

peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis.8

Inspeksi : Pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi

menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran

usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis

biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended. 1,2

20
Palpasi : Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang

sangat sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah yang paling sensitif.

Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan

nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan

bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya

proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang

murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa

reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan3,5

Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat.

Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk melindungi

bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat. 1,5

Perkusi : Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya

udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui

pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak

hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara

bebas tadi.7,8

Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan

pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan


1,7
diagnosis. Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di kavum doglasi kurang

memberikan informasi pada peritonitis murni; nyeri pada satu sisi menunjukkan

adanya kelainan di daeah panggul, seperti apendisitis, abses, atau adneksitis. Nyeri

pada semua arah menunjukkan general peritonitis. Colok dubur dapat pula

membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus, karena pada paralisis

dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampula biasanya

21
kolaps. Pemeriksaan vagina menambah informasi untuk kemungkinan kelainan pada

alat kelamin dalam perempuan. 1,2

Auskultasi : Dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising

usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang

sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga

menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada

peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal. 3,7

2.6.2 Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk

pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis

dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu : 5,8

1.Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior

( AP ).

2.Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar

horizontal proyeksi AP.

3.Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,

proyeksi AP.

Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu :terlihat kekaburan pada cavum

abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas

subdiafragma atau intra peritoneal.2,8

22
Gambar 3 Foto BNO pada peritonitis.8

2.6.3 Pemeriksaan Laboratorium

1.Darah Lengkap, biasanya ditemukan leukositosis, hematocrit yang meningkat

2.BGA, menunjukan asidosis metabolic, dimana terdapat kadar karbondioksida yang

disebabkan oleh hiperventilasi.

3. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih

dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur.

Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma

tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan

didapat.2,10

2.7. Differential Diagnosa

Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis,

gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu.4

2.8. Penatalaksanaan

Konservatif

Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan :9

- Memuasakan pasien

23
- Dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal

- Pengganti cairan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena

- Pemberian antibiotik yang sesuai

- Pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya

1. Pemberian oksigen

Adalah vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor oleh pulse

oximetri atau BGA.4

2. resusitasi cairan

Biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan derajat syok dan dehidrasi.

Penggantian elektrolit (biasanya potassium) biasanya dibutuhkan. Pasien harus

dikateterisasi untuk memonitor output urine tiap jam. Monitoring tekanan vena sentral

dan penggunaan inotropik sebaiknya digunakan pada pasien dengan sepsis atau pasien

dengan komorbid. Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit

bergerak dari lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan menurunkan caran ke dalam

ruang vaskuler.4,9

3. analgetik

Digunakan analgetik opiat intravena dan mungkin dibutuhkan antiemetik.4

4. Antibiotik

Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan anaerob, diberikan intravena.

Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah strategi primer. Bagi pasien yang

mendapatkan peritonitis di RS (misalnya oleh karena kebocoran anastomose) atau

yang sedang mendapatkan perawatan intensif, dianjurkan terapi lini kedua diberikan

meropenem atau kombinasi dari piperacillin dan tazobactam. Terapi antifungal juga

harus dipikirkan untuk melindungi dari kemungkinan terpapar spesies Candida. 4,5

 Definitif

24
Pembedahan

1. Laparotomi

Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi yang dikira.

Tujuannya untuk :9,10

- menghilangkan kausa peritonitis

- mengkontrol origin sepsis dengan membuang organ yang mengalami inflamasi atau

ischemic (atau penutupan viscus yang mengalami perforasi).

- Peritoneal lavage

Mengkontrol sumber primer dari sepsis adalah sangat penting. Re-laparotomi

mempunyai peran yang penting pada penanganan pasien dengan peritonitis sekunder,

dimana setelah laparotomi primer ber-efek memburuk atau timbul sepsis. Re-operasi

dapat dilakukan sesuai kebutuhan. Relaparotomi yang terencana biasanya dibuat

dengan membuka dinding abdomen dengan pisau bedah sintetik untuk mencegah

eviserasi.

Bagaimanapun juga, penelitian menunjukkan bahwa five year survival rate di

RS dan jangka panjang, lebih tinggi pada relaparotomi sewaktu daripada relaparotomi

yang direncanakan. Pemeriksaan ditunjang dengan CT scan. Perlu diingat bahwa

tidak semua pasien sepsis dilakukan laparotomi, tetapi juga memerlukan ventilasi

mekanikal, antimikrobial, dan support organ. Mengatasi masalah dan kontrol pada

sepsis saat operasi adalah sangat penting karena sebagian besar operasi berakibat

meningkatkan morbiditas dan mortalitas

2. Laparoskopi

Teori bahwa resiko keganasan pada hiperkapnea dan syok septik dalam

absorbsi karbondioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang mengalami

inflamasi, belum dapat dibuktikan. Tetapi, laparoskopi efektif pada penanganan

25
appendicitis akut dan perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi dapat digunakan pada

kasus perforasi kolon, tetapi angka konversi ke laparotomi lebih besar. Syok dan ileus

adalah kontraindikasi pada laparoskopi.9

3. Drain

Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat melekat pada

dinding sehingga seringkali gagal untuk menjangkau rongga peritoneum. Ada banyak

kejadian yang memungkinkan penggunaan drain sebagai profilaksis setelah

laparotomi.

2.9. Komplikasi

1. Syok Sepsis1,10

Pasien memerlukan penanganan intensif di ICU

2. Abses intraabdominal atau sepsis abdominal persisten. 10,11

Pada tanda-tanda sepsis (pireksia, leukositosis), pemeriksaan harus disertakan CT

dengan kontras luminal (khususnya apabila terdapat anastomosis in-situ). Re-

laparotomi diperlukan apabila terdapat peritonitis generalisata. Drainase perkutaneus

26
dengan antobiotik pilihan terbaik merupakan terapi pada tempat yang terlokalisir.

Terapi antibiotik disesuaikan dengan kultur yang diambil dari hasil drainase. Sepsis

abdominal mengakibatkan mortalitas sekitar 30-60%. Faktor yang mempengaruhi

tingkat mortalitas adalah :

- Usia

- Penyakit kronis

- Wanita

- Sepsis pada daerah upper gastrointestinal

- Kegagalan menyingkirkan sumber sepsis.

3. Adhesi

Dapat menyebabkan obstruksi intestinal atau volvulus.

2.10. Prognosa

Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada

peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.1

27
BAB III

KESIMPULAN

Peritonitis adalah peradangan peritoneum ( membran serosa yang melapisi

rongga abdomen dan menutupi visera abdomen ) merupakan penyulit berbahaya yang

dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat

penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus

abdomen.1,2

Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda –

tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan

defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma.

Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.4

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena

setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan

morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung

dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.

Penatalaksanaan dari peritonitis yaitu : dekompresi saluran cerna dengan

penghisapan nasogastrik atau intestinal, penggantian cairan dan elektrolit yang hilang

yang dilakukan secara intravena , pemberian antibiotic yang sesuai, dan pembuangan

dari focus infeksi dari organ abdomen. Prognosis untuk peritonitis local adalah baik,

sedangkan untuk peritonitis umum yaitu buruk.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2011 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
2. Schwartz, Shires, Spencer. 2000.Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam
Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 489 – 493
3. Schrock. T. R.. 2000.Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah,
Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
4. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta.
5. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997.Gawat Abdomen, dalam Buku ajar
Ilmu Bedah; 221-239, EGC, Jakarta.
6. Price, Sylvia. 2005.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi

6. Jakarta : EGC.

7. Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of


Medicine,third edition,1997, Toronto.
8. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I.1999.Abdomen Akut, dalam Radiologi
Diagnostik, Hal 256-257, Gaya Baru, Jakarta.
9. Rotstein. O. D., Simmins. R. L., 1997, Peritonitis dan Abses Intra-abdomen
dalam Terapi Bedah Mutakhir, Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr. Widjaja Kusuma,
Binarupa Aksara, Jakarta
10. Rosalyn Carson-De Witt MD, Peritonitis Health Article,
http://www.css/healthlinestyles.v1.01.css
11. Putz R & Pabst R. 2007. Atlas Anatomi Manusia:Sobotta, jilid.2.Jakarta
:EGC
12. http://www.google.co.id/imgres?q=peritoneum+anatomy&hl=en&biw=1024
&bih=456&tbm=isch&tbnid=kVlqe7wt9F-
yUM:&imgrefurl=http://www.radiologyassistant.nl/en/p4a252c5303035/perit
oneum-and-mesentery-part-i-anatomy.html&docid=__fv5Xl60-
q7gM&imgurl=http://www.radiologyassistant.nl/data/bin/a5097979750a1d_o
verzicht.jpg&w=500&h=503&ei=dgxHUZCqDY7zrQfbv4DQBw&zoom=1
&sa=X&ved=0CHAQhBwwCA&ved=1t:3588,r:8,s:0,i:112&iact=rc&dur=24
50&page=1&tbnh=176&tbnw=175&start=0&ndsp=10&tx=88&ty=117

29

Anda mungkin juga menyukai