Anda di halaman 1dari 44

Laporan Kasus

PERITONITIS
PEMBIMBING:
dr. Syahbuddin, Sp. B-KBD

PENYUSUN:

Amin P.B. Siagian (120100315)


M. Ary Guthama (120100084)
Harvinda Arya Pratiwi (130100117)
Hanifah Dwi Pratiwi (130100204)
Stephanie Sihombing (130100208)
David J. R. Pakpahan (130100086)
Rahmad Diansyah (130100107)
Fanny Fadhilah (130100123)
Dea Celine Sembiring (130100062)
Vani A/P Raveendran (130100427)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT RUJUKAN HAJI ADAM MALIK


DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Peritonitis ”
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan Klinik
Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. dr. Bachtiar Surya,
Sp.B-KBD selaku supervisor pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberikan
masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya
dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan.Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya.Semoga laporan kasus ini
bermanfaat.Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2018

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peritonitis adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa yang sering bersamaan dengan
kondisi bakteremia dan sindroma sepsis. Sebagaimana dalam penelitian Tarigan pada tahun
2012, peritonitis didefenisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang membatasi rongga
abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis dapat bersifat lokal maupun
generalisata, bakterial ataupun kimiawi.Peradangan peritoneum dapat disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur, bahan kimia iritan, dan benda asing.Kemudian disebutkan juga bahwa peritonitis
merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada penderita bedah dengan mortalitas
sebesar 10-40%.Peritonitis difus sekunder yang merupakan 90% penderita peritonitis dalam
praktek bedah dan biasanya disebabkan oleh suatu perforasi gastrointestinal ataupun
1,2,3
kebocoran.

Suatu perforasi dapat terjadi akibat trauma dan non trauma.Non trauma misalnya akibat
volvulus, spontan pada bayi baru lahir, ingesti obat-obatan, tukak, malignansi, dan benda
asing.Sedangkan trauma dapat berupa trauma tajam maupun trauma tumpul, misalnya
iatrogenik akibat pemasangan pipa nasogastrik.Sementara itu beberapa contoh lokasi
kebocoran atau perforasi gastrointestinal yang menyebabkan peritonitis sekunder adalah
kebocoran pada lambung maupun kebocoran pada usus (duodenum, jejenum, ileum, colon,
maupun appendik). Kebocoran lambung dapat disebabkan oleh ulkus gaster atau yang
biasanya disebut tukak lambung.Tukak lambung umumnya terjadi pada pria, orang tua, dan
kelompok dengan tingkat sosioekonomi rendah.Sementara itu tukakduodenum lebih sering
terjadi dua kali dari pada tukak lambung. Walaupun tukak duodenum lebih sering terjadi dari
pada tukak lambung, tetapi tukak lambung yang perforasi mempunyai mortalitas lebih tinggi
daripada tukak duodenum yang perforasi.Pada kebanyakan kasus tingkat kematiannya
mencapai 15-20% dan kebanyakan perforasi lambung tersebut terjadi pada daerah antrum atau
4,5
prepilorik.
Menurut survei WHO, angka mortalitas peritonitis mencapai 5,9 juta per tahun dengan
angka kematian 9661 ribu orang meninggal. Negara tertinggi yang menderita penyakit ini
adalah Amerika Serikat dengan penderita sebanyak 1.661 penderita. Dalam kasus peritonitis
yang sering terjadi, sebagian besar disebabkan karena bakteri atau yang biasa disebut
peritonitis bakterial spontan. Di Indonesia sampai saat ini peritonitis masih menjadi masalah
yang besar dengan angka mortalitas dan morbidilitas yang tinggi. Saat ini pendekatan
multimodalitas dengan melakukan tindakan pembedahan dilakukan untuk mengetahui
penyebab utamanya. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena
4,5
setiap keterlambatan akan menimbulkan komplikasi yang semakin berat.

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menyampaikan laporan kasus
mengenai peritonitis.Penyusunan laporan kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan
kegiatan Program Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis
maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk mengintegrasikan teori yang telah ada
dengan aplikasi pada kasus yang akan dijumpai di lapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Lapisan Peritoneum


Peritoneum ialah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh.Peritoneum terdiri
atas dua bagian utama yailu peritoneum parietal, yang melapisi dinding rongga abdominal
dan peritoneum viseral yang menyelaputi semua organ yang bcrada di dalam rongga itu.
Ruang yang biasa terdapat di antara dua lapis ini disebut rongga peritoneum atau cavum
peritoneum.Normalnya terdapat 50 mL cairan bebas dalam rongga peritoneum, yang
memelihara permukaan peritoneum tetap licin.Pada orang laki-laki peritoneum berupa
kantong tertutup; pada orang perempuan saluran telur (tuba Fallopi) membuka masuk ke
3
dalam rongga peritoneum.

Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum parietal yang melapisi dinding rongga
abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi semua organ yang berada dalam rongga
abdomen. Ruang yang terdapat diantara dua lapisan ini disebut ruang peritoneal atau kantong
peritoneum. Pada laki-laki berupa kantong tertutup dan pada perempuan merupakan saluran
telur yang terbuka masuk ke dalam rongga peritoneum, di dalam peritoneum banyak terdapat
3
lipatan atau kantong.
Dilihat secara embriologi peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat
epitelial.Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu
coelom.Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron.Enteron
didaerah abdomen menjadi usus.Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling
mendekat, sehingga mesodermtersebut kemudian menjadi peritonium.
Lipatan besar (omentum mayor) banyak terdapat lemak yang terdapat di sebelah depan
lambung. Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati, kurvatura minor, dan lambung
berjalan ke atasdinding abdomen dan membentuk mesenterium usus halus.
Fungsi peritonium :
a. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis
b. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga
peritoneumtidak saling bergesekan
c. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding
posterior abdomen
d. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap
infeksi
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Lapisan yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
b. Lapisan yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
c. Lapisan yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis
Pada beberapa tempat peritoneum visceral dan mesenterium dorsal mendekatiperitoneum
dorsal dan terjadi perlekatan.Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak
mempunyai alat-alat penggantung, dan akhirnya berada disebelah dorsal peritonium sehingga
disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat penggantung terletak di
dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietal, dengan demikian:
a. Duodenum terletak retroperitoneal
b. Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium;
c. Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;
d. Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung disebut
mesocolon transversum;
e. Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung mesosigmoideum;
cecum terletak intraperitoneal;
Peritoneum parietal disarafi oleh saraf aferen somatik dan visceral yang cukup sensitif
terutama pada peritoneum parietal bagian anterior, sedangkan pada bagian pelvis agak kurang
sensitif.Peritoneum visceral disarafi oleh cabang aferen sistem otonom yang kurang sensitif.
Saraf ini terutama memberikan respon terhadap tarikan dan distensi, tetapi kurang respon
3
terhadap tekanan dan tidak dapat menyalurkan rasa nyeri dan temperature.

Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung


mesenterium.Lapisan yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis kanan
kirisaling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut duplikatura.Dengan
demikian baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu duplikatura.Duplikatura ini
menghubungkan usus dengan dinding ventral dan dinding dorsal perut dan dapat dipandang
3
sebagai suatu alat penggantung usus yang disebutmesenterium.

Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium ventrale danmesenterium


dorsale.Mesenterium ventrale yang terdapat pada sebelah kaudal parssuperior duodeni
kemudian menghilang.Lapisan kiri dan kanan mesenterium ventrale yang masih tetap ada,
bersatu pada tepi kaudalnya.Mesenterium setinggiventrikulus disebut mesogastrium ventrale
dan mesogastrium dorsale.Pada waktu perkembangan dan pertumbuhan, ventriculus dan usus
mengalami pemutaran.Ususatau enteron pada suatu tempat berhubungan dengan umbilicus
3
dan saccus vitellinus.Hubungan ini membentuk pipa yang disebut ductus omphaloentericus.
2.2 DEFINISI PERITONITIS
Peritonitis adalah inflamasi peritonium yang bisa terjadi akibat infeksi bakterial atau reaksi
kimiawi. Inflamasi rongga peritoneal dapat berupa primer atau sekunder, akut atau kronis dan
diakibatkan oleh kontaminasi kapasitas peritoneal oleh bakteri atau kimia. Primer tidak
berhubungan dengan gangguan usus dasar (cth : sirosis dengan asites, sistem urinarius) ;
sekunder inflamasi dari saluran gastrointestinal , ovarium/uterus, cedera traumatik atau
kontaminasi bedah.
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput rongga
perut (peritoneum), lapisan membran serosa rongga abdomen dan dinding abdomen sebelah
dalam.Peradangan ini merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran
infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya, apendisitis, salpingitis), ruptur saluran cerna atau
dari luka tembus abdomen. Dalam istilah peritonitis meliputi kumpulan tanda dan gejala, di
antaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muskular, dan tanda-tanda umum
inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan
terbatas, atau penyakit berat dan sistemik dengan syok sepsis.Peritoneum bereaksi terhadap
stimulus patologik dengan respon inflamasi bervariasi, tergantung penyakit yang
1,2,3
mendasarinya.

2.3 ETIOLOGI
Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi bakteri. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang
rendah antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi
adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas,
Proteus dan gramlainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%,
jenis Streptococcus lain 15%,dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat
anaerob dan infeksi campur bakteri.
Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau
nekrosis(infeksi transmural) organ-organ dalam denganinokulasi bakteri rongga peritoneal
terutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas.
Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi
Spontaneous Bacterial Peritonitis atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari
kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau
tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi
karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnyacairan empedu, barium, dan substansi kimia lain
atau proses inflamasi transmural dari organ-organdalam (misalnya penyakit Crohn).

4,5
Etiologi peritonitis dibagi 3 yaitu :
a. Infeksi bakteri
1. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
2. Appendisitis yang meradang dan perforasi
3. Tukak peptik (lambung / dudenum)
4. Tukak thypoid
5. Tukak disentri amuba / colitis
6. Tukak pada tumor
7. Salpingitis
8. Divertikulitis
b. Secara langsung dari luar
- Operasi yang tidak steril
- Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang
disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda
asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
- Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
- Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa.
c. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama
adalah streptokokus atau pnemokokus.
Adapun penyebab spesifik dari peritonitis adalah:
1. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering menyebabkan
peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu atau usus buntu.
Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak
berlangsung terus menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan peritoneum
cenderung mengalami penyembuhan bila diobati.
2. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan
seksual
3. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis
kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi chlamidia)
4. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut (asites)
dan mengalami infeksi
5. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada kandung empedu,
ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat memindahkan bakteri
ke dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama pembedahan untuk
menyambungkan bagian usus.
6. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan peritonitis.
Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di
dalam perut.
7. Iritasi tanpa infeksi; Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk
bedak pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa
infeksi.
2.4 KLASIFIKASI
6
Dapat dibagi menjadi
A. Peritonitis Primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum
peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat
monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial
primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Spesifik : misalnya Tuberculosis
2. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.
B. Peritonitis sekunder
Peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi, disebabkan oleh
perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi
bakteri rongga peritoneal.Spektrum patogen infeksius tergantung penyebab
asalnya.Berbeda dengan Spontaneous Bacterial Peritonitis, peritonitis sekunder lebih
banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas.
Pada pasien dengan supresi asam lambung dalam waktu panjang, dapat pula
terjadi infeksi gram negatif.Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal, dapat
melepaskan ratusan bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan mengandung
polimikroba, mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob yang didominasi
organisme gram negatif. Tanda dan gejala pasien ini tidak cukup sensitif dan spesifik
untuk membedakan dua jenis peritonitis.Anamnesis yang lengkap, penilaian cairan
peritoneal, dan pemeriksaan diagnostik tambahan diperlukan untuk menegakkan
diagnosis dan tata laksana yang tepat untuk pasien seperti ini.
C. Peritonitis tersier
Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah
mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan berasal
dari kelainan organ.Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul abses atau
flegmon, dengan atau tanpa fistula.Peritonitis tersier timbul lebih sering ada pasien
dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada pasien yang imunokompromais.
Kebanyakan pasien memiliki riwayat sirosis, dan biasanya tidak diduga akan
mengalami peritonitis tersier. Selain peritonitis tersier, peritonitis TB juga merupakan
bentuk yang sering terjadi, sebagai salah satu komplikasi penyakit TB.Selain tiga
bentuk di atas, terdapat pula bentuk peritonitis lain, yakni peritonitis steril atau
kimiawi.
Peritonitis ini dapat terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan
empedu, barium, dan substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-
organ dalam (mis. Penyakit Crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga
abdomen.Tanda dan gejala klinis serta metode diagnostik dan pendekatan ke pasien
peritonitis steril tidak berbeda dengan peritonitis infektif lainnya.
D. Peritonitis kimia
Peritonitis kimia dapat disebabkan oleh iritasi empedu, darah, barium, atau bahan
lain atau oleh peradangan transmural dari organ visceral (misalnya, Crohn’s disease)
tanpa inokulasi bakteri rongga peritoneal. Tanda dan gejalaklinis bisa dibedakan dari
SP atau abses peritoneal, dan pendekatan diagnostik dan terapeutik harus sama.
E. Abses peritoneal
Abses peritoneal menggambarkan pembentukan koleksi cairan yang terinfeksi
dienkapsulasi oleh eksudat fibrinosa, omentum, dan / atau organ viseral yang
berdekatan.Mayoritas abses terjadi setelah SP. Pembentukan abses dapat merupakan
komplikasi operasi. Insiden pembentukan abses setelah operasi perut kurang dari 1-
2%, bahkan ketika operasi dilakukan untuk proses inflamasi akut. Risiko abses
meningkat menjadi 10-30% pada kasus perforasi pra operasi dari organ berongga,
kontaminasi tinja yang signifikan dari rongga peritoneal, iskemia usus, diagnosis
tertunda dan terapi dari peritonitis awal, dan kebutuhan untuk operasi kembali, serta
pengaturan imunosupresi. Pembentukan abses adalah penyebab utama infeksi persisten
dan pengembangan peritonitis tersier.
2.5 PATOFISIOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa.Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap
1,2,3
sebagai pita -pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami


kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat
menimbulkan kem atian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin,
dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan
selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk
mengkompensasi dengan cara retensi cairan da n elektrolit oleh ginjal, produk buangan
juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera
1,2,3
gagal begitu terjadi hipovolemia.

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum.Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian
menjadi atoni dan meregang.Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung -lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu
pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.

2.6 MANIFESTASI KLINIS


Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-tanda
rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans
muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma.
4,5
Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi
takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini
menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium
dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan,
bernafas, batuk, atau mengejan.Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti
4,5
palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.

Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut
abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum
visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal).Nyeri abdomen
yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber
infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara
tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi
peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan
nyeri akibat pelvic inflammatorium disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa
jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat,
penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan
kesadaran (misalnya trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan
4,5
analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.
Gejala Klinis menurut Ahmad H. Asdie, 1995: 1612
a. Nyeri abdomen akut dan nyeri tekan
b. Badan lemas
c. Peristaltik dan suara usus menghilang
d. Hipotensi
e. Tachicardi
f. Oligouria
g. Nafas dangkal
h. Leukositosis
i. Terdapat dehidrasi.
2.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
6,7
A. PEMERIKSAAN FISIK

1. Perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi, pernapasan, suhu badan, dan
sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen.
2. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis perlu di perhatikan
juga.
3. Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan sangat menimbulkan
ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan abdomen ini harus dilakukan untuk
menegakkan diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
4. Inspeksi, pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi menununjukkan
kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus
yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut
yang membuncit dan tegang atau distended.
5. Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang paling terasa sakit di
abdomen.
6. Auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari yang ditunjuk pasien. Auskultasi
dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus. Pasien dengan
peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini
disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut
lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik).
7. Palpasi. Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang sangat
sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi
harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini
berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri.
8. Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang
mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses
refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot
terhadap rangsangan tekanan.
9. Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot
dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk melindungi bagian
yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat.
10.Perkusi.Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara bebas
atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati
dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan
perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas tadi.

6,7
B. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya leukositosis, hematokrit yang
meningkat dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberkulosa cairan peritoneal
mengandung banyak protein (lebih dari 3gram/ 100 ml) dan banyak limfosit , basil
tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.

6,7
C. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan
dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto
polos abdomen 3 posisi, yaitu :
a. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior.
b. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar dari arah
horizontal proyeksi anteroposterior.
c. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal
proyeksi anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup
seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan fil ukuran 35 x
43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus
(ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran
radiologis antara lain :
a. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya
penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah
obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone
appearance).
b. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air
fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada
ileus letak tinggi, sedang jika panjang-panjang kemungkinan gangguan di
kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid
level.
c. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air
fluid level dan step ladder appearance.

2.8 PENATALAKSANAAN
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran
cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik
(apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar
8,9,10
dan tindakan -tindakan menghilangkan nyeri.

Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting.Pengembalian volume


intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan
mekanisme pertahanan. Pengeluaran urine, tekanan vena sentral, dan tekanan darah
8,9,10
harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.

Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.


Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya
setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang
dicurigai menjadi penyebab.Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena
8,9,10
bakteremia akan berkembang selama operasi.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup.Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi.Teknik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari
saluran gastrointestinal.Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus
dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan
larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak
terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik
(misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya
tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan
8,9,10
bakteria menyebar ketempat lain.

Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu
dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat
masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi
kontaminasi yang terus – menerus (misalnya fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis
8,9,10
terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.

2.9 KOMPLIKASI
Dua komplikasi pasca operasi paling umum adalah eviserasi luka dan pembentukan
abses.Komplikasi pembedahan dengan laparotomi eksplorasi memang tidak
sedikit.Secara bedah dapat terjadi trauma di peritoneum, fistula enterokutan, kematian
dimeja operasi, atau peritonitis berulang jika pembersihan kuman tidak adekuat.Namun
secara medis, penderita yang mengalami pembedahan laparotomi eksplorasi
membutuhkan narkose dan perawatan intensif yang lebih lama.Perawatan inilah yang
sering menimbulkan komplikasi, bisa berupa pneumonia akibat pemasanganventilator,
10,11
sepsis, hingga kegagalan reanimasi dari status narkose penderita pascaoperasi.
BAB 3
STATUS ORANG SAKIT

Identitas Pasien
Nama : Soji Okman
NomorRM : 73.10.56
JenisKelamin : Laki – Laki
Tanggallahir : 20 Oktober 1982
Usia : 35 tahun 3 bulan
Alamat : Parak Karakah No 6 Padang Timur
Agama : Islam
Status Pernikahan : Duda
Pendidikan Terakhir : Tamat SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal Masuk : 13 Januari 2018

Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri perut
Telaah : Hal ini telah dialami pasien sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri perut
dirasakan di seluruh area perut. Nyeri tidak menjalar, dan bersifat terus menerus. Nyeri
memberat ketika pasien menggerakkan anggota gerak bawah. Awalnya pasien sedang
makan malam pada pukul 20.30 WIB, kemudian terjadi petikaian sehingga OS ditusuk oleh
preman setempat. OS ditusuk di bagian dada kiri bawah, tepatnya di sekitar daerah rongga
Iga 9. OS kemudian dibawa ke IGD rumah sakit RSUP HAM. Sesak nafas dijumpai.
Riwayat trauma di tempat lain tidak dijumpai. Penurunan kesadaran dijumpai, muntah
dijumpai. Kejang tidak dijumpai.
Riwayat Penyakit Terdahulu : Tidak jelas
Riwayatpenggunaanobat : Tidak jelas

Pemeriksaan Fisik
Status Presens
Sensorium : Apatis
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 90 x/1’
: 20 x/1℃’
Frekuensi Nafas : 36,8
Temperatur
Primary Survey
A : Clear
B : Spontan, RR = 20 x/i
C : TD = 100/60 mmHg, HR = 94 x/i
D : GCS 12, pupil isokor, RC = +/+
E : Log roll ; undressed
Secondary Survey
Vulnus Laceratum d/t (L) thorax 3 x 1 x 1 cm
Darah (-), gerakan dinding dada simetris
Status Generalisata
Kepala
Mata : Reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm / 3mm ), konjungtiva palpebra inferior
pucat (-/-), preorbital edema (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Tenggorokan : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran tiroid (-) TVJ : R + 2
CmH20

Toraks

Inspeksi : Simetris Fusiform, Ketinggalan bernafas (-)

Palpasi : Stem Fremitus, kanan = kiri

Perkusi : Sonor di seluruh kedua lapanagan paru

Auskultasi : Suara pernafasan : Vesikuler

Suara Tambahan : - / -

Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di 1 cm medial ICS V/VI LMCS
Perkusi : Atas : ICS II LMCS , Kanan : ICS IV LPSD
Kiri : 1 cm medial ICS V/VI LMCS
Auskultasi : S1 normal, S2 normal, murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Simetris, dullness (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+) pada seluruh lapangan abdomen , defans muskular
(+), Peritoneal sign (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus menurun

Genitalia : Laki – laki


Inguinal
Inspeksi : Dalam batas normal
Palpasi : Dalam batas normal
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, edema (-)
Inferior : Akral hangat, edema (-)
Diagnosa Kerja : Penerating abdomen injury with Diffuse Peritonitis

Terapi
IVFD Ringer Laktat guyur 4 Fl 500 ml
Injeksi Ceftriakson 1gr/ 12 jam
Injeksi Ranitidin 50 mg/ 12 jam
Injeksi Ketorolac 30 mg/ 12 jam

Rencana
Cek Laboratorium : Darah Lengkap, Elektrolit, RFT, KGDs
Foto Abdomen 3 Posisi
Foto Thorax Pa Erect
Konsul Anestesi
Laparatomy di Kamar Bedah Emergensi IGD RSUP HAM
Hasil Laboratorium
Tgl : 13/01/2018
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hematologi
Hemoglobin (HGB) 9,1 g/dL 13-18
4,31 juta/ μL 4,5– 6,5
Eritrosit (RBC)
21.170/ μL 4.000 – 11.000
Leukosit (WBC)
29 % 39– 54
Hematokrit
332.000/μL 150.000-450.000
Trombosit (PLT)
Ginjal
Ureum 49 mg/dL 19-44
Kreatinin 0,81 mg/dL 0,7– 1,3
Elektrolit
Natrium 139 mEq/L 135-155
Kalium 4,6 mEq/L 3,6 – 5,5
Klorida 106 mEg/L 96 – 106
Metabolisme
Karbohidrat
KGD 105 mg/dL <200
Sewaktu

Pemeriksaan Lainnya
Radiologi
-Abdomen 3 posisi (13/01/2018)
Hasil : tidak tampak batu radioopaque
Spondilosis lumbalis

-Thorax AP Erect (13/01/2018)


Kesan : Tidak tampak kelainan pada cor dan pulmo

-
BAB 4
FOLLOW UP
14/01/2018
S NGT : hitam, BAB (-), Flatus (-), Demam (-)
O Status presens: CM
TD 124/70 mmhg
HR: 74 x/i
RR: T- piece 20x/i
Status Lokalisata: Thoraks simetris vesikular
Abdomen: simetris, distensi (-), soepel, peristaltic (+) lemah
Drain I : 30 cc (sorous haemorrahage )
Drain II: 150 cc (serous hemorrhage)
WSD: 100 cc/24 jam
A Gastric Injury Grade II + rupture diafragmatica d/t penetrating
toracoabdominal Stg Wound with diffuse Peritonitis
P Inf. Kalaven 1 fls/24 jam
Inj. Meropenem 1 gr/8 jam
Inf. Metronidazole 500mg
Inf. Omeprazole 40 mg/12 jam
IVFD Asering 20gtt/i
Hasil Hb/eri/leu/Ht/Plt: 9,1/4,31/21.170/29/332.000
laboratorium KGDs: 105 mg/dL
BUN/Ur/Cr: 23/49/0,81
Na/K/Cl: 139/4,6/106 (13/01)

Hb/eri/leu/Ht/Plt: 8,4/3,13/16.230/25/113.000
Alb: 2,1
KGDs: 99 mg/dL
BUN/Ur/Cr: 40/103/1,73
Na/K/Cl: 139/4,8/108
Procalcitonin: 11,31 (14/01)
Hasil USG

Hepatorenal pouch: collectomy fluid (+)


Splienrenal pouch : collectomy (-)

Rectovesica pouch collecting fluid (-)

15/01/2018
S Terintubasi
O Status Presens: CM
TD: 140/70 mmhg
HR: 80 x/i
RR: 22 x/i
HD stabil
WSD undulasi (+) produksi 200 cc terus
Drain: 100cc serous hemorrhage

A Post explorasi laparostomy + WSD + chest d/t penetrating


toracoabdominal Stg Wound + Gaster Perforasi Gr II + Diffuse
Peritonitis
P Inf. Asering 20 gtt/I (makro)
Inf. Kabiven 1 fls/24 jam
Inj. Meropenem 1 gr/8 jam
Inf. Metronidazole 500mg
Inj. Omeprazole 1 vial/24jam
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam

Hasil pH/pCO2/pO2/HCO3/BE/Sat: 7,44/33/189/22,4/23,4/-1,1/100


Laboratorium

16/01/2018
S Terintubasi
O A: clear, terintubasi
B: Spontan
C: TD 140/70 mmHg
D: sens: apatis
A Post exploriasi laparotomi d/t hollow organ perforasi
P IVFD RL 20 gtt/I
Inj. Kabiven 1 fls/ 24 jam
Inj. Meropenem 1 gr/8 jam
Inf. Metronidazole 500mg/ 8 jam
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
Inj. O meprazole 1 vial/24jam
Inj. Ketorolac 30 gr/8 jam
Hasil Hb/eri/leu/Ht/Plt: 8,2/2,99/5.480/25/124.000
Laboratorium pH/pCO2/pO2/HCO3/: 7,41/34/171/21,6
KGDs: 105 mg/dL
BUN/Ur/Cr: 32/68/1,34
Na/K/Cl: 146/4,1/107 (16/01)

17-20/01/2018
S -
O A: clear, terintubasi
B: Spontan
C: TD 116/66
D: sens: apatis
A Post exploriasi laparotomi d/t hollow organ perforasi
P IVFD RL 20 gtt/I
Drop kabiven 1 fls/ 24 jam
Inj. Metronidazole 500mg/ 8 jam
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
Inj. O meprazole 40 mg/12 jam
Inj. Ketorolac 30 gr/8 jam
R/Diet D5 % 50 cc/6jam
R/Tutup NGT 4 jam alirkan 2 jam
Hasil Hb/eri/leu/Ht/Plt: 9,4/3,6/7
Laboratorium pH/pCO2/pO2/HCO3/BE: 7,44/27/179/18,3/-4,5
Na/K/Cl: 145/4,3/107 (17/01)
Alb: 2,3
KGDs: 83
Na/K/Cl: 135/4,5/109
Procalcitonin: 0,36 (20/01)

22/01/2018
S -
O A: clear, terintubasi
B: Spontan
C: TD 116/66
D: sens: CM
HD stabil
A Post explorasi laparostomy + WSD + chest d/t penetrating toracoabdominal
Stg Wound + Gaster Perforasi Gr II + Diffuse Peritonitis
P IVFD RL 20 gtt/I
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
Inj. Ketorolac 30 gr/8 jam
Inj. Cefriaxon 1 gr/12 jam
Diet M II
R/ Ganti perban

23/01/2018
S -
O Sens: CM
HD stabil

A Post explorasi laparostomy + WSD + chest d/t penetrating


toracoabdominal Stg Wound + Gaster Perforasi Gr II + Diffuse Peritonitis
P PBJ
BAB 5

DISKUSI KASUS

NO TEORI KASUS

1 Definisi .Pria, 35 tahun datang ke IGD


Peritonitis adalah peradangan yang dengan keluhan luka tusuk pada
biasanya disebabkan oleh infeksi pada dada kiri yang dialami kurang lebih
selaput rongga abdomen (peritoneum), 6jamSMRS.Lukatusuk
lapisan membran serosa rongga abdomen disebabkan oleh preman setempat.
dan dinding perut sebelah dalam.
Peradangan ini merupakan komplikasi
berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ – organ
abdomen ( misalnya appendisitis,
salpingitis), ruptur saluran cerna atau dari
luka tembus abdomen. Dalam istilah
peritonitis meliputi kumpulan tanda dan
gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri
lepas pada palpasi, defans muskular, dan
tanda – tanda umum inflamasi.
2 Manifestasi Klinis Pada pemeriksaan fisik abdomen
yangdilakukan
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara padapasein
dijumpai:
klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut
Inspeksi:
abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan simetris, dullness(+),
Palpasi: Dijumpai nyeri tekan pada
tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum
seluruh lapangan abdomen, defans
visceral) yang makin lama makin jelas
lokasinya (peritoneum parietal). Nyerimuscular (+),
Perkusi: timpani,
abdomen yang hebat biasanya memiliki

punctum maximum ditempat tertentuAuskultasi: bising usus menurun.


sebagai sumber infeksi. Dinding perut
akan terasa tegang karena mekanismeVital Sign:
antisipasi penderita secara tidak sadarTD: 100/60 mmgHg (Normotensi)
untuk menghindari palpasinya yangHR: 90x/menit
menyakinkan atau tegang karena iritasiHR: 20x/menit
T: 36,8
peritoneum. Pada wanita dilakukan
pemeriksaan vagina bimanual untuk
membedakan nyeri akibat pelvicHasil laboratorium pada pasien
dijumpai:
inflammatorium disease.
Hb/ Eri/ Leu/ Ht/ PLT: 8,4/
Gejala Klinis menurut Ahmad H.3.13/16.230/ 25/ 113.000
Asdie, 1995: 1612 Kesan: anemia+ leukositosis+
a. Nyeri abdomen akut dan nyeritrombositopenia
tekan
b. Badan lemas
c. Peristaltik dan suara usus
menghilang
d. Hipotensi
e. Tachicardi
f. Oligouria
g. Nafas dangkal
h. Leukositosis
i. Terdapat dehidrasi.
i.
h. Splien
renal pouch : collectomy (-)

g. Rectov
f.
esica pouch collecting fluid
3 Penegakan Diagnosis Kesimpulan foto abdomen 3
posisi: Tidak tampak batu radio
Pada peritonitis dilakukan foto polos
abdomen 3 posisi yaitu opaque.
a. Tidur telentang (supine), sinar dari
Spondilosis lumbalis
arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior
b. Duduk atau setengah duduk atau
USG:
berdiri kalau memungkinkan dengan
sinar dari arah horizontal proyeksi
anteroposterior
c. Tiduran miring ke kiri (left lateral
decubitus), dengan sinar horizontal
proyeksi anteroposterior

Sebelum terjadi peritonitis, jika


penyebabnya adanya gangguan pasase
Hepatorenal pouch: collectomy
usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3
posisi didapatkanfluid (+)
gambaran radiologis antara lain :
a. Posisi tidur, untuk melihat distribusi
usus, preperitoneal fat, ada tidaknya
penjalaran. Gambaran yang diperoleh
yaitu pelebaran usus di proksimal
daerah obstruksi, penebalan dinding
usus, gambaran seperti duri ikan
(Herring bone appearance).
b. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level
dan kemungkinan perforasi usus. Dari
air fluid level dapat diduga(-) gangguan
pasase usus. Bila air fluid level pendek
berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika
panjang-panjang
kemungkinan gangguan di
kolon.Gambaran yang diperoleh
adalah adanya udara bebas infra
diafragma dan air fluid level.
c. Posisi setengah duduk atau berdiri.
Gambaran radiologis diperoleh
adanya air fluid level dan step ladder
appearance
4 Penatalaksanaan Pada pasien telah diberikan

a. Penggantian cairan dan elektrolittatalaksana faramkologi:


yang hilang secara ingravena. Inf. Asering 20 gtt/I (makro)
Resusitasi dengan larutan saline
Inf. Kabiven 1 fls/24 jam
isotonik sangat penting.
b. Antibiotik spektrum luas diberikan Inj. Meropenem 1 gr/8 jam
secara empirik dan kemudian diubah
Inf. Metronidazole 500mg
jenisnya setelah hasil kultur keluar.
Antibiotika berspektrum luas juga Inj. Omeprazole 1 vial/24jam
merupakan tambahan drainase
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
bedah. Harus tersedia dosis yang
cukup pada saat pembedahan, Dilakukan pemasangan WSD
karena bakteremia akan berkembang
Dilakukan laparotomi explorasi.
selama operasi.
c. Pembuangan fokus septik atau
penyebab radang lain dilakukan
dengan operasi laparotomi. Insisi
yang dipilih adalah insisi vertikal
digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan
mudah dibuka serta ditutup. Jika
peritonitis terlokalisasi, insisi
ditujukan diatas tempat inflamasi.
d. Lavase peritoneum dilakukan pada
peritonitis yang difus, yaitu dengan
menggunakan larutan kristaloid
(saline).Bila peritonitisnya
terlokalisasi, sebaiknya tidak
dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat
menyebabkan bakteria menyebar
ketempat lain.
e. Drainase (pengaliran) pada
peritonitis umum tidak dianjurkan,
karena pipa drain itu dengan segera
akan terisolasi/terpisah dari cavum
peritoneum, dan dapat menjadi
tempat masuk bagi kontaminan
eksogen. Drainase berguna pada
keadaan dimana terjadi kontaminasi
yang terus – menerus (misalnya
fistula) dan diindikasikan untuk
peritonitis terlokalisasi yang tidak
dapat direseksi.
BAB 6
KESIMPULAN

Seorang pria berusia 35 tahun didiagnosis dengan penerating abdomeninjury with diffuse
peritonitis dan diberikan tatalaksana:
IVFD Ringer Laktat Cor 4 Fl
Injeksi Ceftriakson 1gr/ 12 jam
Injeksi Ranitidin 50 mg/ 12 jam
Injeksi Ketorolac 30 mg/ 12 jam
Eksplorasi Laparotomi emergensi
DAFTAR PUSTAKA
1. Bone RC. The sepsis syndrome. Definition and general approach to management. Clin
Chest Med.1996 Jun;17(2):175-81
2. Hadley GP. Intra-abdominal sepsis Epiddemiology,aetiology,and management.Semin Pediatr
Surg.2014;12(10)357-62
3. Menicheti F, Sganga G. Definition and Classification of intra-abdominal Infections. J
Chemother. 2009;21(supI) :3-4.
4. Baue AE, Faist E. Multiple organ failure. Pathophysiology, Prevention and therapy VOL.366
, Langenbecks Archiv fur chirurgie. New York: Springer:2000.397-401p
5. Mazuki. Intra Abdomen infections. Surg Clin North Am. 2009;89(2):421-37
6. Solomkin JS, John E, Mazuski, Ellie J.C., et al. Diagnosis and management of complicated
intraabdominal infection in adults and children : Guidelines by Surgical Infection Society and
The Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 2010;50(2):133-64.
7. Wittmann DH, Sganga M, Condon RE. Management of secondary peritonitis. Ann
Surg.1996;224(1):10-8
8. Shekelle PG, Woolf SH. Developping clinical guidelines. West J Med 1999;170(6);348-51
9. Montraver P, Blot S,et al. Theraupeutic management of peritonitis :a comprehensive guide
for intensivist. Intensive Care Medd. 2016.
10. Sartelli M, Catena F, Coccolini F. Anti microbal management off intraabdominal infections:
Literature guidlinesWorld J Gastroenterol:2012;18(9)
11. Koperna T, Schulz F, Prognosis and treatment of patiens with persisting intraabdominal
infections. worldJsurg. 2000;24(1:32-7
i
2

Anda mungkin juga menyukai