Anda di halaman 1dari 48

CASE REPORT SESSION/CRS

* Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A219120 / Desember 2020

** Pembimbing/ dr. Yulianti, Sp.T.H.T.K.L

FARINGITIS DAN LARINGITIS

Fathin Fadhilah* dr. Yulianti, Sp.T.H.T.K.L**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN THT-KL RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS JAMBI

2020
LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION

FARINGITIS DAN LARINGITIS

Oleh:

Fathin Fadhilah

G1A219120

Sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian THT-KL RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

Jambi, Desember 2020

Pembimbing,

dr. Yulianti, Sp.T.H.T.K.L


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat mengenai “Faringitis
dan Laringitis ” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian THT-KL di Rumah Sakit Umum Raden Mattaher Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Yulianti, Sp.T.H.T.K.L yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan
Klinik Senior Bagian THT-KL di Rumah Sakit Umum Raden Mattaher Jambi.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan guna kesempurnaan
laporan kasus ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Jambi, Desember 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke jaringan
sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan tonsilitis, rinitis dan laringitis.
Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 tahun di daerah dengan iklim panas. Faringitis
dijumpai pula pada dewasa yang masih memiliki anak usia sekolah atau bekerja di
lingkungan anak-anak.1
Menurut National Ambulatory Medical Care Survey, infeksi saluran pernafasan atas,
termasuk faringitis akut, dijumpa 200 kunjungan ke dokter per 1000 penduduk per tahun di
Amerika Serikat. Faringitis akut merupakan salah satu klasifikasi dalam faringitis. Faringitis
akut adalah suatu penyakit peradangan tenggorok yang bersifat mendadak dan cepat
memberat dapat terjadi pada semua umur. Peradangan ini sering terjadi pada anak usia 5-15
tahun dan jarang pada anak usia di bawah 3 tahun, insiden meningkat seiring bertambahnya
usia, mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun dan berlanjut sepanjang akhir masa anak
hingga dewasa. Diperkirakan sebanyak 15 juta kasus faringitis didiagnosis setiap tahunnya di
Amerika Serikat dengan 15-30% pada anak usia sekolah dan 10% diderita oleh dewasa.
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus 40-60%, bakteri
5-40%, alergi, trauma, dan iritan.1,2
Laringitis adalah inflamasi pada mukosa laring yang kebanyakan disebabkan oleh
infeksi saluran pernapasan. Laringitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Pada laringitis
akut, onset penyakit mendadak dan umumnya self limited. Pada laringitis kronik, perlu
dipikirkan penyakit yang mendasari, misalnya alergi atau gastroesophageal reflux disease.
Epiglotitis akut merupakan bagian dari laringitis akibat infeksi bakteri, biasanya
disebabkan oleh Streptococcus beta hemoliticus atau Haemophilus influenzae tipe B.
Sementara croup merupakan laringotrakeobronkitis akibat infeksi virus pada anak. Etiologi
lain yang dapat menyebabkan laringitis adalah trauma dan kondisi inflamasi kronik. Risiko
meningkat pada overuse plika vokalis (contoh: berteriak atau bernyanyi), merokok, sleep
apnea, dan imunokompromais.3,4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faring
2.1.1 Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di
bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra.
Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambng ke esofagus setinggi vertebra
cervikal ke-6. Ke atas faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, kedepan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring sedangkan dengan laring dibawah
berhubungan melalui aditus laring dan kebawah berhubungan degan esofagus.5,6

Gambar 3.1. Anatomi Faring


Atlas of Human Anatomy 4th Edition
Faring terdiri atas :
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum
mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur
penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring
yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur
embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan
kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus
dan n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna bagian petrosus os temporalis dan
foramen laserum dan muara tuba Eustachius.6,7

2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang
adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior
faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual dan foramen sekum.6,7

3. Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah
laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal. Struktur
pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan
yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika
lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa
orang, kadang – kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat
epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih
melebar, meskipun kadang – kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai
dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya.
Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus.
Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesik lokal difaring dan
laring pada tindakan laringskop langsung.6,7

Ruang Faringal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis mempunyai arti
penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring.
Ruang retrofaring( Retropharyngeal space), dinding anterior ruang ini adalah dinding
belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot – otot faring.
Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar
tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat – serat
jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra.Di sebelah lateral ruang ini
berbatasan dengan fosa faringomaksila. 6,7
Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa), ruang ini berbentuk kerucut dengan
dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada
kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. konstriktor faring superior,
batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. pterigoid interna dan
bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama
besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid)
adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil
yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian
yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v. jugularis
interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid
sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu lapisan fasia yang tipis.6,7

2.1.2 Fisiologi Faring


Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi suara dan
untuk artikulasi.
 Proses menelan
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke
faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap ketiga,
jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya
adalah: pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan
palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang
hioid dan laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah
aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan
kebawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media
dan superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis
inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya
berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung.8
 Proses Berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring.
Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring.
Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring
dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring
superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum
mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini
diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2
macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring
(bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin
kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.8
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi,
tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat
bersamaan dengan gerakan palatum.

2.2 Faringitis Akut


2.2.1 Definisi
Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau bakteri, yang
ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran
kelenjar getah bening leher dan malaise Faringitis akut dan tonsillitis akut sering ditemukan
bersama-sama dan dapat menyerang semua umur. Penyakit ini ditular melalui kontak dari
sekret hidung dan ludah (droplet infections).7,9
2.2.2 Etiologi
Faringitis dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Banyak mikroorganisme yang
dapat menyebabkan faringitis, antaranya virus (40-60%) dan bakteri (5-40%) yang paling
sering ( Rusmarjono dan Efiaty Arsyad Soepardi, 2007). Kebanyakan faringitis akut
disebabkan oleh agen virus. Virus yang menyebabkan faringitis termasuk Influenza virus,
Parainfluenza virus, Coronavirus, Coxsackie viruses A dan B, Cytomegalovirus, Adenovirus
dan Epstein Barr Virus (EBV). Selain itu, infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV) juga
dapat menyebabkan terjadinya faringitis.10,11
Faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri termasuk Group A Beta Hemolytic
Streptococcus (GABHS), Group C Beta Hemolytic Streptococcus, Neisseria gonorrhoeae,
Corynebacterium diphtheria, Arcanobacterium haemolyticum dan sebagainya. Infeksi Group
A Beta Hemolytic Streptococcus (GABHS) merupakan penyebab faringitis akut pada 5-15%
dewasa dan 20-30% pada anak-anak (5-15 tahun).12,13
Neisseria gonorrhoeae sebagai penyebab faringitis bakterial gram negative ditemukan
pada pasien aktif secara seksual, terutama yang melakukan kontak orogenital. Dalam sebuah
penelitian pada orang dewasa yang terinfeksi gonorea, faringitis gonokokal ditemukan 20%
pada pria homoseksual, 10% pada wanita dan 3% pada pria heteroseksual. Sekitar 50%
individu yang terinfeksi adalah tanpa gejala, meskipun odinofagia, demam ringan dan eritema
dapat terjadi. Selain itu, Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring dan
menyumbang terjadinya faringitis fungal. Faringitis gonorea hanya terdapat pada pasien yang
menlakukan kontak orogenital.10,12
Faktor resiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan
tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi makanan yang kurang gizi,
konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok, dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita
yang menderita sakit tenggorokan atau demam.12,13

2.2.3 Epidemiologi
Faringitis merupakan penyakit umum pada dewasa dan anak-anak. National Ambulatory
Medical Care Survey dan National Hospital Ambulatory Medical Care Survey telah
mendokumentasikan antara 6,2-9,7 juta kunjungan anak-anak dengan faringitis ke klinik dan
departemen gawat darurat setiap tahun, dan lebih dari 5 juta kunjungan orang dewasa per
tahun Menurut National Ambulatory Medical Care Survey, infeksi saluran pernafasan atas,
termasuk faringitis akut, dijumpa 200 kunjungan ke dokter per 1000 penduduk per tahun di
Amerika Serikat.15,16
Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-anak. Kira-kira 15-30%
kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus faringitis pada orang dewasa
terjadi pada musim sejuk adalah akibat dari infeksi Group A Streptococcus. Faringitis jarang
terjadi pada anak-anak kurang dari 3 tahun.10,11

2.2.4 Gejala Klinis


Gejala-gejala yang timbul pada faringitis akut bergantung pada mikroorganismenya.
Faringitis akut yang disebabkan bakteri mempunyai gejala nyeri kepala yang hebat, suhu
tubuh tinggi atau menggigil, malaise, nyeri menelan, muntah dan mungkin batuk tapi jarang.
Faringitis akibat infeksi bakteri Streptococcus group A dapat diperkirakan dengan
menggunakan Centor criteria, yaitu demam, limfaadenopati pada anterior servikal, eksudat
pada tonsil, tidak ada batuk.12,14
Faringitis yang disebabkan virus biasanya mempunyai gejala nyeri tenggorokan dan
dapat disertai dengan batuk, suara serak dan nyeri substernal. Demam, nyeri tenggorok,
rinorea, mual, menggigil, malaise, mialgia dan sakit kepala juga dapat terjadi. Sedangkan
gejala pada faringitis fungal adalah nyeri tenggorokan dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan
tampak plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis.10,12

2.2.5 Diagnosis
Pada faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri, pemeriksaan pada faring yang dapat
dilihat yaitu adanya eritema faring dan tonsil, eksudat pada faring dan tonsil, petechiae
palatine, edema uvula dan limfadenopati servikalis anterior. Tidak semua pasien didapati
dengan semua gejala tersebut, banyak pasien datang dengan gejala yang ringan dan tanpa
eksudatif. Anak-anak di bawah 3 tahun dapat disertai coryza dan krusta hidung. Faringitis
dengan eksudat jarang terjadi pada umur ini.6,15
Pada faringitis viral, pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza,
Coxsachie virus dan Cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxsachie virus dapat
menimbulkan lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Epstein
Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang
banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan
hepatosplenomegali.6,7
Tabel 2.1 Perbedaan Klinis antara Faringotonsilitis Virus dan Bakteri.17

Diagnosis biasanya dibuat tanpa kesulitan, terutama bila terdapat tanda dan gejala yang
mengarah ke faringitis. Biakan tenggorokan membantu dalam menentukan organisme
penyebab faringitis, dan untuk membedakan faringitis karena bakteri atau virus. Sangatlah
penting untuk mengetahui onset, durasi, progresifitas dan tingkat keparahan dari gejala yang
menyertai seperti demam, batuk, kesukaran bernafas, pembengkakan limfonodi, paparan
infeksi, dan adanya penyakit sistemik lainnya seperti diabetes dan lain-lain. Faring harus
diperiksa apakah terdapat tanda-tanda eritem, hipertrofi, adanya benda asing, eksudat, massa,
petechie dan adenopati.9,15
Juga penting untuk menanyakan gejala yang dialami pasien seperti demam, timbulnya
ruam kulit (rash), adenopati servikalis dan coryza. Jika dicurigai faringitis yang disebabkan
oleh Streptococcus, seorang dokter harus mendengar adanya suara murmur pada jantung dan
mengevaluasi apakah pada pasien terdapat pembesaran lien dan hepar. Apabila terdapat tonsil
eksudat, pembengkakan kelenjar limfe leher, tidak disertai batuk dan suhu badan meningkat
sampai 38ºC maka dicurigai adanya faringitis karena infeksi GABHS.9,15
Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang dilakukan untuk menegaskan suatu
diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri GABHS. Untuk mencapai hasil yang
akurat, pangambilan swab dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring posterior.
Spesimen diinokulasi pada agar darah dan ditanami disk antibiotik. Kriteria standar untuk
penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah persentase sensitifitas mencapai 90-99 %. Kultur
tenggorok sangat penting bagi penderita yang lebih dari 10 hari.9,15
2.2.6 Tatalaksana
1. Faringitis Viral
 Istirahat dan minum yang cukup, kumur dengan air hangat. Analgetik jika perlu dan
tablet isap.
 Antivirus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan
dosis 60-100 mg/kgBB terbagi dalam 4-6 kali pemberian / hari pada orang dewasa,
sedangkan pada anak < 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB terbagi dalam 4-6 kali
pemberian/ hari.
2. Faringitis Bakteri
 Antibiotik
Diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini grup A Streptokokus β
hemolitikus. Penicilin G Benzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal, atau amoksisilin
50 mg/kgBB yang terbagi 3 kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500 mg
selama 6-10 hari atau eritromisin 4 x 500 mg/hari.
 Kortikosteroid
Deksametason 8-16 mg, IM 1 kali. Pada anak 0,08- 0,3 mg/kgBB, IM 1 kali.
 Analgetik
 Kumur dengan air hangat atau antiseptik.6,12
3. Faringitis Fungal
 Terapi diberikan Nystatin 100.000 – 400.000 2 kali/ hari.
 Analgetika
4. Faringitis gonorea
 Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.
 Terapi diberikan Sefalosporin generasi ke-3, Ceftriaxon 250 mg IM
2.2.7 Komplikasi
 Komplikasi Supuratif
Ini terjadi karena keterlibatan struktur yang berdekatan dengan infeksi, atau oleh infeksi
yang menyebar ke area drainase. Mereka termasuk abses peritonsillar dan phlegmon, abses
retropharyngeal, otitis media akut, sinusitis, mas-toiditis dan adenitis servikal supuratif.
Tromboflebitis vena jugularis interna (sindrom Lemierre), nekrosis faring, meningitis, atau
abses metastasis melalui penyebaran hematogen lebih luar biasa.
 Komplikasi Non-supuratif
Demam rematik akut dan glomeru-lonephritis pasca streptokokus layak disebutkan;
mereka terjadi setelah periode alatency beberapa minggu. Demam rematik sangat jarang
terjadi di negara maju; dengan kejadian tahunan satu kasus per 100.000 penduduk, tetapi itu
tetap menjadi penyebab utama penyakit jantung pada anak-anak di negara berkembang.4,17

2.3 Faringitis kronik

Terdapat 2 bentuk yakni faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi. Faktor
predisposisi proses peradangan kronis di faring ini yakni rinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik
oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Faktor
lainnya yakni pasien dengan kebiasaan bernafas melalui mulut karena hidungnya tersumbat.

a. Faringitis kronik hiperplastik

Pada faringitis tipe ini terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring. Tampak
kelenjar limfa dibawah mukosa faring dan lateral band hiperplasia. Pada pemeriksaan
tampak mukosa dinding faring posterior tidak rata, bergranular. Gejala pasien yakni
mengeluhkan mula-mula tenggorokan kering gatal dan akhirnya batuk yang bereak.

Terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan
nitras argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan simtomatik diberikan obat
kumur atau tablet isap. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.
Underlying deases harus diobati misalnya penyakit di hidung dan sinus paranasalis.

b. Faringitis kronik atrofi

Faringitis tipe ini sering timbul bersamaan dengan rinitis atrofi. Pada rinitis atrofi,
udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya, sehingga menimbulkan rangsangan
serta infeksi pada faring. Gejala dan tandanya yakni pasien mengeluh tenggorokan kering dan
tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi lendir yang kental
dan bila diangkat lendirnya tampak mukosa kering.

Terapi ditujukan pada rinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik atrofi ditambahkan
dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.
2.4 Faringitis Spesifik

a. Faringitis luetika

Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring seperti juga penyakit
lues di organ lain. Gambaran klinisnya tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder
atau tersier.

Stadium Primer

Kelainan pada stadium primer terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil dan
dinding posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi terus berlangsung maka
timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yakni tidak nyeri. Juga
didapatkan pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan.

Stadium Sekunder

Stadium ini jarang ditemukan. Terdapat eritema pada dinding faring yang
menjalar ke arah laring.

Stadium Tersier

Pada stadium ini terdapat guma. Predileksinya pada tonsil dan palatum. Jarang
pada dinding posterior faring. Guma pada dinding posterior faring dapat meluas ke vertebra
servikal dan bila pecah dapat menyebabkan kematian. Guma yang terdapat di palatum mole,
bila sembuh akan terbentuk jaringan parut (sikatrik) yang dapat menimbulkan gangguan
fungsi palatum secara permanen.

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan serologik. Terapi penisilin dalam


dosis tinggi merupakan obat pilihan utama.

b. Faringitis Tuberkulosis

Faringitis tipe ini merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Pada
infeksi kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring primer. Cara
infeksi eksogen yakni kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman
melalui udara. Cara infeksi endogen yakni penyebaran melalui darah pada tuberkulosis
miliaris. Bila infeksi timbul secara hematogen maka tonsil dapat terkena pada kedua sisi dan
lesi sering ditemukan pada dinding posterior faring, arkus faring anterior, dinding lateral
hipofaring, palatum mole dan palatum durum. Kelenjar regional leher membengkak. Saat ini
diketahui juga penyebaran secara limfogen.

Gejala pada pasien yakni keadaan umum pasien buruk karena anoreksia dan
odinofagia. Pasien mengeluh nyeri yang hebat di tenggorokan, nyeri di telinga atau otalgia
serta pembesaran kelenjar limfa servikal.

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan sputum BTA (Basil Tahan Asam),


foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru dan biopsi jaringan yang terinfeksi untuk
menyingkirkan proses keganasan serta mencari kuman basil tahan asam di jaringan.

Terapinya sesuai dengan terapi tuberkulosis paru.

2.5 Diferential Diagnosis


3.1 Embriologi, Anatomi, dan Fisiologi Laring18,19
3.1.1 Embriologi Laring19

Faring, laring, trakea dan paru merupakan derivat foregut embrional yang
terbentuk sekitar 18 hari setelah terjadi konsepsi. Tidak lama sesudahnya terbentuk alur
faring median yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernafasan dan benih laring.
Sulkus atau alur laringotrakeal mulai nyata sekitar hari ke 21 kehidupan embrio. Perluasan
alur ke kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung
dan kemudian menjadi dua lobus pada hari ke 27 atau 28. Bagian yang paling proksimal dari
tuba akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat dikenali pada hari
ke 33. Sedangkan kartilago, otot, dan sebagian besar pita suara terbentuk dalam 3-4 minggu
berikutnya. Hanya kartilago epiglotis yang tidak terbentuk hingga masa midfetal. Banyak
struktur merupakan derivat aparatus brankialis.
Gambar 1. Embriologi Laring
Sumber: Diunduh dari http://researchgate.net pada tanggal 29 Desember 2020

3.1.2 Anatomi Laring17

Laring berada di depan dan sejajar dengan vetebra servikalis 4 sampai 6, bagian
atasnya yang akan melanjutkan ke faring berbentuk seperti bentuk limas segitiga dan bagian
bawahnya yangg akan melanjutkan ke trakea berbentuk seperti sirkular.

Laring dibentuk oleh sebuah tulang yaitu tulang hyoid di bagian atas dan beberapa
tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf „U‟, yang permukaan atasnya
dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Saat
menelan, konstraksi otot-otot (m.sternohyoid dan m.tirohyoid) ini akan menyebabkan laring
tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membantu
menggerakan lidah.

Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago tiroid, krikoid, aritenoid,
kornikulata, kuneiform, dan epiglotis. Kartilago tiroid merupakan tulang rawan laring yang
terbesar, terdiri dari dua lamina yang bersatu di bagian depan dan mengembang ke arah
belakang. Tulang rawan ini berbentuk seperti kapal yang bagian depannya mengalami
penonjolan membentuk “adam’s apple” dan di dalamnya terdapat pita suara, serta
dihubungkan dengan kartilago krikoid oleh ligamentum krikotiroid.

Kartilago krikoid terbentuk dari kartilago hialin yang berada tepat dibawah kartilago
tiroid berbentuk seperti cincin signet, pada orang dewasa kartilago krikoid terletak setinggi
dengan vetebra C6 sampai C7 dan pada anak-anak setinggi vetebra C3 sampai C4.

Kartilago aritenoid mempunyai ukuran yang lebih kecil, bertanggung jawab untuk
membuka dan menutup laring, berbentuk seperti piramid, terdapat 2 buah (sepasang) yang
terletak dekat permukaan belakang laring dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid,
sendi ini disebut artikulasi krikoaritenoid. Sepasang kartilago kornikulata atau bisa disebut
kartilago santorini melekat pada kartilago aritenoid di daerah apeks dan berada di dalam
lipatan ariepiglotik. Sepasang kartilago kuneiformis atau bisa disebut kartilago wrisberg juga
terdapat di dalam lipatan ariepiglotik. Kartilago kornikulata dan kuneiformis berperan dalam
rigiditas dari lipatan ariepiglotik. Sedangkan kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum
hiotiroid lateral.

Gambar 2. Anatomi Laring


Sumber: Diunduh dari http://ncbi.nlm.nih.gov pada tanggal 29 Desember 2020

Epiglotis merupakan kartilago yang berbentuk daun dan menonjol keatas dibelakang
dasar lidah. Epiglotis ini melekat pada bagian belakang kartilago thyroidea. Plika ariepiglotika
berjalan kebelakang dari bagian samping epiglotis menuju cartilago arytenoidea, membentuk batas
jalan masuk laring. Membran mukosa di laring sebagian besar dilapisi oleh epitel respiratorius,
terdiri dari sel-sel silinder yang bersilia. Plika vokalis dilapisi oleh epitel skuamosa.

Plika vokalis adalah dua lembar membrana mukosa tipis yang terletak di atas
ligamenturn vokalis, dua pita fibrosa yang teregang di antara bagian dalam kartilago tiroidea
di bagian depan dan kartilago aritenoidea di bagian belakang. Plika vokalis palsu adalah dua
lipatan membrana mukosa tepat di atas plika vokalis sejati. Bagian ini tidak terlibat dalarn
produksi suara.

Gambar 3. Anatomi laring


Sumber: Diunduh dari http://asha.org pada tanggal 29 Desember 2020

Pada laringn terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi
krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum
seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum krikotiroid medial, ligamentum
krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringeal, ligamentum hiotoroid lateral,
ligamentum hiotiroid media, ligamentum hioepiglotika, ligamentum ventrikularis,
ligamentum vokalis yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid dan
ligamentum tiroepiglotika.
Gambar 4. Tulang, kartilago, dan ligamentum pada laring
Sumber: Diunduh dari http://academic.kellogg.edu pada tanggal 29 Desember 2020

Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot


instrinsik. Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan
otot-otot instrinsik menyebabkan gerakan bagian-bagian laring sendiri. Otot-otot ekstrinsik
laring ada yang terletak diatas tulang hyoid (suprahyoid), dan ada yang terletak dibawah
tulang hyoid (infrahyoid). Otot ekstrinsik suprahyoid ialah m. digastricus, m. geniohyoid,
m.stilohyoid, dan m.milohyoid. Otot yang infrahyoid ialah m.sternohyoid dan m.tirohyoid.
Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahyoid berfungsi menarik laring kebawah, sedangkan
yang infrahyoid menarik laring keatas. Otot-otot intrinsik laring ialah m.krikoaritenoid
lateral, m.tiroepiglotika, m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika, dan m.krikotiroid. Otot-
otot ini terletak di bagian lateral laring. Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian
posterior ialah m. aritenoid transversum, m.ariteniod oblik dan m. krioaritenoid posterior.
Gambar 5. Otot-otot intrinsik laring.
Sumber: Diunduh dari http://researchgate.net pada tanggal 29 Desember 2020
Gambar 6. Otot-otot ekstrinsik laring.
Sumber: Diunduh dari http://researchgate.net pada tanggal 21 Oktober 2020

Rongga laring

Batas atas rongga laring ialah aditus laring, batas bawahnya ialah bidang yang melalui
pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah permukaan belakang epiglotis,
tuberkulum epiglotis, ligamentum tiroepiglotis, sudut antara kedua belah lamina kartilago
tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya ialah membran kuadran agularis, kartilago
aritenoid, konus elastikus, dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas belakangnya ialah
m.aritenoid transversus dan lamina kartilago krikoid.

Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokalis dan ligamentum


ventrikularis, maka terbentuklah plika vokalis (pita suara asli) dan plika ventrikularis (pita
suara palsu). Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan disebut rima glotis, sedangkan antara
kedua plika ventrikularis disebut rima vestibuli.

Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam tiga bagian, yaitu
vestibulum laring, glotis, dan subglotis.
Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat diatas plika ventrikularis. Daerah
ini disebut supraglotis. Antara plika vokalis dan pita ventrikularis, pada tiap sisinya disebut
ventrikulus laring Morgagni.

Rima glotis terdiri dari dua bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian
interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plika vokalis, dan terletak
dibagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua puncak kartilago
aritenoid, dan terletak di bagian posterioir. Daerah subglotis adalah rongga laring yang
terletak di bawah pita suara (plika vokalis).

Persarafan

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.laringeus superior dan
n.laringeus inferior (rekuren). Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan
sensorik. Nervus laringeus superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga memberikan
sensasi pada mukosa laring dibawah pita suara. Saraf ini mula-mula terletak diatas
m.konstriktor faring medial, disebelah medial a.karotis interna, kemudian menuju ke kornu
mayor tulang hyoid dan setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior,
membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus.

Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m.konstriktor faring inferior dan
menuju ke m.krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh m.tirohyoid terletak
disebelah medial a.tiroid superior, menembus membran hiotiroid, dan bersama-sama dengan
a.laringeus superior menuju ke mukosa laring.

Nervus laringeus inferior merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah saraf itu
memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan lanjutan
dari n.vagus.

Nervus rekuren kanan akan menyilang a.subklavia kanan dibawahnya, sedangkan


n.rekuren kiri akan menyilang aorta. Nervus laringis inferior berjalan diantara cabang-cabang
arteri tiroid inferior, dan melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai pada
permukaan medial m.krikofaring. Disebelah posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf ini
bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus posterior, Ramus anterior akan
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior
mempersyarafi otot-otot intrinsik laring superior dan mengadakan anstomosis dengan
n.laringitis superior ramus internus.

Gambar 7. Innervasi dan vaskularisasi laring.


Sumber: Diunduh dari http://jtd.amegroups.com pada tanggal 30 Desember 2020

Vaskularisasi

Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang yaitu a.laringitis superior dan a.laringitis
inferior.

Arteri laringeus superior merupakan cabang dari a.tiroid superior. Arteri laringitis
superior berjalan agak mendatar melewati bagian belakang membran tirohyoid bersama-sama
dengan cabang internus dari n.laringis superior kemudian menembus membran ini untuk
berjalan kebawah di submokosa dari dinding lateral dan lantai dari sinus piriformis, untuk
memperdarahi mukosa dan otot-otot laring.

Arteri laringeus interior merupakan cabang dari a.tiroid inferior dan bersama-sama
dengan n.laringeus inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid, masuk laring melalui
daerah pinggir bawah dari m.konstriktor faring inferior. Di dalam arteri itu bercabang-cabang
memperdarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan a.laringeus superior.

Pada daerah setinggi membran krikotiroid, a.tiroid superior juga memberikan cabang
yang berjalan mendatar sepanjang membran itu sampai mendekati tiroid. Kadang-kadang
arteri ini mengirimkan cabang yang kecil melalui membran krikotiroid untuk mengadakan
anastomosis dengan a.laringeus superior.

Vena laringeus superior dan vena laringeus inferior letaknya sejajar dengan a.laringis
superior dan inferior dan kemudian bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior.

Pembuluh Limfe

Pembuluh limfa untuk laring berjumlah banyak, kecuali di daerah lipatan vokal.
Disini mukosanya tipis dan melekat erat dengan ligamentum vokalis. Di daerah lipatan
vokalis pembuluh limfa dibagi dalam golongan superior dan inferior.

Pembuluh eferen dari golongan superior berjalan lewat lantai sinus piriformis dan
a.laringeus superior, kemudian ke atas, dan bergabung dengan kelenjar dari bagian superior
rantai servikal dalam. Pembuluh eferen dari golongan inferior berjalan kebawah dengan
a.laringeus inferior dan bergabung dengan kelenjar servikal dalam, dan beberapa dintaranya
menjalar sampai sejauh kelenjar supraklavikular.
Gambar 8. Sistem limfatik laring.
Sumber: Diunduh dari http://jtd.amegroups.com pada tanggal 30 Desember 2020

3.1.3 Fisiologi Laring17,18

Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi disamping
beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut:
1. Fungsi Fonasi

Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara


dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi
antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan
udara pernafasan subglotis dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi
seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada
dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik
laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk
dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati.
2. Fungsi Proteksi
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot
yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,
pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada
pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid
melalui serabut afferen n.laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan
epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah
proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke
lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
3. Fungsi Respirasi

Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga


dada dan m.krikoaritenoideus posterior terangsang sehingga kontraksinya
menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO 2
dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima
glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis.
Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara
reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan
menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO 2 darah dan pH darah
berperan dalam mengontrol posisi pita suara.
4. Fungsi Sirkulasi

Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian


tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding
laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti
jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor
dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui
n.laringeus rekurens dan ramus komunikans n.laringeus superior. Bila serabut ini
terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.
5. Fungsi Fiksasi

Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi,


misalnya batuk, bersin dan mengedan.
6. Fungsi Menelan
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu: Pada waktu menelan faring bagian bawah
(m.konstriktor faringeus superior, m.palatofaringeus dan m.stilofaringeus)
mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta
menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah
dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah
makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan
menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis.
Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus
laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus
laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.
7. Fungsi Batuk

Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,


sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak
menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi
benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada
mukosa laring.

8. Fungsi Ekspektorasi

Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut.
9. Fungsi Emosi

Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada


waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.

3.2 Laringitis Akut


3.2.1 Definisi19
Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi,
baik secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan
berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3
minggu dinamakan laringitis kronis. Radang akut laring pada umumnya merupakan
kelanjutan dari rinofaringitis akut (common cold). Sedangkan laringitis kronik
merupakan radang kronis laring yang dapat disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi
septum yang berat, polip hidung atau bronkitis kronis. Mungkin juga disebabkan oleh
penyalahgunaan suara (vokal abuse) seperti berteriak-teriak atau biasa berbicara
keras.

Gambar 9. Laringitis
Sumber: Diunduh dari http://health.harvard.edu pada tanggal 30 Desember 2020

3.2.2 Epidemiologi

Laringitis atau croup mempunyai puncak insidensi pada usia 1-2 tahun.
Sebelum usia 6 tahun laki-laki lebih mudah terserang dibandingkan perempuan,
dengan perbandingan laki-laki/perempuan 1.43:1. Banyak dari kasus-kasus croup
timbul pada musim gugur dimana kasus akibat virus parainfluenza lebih banyak
timbul. Pada literatur lain disebutkan croup banyak timbul pada musim dingin, tetapi
dapat timbul sepanjang tahun. Kurang lebih 15% dari para penderita mempunyai
riwayat croup pada keluarganya.20

3.2.3 Etiologi19
Sebagai penyebab radang ini ialah bakteri, yang menyebabkan radang lokal
atau virus yang menyebabkan peradangan sistemik.
1. Laringitis akut ini dapat terjadi dari kelanjutan infeksi saluran nafas seperti
influenza atau common cold. Infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza
(tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus
influenza, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus
aureus dan Streptococcus pneumonia.
2. Gastro esofageal reflux disease (GERD).
3. Perubahan musim/cuaca.
4. Pemakaian suara yang berlebihan (vokal trauma).
5. Environmental insults (polusi).
6. Trauma.
7. Bahan kimia.
8. Merokok dan minum-minum alcohol.
9. Alergi.

3.2.4 Patogenesis17
Laringitis akut merupakan inflamasi dari mukosa laring dan pita suara yang
berlangsung kurang dari 3 minggu. Parainfluenza virus, yang merupakan penyebab
terbanyak dari laringitis, masuk melalui inflamasi dan menginfeksi sel dari epitelium
saluran nafas lokal yang bersilia, ditandai dengan edema dari lamina propria,
submukosa, dan adventitia, diikuti dengan infiltrasi selular dengan histosit, limfosit,
sel plasma dan leukosit polimorfonuklear (PMN). Terjadi pembengkakan dan
kemerahan dari saluran nafas yang terlibat, kebanyakan ditemukan pada dinding
lateral dari trakea di bawah pita suara. Karena trakea subglotis dikelilingi oleh
kartilago krikoid, maka pembengkakan terjadi pada lumen saluran nafas dalam,
menjadikannya sempit, bahkan sampai hanya sebuah celah.

Daerah glotis dan subglotis pada bayi normalnya sempit, dan pengecilan
sedikit saja dari diameternya akan berakibat peningkatan hambatan saluran nafas yang
besar dan penurunan aliran udara. Seiring dengan membesarnya diameter saluran
nafas sesuai dengan pertumbuhan maka akibat dari penyempitan saluran nafas atas
akan berakibat terjadinya stridor dan kesulitan bernafas yang menuju pada hipoksia
ketika sumbatan yang terjadi berat. Hipoksia dengan sumbatan yang ringan
menandakan keterlibatan saluran nafas bawah dan ketidakseimbangan ventilasi dan
perfusi akibat sumbatan dari saluran nafas bawah atau infeksi parenkim paru atau
bahkan adanya cairan.

3.2.5 Manifestasi Klinis17


1. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara yang kasar
atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara yang
biasa/ normal dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam pendekatan
kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara menjadi parau bahkan
sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).
2. Sesak nafas dan stridor.
3. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menelan atau berbicara.
4. Gejala radang umum seperti demam dan malaise.
5. Batuk kering yang lama-kelamaan disertai dahak kental.
6. Gejala common cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan
temperatur yang tidak mengalami peningkatan lebih dari 38˚C.
7. Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan
peningkatan suhu yang sangat berarti yakni lebih dari 38˚C, dan adanya rasa lemah,
lemas yang disertai dengan nyeri di seluruh tubuh.
8. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukosa laring yang hiperemis, membengkak
terutama di bagian atas dan bawah pita suara dan juga didapatkan tanda radang akut di
hidung atau sinus paranasal atau paru.
9. Obstruksi jalan nafas apabila ada edema laring diikuti edema subglotis yang terjadi
dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi
gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat, pemeriksaan fisik akan
ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan keadaan
darurat medik yang dapat mengancam jiwa anak.

3.2.6 Pemeriksaan Penunjang19


a. Foto Rontgen leher AP: dapat tampak pembengkakan jaringan subglotis (steeple
sign).
b. Pemeriksaan laboratorium: gambaran darah dapat normal. Jika disertai infeksi
sekunder dapat ditemukan leukositosis ringan dan limfositosis.
c. Pemeriksaan kultur dapat dilakukan bila didapatkan eksudat di orofaring atau plika
vokalis, dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab infeksi.

Gambar 10. Classic steeple sign (panah putih)

Sumber: Diunduh dari http://aafp.org pada tanggal 30 Desember 2020

3.2.7 Diagnosis20
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada pemriksaan fisik, dapat ditemukan suara serak, faring
yang meradang, frekuensi pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai
pernafasan cuping hidung, retraksi suprasternal, infrasternal dan interkostal serta
stridor yang terus menerus, dan anak bisa sampai megap-megap (air hunger). Bila
terjadi sumbatan total jalan nafas maka didapatkan hipoksia dan saturasi oksigen yang
rendah. Bila hipoksia terjadi, anak akan menjadi gelisah dan tidak dapat beristirahat,
atau dapat terjadi penurunan kesadaran atau bahkan sianosis pada anak. Kegelisahan
dan tangisan dari anak dapat memperburk stridor akibat dari penekanan dinamik dari
saluran nafas yang tersumbat. Dari penelitian didapatkan bahwa frekuensi pernafasan
merupakan indikator yang paling baik untuk menunjukkan keadaan hipoksemia pada
seseorang. Pada auskultasi suara pernafasan dapat terdengar normal tanpa adanya
suara nafas tambahan kecuali perambatan dari stridor. Kadang-kadang juga ditemukan
adanya mengi (wheezing) yang menandakan adanya penyempitan dari saluran
pernafasan bisa dari bronkitis, atau asma yang sudah ada sebelumnya.

3.2.8 Diagnosis Banding20


Diagnosa banding yang dapat diperkirakan dalam penentuan diagnosa laringitis akut,
antara lain:
a. Benda asing pada laring
b. Faringitis
c. Bronkiolitis
d. Bronkitis
e. Pnemonia
f. Laringitis kronik
g. Laringotrakeitis

3.2.9 Penatalaksanaan19,20
1. Indikasi Rawat Rumah Sakit
a. Usia penderita dibawah 3 tahun
b. Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau exhausted
c. Diagnosis penderita masih belum jelas
d. Perawatan dirumah kurang memadai
2. Terapi Umum
Edukasi dan pengobatan non-medikamentosa yang dapat diberikan kepada pasien:
a. Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari.
b. Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 L/ menit.
c. Menghirup uap hangat dan dapat ditetesi minyak atsiri/minyak mint bila ada
muncul sumbatan di hidung atau penggunaan larutan garam fisiologis (saline
0,9%) yang dikemas dalam bentuk semprotan hidung atau nasal spray.
d. Mengindari iritasi pada faring dan laring, misalnya merokok, makanan pedas
atau minum es.
3. Terapi Tambahan
Tindak lanjut penatalaksanaan dalam kondisi yang sudah cukup berat:
a. Pengisapan lendir dari tenggorok atau laring.
b. Bila penatalaksanaan ini tidak berhasil maka dapat dilakukan endotrakeal atau
trakeostomi bila sudah terjadi obstruksi jalan nafas.
4. Terapi Medikamentosa
Terapi obat-obatan untuk menunjang proses perlawanan terhadap infeksi:
a. Demam: Parasetamol atau ibuprofen/antipiretik.
b. Hidung tersumbat: dekongestan nasal seperti fenilpropanolamin (PPA), efedrin,
pseudoefedrin, napasolin dapat diberikan dalam bentuk oral ataupun spray.
c. Antibiotika yang adekuat apabila peradangan berasal dari paru
 Ampisilin 100 mg/kgBB/hari, IV, terbagi 4 dosis
 Kloramfenikol 50 mg/kgBB/hari, IV, terbagi dalam 4 dosis
 Sefalosporin generasi 3 (sefotaksim atau seftriakson)
d. Kortikosteroid IV: deksametason 0,5mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis,
diberikan selama 1-2 hari.

3.2.10 Komplikasi dan Prognosis19


Pada beberapa kasus pada laringitis yang disebabkan oleh infeksi dapat menyebar ke
bagian lain saluran pernafasan. Prognosis untuk penderita laringitis akut ini umumnya
baik dan pemulihannya selama satu minggu. Namun pada anak khususnya pada usia
1-3 tahun penyakit ini dapat menyebabkan edema laring dan edema subglotis
sehingga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas dan bila hal ini terjadi dapat
dilakukan pemasangan endotrakeal atau trakeostomi.

3.3 Laringitis Kronis


3.3.1 Definisi
Laringitis adalah suatu peradangan pada kotak suara (laring) yang dapat
menyebabkan suara serak atau hilangnya suara. Laringitis yang berlangsung lebih dari
tiga minggu dikenal sebagai laringitis kronik. Pada peradangan ini, seluruh mukosa
laring hiperemis dan menebal, dan kadang-kadang pada pemeriksaan patologik
terdapat metaplasia skuamosa.17,21

3.3.2 Etiologi
Laringitis kronik dapat menyebabkan pita suara menjadi tegang dan cedera.
Cedera pada pita suara ini dapat disebabkan oleh: 17,21
a. Refluks gastroesofagus
b. Iritan yang terhirup, seperti asap, alergen
c. Konsumsi alkohol yang berlebihan
d. Penyalahgunaan suara, misalnya pada penyanyi atau pemandu sorak
e. Sinusitis kronik
f. Deviasi septum yang berat
g. Polip hidung atau bronkitis kronik

Biasanya infeksi virus menyebabkan laringitis kronis. Infeksi bakteri seperti


difteri juga dapat menjadi penyebabnya, tapi hal ini jarang terjadi. Laringitis dapat
juga terjadi saat menderita suatu penyakit atau setelah sembuh dari suatu penyakit,
seperti selesma, flu atau radang paru-paru (pneumonia).17

Kasus yang sering terjadi pada laringitis kronis termasuk juga iritasi yang terus
menerus terjadi karena penggunaan alkohol yang berlebihan, banyak merokok atau
asam dari perut yang mengalir kembali ke dalam kerongkongan dan tenggorokan,
suatu kondisi yang disebut Gastroeosophageal Reflex Disease (GERD).17

3.3.3 Klasifikasi

Laringitis kronik terdiri dari laringitis kronik spesifik dan laringitis kronik
nonspesifik.1

3.3.3.1 Laringitis Kronik Spesifik

Yang termasuk dalam laringitis kronik spesifik ialah:17,19

3.3.3.1.1 Laringitis Tuberkulosa


Penyakit ini hampir selalu sebagai akibat dari tuberkulosis paru. Sering kali setelah
diberikan pengobatan, tuberkulosisnya sembuh tetapi laringitis tuberkulosanya menetap.
Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat pada kartilago serta
vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah mengenai kartilago,
pengobatannya lebih lama. Infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara
pernafasan, sputum yang mengandung kuman, atau penyebaran melalui aliran darah atau
limfe. Tuberkulosis dapat menimbulkan gangguan sirkulasi. Edema dapat timbul di fossa
interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglotis, serta
subglotik. Secara klinis, laringitis tuberkulosis terbagi menjadi 4 stadium yaitu:

i. Stadium infiltrasi
Mukosa laring posterior mengalami pembengkakan dan hiperemis, kadang pita suara
terkena juga, pada stadium ini mukosa laring tampak pucat. Kemudian di daerah
submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak rata, tampak bintik-bintik yang
berwarna kebiruan. Tuberkel itu makin besar, serta beberapa tuberkel yang berdekatan
bersatu, sehingga mukosa diatasnya meregang. Pada suatu saat, karena sangat meregang,
maka akan pecah dan timbul ulkus. Pada stadium ini pasien dapat merasakan adanya rasa
kering ditenggorokan, panas dan tertekan di daerah laring, selain itu juga terdapat suara
parau.

ii. Stadium ulcesari


Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini dangkal,
dasarnya ditutupi oleh perkijauan, serta dirasakan nyeri hebat waktu menelan bila
dibandingkan dengan nyeri karena radang (khas), dapat juga terjadi hemoptisis.

iii. Stadium perikondritis


Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring, dan yang paling sering
terkena ialah kartilago aritenoid dan epiglotis. Dengan demikian terjadi kerusakan tulang
rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan melanjut dan terbentuk
sekuester. Pada stadium ini pasien dapat terjadi afoni dengan keadaan umum sangat
buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses penyakit
berlanjut dan masuk dalam stadium fibrotuberkulosis.
iv. Stadium fibrotuberkulosa
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara dan
subglotik. Gejala klinis bergantung pada stadiumnya, di samping ini terdapat gejala
sebagai berikut.
- Rasa kering, panas dan tertekan di daerah laring
- Suara parau berlangsung berminggu-minggu, sedangkan pada stadium lanjut dapat
timbul afoni.
- Hemoptisis
- Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengn nyeri karena radang
lainnya, merupakan tanda yang khas.
- Keadaan umum buruk
- Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologi) terdapat proses aktif (biasanya
pada stadium eksudatif atau pada pembentukan kaverne)
Selain dari 4 stadium ini kita juga bisa menanyakan riwayat pasien sebelumnya
tentang batuk yang produktif, berat badan menurun, nafsu makan menurun, dan keringat
malam.

Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan umum dan pemeriksaan THT termasuk


pemeriksaan laring tak langsung untuk melihat laring melalui kaca laring, maupun
pemeriksaan laring langsung dengan laringoskopi. Pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium dapat di temukannya tes BTA positif, dan patologi anatomi.9

Penatalaksanaannya berupa pembeian obat antituberkulosis primer dan sekunder.


Selain itu pasien juga harus mengistirahatkan suaranya. Beberapa macam dan cara
pemberian obat antituberkulosa:

Obat primer: INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.


Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir,
sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. Obat
sekunder:Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan
Kanamisin.

Gambar 11. Pemeriksaan laringoskopi dari laring pada pasien dengan laringitis
tuberkulosis.
Gambar 12. Pemeriksaan laringoskopi dari laring pada pasien dengan laringitis
tuberkulosis.
(Copyright: International Journal of Otorhinolaringology and Head and Neck
Surgery)

Sumber: Diunduh dari http://ijorl.com pada tanggal 30 Desember 2020

Gambar 13. Lesi granulomatosa pada aritenoid dari kasus laringitis tuberkulosis
primer (tanda panah).
(Copyright: Journal of laringology and Voice)

Sumber: Diunduh dari http://laringologyandvoice.org pada tanggal 30 Desember 2020


Gambar 13. Lesi ulseratif pada plika vokalis dari kasus laringitis tuberkulosis primer.
(Copyright: Journal of laringology and Voice)

Sumber: Diunduh dari http://laringologyandvoice.org pada tanggal 30 Desember 2020

3.3.3.1.2 Laringitis Luetika

Disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum, sudah sangat jarang dijumpai pada
bayi ataupun orang dewasa. Laring tidak pernah terinfeksi pada stadium pertama sifilis.
Pada stadium kedua, laring terinfeksi dengan tanda-tanda adanya edema yang hebat dan
lesi mukosa berwarna keabu-abuan. Sumbatan jalan nafas dapat terjadi karena adanya
pembengkakan mukosa. Pada stadium ketiga, terbentuknya gumma yang nanti akan
pecah dan menimbulkan ulserasi, perikondritis dan fibrosis.

Gejala klinis yang ditemukan adalah suara parau dan batuk yang kronis. Disfagia
timbul bila gumma terdapat dekat introitus esofagus. Pada penyakit ini, pasien tidak
merasakan nyeri, mengingat kuman ini juga menyerang saraf-saraf di perifer.

Pada pemeriksaan, bila guma pecah, maka ditemukan ulkus yang sangat dalam,
bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan eksudat yang
berwarna kekuningan. Ulkus ini tidak menyebabkan nyeri dan menjalar sangat cepat,
sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi perikondritis. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan tes serologi (RPR,VDRL, dan FTA-ABS) dan biopsi.

Penatalaksanaan dengen pemberian antibiotika golongan penisilin dosis tinggi,


pengangkatan sekuester, bila terdapat sumbatan laring karena stenosis dapat dilakukan
trakeostomi dan operasi rekonstruksi.

Prognosis pada penyakit ini kurang bagus pada gumma yang sudah pecah, karena
menyebabkan destruksi pada kartilago dan bersifat permanen.

3.3.3.2 Laringitis Kronik Nonspesifik19

Sering merupakan radang kronis yang disebabkan oleh infeksi pada saluran pernapasan,
seperti selesma, influenza, bronkitis atau sinusitis. Dapat juga akibat paparan zat-zat yang
membuat iritasi, seperti asap rokok, alkohol yang berlebihan, asam lambung atau zat-zat
kimia yang terdapat pada tempat kerja. Terlalu banyak menggunakan suara dengan terlalu
banyak bicara, berbicara terlalu keras atau menyanyi (vocal abuse). Pada peradangan ini
seluruh mukosa laring hiperemis dengan permukaan yang tidak rata dan menebal.

Gejala klinis yang sering timbul adalah suara parau yang menetap, rasa tersangkut di
tenggorok sehingga pasien sering berdehem untuk membersihkan tenggorokan dan suara
yang nyaring pada pagi hari kemudian diikuti oleh suara hilang yang lama-lama menetap.
Perubahan pada suara dapat bervariasi tergantung pada tingkat infeksi atau iritasi, bisa hanya
sedikit serak hingga suara yang hilang total, rasa gatal dan kasar di tenggorokan, sakit
tenggorokan, tenggorokan kering, batuk kering, sakit waktu menelan. Gejala berlangsung
beberapa minggu sampai bulan.

Pada pemeriksaan tampak korda vokalis yang merah, tebal karena edema dan gerakan
baik, mukosa menebal, hiperemi, permukaan tidak rata, kadang didapatkan metaplasia
skuamosa. Bila terdapat daerah yang dicurigai menyerupai tumor maka perlu dibiopsi.

Pengobatan yang dilakukan tergantung pada penyebab laringitis dan biasanya


pengobatannya adalah simptomatis. Pengobatan terbaik untuk laringitis yang diakibatkan
oleh sebab-sebab yang umum seperti virus adalah dengan mengistirahatkan suara sebanyak
mungkin dan tidak membersihkan tenggorokan dengan mendehem. Bila penyebabnya adalah
zat yang dihirup, maka hindari zat iritatif tersebut. Dengan menghirup uap hangat dari
baskom yang diisi air panas mungkin biasa membantu. Bila penyebab dari laringitis kronis ini
adalah GERD, obat golongan PPI yang dianjurkan.

Untuk mencegah kekeringan atau iritasi pada pita suara:

1. Jangan merokok dan hindari asap rokok dengan tidak menjadi perokok tidak langsung.
Rokok akan membuat tenggorokan kering dan mengakibatkan iritasi pada pita suara.
2. Minum banyak air. Cairan akan membantu menjaga agar lendir yang terdapat
tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan.
3. Batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah tenggorokan kering. Bila
mengalami langiritis, hindari kedua zat tersebut diatas.
4. Jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan. Berdehem tidak akan berakibat
baik, karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi abnormal pada pita suara
dan meningkatkan pembengkakan. Berdehem juga akan menyebabkan tenggorokan
memproduksi lebih banyak lendir dan merasa lebih iritasi, membuat ingin berdehem lagi.

Pada laringitis kronis akibat alergi, pasien biasanya memiliki onset bertahap dengan
gejala yang ringan. Pasien dapat mengeluhkan adanya akumulasi mukus berlebih dalam
laring. Pada pemeriksaan laringoskopi biasa dijumpai sekresi mukus endolaringeal tebal
dalam kadar ringan hingga sedang, eritema dan edema lipatan pita suara serta inkompetensi
glotis episodik selama fase fonasi.

Pada kasus laringitis kronis alergi, tatalaksana meliputi edukasi kepada pasien untuk
menghindari faktor pemicu. Medikasi antihistamin loratadine atau fexofenadine dipilih
karena tidak memiliki efek samping dehidrasi. Sekresi mukus yang tebal dan lengket dapat di
atasi dengan pemberian guaifenesin.

3.3.4 Patofisiologi21

Pada kronik laringitis yang terjadi adalah proses peradangan yang menyebabkan
perubahan yang ireversibel pada mukosa laring. Proses reaktif dan reparatif laring
menggambarkan faktor-faktor patogen yang bersifat menetap walaupun faktor penyebabnya
telah dapat disingkirkan. Tergantung dari penyebabnya, perubahan yang terjadi pada mukosa
dapat bervariasi. Peradangan, edema, hiperemis, dan infiltrasi serta proliferasi mukosa dapat
menggambarkan respon inflamasi yang berbeda-beda dari setiap tingkatan.
Proses peradangan dapat merusak jaringan epitel dari laring sampai ke bagian posterior
dari dinding mukosanya. Hal tersebut mempengaruhi fungsi utama laring dimana proses
pengeluaran mukus trakeobronkial dapat terganggu. Saat gerakan silia epitel terganggu, maka
akan terjadi stasis mukus pada dinding posterior laring dan sekitar plika vokal dapat
merangsang batuk yang reaktif. Mukus pada pita suara dapat menyebabkan laringospasme.
Perubahan signifikan pada epitel pita suara dapat terjadi hiperkeratosis, diskeratosis,
parakeratosis, akantosis, dan seluler atipik.

3.3.5 Gejala Klinis17,21

Gejala laringitis kronik, antara lain: suara yang serak, parau dan lemah; batuk kering;
tenggorok terasa kering; nyeri tenggorok; suara yang semakin lama semakin melemah. Jika
gejala yang terjadi lebih dari 3 minggu, maka pasien mengalami laringitis kronik.

3.3.6 Diagnosis21

Pemeriksaan tidak langsung jalan napas dengan menggunakan cermin, ataupun secara
langsung dengan nasolaringoskopi fleksibel maka dapat terlihat pita suara eritema dan edema,
terdapatnya sekret dan permukaan pita suara yang terlihat ireguler. Perhatikan pula mobilitas
dari pita suara dan adanya obstruksi jalan napas.

Pada laringitis kronik dapat dilakukan pemeriksaan fisik seperti di bawah ini, antara lain:
otot-otot bantu pernapasan yang digunakan pada saat respirasi harus diperiksa, jika
ditemukan maka auskultasi jalan napas dan pemeriksaan pulse oksimetri harus dilakukan;
pada kasus infeksi, demam atau parameter lain yang mengindikasikan toksisitas dapat timbul;
pemeriksaan menyeluruh pada kepala dan leher merupakan hal mutlak yang harus dilakukan;
kelenjar tiroid, laring dan trakea harus dievaluasi; laringoskopi indirek dapat dilakukan pada
pemeriksaan rutin; lidah, tonsil dan nasofaring, serta sinus untuk menentukan sumber infeksi;
trakeobronkial dan paru harus dipikirkan sebagai penyebab pontesial dari infeksi; mukus
(terutama pada bagian posterior laring), eritema, dan edema, merupakan temuan yang non-
spesifik dari laringitis; beberapa kondisi tertentu dapat menyerupai, seperti histoplasmosis,
blastomikosis, yang merupakan infeksi jamur yang menyerupai gambaran tuberkulosis dan
kanker sel skuamosa pada laring; epiglotis dan pita suara harus diperiksa; pemeriksaan
stroboskopi dapat membantu melihat kekakuan mukosa, hyperplasia epitel maupun
peradangan kronik.
3.3.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding laringitis kronik: contact Granulomas; stenosis glotis; Iatrogenic


vokal Fold Scar; stenosis subglotis; sulkus vokal; lesi vascular pita suara; kista pita suara.11

Contact granulomas. Disebut juga contact ulcer terbentuk sebagai hasil dari trauma
pada jaringan laring. Dalam respon terhadap trauma, epitel pita suara dapat rusak,
membentuk ulcer, ataupun jaringan granulasi. Lesi yang terbentuk berupa jaringan berwarna
kemerahan di dekat kartilago aritenoid di belakang laring. Berbeda dengan nodul pada pita
suara yang biasanya berupa kalus hipertrofi. Gejala yang ditimbulkan biasanya pasien merasa
ada benda asing di tenggorok, nyeri seperti tertusuk dan dapat menjalar ke telinga.

Iatrogenic vokal fold scar. Dapat terjadi akibat trauma tumpul laring atau lebih sering
akibat operasi, cedera iatrogenik setelah insisi atau pengangkatan lesi pada plika vokal. Pada
proses penyembuhan digantikan oleh jaringan fibrosa yang dapat menurunkan fungsi plika
vokal. Gejala yang timbul berupa disfonia.

Stenosis subglotis. Penyempitan jalan napas dimulai dari subglotis hingga atas trakea.
Dan juga penyempitan tulang rawan krikoid yang merupakan tulang rawan di saluran jalan
napas. Penyempitan ini biasa terjadi karena luka pada laring yang berada di bawah plika
vokal namun plika vokal juga dapat terkena dan menyebabkan disfonia.

3.3.8 Penatalaksanaan

Terapi yang terpenting ialah mengobati peradangan di hidung, faring serta bronkus yang
mungkin menjadi penyebab laringitis kronik. Pasien diminta untuk tidak banyak berbicara
(vokal rest).17,21

1. Terapi medis

Staphylococcus aureus adalah organisme penyebab yang paling sering pada kasus-kasus
laringitis bakteri kronik. Terapi antibiotika yang dipilih sebaiknya yang dapat mengatasi
patogen gram positif dan gram negatif. Antibiotika yang digunakan adalah amoksisilin dan
asam klavulanat. Selain pengobatan antibiotika, perubahan pola hidup adalah faktor yang
jauh lebih penting dalam mencegah terjadinya laringitis kronik, meliputi: berhenti merokok
dan menghindari lingkungan berasap; hindari makanan dan minuman 2-3 jam sebelum tidur
untuk mencegah sekresi aktif asam lambung selama tidur; tinggikan kepala ketika tidur, yang
akan melindungi laring dari refluks asam lambung selama tidur; obat-obatan yang dapat
mengurangi produksi asam lambung pada pasien yang mempunyai gejala peningkatan asam
lambung; hindari tindakan membersihkan tenggorokan yang dapat memperburuk gejala.

2. Terapi operatif

Pengobatan secara operatif biasanya dilakukan pada laringitis kronik. Pada dasarnya
laringitis sendiri bukanlah suatu alasan untuk melakukan operasi. Beberapa prosedur yang
biasa diindikasikan: reduksi stenosis diindikasikan jika kondisi atau proses infiltrasi, seperti
amyloidosis, Wegener granulomatosis, rheumatoid arthritis, atau systemic lupus
erythematous, secara signifikan mempersempit lumen laring. Dibutuhkan intervensi operatif
yang agresif; operasi pengangkatan massa eksofitik; vaporisasi dengan laser; operasi anti-
refluks dengan laparoskopi, menggunakan teknik fundoplikasi Nissen, telah menunjukkan
hasil yang memuaskan dalam pengobatan GERD.

3.3.9 Komplikasi

Laringitis kronik biasanya menimbulkan komplikasi, antara lain: penyebaran infeksi ke


sistemik atau struktur di sekitarnya; stenosis laring yang diakibatkan suprainfeksi akut pada
laringitis kronik dan edema atau stenosis sekunder akibat proses lama yang telah terjadi;
kerusakan struktur pita suara yang permanen; transformasi menjadi keganasan.10

3.3.10 Prognosis
Pada laringitis kronik prognosis bergantung kepada penyebab dari laringitis kronik
tersebut.10
BAB III
KESIMPULAN

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus 40-60%,
bakteri 5-40%, alergi, trauma, dan iritan. Setiap tahunnya, hampir 40 juta orang mengunjungi
pusat pelayanan kesehatan karena faringitis. Anak-anak dan orang dewasa umumnya
mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis.
Penyebab faringitis akut bervariasi tergantung organisme penyebab yang
menghasilkan eksudat saja atau perubahan kataral sampai yang menyebabkan edema dan
bahkan ulserasi. Organisme yang ditemukan termasuk streptokokus, pneumokokus, dan
basilus influenza, di antara organisme yang lainnya. Pada penderita akan dijumpai keluhan
berupa rasa kering atau gatal pada tenggorokan yang disertai malaise dan sakit kepala.
Biasanya suhu tubuh sedikit meningkat. Eksudat pada faring menebal. Eksudat ini sulit untuk
dikeluarkan, dengan suara parau, usaha mengeluarkan dahak dari kerongkongan dan batuk.
Infeksi pada laring dapat dibagi menjadi laringitis akut dan laringitis kronis, infeksi
maupun non infeksi, inflamasi lokal maupun sistemik yang melibatkan laring. Laringitis akut
biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang dari 3 minggu dan
biasanya muncul dengan gejala yang lebih dominan seperti gangguan pernafasan dan demam.
Laringitis kronis biasanya terjadi bertahap dan telah bermanifestasi beberapa minggu sebelum
pasien datang ke dokter dengan keluhan gangguan pernafasan dan nyeri.

Penyebab tersering dari laringitis akut adalah virus parainfluenza. Laringitis kronis
dapat disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan seperti inhalasi asap rokok atau polusi udara
(seperti gas-gas kimia), iritasi dari inhalers pada penderita asma, penyalahgunaan suara
(seperti berteriak), atau refluks gastrointestinal esofagus.Manifestasi klinis pada laringitis
akut dapat berupa batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi dan sesak nafas,
dapat juga disertai dengan demam. Gejala biasanya lebih berat pada malam hari. Bisa
didahului oleh pilek, hidung tersumbat, batuk dan sakit menelan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tobing J, Dkk. Karakteristik Penderita Faringitis Akut Di Poliklinik Tht Rumah Sakit Tk Ii
Putri Hijau Kesdam I / Bukit Barisan Medan Tahun 2016. Jurnal Kedokteran Methodists,
Vol. 9 No. 9 April 2017.
2. Sidharti L, Pemula G, Lisiswanti R, Soleha TU. Kesesuaian Peresepan Penyakit Faringitis
Akut terhadap Standar Pengobatan di Puskesmas Rawat Inap Simpur Bandar Lampung
Tahun 2013. FK Univertsitas Lampung: 2013.
3. Wood JM, Athanasiadis T, Allen J. laringitis. 2014;349:5827. Available from URL:
https://doi.org/10.1136/bmj.g5827

4. House SA, Fisher EL. Hoarseness in adults. Am Fam Physician. 2017;96(11):720-8


Available from URL: https://www.aafp.org/afp/2017/1201/p720.html

5. Arjun S Joshi, 2011. Pharynx Anatomy. Available From:


http://emedicine.medscape.com/article/1949347-overview#showall [Accessed:30 Desember
2020].

6. Soepardi EA, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher
Edisi Ke-7. Balai Penerbit FKUI Jakarta: 2012.

7. Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007. Bab IX Nyeri Tenggorok. Dalam: Efiaty
A.S., Nurbaiti I., Jenny B. dan Ratna D.R.. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta, 2007. Edisi ke-6: 212-215; 217-218.

8. Snell. Buku Ajar Ilmu Anatomi Klinis Jilid 1. Balai Penerbit EGC. Jakarta:2001

9. Miriam T. Vincent, M.D., M.S., Nadhia Clestin, M.D., and Aneela N. Hussain, M.D.,
2004. Pharyngitis. In: A Peer-Reviewed Journal of the American Academy of Family
Physician, 2004. State University of New York-Downstate Medical Center, Brooklyn,
New York. Available From: http://www.aafp.org/afp/2004/0315/p1465.html [Accessed:
30 Desember 2020].
10. John L. Boone, MD., 2003. Etiology of Infectious Diseases of the Upper Respiratory
Tract. In: Ballenger‟s Otorhinolaryngology Head and Nexk Surgery. 16th Edition. 2003
BC Decker Inc. Chapter 30. P: 635-7.
11. Anthony W Chow and Shira Doron, 2013. Evaluation of Acute Pharyngitis in Adults.
Available From: http://www.uptodate.com/contents/evaluation-of-acute-pharyngitis-in-
adults [Accessed: 29 Desember 2020].
12. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 6. Jakarta: FK UI; 2007.
h.221-5.
13. Ferri, 2013. Pharyngitis/ Tonsilitis. In: Ferri: Ferri‟s Clinical Advisor 1st ed:2013
14. Jill Gore, 2013. Acute Pharyngitis. In: Journal of the American Academy of Physician
Assistants: February 2013- Volume 26-Issue 2- p 57-58. Available
From:http://journals.lww.com/jaapa/Fulltext/2013/02000/Acute_Pharyngitis.12.aspx
[Accessed: 29 Desember 2020].
15. Alan L. Bisno, M.D., 2011. Acute Pharyngitis: Primary Care. In: The New England
Journal of Medicine 2011; 344:205-211. Available
From: http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM200101183440308 [Accessed: 30
April 2020]
16. Mary T. Caserta and Anthony R. Flores, 2013. Pharyngitis In: Mandell: Mandell,
Douglas, and Bennett‟s Principles and Practice of Infectious Diseases, 7th ed.Volume 1,
Part II, Section B, Chapter 54, p: 815-821.
17. Cots JM, etc. Recommendations for Management of Acute Pharyngitis in Adults Review
Article. Elsevier Espa˜na, S.L.U. and Sociedad Espa˜nola de Otorrinolaringología y
Patología Cérvico-Facial.Spain: 2015.
18. Cohen J. Anatomi dan Fisiologi laring. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT; Alih Bahasa:
Caroline Wijaya. Edisi ke-6. Jakarta: EGC. 2010.

19. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In: Byron J. Bailey. Head and Neck
Surgery-Otolaringology. 3rd Edition. Volume 1. Philadelphia: Lippincot Williams and
Wilkins. 2001;p.479-86.

20. Hermani B, Hutauruk SM. Disfonia. Dalam: Soepardi EA. Buku Ajar llmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.Edisi ke-7. Jakarta. Balai Penerbit FKUI . 2012.
hal. 209-15.

21. Harms, Roger W. laringitis. 2018. Available at URL: http://www.mayoclinic.com/.

22. Abdurrahman MH. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-2. Jakarta: FK UI. 2003.
23. Hermani B, Abdurrachman H, Cahyono A. Kelainan Laring. Dalam: Soepardi EA. Buku
Ajar llmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.Edisi ke-7. Jakarta. Balai
Penerbit FKUI . 2012. hal. 215-20.

Anda mungkin juga menyukai