Anda di halaman 1dari 71

LAPORAN KASUS

Rhinosinusitis Kronik, Tonsilofaringitis Kronik


Eksaserbasi Akut, dan Laringopharingeal Refluks

Penyusun :

Louis Ryandi (112017064)

Dokter Pembimbing :

dr. Danneswarry, Sp. THT-KL

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung Dan Tenggorokan

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan Jakarta Pusat

Periode 2 Januari – 3 Februari 2018


LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS

NAMA : Louis Ryandi

NIM : 112017064

PERIODE : 2 Januari – 3 Februari 2018

JUDUL : Rhinosinusitis Kronik, Tonsilofaringiris Akut, dan Laringopharingeal

Refluks

TANGGAL PRESENTASI : 20 Januari 2018

NAMA PEMBIMBING/PENGUJI : dr. Danneswarry, Sp. THT-KL

Jakarta, 20 Januari 2018

Yang Mengesahkan,

dr. Danneswarry, Sp. THT-KL

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat yang telah
diberikan-Nya, sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan. Laporan kasus
dengan judul “Rhinosinusitis Kronik, Tonsilofaringitis Akut, dan
Laringopharingeal Refluks” ini disusun untuk memenuhi sebagian dari
persyaratan untuk mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah
Tarakan Jakarta Pusat. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan dan
doa dari berbagai pihak, laporan kasus ini tidak akan dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :

1. dr. Danneswarry, Sp. THT-KL, selaku dosen pembimbing di Bagian SMF


Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum
Daerah Tarakan yang telah membimbing kami menyelesaikan tugas ini,
2. Para Pegawai dan Perawat di Bagian SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung
dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan,
3. Rekan-rekan sejawat dokter muda di Bagian SMF Ilmu Penyakit Telinga,
Hidung dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan,
4. Semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan laporan kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan
sangat bermanfaat bagi penulis demi perbaikan di masa yang akan datang.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Jakarta, 20 Januari 2018

3
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan.


Pembagian rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai
penyebabnya. Rhinitis kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita
temukan pada rhinitis hipertrofi, rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri,
atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur). Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh
peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis
medikamentosa.
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis.
Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus,
yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus
disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis.
Tonsilofaringitis adalah peradangan orofaring yang mengenai dinding
faring dan tonsil. Tonsilitis merupakan penyakit peradangan tonsil, yang biasanya
mengacu pada tonsil palatina. Tonsil adalah salah satu mekanisme perlindungan
tubuh dari dunia luar, dan terletak pada bagian superfisial sehingga merupakan
tempat yang sering terpapar serangan dari dunia luar dan menjadi tempat utama
untuk hipertrofi. Penyakit ini dapat berkembang menjadi penyakit kronis bila
terjadi kegagalan terapi, dapat dikarenakan ketidakpatuhan pasien atau antibiotik
yang tidak sesuai pada penderita tonsilitis akut hingga merubah struktur pada
kripta tonsil dan adanya infeksi baru dapat menjadi faktor penyebab atau
predisposisi pada tonsilitis kronis hingga terjadi adanya eksaserbasi akut.
Refluks gastroesofagus didefinisikan sebagai aliran retrograd isi lambung
ke dalam esofagus. Penyakit refluks gastroesofagus disebut sebagai refluks
gastroesofagus patologik atau refluks gastro esofagus simtomatik, merupakan

4
kondisi kronik dan berulang, sehingga menimbulkan perubahan patologik pada
traktus aerodigestif atas dan organ lain diluar esofagus. Manifestasi klinis PRGE
di luar esofagus didefinisikan sebagai Refluks Ekstra Esofagus (REE).Istilah
Refluks Laringo Faring (RLF) adalah REE yang menimbulkan penyakit-penyakit
oral, faring, laring, dan paru. Pasien REE akibat PRGE sering datang ke ahli THT
dengan keluhan tenggorok rasa nyeri dan kering, rasa panas di pipi, sensasi ada
yang menyumbat (globus sensation), kelainan laring dengan suara serak, batuk
kronik, asma. Diperkirakan lebih dari 50% pasien dengan gangguan suara yang
datang berobat ke dokter THT diakibatkan oleh RLF.

Maksud Penulis

Laporan ini dibuat untuk memperluas wawasan para pembaca mengenai


Rhinosinusitis Kronik, Tonsilofaringitis Akut, dan Laringopharingeal Refluks
dengan harapan pembaca dapat mengerti dan memahami seluk beluk dan perjalanan
penyakit ini berdasarkan teori dan membandingkannya dengan kasus yang ditemukan di
lapangan.

Tujuan Penulis

Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) FK UKRIDA
di RSUD Tarakan Jakarta.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1)


pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4)
ala nasi, 5) hidung luar; dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Rongga hidung atau kavum nasi
berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian
tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi
bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.1
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang
nares anterior, disebut vetibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap
kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan.1
Septum dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah
konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang
lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang
terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.1
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,
sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan

6
ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-
lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di
bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.1

Gambar 1. Anatomi hidung.1


Vaskularisasi Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di
antaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung
dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari
cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina
mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little’s area). Pleksus kiesselbach letaknya
superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai

7
nama yang sama dan brjalan berdampingan denga arterinya. Vena di vestibulum dan
struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor
predisposisi untuk mudahnya penyeabaran infeksi sampai ke intrakranial.1

Gambar 2. Vaskularisasi hidung.1

Fisiologi Penghiduan Normal


Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur
kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam
pertukaran tekanan dan mekanise inunologik lokal; 2) fungsi pengidu karena
terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran tuara sendiri melalui konduksi tulang; 4) fungsi statis
dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan
pelindung panas, 5) refleks nasal. 1

8
2.2 Sinus Paranasal

Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berada di dalam tulang
wajah dan di sekitar rongga hidung dan mata. Manusia mempunyai sekitar 12
rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga hidung. Jumlah, bentuk,
ukuran dan simetri dapat bervariasi antara individu. Sinus-sinus ini diberi nama
yang sesuai posisi anatominya pada tengkorak manusia seperti sinus maksilaris,
sinus sfenoidalis, sinus frontalis dan sinus etmoidalis. Sinus etmoidalis ini terdiri
daripada sel-sel etmoidalis anterior dan posterior yang saling berhubungan dan
masing-masing kelompok bermuara ke dalam kavum nasi. Seluruh sinus ini
dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami modifikasi dan mampu
menghasilkan mukus dan bersilia; dan sekret yang dihasilkan disalurkan ke dalam
kavum nasi melalui muara-muaranya.2 Sinus maksilaris dan sinus etmoid telah
terbentuk pada saat lahir, sedangkan sinus frontalis berkembang dari sinus etmoid
anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian posterior superior rongga
hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-
18 tahun.1

Gambar 3. Sinus Paranasal

Fungsi sinus tidak jelas. Diperkirakan bahwa mereka dapat berkontribusi


pada pelembab udara yang terinspirasi, resonansi suara, regulasi tekanan udara
intranasal dan juga mengurangi berat tengkorak.1,2 Permukaan bagian dalam sinus
dilapisi oleh epitelium respiratorius (epitel berlapis kolumnar bersilia).2

9
Gambar 4. Muara-muara Sinus Paranasal di Kavum Nasi1

Sinus frontalis adalah rongga yang terletak di dalam tulang dahi di atas
fossa orbitalis superior. Sinus frontalis bervariasi dalam ukuran, tapi selalu
berbentuk segitiga. Mukus yang terbentuk mengalir ke rongga hidung melalui
saluran frontonasal, yang terbuka pada hiatus semilunaris di dinding lateral kavum
nasi.1,2
Sinus etmoidalis terdiri dari 2 kelompok sinus-sinus kecil didalam tulang
etmoid yaitu sinus ethmoidalis anterior dan posterior. Sinus etmoidalis anterior
bermuara di meatus nasi medius dan sinus etmoidalis posterior bermuara di
meatus nasi superior.2 Sinus etmoidalis terletak di bagian bawah sudut dalam
tulang setiap mata dan terdiri dari 6-12 sinus-sinus kecil.1,2
Sinus sfenoidalis juga terletak relatif superior, pada setinggi tulang
sfenoethmodialis. Sinus ini ditemukan lebih posterior dari sinus etmoidalis, dan
bagian superior dan lateralnya berhubungan ke rongga kranial. Sinus sfenoidalis
bermuara di atap rongga hidung melalui meatus nasi superior. Sinus ini sangat
penting secara klinis karena kelenjar hipofisis dapat diakses melalui atap hidung
melalui tulang sfenoidalis. Untuk ketiga sinus frontalis, etmoidalis dan sfenoidalis
dipersarafi oleh N. trigeminus cabang oftalmikus.2
Sinus sinus maksilaris terletak di dalam tulang pipi kiri dan kanan. Ini
merupakan sinus paranasal terbesar, berada di bawah mata, di atas tulang rahang
atas dan bermuara di hiatus semilunaris atau meatus nasi medius.1,2 Ini adalah

10
jalur potensial untuk penyebaran infeksi karena cairan dari sinus frontalis dapat
memasuki sinus maksilaris melalui hiatus semilunaris. Sinus ini diinervasi oleh N.
trigeminus cabang maksilaris. Oleh karena gigi rahang atas juga dipersarafi oleh
saraf ini, dapat timbul sakit gigi pada penderita sinus maksilaris.2
Karena sinus paranasal berlanjut dengan rongga hidung, infeksi saluran
pernapasan bagian atas dapat menyebar ke sinus. Infeksi sinus menyebabkan
radang, terutama nyeri dan pembengkakan mukosa, dan kondisi ini dikenal
sebagai sinusitis. Jika semua sinus terpengaruh, ia disebut sebagai pansinusitis.
Kompleks osteomeatal merupakan suatu struktur kompleks yang terdiri
daripada infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid agger nasi dan hiatus semilunaris.1, 2

Gambar 5. Kompleks Osteomeatal2

Fisiologi Sinus Paranasal

Seperti di mukosa hidung, di dalam sinus terdapat mukosa bersilia yang


berfungsi untuk mengeluarkan lendir dari rongga sinus melalui muaranya dan
mengalir ke kavum nasi. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport
mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang
bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba
eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di
resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba.

11
Dari ruang hidung lendir masuk ke nasofaring dan ditelan. Oleh sebab itulah, pada
sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada
sekret di rongga hidung.2 Dengan adanya penyakit itu adalah karena gangguan
dari proses dasar ini, biasanya dengan mengurangi aktivitas siliaris atau obstruksi,
yang menimbulkan gejala.2,3 Ostia dari etmoid anterior, sinus frontal dan
maksilaris bermuara pada meatus nasi medius, sehingga apabila timbul
peradangan yang terkait dengan hiatus semilunaris atau meatus medius akan
sering melibatkan lebih dari satu sinus.2, 3
Lapisan mukus yang terbentuk disamping menangkap dan mengeluarkan
partikel lemah, juga merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri.
Lisozim yang terdapat pada lapisan mukus bersifat destruktif terhadap dinding
bakteri. Fagositosis aktif dalam membrane hidung merupakan bentuk proteksi
dibawah permukaan. Membrane sel pernafasan juga memberikan imunitas induksi
seluler. Sejumlah immunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sebagian dari
sel plasma yang normal terdapat dalam jaringan tersebut. Sesuai kebutuhan
fisiologik, telah diamati bahwa terdapat IgG, IgA dan IgE di mukosa hidung.2
Ada beberapa teori mengenai fisiologi sinus paranasal; antara lain adalah
fungsi sinus paranasal yaitu (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai
insulator suhu, (3) membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi
suara, (5) peredam perubahan tekanan udara, dan (6) membantu produksi mukus
untuk membersihkan rongga hidung.1
Untuk pengaturan kondisi udara, sinus berfungsi sebagai ruangan
tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara terinspirasi.1,2
Namun teori ini masih diperdebatkan karena ternyata tidak didapati pertukaran
udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara
dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas,
sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Dan
tambahan lagi, mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan mukosa
sebanyak mukosa hidung.1
Sinus paranasal juga berfungsi untuk penahan panas atau insulator;
melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.1

12
Selain itu, terbentuknya sinus paranasal ini membantu dalam mengurangi berat
tulang kepala dan secara tidak langsung membantu keseimbangan kepala.1
Fungsi lain dari sinus paranasal ini adalah untuk resonansi udara serta
mempengaruhi kualitas suara dan sebagai peredam tekanan udara; misalnya
apabila terjadi perubahan tekanan yang mendadak sewaktu bersin atau membuang
ingus.1, 2
Fungsi yang pasti dari sinus paranasal adalah membantu produksi mukus.
Mukus yang diproduksi oleh sinus paranasal memang jumlahnya sedikit
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara terinspirasi karena mukus
ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.1,2

2.3 Tonsil

Tonsila Palatina berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang melapisi


kantong faringeal kedua. Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap
dan bagian dorsalnya tetap ada dan menjadi epitel tonsilla palatina. Pilar tonsil
berasal dari arcus branchial kedua dan ketiga. Kripta tonsillar pertama terbentuk
pada usia kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada usia kehamilan 20
minggu. Pada sekitar bulan ketiga, tonsil secara gradual akan diinfiltrasi oleh sel-
sel limfatik.2
Secara histologis tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau
trabekula (sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa), folikel
germinativum (sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda) serta jaringan
interfolikel (jaringan limfoid dari berbagai stadium).2
Tonsila lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria
membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran
pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan
ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe
pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak,
adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi
atrofi pada masa pubertas.4

13
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting
dari cincin waldeyer.

Gambar 6. Cincin Waldeyer

Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan
kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah
mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil
Gerlach’s).2,4
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang
terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla
ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol
kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke
dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas
permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan
lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla
palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.4
Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitelial berbentuk
triangular yang terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum
nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius- telinga
tengah- kavum mastoid pada bagian lateral.
Terbentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis. Adenoid akan
terus bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami
regresi. Adenoid telah menjadi tempat kolonisasi kuman sejak lahir. Ukuran
adenoid beragam antara anak yang satu dengan yang lain. Umumnya ukuran
maximum adenoid tercapai pada usia antara 3-7 tahun. Pembesaran yang terjadi
14
selama usia kanak-kanak muncul sebagai respon multi antigen seperti virus,
bakteri, alergen, makanan dan iritasi lingkungan.1

Gambar 7. Adenoid

Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior. Pada bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang
disebut fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh
fossa tonsil.5
Pada bagian permukaan lateral dari tonsil tertutup oleh suatu membran
jaringan ikat, yang disebut kapsul. Kapsul tonsil terbentuk dari fasia faringobasilar
yang kemudian membentuk septa.5
Plika anterior dan plika posterior bersatu di atas pada palatum mole. Ke
arah bawah berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral
faring. Plika triangularis atau plika retrotonsilaris atau plika transversalis terletak
diantara pangkal lidah dengan bagian anterior kutub bawah tonsil dan merupakan
serabut yang berasal dari otot palatofaringeus. Serabut ini dapat menjadi penyebab
kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi
adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.6
Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu
A. maksilaris eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris
dan A. palatina asenden, A. maksilaris interna dengan cabang A. palatina
desenden, serta A. lingualis dengan cabang A. lingualis dorsal, dan A. faringeal
asenden.4

15
Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior
dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden,
mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil.
Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar
m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan
mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina
desenden atau a. palatina posterior atau "lesser palatine artery" memberi
vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis
dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring.4

Gambar 6. Pendarahan Tonsil

Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran


getah bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah
bening servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening
selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus.
Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf V melalui
ganglion sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf
glossofaringeus (N. IX). 2
Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh
dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung, dan
kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami peradangan.
Peradangan pada tonsil disebut dengan tonsilitis, penyakit ini merupakan salah
satu gangguan Telinga Hidung & Tenggorokan (THT). Kuman yang dimakan oleh
imunitas seluler tonsil dan adenoid terkadang tidak mati dan tetap bersarang

16
disana serta menyebabkan infeksi amandel yang kronis dan berulang (Tonsilitis
kronis). Infeksi yang berulang ini akan menyebabkan tonsil dan adenoid bekerja
terus dengan memproduksi sel-sel imun yang banyak sehingga ukuran tonsil dan
adenoid akan membesar dengan cepat melebihi ukuran yang normal.
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian
yaitu respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada
respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel
kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis.
Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga
membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan
dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan
sel dendritik.1
Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui
epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun
respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari
penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke
tonsil melalui HEV( high endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui
limfe.4

2.4 Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,


yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari
dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6.
Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus oroaring, sedangkan dengan
laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan kebawah berhubungan
dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih 14cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding
faring dibentuk oleh selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan
sebagian fasia bukofaringeal.5

17
Otot, Perdarahan, dan Persarafan
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m. konstriktor
faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar dan
berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian
atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu pada jaringan ikat
yang disebut ‘rafe faring’. Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring.
Otot-otot longitudinal adalah m. stilofaring dan m. palatofaring. M. stilofaring
gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan m. palatofaring
mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring
dan bekerja sebagai elevator. M. stilofaring dipersarafi oleh n. IX sedangkan m.
palatofaring dipersarafi oleh n.X. Pada palatum mole terdapat lima pasang otot
yang dijadikan satu dalam satu sarung fasia dari mukosa yaitu m. levator veli
palatine, m. tensor veli palatine, m. palatoglosus, m. palatofaring dan m. azigos
uvula. M. levator veli palatine membentuk sebagian besar palatum mole dan
kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba
Eustachius dan dipersarafi n.X. M. tensor veli palatine membentuk tenda palatum
mole dan kerjanya untuk mengencangkan bagian anterior palatum mole dan
membuka tuba Eustachius dan dipersarafi n.X. M. palatoglosus membentuk arkus
anterior faring dan kerjanya menyempitkan ismus faring. M. palatofaring
membentuk arkus posterior faring. M. azigos uvula merupakan otot yang kecil,
kerjanya memperpendek dan menaikkan uvula ke belakang atas. 1
Faring mendapat darah dari cabang a. karotis eksterna serta dari cabang a.
maksila interna yakni cabang palatina superior. 1
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring
yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n. vagus, cabang dari
n. glosofaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n. vagus berisi serabut
simpatis.1

18
Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas:

1) Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal.2
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan
beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral
faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang
merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba Eustachius, konka
foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus
asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus
os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.2

2) Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan
kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring
adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring
anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.2
 Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang
akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian
tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum
mole berhubungan dengan gangguan n. vagus.2
 Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya
adalah m. konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas
(upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil.
Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah
memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang

19
merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar-
benarnya bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya.2
 Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat macam tonsil yaitu tonsil
faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang
biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil
seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring
yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.2
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah
yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang
juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit,
limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut
kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah
dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari a. palatina
minor, a. palatina ascendens, cabang tonsil a. maksila eksterna, a. faring
ascendens dan a. lingualis dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat
foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila
sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus
tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid
lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus. Infeksi dapat terjadi di
antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas keatas
pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.2

20
3) Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah
valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman
atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara
glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring
superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus
piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas
anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior
adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina
krikoid dan di bawahnya terdapat muara esophagus.2
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan
laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung,
maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian
ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika
medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut
juga “kantong pil” (pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila
menelan pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk
omega dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang
bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam
perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya
sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan
minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis
dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis
pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian
anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.7

21
Fungsi Faring
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam menelan yaitu fase
oral, fase faringeal dan fase esophageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut
menuju ke faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada
waktu transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja
(involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu
bolus makanan bergerak secara peristaltic di esofagus menuju lambung.2
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kea
rah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan
melibatkan mula-mula m. salpingofaring dan m. palatofaring, kemudian m.
levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan
penutupan nasofaring m. levator veli palatine menarik palatum mole ke atas
belakang hamper mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi
oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat
2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.
palatofaring (bersama m. salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif m. konstriktor
faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang
bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada
periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan
hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.2

2.5 Rhinosinusitis

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polys


(EPOS) 2012, rhinosinusitis didefinisikan sebagai suatu radang dari hidung
dan sinus paranasal, yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, yang salah
satunya harus ada berupa obstruksi (hidung tersumbat) atau nasal discharge
(sekret hidung baik anterior atau posterior nasal drip): nyeri pada wajah dan
berkurangnya sensitivitas pembau. Pada rhinosinusitis akut gejala berlangsung ≤
12 minggu dan rhinosinusitis kronis berlangsung ≥ 12 minggu.

22
Diagnosis rhinosinusitis ditegakkan berdasarkan European Position Paper
On Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS) tahun 2012 adanya dua atau lebih
gejala, salah satu yang seharusnya dijumpai adalah hidung tersumbat /
pembengkakan / keluarnya cairan dari hidung ( cairan hidung yang menetes
keluar bisa melalui anterior maupun posterior) disertai ± rasa sakit pada wajah /
rasa tertekan pada wajah atau ± berkurang / hilangnya penciuman dan salah satu
dari temuan nasoendoskopi yaitu:
 Polip dan/ atau
 Sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau
 Edema/ obstruksi mukosa di meatus medius dan/ atau
 Gambaran tomografi computer (CT scan) : perubahan mukosa di kompleks
osteomeatal dan/atau sinus.1

Klasifikasi rhinosinusitis

Rhinosinusitis diklasifikasikan berdasarkan beratnya serangan dan lama


serangan. Berdasarkan beratnya penyakit, penyakit ini dapat dibagi menjadi
ringan, sedang dan berat berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS)
dengan skor 0-10 cm:

 Ringan = VAS 0-3


 Sedang= VAS > 3-7
 Berat= VAS > 7-10

Gambar 7. Visual Analog Scale1

23
Untuk evaluasi nilai total, pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS
jawaban dari pertanyaan “berapa besar gangguan dari gejala rhinosinusitis
saudara?” Nilai VAS >5 mempengaruhi kualitas hidup pasien. Berdasarkan
lamanya penyakit, rhinosinusitis diklasifikasikan menjadi akut maupun kronik.
Dikatakan akut apabila lamanya penyakit <12 minggu dan terjadi resolusi komplit
gejala sedangkan dikatakan kronik apabila lama penyakit >12 minggu dan tanpa
resolusi gejala komplit termasuk kronik eksaserbasi akut.

Patofisiologi rhinosinusitis

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium - ostium sinus dan


lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks
osteomeatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernafasan. Struktur yang membentuk KOM letaknya berdekatan
dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga
silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Sumbatan di ostium sinus dapat
diakibatkan edema yang terjadi sekunder karena adanya inflamasi traktus
respiratorius atas (hidung).1
Akibatnya terjadi penurunan aerasi sinus, penurunan tekanan O2 dalam
sinus, hipooksigenasi dan akhirnya terjadi vasodilatasi kapiler sebagai mekanisme
kompensasi. Proses ini memicu terjadinya transudasi. Sebagian cairan transudat
akan masuk ke sub mukosa sehingga menyebabkan edema, sebagian lagi menuju
ekstra vaskuler, menembus epitel hingga masuk ke rongga sinus. Akibatnya akan
terdapat cairan transudat di rongga sinus yang mula-mula serous. Kondisi ini bisa
dianggap sebagai rhinosinusitis non bakterial dan biasanya sembuh dalam
beberapa hari tanpa pengobatan.8
Bila kondisi menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi
purulen yang berwarna kuning kehijauan. Keadaan ini disebut sebagai
rhinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak
berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi
hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Keadaan sinus yang hipooksigen juga

24
dapat mengganggu gerakan silia sehingga mekanisme klirens mukosiliar
terganggu. Akibatnya cairan transudat tidak dapat didrainase dan semakin
tertimbun di dalam sinus. Keadaan ini membuat pH sinus menjadi asam dan
mendukung aktivitas multiplikasi bakteri.8

Jika proses ini berlanjut, mukosa semakin bengkak dan menjadi siklus
yang terus berputar hingga perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi,
polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan
tindakan operasi.

Hubungan rhinitis alergi dan rhinosinusitis

Rhinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang meningkat seiring


meningkatnya kasus rhinitis alergi dan mengakibatkan peningkatan beban
finansial terhadap penderitanya. Pembengkakan mukosa hidung pada rhinitis
alergi di ostium sinus dapat mengganggu ventilasi bahkan menyumbat ostium
sinus, yang akan mengakibatkan retensi sekret mukus dan infeksi. Mukosa hidung
dan sinus membentuk suatu rangkaian kesatuan, sehingga membran mukosa sinus
sering terlibat pada penyakit yang disebabkan inflamasi pada mukosa nasi.
Penderita rhinosinusitis kronik yang disertai rhinitis alergi memiliki
keluhan rhinosinusitis yang lebih berat. Diantara pasien alergi yang menjalankan
imunoterapi, sebagian besar yang merasa tertolong dengan terapi imun adalah
pasien dengan riwayat rhinosinusitis berulang. Dan setengah dari pasien yang
pernah menjalankan operasi sinus lalu mendapat imunoterapi spesifik menyatakan
bahwa operasi saja tidak dapat menuntaskan episode berulang dari
rhinosinusitisnya. Hubungan antara faktor alergi dan beratnya gejala rhinosinusitis
berdasarkan pemeriksaan CT scan, terbukti bahwa jika terdapat faktor alergi pada
rhinosinusitis kronik, maka semakin berat gejala rhinosinusitisnya. Dengan
pemeriksaan CT scan diketahui bahwa serum total IgE berkorelasi dengan
penebalan mukosa sinus. Dengan demikian penderita rhinosinusitis kronik yang
akan menjalankan operasi sebaiknya diperiksa dahulu apakah terdapat faktor
alergi. Jika positif terdapat faktor alergi, sebaiknya alerginya diterapi terlebih
dahulu, sehingga kesembuhan akan lebih cepat dan kemungkinan berulangnya
rhinosinusitis pasca operasi dapat dikurangi.
25
Rhinosinusitis akut

Rhinosinusitis akut dibagi menjadi rhinosinusitis akut viral (gejala <10


hari) dan rhinosinusitis non-viral akut (terjadi perburukan gejala > hari atau gejala
menetap > 10 hari dengan lama sakit <12 minggu). Jika penyebab rhinosinusitis
akut adalah bakteri maka gejala yang timbul adalah lendir yang tidak berwarna
dan biasanya unilateral serta adanya sekret yang purulen dalam cavum nasi. Selain
itu terdapat nyeri lokal yang berat serta unilateral, demam >38◦C dan adanya
peningkatan CRP. Prevalensi kasus rhinosinusitis akut bervariasi dan dipengaruhi
oleh cuaca dan variasi iklim dan meningkat di lingkungan yang lembab serta
banyak polusi udara. Rokok juga berpengaruh terhadap rhinosinusitis akut karena
mempengaruhi fungsi dan motilititas dari silia. Laringofaringel refluks juga
memiliki kaitan dengan rhinosinusitis akut. Faktor predisposisi rhinosinusitis akut
adalah lingkungan, rokok, laringofaringeal refluks, cemas dan depresi.

Tatalaksana rhinosinusitis akut

Gambar 8. Tatalaksana Rhinosinusitis Akut pada Dewasa untuk Pelayanan


Kesehatan Primer1

26
Rhinosinusitis kronik

Pada rhinosinusitis kronik, dapat dijumpai polip hidung namun tidak selalu
disertai polip hidung. Gejala lebih dari 12 minggu dan terdapat dua atau lebih
gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau
pilek (sekret hidung anterior/ posterior) disertai:1
 nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
 penurunan/ hilangnya penghidu

Dan dari anamnesis didapatkan gejala alergi, ingus seperti air, hidung
gatal, mata gatal dan berair, jika positif ada, seharusnya dilakukan pemeriksaan
alergi. (Foto polos sinus paranasal/tomografi komputer tidak direkomendasikan).
Berdasarkan EPOS, faktor yang dihubungkan dengan kejadian rhinosinusitis
kronik tanpa polip nasi yaitu “ciliary impairment, alergi, asma, keadaan
immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal,
mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan
refluks laringofaringeal”.

Penatalaksaaan rhinosinusitis kronik

Prinsip penatalaksanaan rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang


dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan
pembedahan. Pada rhinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan
mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa.
Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung
memerlukan terapi yang berlainan juga.

Terapi Medikamentosa

Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan


rhinosinusitis kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan
penderita, membantu dalam diagnosis rhinosinusitis kronik (apabila terapi
medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan menjadi rhinosinusitis kronik)
dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan. Pada dasarnya
yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi

27
drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung.
Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rhinosinusitis kronik tanpa
polip nasi pada orang dewasa antara lain:
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rhinosinusitis kronik
mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan
adalah antibiotika spektrum luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.
Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason.
a. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rhinosinusitis kronik
dengan polip nasi dan rhinosinusitis fungal alergi.
3. Terapi penunjang lainnya meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap
iritan dan nutrisi yang cukup

28
Terapi Pembedahan

Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan


sederhana dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan
peralatan canggih endoskopi. Beberapa jenis tindakan pembedahan yang
dilakukan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi ialah:1
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal

5. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) dipublikasikan pertama kali


oleh Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan BSEF/FESS adalah:
a. Sinusitis kronis yang tidak membaik setelah terapi adekuat
b. Sinusitis kronis disertai kista atau kelainan yang irreversible
c. Polip ekstensif
d. Adanya komplikasi sinusitis
e. Sinusitis jamur

29
Gambar 9. Skema Penanganan Rhinosinusitis Kronis pada Dewasa untuk
Pelayanan Kesehatan Primer.1

Komplikasi

Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan
seringkali membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya
teknologi diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.1
Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi komplikasi
orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.

1. Komplikasi orbita :
a. Selulitis periorbita
b. Selulitis orbita
c. Abses subperiosteal
d. Abses orbita

30
2. Komplikasi oseus/tulang :
a. Osteomielitis (maksila dan frontal)
3. Komplikasi intrakranial:
a. Abses epidural / subdural
b. Abses otak
c. Meningitis
d. Serebritis
e. Trombosis sinus kavernosus

2.6 Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (lateral
band dinding faring/Gerlach’s tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (ait borne
droplets), tangan, dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada
anak. 1,2

Patofisiologi

Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Amandel
atau tonsil berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya
tersebut. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi
yang akan datang akan tetapi kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan
infeksi atau virus. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang
dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada
korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan
detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu
maka terjadi tonsillitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit
tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit
tenggorokannya sehingga berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan
31
kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah 13 bening melemah
didalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh
tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih
membuat pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa
mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah
72 jam. Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu
(Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang
berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan
mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh
detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula. 1,2
Secara garis besar tonsilitis dibagi menjadi 3 yaitu tonsilitis akut, tonsilitis
membranosa, dan tonsilitis kronik.

Tonsilitis Akut
a) Tonsilis viral
Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold yang disertai
rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr.
Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi
infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-
luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien. Terapi
umumnya dengan istirahat, minum cukup, analgetika, dan antivirus diberikan jika
gejala berat.1

b) Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus, β
hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, Streptokokus
viridan, Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil
akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear
sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas

32
disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu,
membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini
juga dapat melebar sehingga terbentuk semacam membrane semu
(pseudomembrane) yang menutupi tonsil.
Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah
nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi,
rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga
(otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf n.
glosofaringeus (N. IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis
dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membrane semu.
Kelenjar submandibular membengkak dan nyeri tekan.
Terapi dapat diberikan antibiotika spectrum luas seperti penisilin,
eritromisin, antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan. 1
Komplikasi yang dapat ditimbulkan diantaranya adalah otitis media akut,
sinusitis, abses peritonsil (Quincy throat), abses parafaring, bronchitis,
glomerulonephritis akut, miokarditis, artritis serta septicemia akibat infeksi v.
jugularis interna (Sindrom Lemierre). Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan
pasien bernafas melalui mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur kerena
terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome
(OSAS).

Tonsilitis Membranosa
a) Tonsilitis difteri
Tonsilitis diferi merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman
Corynebacterium diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak
berusia kurang dari 10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.
Diagnosis tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membrane semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae. Gejala
klinik pada tonsillitis difteri diantaranya adalah gejala umum berupa demam
subfebris, badan lemah, nadi lambat, keluhan nyeri menelan. Sedangkan gejala
local seperti tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang semakin meluas

33
dan bersatu membentuk membrane semu. Membrane ini dapat meluas ke palatum
mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran
nafas. Membrane semu ini melekat erat pada dasarnya sehingga jika diangkat akan
mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan
tubuh yaitu jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensation cordis,
mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria. 1

b) Tonsilitis septik
Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat
dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Sehingga di Indonesia susu sapi
dimasak dulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang
ditemukan. 1

c) Angina Plaut Vincent ( stomatitis ulsero membranosa )


Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi
vitamin C.
Gejala berupa demam 390C, nyeri kepala, badan lemah, dan kadang
terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gusi dan gigi
mudah berdarah. Terapi dapat diberikan antibiotika spectrum luas selama 1
minggu. Memperbaiki hygiene mulut, vitamin C, dan vitamin B kompleks. 1

d) Penyakit kelainan darah


Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi
mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu.
Pada leukemia akut gejala berupa epistaksis, perdarahan mukosa mulut,
gusi dan dibawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan. Tonsil
membengkak ditutupi membrane semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri hebat
di tenggorok.
Pada angina agranulositosis yang disebabkan oleh keracunan obat dari
golongan amidopirin, sulfa, dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa

34
mulut dan faring serta di sekitar ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat
ditemukan di genitalia dan saluran cerna. 1

Tonsilitis Kronik
Tonsilitis Kronik adalah peradangan kronis tonsil setelah serangan akut
yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama
terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat.
Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai
dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan
keluar detritus. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis ialah rangsangan
yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman
berubah menjadi kuman golongan Gram negatif. 1,2
Tonsilitis kronis terjadi karena proses radang berulang yang timbul maka
selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh
detritus. proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak
proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang
mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan napas berbau.
Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya
membesar (hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi),
terutama pada dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan
pembesaran kelenjar limfe angulus mandibular.

35
Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1 – T4 :1
T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior –
uvula
T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior uvula sampai ½ jarak
anterior – uvula
T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾ jarak
pilar anterior – uvula
T4: batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula atau lebih.

Gambar 10. Ukuran Pembesaran Tonsil1

Sedangkan pembesaran tonsil menurut Brodsky dan Friedman adalah


sebagai berikut:2
T0 : Tonsil berada di dalam fossa
T1 : Tonsil menempati kurang dari 25% dari orofaring
T2 : Tonsil menempati 25% – 50% dari orofaring
T3 : Tonsil menempati 50% – 75% dari orofaring
T4 : Tonsil menempati lebih dari 75% dari orofaring

36
Tabel 1. Derajat tonsil menurut Brodsky dan Friedman2

Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas
yang dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi
hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang berat
menyebabkan apnea waktu tidur, gejala yang paling umum adalah mendengkur
yang dapat diketahui dalam anamnesis. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan yaitu secara mikrobiologi. Pemeriksaan dengan antimikroba sering
gagal untuk segera dikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada
tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian
pemberian antibiotika atau penetrasi anitbiotika yang inadekuat.
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat
hisap. Komplikasi kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara konrinuitatum.
Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul
endokarditis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis. Tonsilektomi
dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta
kecurigaan neoplasma. 1

Komplikasi
Komplikasi tonsilitis akut dan kronik yaitu: 1,2
1. Abses pertonsil

37
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini
terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh
streptococcus group A.
2. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi)
dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur
spontan gendang telinga.
3. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-
sel mastoid
4. Laringitis
Merupakn proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx.
Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus,
bakter, lingkungan, maupunmkarena alergi.
5. Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satua atau lebih
dari sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau 15 ruangan
berisi udara dari dinding yang terdiri dari membran mukosa.
6. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan
nasopharynx.

Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan tonsilitis akut: 1
a. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur
atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau
klindamisin.
b. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid
untuk mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
c. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi
kantung selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.
d. Pemberian antipiretik.

38
2. Penatalaksanaan tonsilitis kronik
a. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap.
b. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi
konservatif tidak berhasil.

The American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery Clinical


Indikators Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi dilakukannya
tonsilektomi yaitu: 1
1) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial
3) Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
nafas, sleep apnea, gangguan menelan, dan gangguan bicara.
4) Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil, yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan.
5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Sterptococcus β
hemoliticus
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8) Otitis media efusa / otitis media supurataif

Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology–Head and Neck


Surgery (AAO-HNS), operasi tonsillitis (tonsillectomy) perlu dilakukan jika
memenuhi syarat-syarat berikut: 1
i) Indikasi Absolut
 Tonsil (amandel) yang besar hingga mengakibatkan gangguan pernafasan,
nyeri telan yang berat, gangguan tidur atau sudah terjadi komplikasi penyakit-
penyakit kardiopulmonal.
 Abses peritonsiler (Peritonsillar abscess) yang tidak menunjukkan perbaikan
dengan pengobatan. Dan pembesaran tonsil yang mengakibatkan gangguan

39
pertumbuhan wajah atau mulut yang terdokumentasi oleh dokter gigi bedah
mulut.
 Tonsillitis yang mengakibatkan kejang demam.
 Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsi jaringan untuk menentukan
gambaran patologis jaringan.
ii) Indikasi Relatif
 Jika mengalami Tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak
menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan medikamentosa yang
memadai.
 Bau mulut atau bau nafas tak sedap yang menetap pada Tonsilitis kronis yang
tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan.
 Tonsilitis kronis atau Tonsilitis berulang yang diduga sebagai carrier kuman
Streptokokus yang tidak menunjukkan repon positif terhadap pengobatan
dengan antibiotika.
Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai berhubungan
dengan keganasan (neoplastik)

2.7 Faringitis

Faringitis Akut
a) Faringitis Viral
Faringitis ini biasanya disebabkan rhinovirus yang menyebabkan gejala
rhinitis yang beberapa hari kemudian menimbulkan faringitis. 1

Gejala dan Tanda


Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorokan, sulit menelan.1 Pada
pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, coxsachievirus,
dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat
menimbulkan lesi vesikuler di orofaring dan lesi kulit berupa makulopapular rash.
1

Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan gejala


konjungtivitis, terutama pada anak. Epstein-Barr virus (EBV) menyebabkan

40
faringitis yang disertai produksi eksudat faring yang banyak. Terdapat pembesaran
kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali. 1
Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok,
nyeri menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis,
terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah. 1

Terapi
Istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Analgetika
bila perlu dan tablet hisap. Antivirus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada
infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali
pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak < 5 tahun diberikan 50
mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari. 1

b) Faringitis Bakterial
Infeksi grup A streptokokus beta hemolitikus merupaka penyebab
faringitis akut pada orang dewasa dan pada anak. 1

Gejala dan Tanda


Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan
suhu yang tinggi, jarang disertai batuk. 1
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis
dan terdapat eksudat di permukaanya. Beberapa hari kemudian timbul bercak
petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar,
kenyal dan nyeri pada penekanan. 1
Terapi
 Antibiotik
Diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini Streptokokus beta
hemolitikus grup A. Penisilin G banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal, atau
amoksisilin 50 mg/kgBB dibagi 3 kali sehari selama 10 hari dan pada dewasa 3 x
500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4 x 500 mg/hari. 1
 Kortikosteroid

41
Deksametason 8-16 mg, IM, sekali. Pada anak 0,08-0,3 mg/kgBB, IM, sekali.
Diberikan juga Analgetika jika diperlukan disertai kumur dengan air hangat atau
antiseptik. 1
c) Faringitis Fungal
Candida dapat tumbuh di muka rongga mulut dan faring. 1

Gejala dan Tanda


Keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak
plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini
dilakukan pada agar Sabouroud dekstrosa. 1

Terapi
Diberikan nystatin 100.000 – 400.000 2 kali sehari disertai analgetika jika
diperlukan1
d) Faringitis Gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital. Terapi
yang diberikan adalah sefalosporin generasi 3 seftriakson 250 mg secara IM.1

Faringitis Kronis
Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik
atrofi. Faktor predisposisi poses radang kronik di faring ini ialah:
a) Faringitis Kronik Hiperplasia
Pada faringitis kronik hiperplasia terjadi perubahan mukosa dinding posterior
faring.Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band
hiperplasia.Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata,
bergranular.Gejala berupa rasa gatal, kering dan berlendir yang sukar dikeluarkan
dari tenggorokan. Batuk serta perasaan mengganjal di tenggorokan. Terapi lokal
dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argenti
atau dengan listrik. Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur atau tablet isap.
Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.Penyakit di
hidung dan sinus paranasal harus diobati.

42
Terapi obat kumur antara lain dengan obat kumur dengan antiseptik Povidone
Iodine USP 1%. Povidone iodine dilarutkan atau diencerkan dengan volume yang
sama dengan air, lalu kumur hingga 10 ml selama 30 detik tanpa ditelan. Ulangi
sampai 4 kali sehari, sampai 14 hari berturut-turut.1
b) Faringitis Kronik Atrofi
Faringitis kronik atropi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada
rhinitis atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya, sehingga
menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Gejala berupa Pasien
mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau.Pada pemeriksaan
tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak
mukosa kering. Pengobatan ditujukan pada rinitis atrofinya dan untuk faringitis
kronik atrofi ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.1

2.8 Laryngopharingeal Reflux


Laringofaringeal refluks (LPR) adalah suatu keadaan adanya refluks asam
lambung ke ruang laringofaring, di mana laringofaring merupakan bagian yang
berdekatan dengan jaringan di traktus aerodigestive atas.4
Beberapa sinonim untuk LPR dari beberapa literature kedokteran: Reflux
Laryngitis, Laryngeal Reflux, Gastropharyngeal Reflux, Pharyngoesophageal
Reflux, Supraesophageal Reflux, Extraesophageal Reflux, Atypical Reflux. Dan
yang paling diterima dari beberapa sinonim tersebut adalah Extraesophageal
Reflux.9

Etiologi
Etiologi LPR dapat disebabkan karena faktor fisik yaitu adanya gangguan
fungsional dari sphincter esophagus, hiatal hernia, abnormalitas kontraksi
esophagus, lambatnya pengosongan dari lambung, sedangkan dapat juga
disebabkan karena infeksi, vocal abuse, alergi, iritasi dari polusi udara, dan gaya
hidup, misalnya, diet makanan berlemak, kopi, coklat, NSAID, makanan pedas,
merokok, minuman beralkohol.9

43
Epidemiologi
Selama dekade terakhir ada peningkatan dan kepedulian terhadapat
penyakit yang disebabkan oleh refluks asam yang terjadi secara retrograde ini.
Pada penelitian yang di lakukan di amerika diperkirakan 75 juta penduduk
diperkirakan menderita GERD, dimana 50% dari populasi ini menunjukan gejala
LPR atau extraesophageal reflux (EER).10
Prevalensi pasien dengan keluhan LPR berkisar antara 15-20% dan lebih
dari 15% pasien tersebut berobat ke dokter spesialis THT dengan manifestasi
keluhan LPR. Kasus LPR 4-10% terdapat pada pasien dengan PRGE. Pria,
wanita, bayi, anak-anak hingga dewasa bisa mengalami LPR. LPR pada bayi dan
anak sering terlewatkan.10
Prevalensi variasi GERD dengan lokasi geografik menurut studi
epidemiologi terhadpat lima belas penelitian didapatkan bahwa 8-27% pada
populasi kelompok western mempunyai rasa terbakar pada ulu hati dan regurgitasi
asam satu atau lebih perminggunya. Di asia sendiri di laporkan prevalensi cukup
rendah yaitu 3-5 %.10

Patofisiologi
Patofisiologi LPR masih menjadi kajian banyak ilmuan. Sampai saat ini ada
dua hipotesis yang diterima dikalangan ilmuan untuk proses terjadinya LPR.
Hipotesis yang pertama yaitu asam lambung secara langsung mencederai laring
dan jaringan sekitarnya. Hipotesis yang kedua menyatakan bahwa asam lambung
dalam esofagus distal merangsang refleks vagal yang mengakibatkan
bronkokontriksi dan gerakan mendehem dan batuk kronis, yang pada akhirnya
menimbulkan lesi pada mukosa saluran napas atas.9,10
Terdapat 4 jenis pertahanan fisiologis yang melindungi traktus aerodigestif
dari cedera refluks yaitu LES (Lower Esophageal Spinchter), fungsi motorik
esofageal dengan pembersihan asam lambung, resistensi jaringan mukosa
esofageal, dan spingter esofageal atas.9,10
a.) LES (Lower Esophageal Spinchter)
Mekanisme pertama pada pertahanan anti refluks adalah gastroesophageal
junction. Pertahanan ini terdiri dari sphincter dengan elemen otot dari lower
44
esophageal sphincter (LES) dan otot lurik dari diafragma bagian bawah, yang
berkombinasi untuk menjaga tekanan GEJ, hal ini penting untuk menahan tekanan
intraabdominal, dan mencegah isi lambung melewati esofagus. Secara fisiologis
LES merupakan sphincter dengan panjang 3-4 cm dengan otot yang dapat
berkontraksi di distal esofagus. Sphincter akan relaksasi setelah terjadi proses
menelan makanan dan memasukkan ke dalam lambung, secara anatomi daerah ini
mempunyai ketebalan 2-3 kali lebih tebal dibanding bagian dinding proksimal
esofagus. 9,10
b.) Fungsi motorik esofageal dengan pembersihan asam lambung
Pertahanan anti refluks kedua adalah fungsi motorik normal dari esofagus.
bolus makanan dan minuman akan didorong oleh kekuatan dari gerak peristaltik
dari pharyngoesophageal junction turun kebawah sampai ke gastroesophageal
junction dan ke dalam lambung. Gerak peristaltik secara primer dirangsang oleh
proses menelan di faring atau secara sekunder dengan stimulasi langsung pada
mukosa esofagus. Gerakan peristaltik ini penting untuk membersihkan refluks ke
dalam lambung. Adanya gangguan gerakan esofagus akan meningkatkan refluk
dengan melewati esofagus sampai ke laringofaring. Dengan pengukuran
manometric, pada pasien LPR didapatkan 75% mengalami kelainan motilitas.9,10
c.) Resistensi jaringan mukosa esofageal
Pada saat refluks yang melewati UES dan mencapai daerah laringofaring
akan menyebar di sepanjang mukosa yang berbatasan di daerah kepala leher. Pada
keadaan ini hanya ada satu pertahanan untuk mencegah inflamasi dan kerusakan
dari komponen korosif refluks yaitu resistensi dari mukosa faring dan laring. 9,10
d.) Spingter esofageal atas
Pertahanan antirefluks yang keempat adalah Upper Esophageal sphincter
(UES). Terjadinya kelemahan pada mekanisme ini yang membedakan antara
GERD dan LPR. UES didefinisikan sebagai daerah yang dapat berkonstriksi
secara tonik di pharyngoesofageal junction. Seperti pada LES, UES akan
berelaksasi pada saat makanan atau minuman akan masuk pada proses menelan.
Secara anatomi UES merupakan serabut distal dari otot cricopharyngeus dan
bagian proksimal dari esofagus. Dimana otot cricopharyngeus memegang peranan
penting pada tekanan di UES. Fungsi utama dari UES adalah menjaga masuknya

45
udara masuk kedalam esofagus selama respirasi dan menjaga sekresi gaster masuk
ke faring sewaktu refluks. Adanya penyimpangan pada fungsi sfingter yang kedua
tersebut diyakini sebagai penyebab kerusakan primer pada LPR, yang
bermanifestasi terjadinya refluks yang mencapai laryngopharyngeal.9,10

Gambar 11. Patofisiologi LPR10

Gejala Klinis

Gejala klinis dari LPR bervariasi, namun gejala yang paling sering di
jumpai adalah suara serak. Selain suara serak, gejala lainnya merupakan disfonia,
throat clearing, globus pharingeus, disfagia, post nasal drip, voice fatigue, batuk
kronik, sensasi penuh pada tenggorokan yang tidak hilang dengan menelan.11,12

46
Gambar 12. Manifestasi klinik laryngipharyngeal reflux
Pada pemeriksaan laring pada LPR akan ditemukan gambaran eritema,
edema serta gambaran cobblestone dengan adanya pseudosulkus vokalis dengan
gambaran ulkus, nodul, polip, leukoplakia dan kerusakan ventrikular band.1,11,

Diagnosis
Diagnosa LPR ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang. Pada sebuah survei internasional yang dilakukan oleh
American Bronchoesophagological Association ditemukan dari anamesis pasien
yang dicurigai mengalami LPR mengeluhkan suara serak (95%), throat clearing
(98%), batuk-batuk kronik (97%) dan globus pharingeus (95%).1
Terdapat dua bentuk penilaian yang digunakan dalam menentukan
diagnosis LPR, yaitu reflux system index (RSI) dan reflux finding score (RFS).
Penilaian skor RSI dikembangkan oleh Belafsky et al pada tahun 2002, sistem RSI
ini didasarkan oleh 9 pertanyaan yang diberikan pada pasien, setiap pertanyaan
memiliki skala dari 0 sampai 5. Nilai 0 menampilkan tidak ada masalah
sedangkan nilai 5 diartikan sebagai masalah berat. Jumlah total dari RSI adalah 45
dan dikatakan sugestif LPR apabila skor RSI >13. 1

47
Tabel 2. Reflux Score Index11

Pada RFS, skor dinilai berdasarkan delapan temuan fisik yang


berhubungan dengan gejala LPR. Penilaian diukur berdasarkan grading dengan
jumlah total skor 26. Apabila skor yang ditemukan lebih dari 7 maka sugestif
untuk terjadinya LPR.11

Tabel 3. Reflux Finding Score11

48
(A) posterior pharyngeal wall
cobblestoning,

(B) interarytenoid bar with erythema,

(C) posterior commissure with


erythema and surface irregularity,

(D) posterior cricoid wall edema,

(E) arytenoid complex with apex


edema, erythema, and medial wall
erythema,

(F) true vocal folds with edema,

(G) false vocal folds erythema,

(H) anterior commissure erythema,

Gambar 13. Gambaran Laryngopharyngeal Reflux.11 (I) epiglottis erythema, and

(J) aryepiglottic fold edema.


Diagnosis Banding
Ada beberapa diagnosis banding dari LPR yaitu laringitis akut atau kronik,
stenosis laring serta tumor ganas pada laring. Pada laringitis akut, terjadi infeksi
pada laring yang tidak lebih dari 3 minggu dan biasanya dapat sembuh sendiri.
Penyebab dari laringitis akut ini sendiri adalah infeksi yang biasanya di dahului
oleh infeksi saluran nafas atas. 1

Tabel 4. Perbedaan gejala klinik LPR dan penyebab suara serak lainnya11

Pemeriksaan Penunjang
49
Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada setiap
kasus yang dicurigai LPR, yaitu:1,11
1. Laringoskopi
Pemeriksaan dengan laringoskopi untuk LPR terbagi menjadi dua yaitu
laringoskopi indirek (indirect laryngoscopy/IL) dan laringoskopi fleksibel
(flexible fibreobtic laryngoscopy). Pada pemeriksaan ini biasanya akan
ditemukan hipertrofi dari komissura posterior, edema dan eritema pada
plica vokalis dan kerusakan pada ventrikular band. Pemeriksaan ini sangat
penting untuk menilai Reflux Finding Score. Adanya edema dan eritema
pada plika vokalis, walaupun bukan tanda patogmonis namun sudah dapat
menguatkan adanya tanda peradangan pada laring. Temuan lain yang
sering adalah granuloma, sekitar 65-75% pasien yang terkonfirmasi LPR
dengan monitoring pH akan tampak granuloma pada pemeriksaan
laringoskopi. Gambaran pseudokulkus juga merupakan salah satu temuan
fisik lain yang sering, sekitar 90% pasien yang terkonfirmasi LPR
memperlihatkan gambaran pseudokulkus. Lihat Gambar 24. Gambaran
granuloma dan pseudoculcus (tanda panah) pada pemeriksaan
laringoskopi.

Gambar 14. Gambaran granuloma dan pseudoculcus (tanda panah) pada


pemeriksaan laringoskopi.1

50
2. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi biasanya tidak dilakukan saat awal, namun
pemeriksaan ini dapat menilai derajat beratnya dari perubahan mukosa
pada esofagus. Pada LPR hanya 30% temuan esofagitis pada pemeriksaan
endoskopi.
3. 24-hour pH Monitoring
Pemeriksaan pH 24 jam ini atau Prolonged Ambulatory pH Monitoring
berfungsi untuk menilai refluks yang terjadi pada kasus GERD maupun
LPR. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan apabila pengobatan tidak
memberikan respon yang baik dan gejala yang ditampilkan cukup berat.
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk LPR karena dapat
membedakan refluks asam yang terjadi pada sfingter esofagus atas ataupun
bawah.
Pemeriksaan ini menggunakan dua elektroda yang dapat memantau
perubahan pH, elektroda pertama di pasang 5 cm di bawah sfingter
esofagus bawah dan elektroda kedua di letakkan pada laringofaring
(hipofaring). Elektroda tersebut tersambung pada komputer yang akan
merekam setiap perubahan dari pH, setelah pemeriksaan selama 24 jam,
hasil data tersebut akan di analisa.

Gambar 15. Gambaran 24-hour pH Monitoring11


51
4. Pemeriksaan Videotoboskopi
Pemeriksaan videotoboskopi merupakan pemeriksaan dengan
menggunakan endoskop sumber cahaya xenon yang di aktivasi oleh
pergerakan pita suara, gambaran ini dapat dilihat dalam bentuk lambat.
Pada hampir seluruh pasien yang mengeluhkan masalah pada suaranya
saat diperiksa dengan pemeriksaan videotoboskopi ditemukan adanya
tanda-tanda dari gejala LPR. Selain dalam kriteria diagnostik, pemeriksaan
ini juga dapat memantau perkembangan penyakit LPR yang sedang dala
pengobatan, fungsinya untuk menilai apakah terapi yang diberikan
antireflux yang diberikan berhasil atau tidak.

Gambar 16. Gambaran edema eritonoid pada pemeriksaan videostoboskopik. 11

Gambar 17. Hipertrofi dan leukoplakia pada plika vokalis pada pemeriksaan
videostroboskopik11

52
Tatalaksana
Terdapat algoritma penatalaksanaan LPR, namun penatalaksanaan LPR
tidak lepas dari 3 kategori utama yaitu edukasi pasien dan perubahan pola hidup,
terapi medikomentosa serta terapi bedah. Hal yang perlu diperhatikan bahwa
penyakit ini merupakan penyakit dengan kondisi kronik yang berulang sehingga
pengobatan yang diberikan tidak akan menghasilkan proses penyembuhan yang
cepat. 1,11

Gambar 18. Algoritma penatalaksanaan LPR11

1. Edukasi pasien dan Perubahan pola hidup


Pemeriksa harus menasehati pasien mengenai hal-hal yang dapat
meningkatkan aliran refluks asam lambung. Pasien sebaiknya mengurangi
atau hentikan merokok, kurangi berat badan, tidak makan 2-3 jam sebelum
tidur, tidak memakai pakaian yang ketat atau ikat pinggang yang terlalu

53
ketat serta meninggikan kepala tempat tidur. Pasien juga harus diingatkan
untuk memodifikasi dietnya, seperti tidak memakan makanan yang dapat
mengiritasi lambung dan esofagus seperti kopi, minuman berkarbonasi,
coklat, jus citrus, alkohol, tomat ataupun makanan berlemak.1,11
2. Terapi Medikamentosa
Terdapat 4 macam obat yang digunakan dalam terapi LPR yaitu PPI atau
Proton-pump Inhibitor, obat-obat antagonis H2, obat-obat prokinetik dan
obat-obat proteksi sel atau cytoprotective. Pengobatan dengan PPI
dipertimbangkan sebagai pengobatan utama dalam terapi medikamentosa
ini. PPI yang biasanya diberikan adalah Omeprazole dengan dosis 20mg
perhari (terapi rumatan). Obat lain yang dapat dipilih seperti Lanzoprazole
dengan dosis 30mg per hari. Pengobatan PPI ini diberikan selama 6 bulan
sebelum di follow up kembali apakah pengobatan berhasil atau tidak.
Obat lain yang sering digunakan adalah ranitidin yang merupakan
golongan antagonis reseptor H2 dengan dosis 150 mg yang diberikan 2 kali
sehari. Obat proteksi yang sering diberikan adalah antasid sedangkan obat
prokinetik yang sering dipakai adalah metoclopramid dengan dosis 5-10
mg dan diminum 4 kali dalam sehari. Obat proteksi dapat menetralisasi
refluks asam serta mengurangi kerusakan dari mukosa serta mencegah
aktivitas pepsin.1,11
3. Terapi Bedah
Apabila modifikasi gaya hidup serta terapi medikamentosa tidak bisa lagi
mengobati LPR maka pilihan terakhir adalah terapi bedah. Ada beberapa
operasi bedah yang dikenal seperti Nissen fundoplication (komplit) atau
Toupet atau Bore (parsial). Tujuan dari operasi ini adalah untuk
memperbaiki kompetensi dari sfingter esofagus bawah (SEB).
Laparoscopic Nissen Fundoplication adalah terapi bedah standar yang
aman dan efektif dalam pengobatan LPR. 1,11

54
Komplikasi
Pada anak-anak, komplikasi LPR sering mengakibatkan masalah pada
saluran pernafasan seperti penyempitan di bawah pita suara atau subglotis
stenosis, ulkus dan suara serak. LPR juga dapat mengakibatkan disfungsi dari tuba
eustachius yang akan mengakibatkan otitis media akut dan otitis media efusi. Pada
orang dewasa, LPR dapat mengakibatkan perubahan mukosa esofagus dan
mengakibatkan karsinoma esofagus.1,11

55
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Jl. Terusan Arjuna No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta-Barat

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT THT

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : Selasa/ 16 Januari 2018

SMF PENYAKIT THT

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

Nama : Louis Ryandi Tanda tangan

Nim : 112017064

Dr. Pembimbing/ penguji : dr. Daneswarry, Sp.THT-KL

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn FHD Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 24 tahun Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Swasta Pendidikan : S1
Alamat : Cengkareng, Jakarta Barat Status menikah :Belum
menikah

ANAMNESA
Diambil secara : Autoanamnesis
Pada tanggal : 15 Januari 2018 Jam : 10.00 WIB

56
Keluhan utama
Hidung terasa tersumbat dan berair sejak 2 minggu SMRS

Keluhan tambahan
Tenggorokkan terasa gatal dan ada yang mengganjal sewaktu menelan ludah. Rasa
menghidu bau-bauan berkurang. Kepala terasa berat dan nyeri tekan pada wajah

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Tarakan dengan keluhan hidung terasa
tersumbat dan berair sejak 2 minggu smrs. Hidung tersumbat dan berair dirasakan hilang
timbul. Pasien mengatakan hidung tersumbat dan berair memberat pada saat di pagi hari,
dalam ruangan dingin dan ketika dalam ruangan yang berdebu dan terkadang suka bersin.
Pasien mengatakan pada saat tidur malam, pasien menggunakan pendingin ruangan yang
disetel pada suhu 20oC. Pasien juga mengatakan dari hari ke hari keluhan bertambah berat
hingga rasa penciuman terhadap bau-bauan berkurang hingga saat ini dan 4 hari smrs
pasien sempat mengalami nyeri tekan pada wajah terutama di bagian dahi dan belakang
mata, namun saat ini keluhaan nyeri tekan sudah tidak dirasakan.
Pasien mengatakan keluhan seperti ini sudah pernah dirasakan sebelumnya, dan
sudah sangat lama terjadi. Pasien mengatakan jika terjadi pilek, pasien merasakan hidung
terasa tidak nyaman dan akan mengucek hidung karena terasa gatal. Cairan yang keluar
dari hidung juga bening dan tidak kental. Di rumah pasien, sering berada dalam kamar
yang menggunakan AC. Pasien juga mengganti sprei tiap 2 minggu sekali. Lingkungan
dirumahnya juga dikatakan cukup bersih dan tidak ada yeng merokok. Pasien mengatakan
mempunyai riwayat sinusitis sejak 2 tahun lalu. Riwayat bersin-bersin yang berulang, gigi
berlubang juga disangkal oleh pasien.
Pasien mengatakan saat ini tenggorokkan terasa gatal dan ada yang mengganjal
sewaktu menelan. Pasien juga mengatakan terdapat batuk yang hilang timbul. Batuk
dirasakan ketika tenggorokkan terasa gatal. Sejak 1 minggu SMRS, pasien mengatakan
terdapat nyeri tenggorokkan saat menelan dan demam tinggi, namun saat ini sudah tidak
dirasakan. Pasien mengatakan suka makan coklat, makanan yang pedas dan minum-
minuman bersoda serta es. Minum alkohol dan merokok disangkal.

57
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat maag (+), sinusitis (+). Riwayat asma, trauma, kencing manis, darah
tinggi, kolesterol, dan batuk kronis disangkal.

Pemeriksaan Fisik
TELINGA
Dextra Sinistra
Bentuk daun telinga Mikrotia (-), makrotia (-), Mikrotia (-), makrotia (-),
anotia (-), atresia (-), fistula (-), anotia (-), atresia (-), fistula
bat’s ear (-), lop’s ear (-), (-), bat’s ear (-), lop’s ear (-),
cryptotia (-), satyr ear (-) cryptotia (-), satyr ear (-)
Tanda Radang, Tumor Nyeri (-), massa (-), hiperemis Nyeri (-), massa (-),
(-), edema (-) hiperemis (-), edema (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Penarikan daun telinga Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)
Kelainan pre-, infra-, Fistula pre-aurikula (-), Fistula pre-aurikula (-),
retroaurikuler hematoma (-), laserasi (-), hematoma (-), laserasi (-),
abses (-), sikatriks (-), massa (- abses (-), sikatriks (-), massa
), hiperemis (-), nyeri (-), (-), hiperemis (-), nyeri (-),
edema (-) edema (-)
Region mastoid Hiperemis (-), massa (-), nyeri Massa (-), hiperemis (-),
(-), edema (-), abses (-) odem (-), nyeri (-), abses (-)
Liang telinga Lapang, edema (-), stenosis (-), Lapang, edema (-), stenosis
atresia (-), furunkel (-), jar. (-), atresia (-), furunkel (-),
granulasi (-), hiperemis (-), jar. granulasi (-), hiperemis (-
secret (-), serumen(-), laserasi ), sekret (-), serumen (-
(-), hifa (-), perdarahan aktif (- ),massa (-), hifa (-),
), clotting (-), debris (-), tanda perdarahan aktif (-), clotting
trauma (-), benda asing (-) (-), tanda trauma (-), benda
asing (-)

Membran Timpani Intak (+), suram(-), Reflek Intak (+), suram (-), Reflek
cahaya (+) arah jam 5, cahaya (+) arah jam 7,
hiperemis (-), retraksi (-), hiperemis (-),retraksi (-),

58
buldging (-) buldging (-)

Tes Penala
Dextra Sinistra
Rinne Positif Positif
Weber Tidak ada lateralisasi
Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz
Kesan : hasil pemeriksaan dalam batas normal

HIDUNG

Bentuk Saddle nose (-), hump nose (-), Saddle nose (-), hump
agenesis (-), hidung bifida (-), nose (-), agenesis (-),
atresia nares anterior (-), tidak ada hidung bifida (-), atresia
deformitas. nares anterior (-), tidak
ada deformitas.
Tanda peradangan Hiperemis (-), nyeri (-), massa (-) Hiperemis (-), nyeri (-),
massa (-),
Daerah sinus frontalis dan Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-), Nyeri tekan (-), nyeri
maxillaris krepitasi (-) ketuk (-), krepitasi (-)
Vestibulum laserasi (-), sekret (-), furunkel (- laserasi (-), sekret (),
), krusta (-), hiperemis (-), nyeri (- furunkel (-), krusta (-),
), massa (-), benda asing (-) hiperemis (-), nyeri (-),
massa (-), benda asing (-
)
Cavum Nasi Sekret (+) serous (+) konsistensi Sekret (+) serous (+)
cair (+), sempit (+), massa (-), konsistensi cair (+),
krusta (-), benda asing (-), edema sempit (+), massa (-),
(-), pendarahan aktif (-), clotting krusta (-), benda asing (-
(-) ), edema (-), pendarahan
aktif (-), clotting (-)
Konka inferior Hipertrofi (-), atropi (-), Hipertrofi (-), atropi (-),
hiperemis (-), livide (+), edema hiperemis (-), livide (+),
(+) edema (+)

59
Meatus nasi inferior Tertutup, sekret serous (+) Tertutup, sekret serous
(+)
Konka Medius Edema (+), atropi (-), hipertrofi Edema (+), atropi (-),
(-), hiperemis (-), livide (+), hipertrofi (-), hiperemis
konka bulosa (-) (-), livide (+), konka
bulosa (-)
Meatus nasi medius Tertutup, sekret serous (+) Tertutup, sekret serous
(+)
Septum nasi Deviasi (+), spina (-), hematoma Deviasi (+), spina (-),
(-), abses (-), perforasi (-), crista hematoma (-), abses (-),
(-) perforasi (-), crista (-)

RINOPHARING

 Koana : Tidak dilakukan


 Septum nasi posterior : Tidak dilakukan
 Muara tuba eustachius : Tidak dilakukan
 Torus tubarius : Tidak dilakukan
 Post nasal drip : Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI

 Sinus frontalis kanan : Tidak dilakukan


 Sinus frontalis kiri : Tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kanan : Tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kiri : Tidak dilakukan

60
TENGGOROK
FARING
Dinding faring posterior : Hiperemis (+), granula (-), ulkus (-), perdarahan aktif (-),
clotting (-),
post nasal drip (-), massa (-).
Arcus faring : Pergerakan simetris, hiperemis (+), edema (-), ulkus (-),
laserasi (-)
Tonsil : T2-T2, hiperemis (+), kripta (-), detritus (-), pseudomembran
(-), abses (-)
Uvula : di tengah, hiperemis (-), bifida (-), massa (-), memanjang (-),
edema (-).
Gigi : karies (-)

LARING

Epiglottis : Tidak Dilakukan


Plica aryepiglotis : Tidak dilakukan
Arytenoids : Tidak dilakukan
Ventricular band : Tidak dilakukan
Pita suara : Tidak dilakukan
Rima glotis : Tidak dilakukan
Cincin trachea : Tidak dilakukan
Sinus Piriformis : Tidak dilakukan
Kelenjar limfe submandibula dan servical: tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan
palpasi.

61
Visual Analog Score

Besar gangguan yang dirasakan pasien dari gejala rinosinosinutis nya: VAS 4
Beratnya penyakit:
- RINGAN = VAS 0-3
- SEDANG = VAS > 3-7
- BERAT = VAS > 7-10

Skor RSI 14

Suara serak/ problem suara 0

Sering mendehem 3

Lendir di tenggorok (PND) 3

Kesukaran menelan 0

Batuk setelah makan atau berbaring 0

Kesukaran bernafas 0

Batuk yang mengganggu 2

Rasa mengganjal di tenggorok 4

Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan 2


pencernaan, regurgitasi asam

62
RESUME

Subjektif

Seorang laki laki berusia 24 tahun datang ke poli THT RSUD Tarakan dengan
keluhan hidung terasa tersumbat dan berair sejak 2 minggu smrs. Hidung tersumbat dan
berair dirasakan hilang timbul. Pasien mengatakan hidung tersumbat dan berair memberat
pada saat di pagi hari, dalam ruangan dingin dan ketika dalam ruangan yang berdebu.
Pasien juga mengatakan dari hari ke hari keluhan bertambah berat hingga rasa penciuman
terhadap bau-bauan berkurang hingga saat ini dan 4 hari smrs pasien sempat mengalami
nyeri tekan pada wajah terutama di bagian dahi dan belakang mata, namun saat ini
keluhaan nyeri tekan sudah tidak dirasakan. Pasien mengatakan jika terjadi pilek, pasien
merasakan hidung terasa tidak nyaman dan akan mengucek hidung karena terasa gatal
Pasien mengatakan saat ini tenggorokkan terasa gatal dan ada yang mengganjal sewaktu
menelan. Pasien juga mengatakan terdapat batuk yang hilang timbul. Batuk dirasakan
ketika tenggorokkan terasa gatal. Sejak 1 minggu SMRS, pasien mengatakan terdapat
nyeri tenggorokkan saat menelan dan demam tinggi, namun saat ini sudah tidak
dirasakan. Pasien mengatakan suka makan coklat, makanan yang pedas dan minum-
minuman bersoda serta es. Riwayat maag (+), sinusitis (+). Riwayat asma, trauma,
kencing manis, darah tinggi, kolesterol, dan batuk kronis disangkal.
Objektif
Dari pemeriksaan fisik pada hidung didapatkan mukosa konka inferior kanan dan
kiri pucat dan edema. Mukosa konka media kanan dan kiri pucat dan edema. Cavum nasi
sempit dan terlihat adanya secret serous. Pada septum terdapat deviasi. Meatus nasi
inferior kiri dan kanan terdapat secret serous dan sempit. Meatus nasi media kiri dan
kanan terdapat secret serous dan sempit. Pada pemeriksaan faring dinding posterior rata.
Dinding posterior faring tampak hiperemis. Arkus faring juga terlihat hiperemis. Pada
pemeriksaan tonsil terdapat perbesaran T2-T2 dan tampak hiperemis. Skor VAS: 4. Hasil
skor RSI adalah 14.

Working diagnosa (WD)

1. Rhinosinusitis kronis
Dasar yang mendukung :
 Anamnesis: hidung tersumbat dan berair. Rasa menghidu terhadap bau-
bauan berkurang. Terdapat nyeri tekan wajah 4 smrs. Riwayat sinusitis (+).

63
 Pemeriksaan fisik: mukosa konka inferior dan konka media kiri dan kanan
edema dan livid, terdapat secret serous pada meatus nasi inferior dan
meatus nasi media.
2. Tonsilofaringitis akut
Dasar yang mendukung:
 Anamnesis: tenggorokkan terasa gatal dan kadang-kadang muncul batuk. 1
minggu smrs terdapat nyeri tenggorokkan saat menelan dan demam tinggi.
Pasien suka makan pedas dan minum minuman bersoda.
 Pemeriksaan fisik: arkus faring tampak hiperemis, dinding posterior faring
tampak hiperemis, ukuran tonsil T2-T2 dan tampak hiperemis.
3. Laringopharingeal refluks.
Dasar yang mendukung:
 Anamnesis: tenggorokan terasa seperti ada yang mengganjal dan gatal.
Pasien suka makan pedas, coklat dan minum minuman bersoda. Riwayat
maag (+). Pasien suka mendehem.
 Pemeriksaan fisik: dinding faring posterior tampak hiperemis, skor RSI
14.
Differential Diagnosis (DD)
1. Rhinitis alergi
 Dasar yang mendukung: hidung tesumbat dan berair. Hidung tersumbat
dan berair memberat pada saat di pagi hari, dalam ruangan dingin dan
keadaan yang berdebu. Hidung tersumbat tidak tergantung posisi pasien.
 Dasar yang tidak mendukung: keluhan dirasakan baru 2 minggu ini, tidak
ada riwayat alergi. Bersin hanya sesekali saja.
 Anjuran: skin prick test
2. Laringitis kronis
 Dasar yang mendukung: adanya nyeri pada tenggorokan, sering
mendehem, dan ada rasa tersangkut di tenggorokan
 Dasar yang tidak mendukung: tidak ada suara parau yang menetap

Pemeriksaan Anjuran:
 CT-scan sinus paranasal
64
 Laringoskop indirek
 Skin prick test
 Darah lengkap (hb, hematocrit, leukosit, trombosit, diff count, LED, CRP)

Penatalaksanaan
1. Rhinosinusitis kronik:
Medika mentosa:
 Dekongestan: Pseudoephedrine 3 x 60 mg/hari
 Antihistamin oral: loratadine 1x10 mg/hari
 Kortikosteroid topikal: fluticasone furoate nasal spray 2kali/2semprot/hari
 Cuci hidung dengan larutan garam fisiologis (NaCl 0.9%)
Non-medikamentosa:
 Menjaga higienitas hidung
 Menjaga kesehatan tubuh, istirahat
 Menggunakan masker atau kertas tisu ketika bersin atau batuk
 Kumur dengan air hangat/antiseptik

2. Tonsilofaringitis akut
Medika mentosa:
 Analgetik
 Antibiotik : amoksisilin 3x500 mg/hari
 Kortikosteroid: deksametason 2x0.5 mg/hari
 Antitusif atau ekspektoran jika diperlukan
Non-medikamentosa:
 kumur dengan air hangat atau antiseptik
 Hindari minum es, makan pedas, makan gorengan.
 Istirahat
 Minum air yang cukup

3. Laringopharingeal refluks
Medika Mentosa :
 Lanzoprazole 2 x 30 mg atau omeprazole 2 x 20 mg
65
 Metoclopramid 4 x 5 mg
Edukasi:
 Hindari makanan yang dapat mengiritasi lambung dan esofagus seperti
kopi, minuman berkarbonasi, coklat, jus alpukat/jeruk, alkohol, tomat
ataupun makanan berlemak.
 Tidak menggunakan pakaian atau korset yang terlalu ketat.
 Ketika mau tidur berhenti makan 3 – 4 jam sebelumnya.
 Tidak stress.

Prognosis ;

1. Rhinosinusitis kronik
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

2. Tonsilofaringitis akut
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

3. Laryngopharingeal refluks
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

66
PEMBAHASAN KASUS

Berdasarkan anamnesis
Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan
hidung tersumbat dan berair sejak 2 minggu smrs. Hidung tersumbat dan berair
sejak 2 minggu smrs. Keluhan memberat pada saat dipagi hari, dalam keadaan
dingin, dan di ruangan berdebu dan terkadang suka bersin. Pasien juga
mengatakan dari hari ke hari keluhan bertambah berat hingga rasa penciuman terhadap
bau-bauan berkurang hingga saat ini dan 4 hari smrs pasien sempat mengalami nyeri
tekan pada wajah terutama di bagian dahi dan belakang mata, namun saat ini keluhaan
nyeri tekan sudah tidak dirasakan. Pasien juga mengaku memiliki riwayat sinusitis.
Berdasarkan EPOS 2012, rhinosinusitis didefinisikan sebagai suatu radang dari
hidung dan sinus paranasal, yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, yang
salah satunya harus ada berupa obstruksi (hidung tersumbat) atau nasal discharge
(sekret hidung baik anterior atau posterior nasal drip): nyeri pada wajah dan
berkurangnya sensitivitas pembau. Oleh karena itu, keluhan diatas merupakan
gejala klinis dari rhinosinusitis kronik.
Kemudian dari hasil anamnesis, pasien mengatakan saat ini tenggorokkan
terasa gatal dan ada yang mengganjal sewaktu menelan. Pasien juga mengatakan terdapat
batuk yang hilang timbul. Batuk dirasakan ketika tenggorokkan terasa gatal. Sejak 1
minggu SMRS, pasien mengatakan terdapat nyeri tenggorokkan saat menelan dan demam
tinggi, namun saat ini sudah tidak dirasakan. Pasien mengatakan suka makan coklat,
makanan yang pedas dan minum-minuman bersoda serta es. Pasien mengatakan juga
memiliki riwayat maag. Dari hasil tersebut bisa dicurigai pasien menderita faringitis atau
tonsillitis atau laringopharingeal reflux. Oleh karena itu untuk mengetahui pastinya perlu
dilakukan pemeriksaan fisik.

Berdasarkan pemeriksaan fisik.


Dari hasil pemeriksaan didapatkan bahwa pada konka inferior dan media
baik kiri dan kanan terdapat edema dan livid, sedangkan pada medius inferior dan
media tertutup dan terdapat sekret. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
pasien menderita rhinosinusitis kronik.
67
Pada pemeriksaan faring didapatkan bahwa dinding faring posterior rata,
hiperemis. Tonsil terdapat perbesaran dengan ukuran T2-T2 dan tampak
hiperemis. Oleh karena itu pasien menderita tonsillofaringitis akut.
Berdasarkan pemeriksaan dengan menggunakan reflux score index (RSI),
didapatkan bahwa skor RSI = 14. Skor RSI > 13 menunjukkan susgeti
laringopharingeal refluks. Hal ini didukung dengan hasil anamnesis yaitu berupa
pasien juga suka makan coklat dan makanan yang pedas disertai riwayat maag. Ketiga
hal itu merupakan faktor predisposisi dari penyakit LPR.

Anjuran pemeriksaan penunjang


Anjuran yg diberikan adalah CT scan sinus paranasal, laringkoskopi
indirek, skin prick test, dan darah lengkap.
CT scan sinus paranasal dilakukan untuk mengetahui letak lesi pada
penderita sinusitis. Laringkoskopi indirek dilakukan untuk memastikan bahwa
pasien menderita LPR dengan mencari reflux finding score (RSF). skin prick test
dilakukan karena curiga bahwa pasien juga mempunyai alergi, dan darah lengkap
untuk memastikan apakah ada peningkatan pada leukosit karena curiga infeksi
bakteri, diff count (eosinophil) curiga adanya alergi.

Tatalaksana
Pada rhinosinusitis kronik diberikan dekongestan, kortikosteroid,
antihistamin, dan cuci hidung. Dekongestan diberikan untuk mengurangi
sumbatan pada hidung. Kortikosteroid topikal diberikan untuk megurangi edema
pada konka inferior dan media. Antihistamin diberikan untuk mengurangi rasa
bersin dan gatal pada hidung. Cuci hidung diberikan agar mucocilliary clearance
pasien membaik.
Pada tonsilofaringitis akut diberikan analgetik, kortikosteroid, antibiotik,
dan jika diperlukan dapat diberikan antitusif. Analgetik diberikan untuk
meredakan nyeri pada saat menelan. Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi
inflamasi yang terjadi. Antibiotik diberikan karena curiga terdapat infeksi bakteri,
dan antitusif jika diperlukan untuk mengurangi batuk.

68
Pada laringopharingeal refluks diberikan lansoprazole dan metoklopramid
serta edukasi. Lansoprazole diberikan untuk mengurangi produksi asam lambung.
Metoklopramid diberikan jika terdapat mual muntah. Dan yang paling terpenting
adalah edukasi untuk mengatasi peningkatan asam lambung seperti pantangan
makanan, tidak boleh tidur setelah makan.

Prognosis
Prognosis pada rhinosinusitik kronik ad vitamnya adalah bonam, karena
pasien datang dengan tanda-tanda vital yang baik. Ad fungsionam adalah dubia ad
bonam karena kalau sembuh tidak akan mengganggu fungsi tubuh. Ad sanationam
adalah dubia ad bonam karena kalau pasien sembuh penyakit ini jarang kambuh.
Prognosis pada tonsillofaringitis akut ad vitamnya adalah bonam, karena
pasien datang dengan tanda-tanda vital yang baik. Ad fungsionam adalah dubia ad
bonam karena kalau sembuh tidak akan mengganggu fungsi tubuh. Ad sanationam
adalah dubia ad bonam karena kalau pasien sembuh penyakit ini jarang kambuh.
Sedangkan prognosis pada laringopharingeal refluks ad vitamnya adalah bonam,
karena pasien datang dengan tanda-tanda vital yang baik. Ad fungsionam adalah
dubia ad bonam karena kalau sembuh tidak akan mengganggu fungsi tubuh. Ad
sanationam adalah dubia ad bonam karena kalau pasien sembuh penyakit ini
jarang kambuh.

69
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu


kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-7. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2015.
2. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit tht. Edisi ke-6.
Penerbit buku kedokteran EGC. 1997; H. 173-260.
3. Mustafa M, Patawari P, Iftikhar HM, Shimmi SC, Hussain SS, Sien MM.
Acute and chronic rhinosinusitis, pathophysiology and treatment. IJPSI.
2015;4(2):30-6.
4. Gurkov R, Nagel P. Dasar-dasar ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;
2012.h. 34-41.
5. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher..
Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara. 2008.h.392-5
6. Vrabec JT, Backous DD, Djalilian HR, Gidley PW, Leonetti JP, Marzo SJ,
et al. Facial Nerve Grading System 2.0. Otolaryngol - Head Neck Surg
[Internet]. 2009;140(4):445–50. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.otohns.2008.12.031
7. Bailey B.J., Johnson J. T., Newlands S. D., Head & Neck Surgery
Otolaryngology. 5th Edition. Lippincot Williams & Wilkins.
Philadelphia:2013.p.78-88.
8. Sanico A, Togias A. Noninfectious, nonallergic rhinitis (NINAR). Dalam:
Lalwani KA,Ed. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head
and Neck Surgery. 3rd edition. New York: Lange McGrawHill Comp,
2012.p. 112-7
9. Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi IV. FKUI: Jakarta; 2013. h. 315-319.
10. Falk GL, Vivian SJ. Laryngopharyngeal reflux: diagnosis, treatment and
latest research. Eur Surg - Acta Chir Austriaca. 2016;48(2):74–91.
11. Martinucci I, de Bortoli N, Savarino E, Nacci A, Romeo SO, Bellini M, et
al. Optimal treatment of laryngopharyngeal reflux disease. Ther Adv

70
Chronic Dis [Internet]. 2013;4(6):287–301. Available from:
http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/2040622313503485

71

Anda mungkin juga menyukai