Anda di halaman 1dari 37

REFERAT Rhinitis Alergi, Rhinitis Vasomotor dan Rhinitis Medikamentosa

PEMBIMBING Dr. Renie Augustine Sp.THT Dr. Djoko Srijono Sp. THT

DISUSUN OLEH : Stanley Permana (030.08.230)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT RSUD BUDHI ASIH JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul:

Rhinitis Alergi, Rhinitis Vasomotor dan Rhinitis Medikamentosa

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Ilmu THT RSUD Budhi Asih Jakarta

Jakarta, 7 Januari 2013

Dr. Renie Augustine Sp.THT

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME karena berkat rahmat dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan referat berjudul Rhinitis Alergi, Rhinitis Vasomotor & Rhinitis Medikamentosa ini tepat pada waktunya. Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Telinga Hidung dan Tenggorok RSUD Budhi Asih. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Renie Augustine Sp.THT dan Dr. Djoko Srijono Sp.THT selaku dokter pembimbing dalam kepaniteraan klinik THT ini dan rekan-rekan koas yang ikut membantu memberikan semangat dan dukungan moril. Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang THT khususnya dan bidang kedokteran yang lain pada umumnya.

Jakarta, 7 Januari 2013

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I BAB II II.1 II.2 II.3 II.4 BAB III DAFTAR PUSTAKA Pendahuluan Pembahasan Anatomi dan Fisiologi Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor Rhinitis Medikamentosa Kesimpulan

1 2 3

6 11 21 27 33 34

BAB I Pendahuluan

Rhinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi di seluruh dunia. Rhinitis dapat didefinisikan sebagai inflamasi pada membran mukosa hidung yang dapat disebabkan oleh beberapa proses patologis yang berbeda. Rhinitis ditandai dengan adanya hidung tersumbat, rhinorea, bersin, gatal hidung dan post nasal drip (PND), ataupun kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Rhinitis memiliki kontribusi terhadap berbagai masalah kesehatan, termasuk asma dan rhinosinusitis. Rhinitis diklasifikasikan sebagai rhinitis alergi, rhinitis non alergi, rhinitis akibat kerja, rhinitis hormonal, rhinitis medikamentosa dan rhinitis akibat makanan. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, rhinitis dapat dibagi menjadi rhinitis akut dan rhinitis kronis. Salah satu akibat yang ditimbulkan rhinitis kronis pada system kesehatan adalah meningkatnya kunjungan pasien lebih dari 25 juta orang per tahun. Kurang lebih setengah dari seluruh pasien diklasifikasikan sebagai sebagai penderita rhinitis alergi dan setengah lainnya rhinitis non alergi Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala b e r s i n - b e r s i n , r i n o r e , r a s a g a t a l , d a n t e r s u m b a t s e t e l a h m u k o s a h i d u n g t e r p a p a r alergen yang diperantarai oleh IgE. Rinitis alergi terdapat pada lebih kurang 40 juta penduduk amerika. Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering terjadi terutama anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan perempuan sama. Insidensitertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada usia 8-11tahun, sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai dari usia 20 tahun. Insidensirinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia sehingga padausia senja rinitis alergi jarang ditemukan.1,2 Di Indonesia, angka kejadian rhinitis alergi yang pasti belum diketahui karenasampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi rhinitis alergi perenial di Jakarta besarnya sekitar 20 %, sedangkan menurut Sumarman dan Haryanto tahun 1999, di daerah padat penduduk kota Bandung menunjukkan 6,98 %, dimana prevalensi pada usia 12-39

tahun. Berdasarkan survei dari ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood), pada siswa SMP umur 13-14 tahun di Semarang tahun 2001- 2002, prevalensi rinitis alergi sebesar 18%.3 Gangguan vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosahidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Rinitis vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik. Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpaadanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrapsepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin danobat topikal hidung dekongestan) Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukitkulit, kadar antibodi IgE spesifik serum). Kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor instability allergic perennial rhinitis. Rhinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi sehingga sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang.Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan THT serta beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan jenis rhinitis lainnya. Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala dan dapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif. atau juga non-

Rhinitis medikamentosa adalah kelainan hidung akibat dari pemakaian vasokontriktor topikal dalam waktu lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Untuk angka insiden di Amerika Serikat rhinitis medikamentosa tidak dapat dilaporkan karena ketersediaan obat dekongestan yang mudah dijangkau. Dalam penelitian seorang praktisi THT mendiagnosa 52 dari 100 pasiennya sebagai rhinitis medikamentosa.

Bab II Pembahasan 1. Anatomi dan Fisiologi Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, Columela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan tepi anterior kartilago septum. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang di pisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebtu nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding

lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya disebut rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media, terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Batas rongga hidung terdiri dari dinding inferior yang merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
G m r

a ba

2.1 Tulang dan tulang rawan hidung 2.2 Bagian dalam hidung

Gambar

PENDARAHAN HIDUNG Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama: 1. a. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung. 2. a. etmoidalis posterior ( cabang dari a. oftalmika ), mendarahi septum bagian superior posterior. 3. a. sfenopalatina, terbagi menjadi a. nasales posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan a. septi posterior yang menyebar pada septum nasi. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach ( Littles area ) yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

Gambar 2.3 Perdarahan hidung

PERSARAFAN HIDUNG 1. Saraf motorik Oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung bagian luar. 2. Saraf sensoris. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n. oftalmika ( N.V-1 ). Rongga hidung lainnya , sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. 3. Saraf otonom. Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu : a. Saraf post ganglion saraf simpatis ( Adrenergik ). Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 3, berjalan ke atas dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut post sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan kemudian sebagai n. petrosus profundus bergabung dengan serabut saraf parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor membentuk n. vidianus yang berjalan didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis didalam ganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang palatina mayor ke pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf simpatis secara dominan mempunyai peranan penting terhadap sistem vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi kelenjar. b. Serabut saraf preganglion parasimpatis ( kolinergik ). Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus salivatorius superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis mayor berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsis didalam ganglion tersebut. Serabut serabut post ganglion menyebar menuju mukosa hidung. Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadap jaringan kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang encer dan vasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan impuls sekretomotorik / parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan sensasi hidung tidak akan terganggu.

FISIOLOGI HIDUNG Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologi hidung dan sinus paranasal adalah : 1. Fungsi respirasi Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus. Udara yang di hirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung di atur sehingga berkisar 37C. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. 2, Fungsi penghidu Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dnegan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu ondra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.

3. Fungsi fonetik Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.

Rhinitis Alergi A. Definisi Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersentisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut.1,2 Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Onset pajanan alergen terjadi lama dan gejala umumnya ringan, kecuali bila ada komplikasi lain seperti sinusitis.1,2,4

Gambar 1. Rinitis Alergi

B. Etiologi Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting. Pada 20 30 % semua populasi dan pada 10 15 % anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50 %. Peran lingkungan dalam dalam rhinitis alergi yaitu sebagai sumber alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.5 a. Sumber pencetus5 Rhinitis Alergi jenis musiman muncul disebabkan oleh reaksi alergi terhadap partikel udara seperti berikut ini: Ragweed Bulu-bulu rumput yang paling umum terdapat sebagai pencetus (di musim gugur) Serbuk sari rumput (di akhir musim semi dan musim panas) Jamur (berbagai jamur yang tumbuh di daun-daun kering, umumnya di musim panas) Serbuk sari pohon (di musim semi)

Rhinitis Alergi jenis sepanjang tahun muncul disebabkan oleh reaksi alergi terhadap partikel udara seperti berikut ini: Bulu binatang peliharaan Debu dan tungau rumah Kecoa Jamur yang tumbuh di dinding, tanaman rumah, karpet, dan kain pelapis

b. Faktor Risiko5

Sejarah keluarga alergi Gender laki-laki 5 Paparan bekas asap rokok

Setelah ada riwayat pernah terkena alergi lain, seperti alergi makanan

C. Klasifikasi Rhinitis alergi sering dibagi berdasarkan penyebab menjadi 2 tipe yaitu :1,2 1. Rhitis alergi musiman (hay fever) umumnya disebabkan kontak dengan alergendari luar rumah seperti benang sari dari tumbuhan yang menggunakan angin untuk penyerbukannya dan spora jamur. Alergi terhadap tepung sariber beda beda bergantung geografi dan jenis tanaman yang ada, juga jumlah serbuk yang ada di dalam udara. Udara panas, kering dan angin mempengaruhi banyaknya serbuk di udara bila dibandingkan dengan saat udara dingin, lembab dan hujan, yang membersihkan udara dari serbuk tersebut. Jenis ini biasanya terjadi di negara dengan 4 musim 2. Rhinitis alergi terus menerus (perennial), diakibatkan karena kontak dengan allergen yang sering berada di rumah misalnya kutu debu rumah, kecoa, tumbuhan kering, jamur, bulu binatang atau protein yang dikandung pada kelenjar lemak kulit binatang. Protein ini dapat tetap berada di udara selama berbulan-bulan setelah binatang itu tidak ada diruangan.2 Namun, definisi di atas kurang sesuai bila diterapkan dalam kehidupan nyata. Karena, serbuk sari banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dan gejala alergi tidak secara terus menerus terjadi. Karena itu the Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) mengklasifikasi kembali pedoman Rhinitis alergika, berdasar waktu dan frekuensi gejala yang ada. Intermittent Allergic Rhinitis dan Persistent Allergic Rhinitis, keduanya dapat dibagi berdasar tingkat keparahan pasien mulai dari ringan, sedang hingga berat. World Health Organization (WHO) merekomendasikan pembagian rhinitis alergi ke dalam dua klasifikasi :1,3,5 1. Intermittents (kadang-kadang), gejala yang ditemukan kurang dari 4 hari per minggu dan atau kurang dari 4 minggu. 2. Persistent (menetap), gejala-gejala yang ditemukan lebih dari 4 hari Dan berdasarkan tingkat beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi :

1. Ringan (mild), ditemukan dengan tidur normal, aktivitas sehari-hari, saat olah raga dan saat santai normal, bekerja dan sekolah normal, dan tidak ada keluhan mengganggu. 2. Sedang berat (moderatesevere), ditemukan satu atau lebih gejala berikut ; tidur terganggu (tidak normal), aktivitas sehari-hari, saat olah raga, dan saat santai terganggu, masalah saat bekerja dan sekolah, ada keluhan yang menggangu.3,5 D. Patofisiologi Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase, Yaitu reaksi alergi fase cepat yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai satu jam setelahnya, dan reaksi fase lambat yang berlangsung 2 sampai 4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktiftas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.1 Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk peptida MHC (Mayor Histo Compatibility) kelas II, yang kemudian di presentasikan pada sel T-helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin I (IL1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berploriferasi menjadi Th 1 dan Th 2. kemudian Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan IL13. L-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (Ig-E). Ig E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi bila mukossa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk, terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan prostaglandin leukotrin D4, leukotrin C4, brakinin, platelet actifating factor dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut reaksi alergi fase cepat. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung

vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi. Dan permeabiltas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung syaraf vidianus juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran interseluler adhesion molekul.1 Pada reaksi alergi fase lambat, sel mastosit akan melepaskan molekul kemotaktif yang akan menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ni tidak berhenti disini saja, tapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam, setelah pemaparan. Pada reaksi ini, ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3 , IL4 dan IL5, dan granulosit makrofag koloni stimulating faktor pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya. Pada fase ini selain faktor spesifk (alergen) iritasi oleh faktor nonspesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok bau yang merangsang perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.1

Gambar 2. Skema pathogenesis rhinitis alergi.3

E. Gejala klinis Gejala klinis yang khas adalah bersin yang berulang. Bersin biasanya pada pagi hari dan karena debu. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik dan perlu dicurigai adanya rinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase cepat. Gejala lain berupa keluarnya ingus yang encer dan banyak, hidung tersumbat, mata gatal dan banyak air mata. Pada anak-anak sering gejala tidak khas dan yang sering dikeluhkan adalah hidung tersumbat.1,7,8 Pada anak-anak, akan ditemukan tanda yang khas seperti: 1. Allergic salute 2. Allergic crease 3. Allergic shiner 4. "Bunny rabbit" nasal twiching sound Allergic salute adalah gerakan pasien menggosok hidung dengan tangannya karena gatal. Allergic crease adalah alur yang melintang di sepertiga bawah dorsum nasi akibat sering menggosok hidung. Allergic shiner adalah bayangan gelap di bawah mata yang terjadi akibat stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Bunny-rabbit sound adalah suara yang dihasilkan karena lidah menggosok palatum yang gatal dan gerakannya seperti kelinci mengunyah.1,7,8

Gambar 3. Gambaran klinis Rinitis Alergi

F. Diagnosis Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan:1,7,8 1. Anamnesis 2. Pemeriksaan fisik : rinoskopi anterior 3. Pemeriksaan sitologi hidung 4. Uji kulit Pasien rinitis alergi datang ke klinik dokter dengan bercerita bahwa ia sering bersin karena serangannya tidak terjadi di hadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Pada rinoskopi anterior sering didapatkan mukosa berwarna keunguan (livid) atau pucat, edema, dan basah serta adanya sekret encer, bening yang banyak. Pemeriksaan sitologi hidung dilakukan dengan mengambil cairan hidung pasien dan menempelkannya pada kaca apus dan diberi pewarna Giemsa-Wright. Adanya sel netrofil, eosinofil, limfosit adalah fokus perhatian. Disebut eosinofilia bila ditemukan >10% eosinofil. Eosinofilia ini mengarah pada penyebab berupa alergi. Apabila ditemukan netrofil > 90% maka disimpulkan terjadinya infeksi. Netrofil dan eosinofil yang ditemukan bersamaan menunjukkan infeksi pada pasien alergi. Apabila eosinofilia ditemukan pada anakanak, maka rinitis alergi perlu dicurigai. Sedangkan eosinofilia pada orang dewasa muda, maka rinitis alergi dan NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) perlu dipikirkan. NARES adalah keadaan pasien dengan eosinofilia yang tidak menunjukkan nilai positif pada tes kulit dengan allergen yang sering menyebabkan keluhan bersin. Alergen yang dimaksud adalah alergen yang banyak di lingkungan.1,7,8 Uji kulit atau Prick test, digunakan untuk menentukan alergen penyebab rinitis alergi pada pasien. Alergen dapat berupa tungau debu, bulu binatang, jamur, dan serbuk sari. Tes kulit yang positif menunjukkan adanya antibiodi IgE yang spesifik terhadap alergen tersebut. 8

G. Penatalaksanaan Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (avoidance). Bila faktor penyebab tidak mampu disingkirkan maka terapi selanjutnya adalah pemberian farmakoterapi maupun tindakan bedah berupa: 1. Antihistamin 2. Dekongestan oral 3. Sodium kromolin 4. Kortikosteroid inhalasi 5. Imunoterapi 6. Netralisasi antibodi 7. Konkotomi

1. Antihistamin adalah pengobatan rinitis alergi yang paling sering diresepkan. Obat ini bekerja secara kompetitif dengan mediator alergi, histamin, pada reseptor Histamin-1. Efeknya berupa mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar mukus, dan refleks iritasi untuk bersin. Antihistamin yang bekerja pada reseptor H-1 dibagi menjadi dua generasi berdasarkan sifat sedatifnya, generasi pertama bersifat sedatif karena bersifat lipofilik dan generasi kedua bersifat lipofobik. Contoh antihistamin generasi pertama adalah klorfeniramin, difenhidramin, siproheptadin. Antihistamin generasi kedua memiliki keuntungan tidak menyebabkan sedasi, namun efek samping lain ternyata dilaporkan suatu kasus kecil berupa anemia aplastik dan golongan tertentu tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan jantung karena menyebabkan aritmia. Antihistamin generasi kedua yang aman adalah loratadin, setirizin, feksofenadin. Dianjurkan konsumsi antihistamin agar dimakan secara reguler dan bukan dimakan seperlunya saja karena akan memberikan efek meredakan gejala alergi yang efektif.

Apabila antihistamin generasi pertama dipilih, maka pemberian secara reguler akan memberi toleransi kepada pasien terhadap efek sedasi sehingga ia mampu tetap toleran terhadap pekerjaannya. 8 2. Dekongestan oral berkerja mengurangi edema pada membran mukus hidung karena bersifat vasokonstriksi (alfa adrenergik), sehingga efek obat ini melengkapi pengobatan gejala rinitis alergi oleh antihistamin dengan mengurangi edema membran mukus. Contoh obat dekongestan oral adalah pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin. Obat ini cukup diberikan beberapa hari saja. Dianjurkan pemberian dekongestan oral dibandingkan dekongestan topikal karena efek "rebound phenomena" obat tersebut terhadap mukosa hidung yang dapat menyebabkan rinitis medikamentosa. Pemberian obat ini merupakan kontraindikasi bila pasien sedang mengonsumsi atau dalam fase "tappering off" dari obat-obatan monoamin oksidase inhibitor karena bahaya akan terjadinya krisis hipertensi. 3. Sodium kromolin Bekerja pada intraseluler dengan menstabilkan dinding sel mastosit yaitu berupa mencegah pelepasan mediator-mediator ke luar sel. Kerja dari obat ini adalah dengan menghambat influks Ca2+ lebih banyak ke dalam sel mast sehingga degranulasi mediator terhambat. Obat ini dapat diberikan sebagai pilihan alternatif apabila antihistamin tidak dapat ditoleransi pada pasien. 4. Kortikosteroid inhalasi bekerja dengan mengurangi kadar histamin.9 Kadar histamin dikurangi dengan mencegah konversi asam amino histidin menjadi histamin, selain itu kortikosteroid juga meningkatkan produksi c-AMP sel mast. Secara umum kortikosteroid mencegah epitel hidung bersifat sensitif terhadap rangsangan alergen baik pada fase cepat maupun lambat. Efek kortikosteroid bekerja secara langsung mengurangi peradangan di mukosa hidung dan efektif mengurangi eksaserbasi. Preparat yang tersedia seperti beklometason, budesonid, dan flunisolid. Efek samping kortikosteroid inhalasi lebih kecil dibanding steroid sistemik kecuali pasien diberikan dalam dosis sangat tinggi atau sedang menjalani pengobatan penyakit paru.

5. Imunoterapi. Cara ini lebih dikenal sebagai desensitisasi atau hiposensitisasi. Caranya adalah dengan memberikan injeksi berulang dan dosis yang ditingkatkan dari alergen, tujuannya adalah mengurangi beratnya reaksi tipe I atau bahkan menghilangkan sama sekali. Imunoterapi bekerja dengan pergeseran produksi antibodi IgE menjadi produksi IgG atau dengan cara menginduksi supresi yang dimediasi oleh sel T (lebih meningkatkan produksi Th1 dan IFN-y). Dengan adanya IgG, maka antibodi ini akan bersifat "blocking antibody" karena berkompetisi dengan IgE terhadap alergen, kemudian mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-antibodi untuk kemudian difagosit. Akibatnya alergen tersebut tidak ada dalam tubuh dan tidak merangsang membran mastosit.9 6. Antibodi netralisasi bekerja dengan cara memberikan anti IgE monoklonal. Antibodi ini berikatan dengan IgE yang bebas di dalam tubuh dan tentu saja secara langsung akan mengurangi produksi IgE selanjutnya oleh sel B. Hasil akhirnya adalah konsentrasi IgE yang rendah mengurangi sensitivitas basofil. Cara ini tidak hanya digunakan untuk rinitis alergi, tetapi jenis alergi lain seperti alergi makanan. 7. Konkotomi dilakukan pada konka inferior, dikerjakan apabila hipertrofi berat tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. H. Diagnosis Banding NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) dapat disingkirkan bila tes kulit menunjukkan positif terhadap alergen lingkungan. Penyebab keluhan pada NARES adalah alergi pada makanan. Rinitis vasomotor dapat dibedakan dengan rinitis alergi dengan keluhan bersin pada perubahan suhu ekstrim, rokok, tidak terdapat gatal pada mata, udara lembab, hidung tersumbat pada posisi miring dan bergantian tersumbatnya. Selain itu mukosa yang pucat atau merah gelap, licin, edema juga mendukung rinitis vasomotor. Pada tes kulit bernilai negatif. Rinitis alergi dan vasomotor dapat pula terjadi bersamaan dengan memberi gambaran rinoskopi anterior yang bercampur seperti mukosa pucat tetapi positif pada tes kulit. Sekresi hidung

yang kekuningan dan tampak purulen tetapi eosinofilik sering terjadi pada rinitis alergi, tetapi pada sekresi yang berbau busuk dan purulen dan terjadi unilateral perlu dicurigai adanya benda asing.7,8 I. Prognosis Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap serbuk sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis sulit diprediksi pada anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga yang berulang. Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.

Rhinitis Vasomotor 1. DEFINISI Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrapsepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan)10 Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik serum). Kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor instability, atau juga non-allergic perennial rhinitis.

2. EPIDEMIOLOGI Mygind ( 1988 ), seperti yang dikutip oleh Sunaryo ( 1998 ), memperkirakan sebanyak 30 60 % dari kasus rinitis sepanjang tahun merupakan kasus rinitis

vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita. Walaupun demikian insidens pastinya tidak diketahui. Biasanya timbul pada dekade ke 3 4. Secara umum prevalensi rinitis vasomotor bervariasi antara 7 21%. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Jessen dan Janzon ( 1989 ) dijumpai sebanyak 21% menderita keluhan hidung non alergi dan hanya 5% dengan keluhan hidung yang berhubungan dengan alergi. Prevalensi tertinggi dari kelompok non alergi dijumpai pada dekade ke 3. Sibbald dan Rink ( 1991 ) di London menjumpai sebanyak 13% dari pasien, menderita rinitis perenial dimana setengah diantaranya menderita rinitis vasomotor. Sunaryo, dkk ( 1998 ) pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rinitis selama 1 tahun di RS Sardjito Yogyakarta menjumpai kasus rinitis vasomotor sebanyak 33 kasus ( 1,38 % ) sedangkan pasien dengan diagnosis banding rinitis vasomotor sebanyak 240 kasus ( 10,07 % ). 3. ETIOLOGI Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu.11 Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal. 2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang. 3. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan hipotiroidisme. 4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue 4. PATOFISIOLOGI 1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom) 11 Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2, menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut

simpatis melepaskan ko-transmiter noradrenalin dan neuropeptida Y yang menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam. Keadaan ini disebut sebagai siklus nasi . Dengan adanya siklus ini, seorang akan mampu untuk dapat bernapas dengan tetap normal melalui rongga hidung yang berubah-ubah luasnya. Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior menuju ganglion sfenopalatina dan membentuk nervus vidianus, kemudian menginervasi pembuluh darah dan terutama kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan kotransmiter asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptida yang menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung. 2. Neuropeptida Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di hidung. Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan peningkatan pelepasan neuropeptida seperti substance P dan calcitonin gene-related protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan sekresi kelenjar. 3. Nitrik Oksida Kadar nitrik oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan non spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel. Akibatnya terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment refels vaskular dan kelenjar mukosa hidung. 4. Trauma Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma hidung melalui mekanisme neurogenik dan/atau neuropeptida.

5. GEJALA KLINIS Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok (post nasal drip ). Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2 golongan, yaitu golongan obstruksi ( blockers) dan golongan rinore (runners / sneezers ). Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.10,11 6 DIAGNOSIS Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergei, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran yang khas berupa edema mukosa hidun, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rinitis alergi. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore sekret yang ditemukan ialah serosa dan banyak jumlahnya. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Kadang ditemukan eosinfil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negatif. Kadar IgE spesifik tidak meningkat.

Riwayat penyakit

-Tidak berhubungan dengan musim. -Riwayat keluarga ( - ) - Riwayat alergi sewaktu anak-anak ( - ) - Timbul sesudah dewasa - Keluhan gatal dan bersin ( - )

Pemeriksaan THT

- Struktur abnormal ( - ) - Tanda tanda infeksi ( - ) - Pembengkakan pada mukosa ( + ) - Hipertrofi dijumpai konka inferior sering

Radiologi

X Ray / CT

- Tidak dijumpai keterlibatan sinus - Umumnya mukosa

bukti

kuat

dijumpai

penebalan

Bakteriologi

- Rinitis bakterial ( - )

Test alergi

Ig E total

- Normal

Prick Test

- Negatif atau positif lemah

RAST

- Negatif atau positif lemah

7. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan pada rinitis vasomotor bervariasi, tergantung pada faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar dibagi dalam: 1. Menghindari stimulus/ faktor pencetus

2. Penobatan simtomatis, dengan obat-obatan dekongestan oral, cuci hidung

dengan larutan garam fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau triklor-asetat pekat. Dapat juga diberikan kortikosteroid topikal 100-200 mikrogram. Dosis dapat ditingkatkan sampai 400 mikrogram sehari. Hasilnya akan terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama 2 minggu. Saat ini terdapat kortikosteroid topikal baru dalam larutan aqua seperti flutikason propionat dan mometason furoat dengan pemakaian cukup satu kali sehari dengan dosis 200 mcg. Pada kasus dengan rinore berat, dapat ditambahkan antikolinergik topikal (ipatropium bromida). Saat ini sedang dalam penelitian adalah terapi desensitisasi dengan obat capsaicin topikal yang mengandung lada. 3. Operasi, dengan cara bedah-beku, elektrokauter, atau konkotomi parsial konka inferior.
4. Neurektomi n. Vidianus, yaitu dengan melakukan pemotongan pada n.

Vidianus, bila dengan cara di atas tidak memberikan hasil optimal. Operasi tidaklah mudah, dapat menimbulkan komplikasi, seperti sinusitis, diplopia, buta, gangguan, lakrimasi, neuralgia atau anestesis infraorbita dan palatum. Dapat dilakukan tindakan blocking ganglion sfenopalatina. Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.14 9. PROGNOSIS Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik dengan tiba tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan. Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan rinorea sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk menastikan diagnosisnya.

Rhinitis Medikamentosa

I. Definisi Rhinitis medikamentosa (RM) adalah suatu kelainan hidung yang berupa gangguan respons normal vasomotor. Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian vasokontriktor topikal (obat tetes hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Istilah rhinitis mendikamentosa ini pertama kali dikenalkan oleh Lake pada tahun 1946.1,2 Rhinitis medikamentosa dikenal juga dengan rebound atau rhinitis kimia karena menggambarkan kongesti mukosa hidung yang diakibatkan penggunaan vasokontriksi topikal yang berlebihan. Obat-obatan lain yang bisa mempengaruhi keseimbangan vasomotor adalah antagonis -adrenoreseptor oral, inhibitor

fosfodiester, kontrasepsi pil, dan antihipertensi. Tetapi mekanisme terjadinya kongesti antara vasokontriktor hidung dengan obat-obat di atas berbeda sehingga istilah rhinitis medikamentosa hanya untuk rhinitis yang disebabkan oleh penggunaan vasokontiktor topikal sedangkan yang disebabkan oleh obat-obat oral dinamakan rhinitis yang dicetuskan oleh obat (drug induced rhinitis).1

II. Epidemiologi Di Amerika Serikat insiden RM mungkin tidak dilaporkan secara keseluruhan karena tersedianya dekongestan yang bisa dibeli bebas. Survey dari 119 penderita alergi, 6.7% merupakan penderita rhinitis medikamentosa. Sedangkan secara international frekuensi yang serupa juga muncul di Eropa.

Mortality/Morbidity Jika tidak diobati RM dapat menjadi sinusitis kronis, rhinitis atrofi, ataupun

permanent turbinate hyperplasia. Pasien dengan penyakit ini juga dapat membuat ketergantungkan psikologis terhadap obat tertentu dan sulit dilakukan penghentian obat karena terjadi gejala putus obat seperti sakit kepala, gangguan tidur, panik, gelisah dan sulit beristirahat. RM merupakan predisposisi pada pasien chronic sinusitis, otitis media, or atrophicrhinitis. Sex RM muncul pada pria dan wanita Age Insiden puncak terjadi di usia muda dan dewasa muda

III. Etiologi Sejauh ini penyalahgunaan obat topikal yang dapat membuat hidung vasokonstriksi adalah penyebab tersering dari rhinitis medikamentosa. Golongan obat tersebut adalah Amina simpatomimetik termasuk efedrin dan fenilefrin, derivat imidazol termasuk oxymetazol dan xylometazol Selain obat yang telah disebutkan diatas ada juga obat lain yang dimungkinkan dapat membuat rhinitis medikamentosa obat tersebut adalah:

Antihipertensi, seperti reserpin, hydralazine, guanethidine, metildopa, prazosin, doxazosin, reserpin, dan chlorothiazid Beta-blockers, seperti propranolol dan Nadolol Phosphodiesterase tipe 5 inhibitor, seperti sildenafil, tadalafil, dan vardenafil Hormon, seperti estrogen eksogen dan kontrasepsi oral Antidepresan dan antipsikotik, termasuk thioridazine, chlordiazepoxideamitriptyline, risperidone, dan perphenazine Kokain Gabapentin Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)

Adapun faktor predisposisi terkait yang dapat menibulkan rhinitis ini adalah:

Alergi rhinitis rhinopathy, nonallergic Adanya septum hidung Infeksi pernapasan atas Rhinosinusitis Kehamilan [20] Kondisi lain dengan tingkat estrogen yang tinggi, seperti pubertas anak laki-laki dan perempuan, menarche

IV. Patofisiologi Mukosa nasal memiliki banyak pembuluh darah kecil yang bermuara ke vena sinusoid. Sinusoid di persarafi oleh saraf simpatik melepaskan norepinefrine endogen yang menstimulasi alpha-1 and alpha-2 adrenoreceptors, yang berfungsi untuk menurunkan aliran darah, meningkatkan venous return dan kapasitas pembuluh darah, dan hasilnya menurunkan kongesti nasal. Nervus Parasimpatis melepaskan asetilkolin, yang meningkatkan sekresi nasal, dan peptida vasoaktif intestinal (VIP), yang menyebabkan vasodilatasi. Dengan stimulasi itu sensory C-fibers melepaskan neurokinin A, calcitonin gene-related peptide, and substansi P, melalui berbagai reseptor meregulasi vasokonstriksi simpatis sehingga terjadi kongesti. Dengan stimulasi mast cells, eosinofil, dan basofil, proses inflamasi lokal dilepaskan. Sel ini berkontrribusi pada nasal congestion dengan pelepasan histamin, kinins, prostaglandin, dan asam arakidonat. Sel Goblet juga diaktifkan sebagai mediator untuk meningkatkan produksi mucin, sehingga menimbulkan kongesti. Perubahan histologis yang konsisten dengan rhinitis medikamentosa adanya penurunan nasosiliar, metaplasia sel squamosa, oedem epitel, hiperplasia sel goblet, peningkatan reseptor epidermal growth factor , dan infiltrasi sel inflamasi .[5, 6] Patofisiologi RM sendiri belom dapat dikethi pasti.[1] berdasarkan dari fisiologi mukosa nasal, terdapat berbagai hipotesis; namun semua fokus pada disregulasi sympathetic/parasympathetic tone karena molekul vasokonstriksi eksogen. Mekanisme yang dibahas menjelaskan penurunan tidak langsung pada produksi. Norepinefrin endogen melalui mekanisme umpan balik negatif sympathomimetic amines, yang memiliki keaktifan di alpha dan beta, punya efek beta

yang lebih lama dari efek alfa dan menyebabkan terjadi pembengkakan yang lebih hebat dari sebelumnya;[8] peningkatan aktifitas parasympathetic, vascular permeabilitas, dan oedem dengan memberi perlakuan pada tonus vasomotor, yang juga membuat kongesti yang lebih hebat dari sebelumnya15 Mekanisme baru dengan memerangkap obat adrenergic decongestan ke kompartemen sel endomembran juga dikeluarkan. Fenylephrine and xylometazoline sehingga membuat V-ATPase-dependent sequestration yang berkontribusi sebagai komponen dari reservoir jaringan di obat-obat kation, yang mempengaruh toksisitas dan farmakologi dari masing-masing bahan. V. Gejala Klinis Untuk gejala klinis dari anamnesis biasanya pasien mengeluh hidungnya tersumbat disertai sekret dalam jumlah banyak, dengan konsistensi seromukosa serta warna bening dan riwayat pengobatan terdahulu adanya penggunaan obat topikal seperti obat semprot hidung dalam waktu yang lama dan dengan jumlah yang berlebihan. VI. Diagnosis Sedangkan untuk mengarah ke diagnosis tersebut pada pemeriksaan fisik pasien bisa didapatkan membran mukosa hidung yang hiperemis dengan penampakan beefy-red dengan titik-titik perdarahan, granular, dan terdapat mucoid discharge. Namun ada laporan bahwa mukosa nasal juga terlihat pucat. Dari penampilan mukosa mirip dengan rhinitis. Pasien dengan RM sering mengorok, menderita sleep apnea, dan bernafas melalui mulut sehingga menyebabkan radang tenggorok dan mulut kering. Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium (usap hidung) dapat dilakukan untuk melihat adanya peningkatan eosinofil yang biasanya meningkat pada penderita rhinitis medikamentosa. Pemeriksaan radiologi dan histopatologi juga dianjurkan untuk pasien ini. Pada pemeriksaan penunjang histopatologi bisa didapatkan 15: Peningkatan vaskularisasi Oedem mukosa

Metaplasia sel skuamosa Sel epitel berubah dari kolumnar bersilia menjadi skuamosa berlapis tidak bersilia

Infiltrasi mononuklear Hiperplasia glandular dan sel goblet Peningkatan aktifitas sekretori Peningkatan fagositosis Peningkatan sel plasma fibroblas dan limfosit

VI. Penatalaksanaan Setelah rhinitis medicamentosa teridentifikasi, pemakaian topical

decongestant harus dihentikan secepatnya. Lakukan edukasi ke pasien mengenai kondisi mereka dan sarankan penanganan lain yang dapat menolong dengan kondisi medis yang awalnya dipicu oleh pemakaian dekongestan. Untuk mereka yang tidak bisa segera berhenti, ada beberapa cara yang bisa dilakukan pada saat penghentian. Minggu pertama merupakan masa paling sulit dalam penghentian pemakaian. Beberapa penelitian menyatakan efisiensi pemakaian kortikosteroid dalam penanganan dan pencegahan rhinitis medikamentosa. Pasien bisa disarankan memakai nasal corticosteroid selama fase awal penghentian dekongestan. Pemakaian steroid oral mungkin diperlukan. Campuran atau konsentrat larutan garam bisa digabung dengan alat irigasi hidung untuk melembabkan dan pelega decongestan yang nonaddicting. Nasal decongestan bisa diturunkan pelan, biarkan pasien memakai obat semprot malam hari pada satu lubang hidung saja dan bergantian kiri dan kanan sampai kongesti berkurang. Analgesik bisa diberikan pada pasien yang tidak memiliki sensitifitas terhadap obat analgesik. Pasien sebaiknya istirahat yang cukup VII. Komplikasi 15

Apabila penyakit RM tidak dilakukan tatalaksana dengan adekuat ataupun tidak diobati maka dapat terjadi komplikasi. Komplikasi yang dapat dimungkinkan pada penderita RM adalah: Sinusitis Kronis Rhinitis Atrofi dan Infeksi Sinusitis.

VIII. Prognosis Prognosis pada pasien RM pada umumnya baik, apabila pasien tidak lagi menggunakan obat-obat yang dapat memicu terjadinya RM.

BAB IV

KESIMPULAN Rhinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Peran lingkungan pada kejadian rhinitis alergi adalah sangat penting,
ditinjau dari faktor alergen yang mensensitisasi terjadinya penyakit ini. Pengobatan paling

efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (avoidance), dimana apabila tidak dapat disingkirkan dapat dibantu dengan terapi medika mentosa hingga pembedahan. Pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Rhinitis vasomotor merupakan suatu gangguan fisiologik neurovaskular mukosa hidung dengan gejala hidung tersumbat, rinore yang hebat dan kadang kadang dijumpai adanya bersin bersin. Penyebab pastinya tidak diketahui. Diduga akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh faktor-faktor tertentu. Biasanya dijumpai setelah dewasa ( dekade ke 3 dan 4 ). Rinitis vasomotor sering tidak terdiagnosis karena gejala klinisnya yang mirip dengan rinitis alergi, oleh sebab itu sangat diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan yang teliti untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis lainnya terutama rinitis alergi dan mencari faktor pencetus yang memicu terjadinya gangguan vasomotor. Penatalaksanaan dapat dilakukan secara konservatif dan apabila gagal dapat dilakukan tindakan operatif. Rhinitis medikamentosa merupakan kelainan hidung berupa gannguan respon normal vasomotor akibat penggunaan vasokonstriktor topikal dalam waktu lama dan berlebihan . Pasien biasanya mengeluh hidungnya tersumbat terus dan akan tampak konka yang hipertrofi dengan sekret hidung yang berlebihan. Penatalaksanaan RM adlah dengan menghentikan penggunaan vasokonstiktor topikal, sehingga pasien dapat pulih setelah penggunaan obat vasokonstriktor topikal tersebut dihentikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Buku Ajar Ilmu Telinga Hidung Tenggorok: Alergi Hidung. Edisi ke-5. Jakarta 2001. Hal 101-6 2. Ethical Diggest Semijurnal Farmasi dan Kedokteran. Diagnosis Rhinitis Alergika.
Diunduh dari : http://physalin.blogspot.com/2009/10/diagnosis- rhinitis-alergika.html. 2009.

3. Suprihati. The Prevalence of Allergic Rhinitis and Its Relation to some Risk Factors among 13-14 years old students in Semarang, Indonesia, In : Indonesian Journal of Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, Vol,XXXV, no 1, Jakarta; 2005 : 64-70. 4. Webmaster. Info Penyakit Rhinitis Alergika. Diunduh dari : http://www.tanyadokter.com/disease.asp?id=1001485. 2010. 5. Tohar BA. Rhinitis Alergi. Diunduh dari : http://www.scribd.com/doc/24369014/Rhinitis-Alergi. 2007. 6. University of Maryland Medical Center. Pengobatan cara Medis, Herbal, Alternatif, untuk Alergi Rhinitis. Maryland : 2010. 7. Shapiro GG. Understanding Allergic Rhinitis: Differential Diagnosis and Management. Pediatr.Rev. 1986;7;212 218. Diunduh dari : http://pedsinreview.aapublications.org 8. Virant FS. Allergic Rhinitis. Pediatr. Rev. 1992;13;323-328. Diunduh dari: http://pedsinreview.aappublications.org/ 9. Kuby. Fundamental Immunology, 1999, 4th ed. Lippincott-Raven, Philadelphia 10. Soetjipto D. Mangunkusumo E. Wardani RS. Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor : Seopardi EA. Iskandar N. Bashiruddin J. Restuti RD. Edisi keenam. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2007. H: 118-122 11.Irawati N. Poerbonegoro NL. Kasakeyan E. Rinitis Vasomotor. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor : Seopardi EA. Iskandar N. Bashiruddin J. Restuti RD. Edisi keenam. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2007. H: 135-37

12.Hilger PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : Boies Buku Ajar Penyakit THT. Editor : Adams GL. Boies LR. Higler PA. Edisi keenam. Jakarta EGC. 1997. H: 173-188 13.Hilger PA. Hidung : Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku Ajar Penyakit THT. Editor : Adams GL. Boies LR. Higler PA. Edisi keenam. Jakarta EGC. 1997. H: 21819 14.Pharmacotherapy for Nonallergic Rhinitis. Diakses dari : http://emedicine.medscape.com/article/874171-overview Tanggal 10 September 2010. 15. Kushnir Natalya. Rhinitis Medikamentosa. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/995056-overview

Anda mungkin juga menyukai