RHINITIS ALERGI
DISUSUN OLEH:
SUPERVISOR:
i
BAB I
PENDAHULUAN
Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi,
terganggu oleh manifestasi alergi primer, rinitis kronik dan sinusitis yang
menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada obstruksi anatomis yang relatif
ringan karena edema, dan akhirnya, efek lanjut gangguan alergi kronik, seperti
hipertrofi mukosa dan poliposis. Aliran udara hidung dapat terganggu oleh
kongesti hidung dan rinore yang terjadi pada rinitis alergi, baik langsung maupun
tidak langsung. Bila berhadapan dengan penyakit hidung, klinisi perlu memiliki
indeks kecurigaan yang tinggi, serta kemampuan mendiagnosis dan mengobati
gangguan alergi.
Rinitis alergika telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema
atopik. Suatu penelitian pada sekelompok mahasiswa dengan rinitis alergika
memperlihatkan bahwa 17 hingga 19 persen dari mereka juga menderita asma,
namun 56 sampai 74 persen pasien asmatik ternyata menderita rinitis alergika.
Tampaknya ada predisposisi herediter terhadap kondisi-kondisi ini.
Alergi adalah respon jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau
alergen. Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi
paparan, polesan genetik dari individu tersebut, dan kepekaan relatif tubuh
pejamu.
2
Rinitis alergika terjadi bilamana suatu antigen terhadap seorang pasien
telah mengalami sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia
hidung, yaitu: reseptor histamine H1, adrenoreseptor-alfa, adrenoreseptor-beta2,
kolinoreseptor, reseptor histamine H2, dan reseptor iritan. Dari semua ini, yang
terpenting adalah reseptor histamine H1, dimana bila terserang oleh histamine
akan meningkatkan tahanan jalan nafas hidung, menyebabkan bersin-bersin, gatal
dan rinore.
3
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1. Anatomi
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan pendarahan serta persarafannya.
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
1) pangkal hidung,
2) dorsum nasi,
3) puncak hidung,
4) ala nasi,
5) kolumela dan
6) lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari
1) tulang hidung (os nasalis)
2) prosesus frontalis os maksila dan
3) prosesus nasalis os frontal.
Kerangka tulang rawan terdiri dari.
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor),
3) beberapa pasang kartilago ala minor, dan
4) tepi inferior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut
nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Septum bagian luar dilapisi oleh
mukosa hidung. Bagian depan dinding hidung licin, yang disebut agar nasi dan di
4
belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 konka, dari yang terbesar sampai yang
terkecil adalah konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimeter. Di antara konka-konka dan dinding
laterla hidung terdapat rongga sepit yang disebut meatus. Terdapat 3 meatus,
yaitu meatus inferior, meatus media, dan meatus superior.
Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimaris, pada
meatus media terdapat muara sinus frontalis, sinus maksilaris, dan sinus etmoid
anterior. Sedangkan pada meatus superior bermuara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid.
Pendarahan hidung berasal dari a. maksilaris interna (bagian bawah
hidung), a. fasialis (bagian depan hidung). Bagian depan anastomosis dari cabang
a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor,
yang disebut pleksus Kieselbach. 1 Vena-vena membentuk pleksus yang luas di
dalam submucosa. Pleksus ini dialirkan oleh vena-vena yang menyertai arteri.
Persarafan hidung pada bagian depan dan atas, saraf sensoris n. etmoid
anterior (cabang n. nasolakrimalis, cabang N. oftalmikus). Rongga hidung
lainnya saraf sensoris n. maksila. Saraf vasomotor (autonom) melalui ganglion
sfenopalatinum.
5
Gambar 1. Anatomi External Hidung
Gambar 2. Anatomi Dinding Lateral Hidung
6
ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa hidung, hanya lebih tipis dan sedikit
mengandung pembuluh darah.
2.2. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada
pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA ( Allergic
Rhinitis and It’s Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
2.3. Epidemiologi
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600
juta penderita dari seluruh etnis dan usia. Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta
warganya menderita rinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi
pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa
prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus
rinitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-
anak 40% dan menurun sejalan dengan usia.
2.4. Etiologi
7
Eosinofil, basophil, sel T CD4, monosit, dan neutrophil akan melepaskan
mediator kimia yang akan menyebabkan terjadinya inflamasi nasal kronik.
2.5. Patofisiologi
8
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji ( Antigen Presenting Cell /APC) akan
menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II
(Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T
Helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1
(IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan
IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang
sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain itu juga dikeluarkan
Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrein D4
(LTD4), Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan
berbagai sitokin. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).
9
Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga
akan menyebabkan sel mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat
2.7 Klasifikasi
10
3. keparahan gejala klinis yang dilaporkan oleh pasien, termasuk kualitas
hidup terkait AR (klasifikasi klinis mudah diterapkan dalam praktik
klinis, mudah dipahami oleh pasien, dengan implikasi signifikan
terhadap terapi),
4. patofisiologi penyakit (klasifikasi patofisiologi dengan penggunaan
yang terbatas dalam praktek klinis).
Menurut kriteria pertama, sebagian termasuk etiologi penyakit, AR dibagi
menjadi jenis musiman (SAR), perennial (PAR) dan episodik (EAR).
a. Rinitis alergi intermiten ditentukan oleh durasi gejala kurang dari 4 hari
per minggu atau kurang dari sebulan per tahun, dan
b. Rinitis alergi PER mengacu pada adanya gejala selama ≥ 4 hari per
minggu dan ≥ 1 bulan per tahun.
11
Gambar 3. Klasifikasi AR dan Hubungan antara bentuk AR yang
berbeda
12
Berdasarkan kriteria keempat di atas, yaitu patofisiologi, AR
dibagi menjadi tipe yang dimediasi IgE dan non-IgE. Yang pertama jauh
lebih umum (> 90% kasus), dan yang terakhir mungkin melibatkan
antibodi IgG, limfosit T dan / atau eosinofil. Muraro dkk. baru-baru ini
mengusulkan klasifikasi baru endotipe AR yang dimediasi IgE. Akan
tetapi, implementasinya dalam praktek sehari-hari masih dalam tahap
awal (pasien membutuhkan penilaian imunologi yang rinci), seperti
halnya potensi variasi terapi yang dihasilkan dari klasifikasi tersebut.
Baik AR intermiten (INT) dan persisten (PER) mungkin memiliki
perjalanan klinis ringan atau sedang / berat dan berbagai bentuk penyakit
dapat menular satu sama lain (efek evolusi penyakit dan / atau terapi)
(Gambar 3). Beberapa pasien dipengaruhi oleh apa yang disebut rinitis
campuran di mana AR berdampingan dengan rinitis non-alergi (44-87%
pasien dengan AR)
Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari,
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal, yang kadangkadang disertai dengan banyak keluar air mata
(lakrimasi).
Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa
bersin, mata atau palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung
tersumbat. Pada mata dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal,
conjungtivitis, mata terasa terbakar, dan lakrimasi.Pada telinga bisa
dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian tengah.
2.9. Diagnosis
A. Anamnesis
Anamnesis Pada anamnesis didapati keluhan serangan bersin
yang berulang. Bersin ini merupakan gejala pada RAFC dan kadang-
kadang RAFL sebagai akibat dilkepaskannya histamin. Gejala lain
13
adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
keluar air mata (lakrimasi).1 Riwayat penyakit alergi dalam keluarga
perlu ditanyakan. Pasien juga perlu ditanya gangguan alergi selain yang
menyerang hidung, seperti asma, eczema, urtikaria, atau sensitivitas
obat. Keadaan lingkungan kerja dan tempat tinggal juga perlu ditanya
untuk mengaitkan awitan gejala.
B. Pemeriksaan Fisik
14
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Invitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai
normal.
2. Invivo : Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan
tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau
berseri (Skin End-Point Titration/ SET). SET dilakukan untuk
allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Untuk allergen makanan,
uji kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT),
namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi
dan provokasi (Challenge Test).
2.10 Diagnosis Banding
15
Menambahkan terapi farmakologis untuk tindakan pengendalian
lingkungan untuk sebagian besar pasien :
16
3. Untuk pengobatan awal gejala hidung sedang hingga berat pada pasien
berusia 12 tahun atau lebih, pedoman terbaru merekomendasikan untuk
mempertimbangkan kombinasi kortikosteroid intranasal dan
antihistamin 4 intranasal
4. Produk kombinasi (fluticasone propionate plus azelastine
hydrochloride) memiliki kemanjuran yang lebih besar untuk gejala
hidung dibandingkan dengan salah satu obat saja
5. Studi klinis telah menunjukkan sedikit manfaat menambahkan
antihistamin oral atau obat pengubah leukotrien ke kortikosteroid
intranasal untuk gejala sedang atau persisten
6. Kortikosteroid oral jangka pendek (5-7 hari) mungkin diperlukan pada
rinitis alergi musiman berat yang tidak responsif terhadap
farmakoterapi lain
Rinitis alergi abadi
17
Terapi simptomatik tambahan
1. Dekongestan
Dekongestan oral (misalnya fenilefrin, pseudoefedrin) efektif pada
hidung tersumbat tetapi dapat menyebabkan palpitasi, iritabilitas, tremor,
dan insomnia.
Dekongestan topikal berguna untuk penggunaan jangka pendek
intermiten (maksimal 3 hari); penggunaan rutin umumnya tidak
dianjurkan karena risiko pengembangan rhinitis medicamentosa.
Bila digunakan bersamaan dengan steroid intranasal, semprotan
hidung oxymetazoline tampaknya efektif dan aman untuk hidung
tersumbat parah untuk jangka waktu yang lebih lama tanpa takifilaksis
atau rinitis medikamentosa
Berhati-hatilah saat meresepkan dekongestan untuk anak-anak,
pasien lanjut usia, dan mereka yang menderita penyakit jantung,
glaukoma, atau peningkatan risiko stroke. Anak-anak di bawah 6 tahun
sebaiknya tidak menggunakan obat flu yang dijual bebas
2. Ipratropium bromide intranasal 0,03% disetujui untuk pengobatan rinore
yang berhubungan dengan rinitis alergi musiman atau tahunan tetapi
tidak efektif untuk hidung tersumbat atau gejala rinitis alergi lainnya
3. Kromolin intranasal dapat meningkatkan gejala tetapi harus digunakan 4
sampai 6 kali per hari.
4. Irigasi saline isotonik yang dilakukan secara teratur memperbaiki gejala
hidung, mengurangi penggunaan obat, dan meningkatkan kualitas hidup;
gunakan air suling atau air matang untuk menyiapkan larutan
Pertimbangkan imunoterapi untuk pasien dengan hasil tes tusuk kulit positif
dengan gejala yang tidak terkontrol dengan baik dengan farmakoterapi dan
penghindaran alergi (kira-kira sepertiga dari anak-anak dan dua pertiga
orang dewasa akan termasuk dalam kategori ini) . Mengurangi risiko
18
sensitisasi alergi dan perkembangan asma pada pasien dengan rinitis alergi.
Rute administrasi termasuk injeksi subkutan dan aplikasi sublingual
Terapi obat
19
4. Cetirizine
Dapat menyebabkan sedasi pada dosis yang dianjurkan. Sirup oral
Cetirizine Hydrochloride; Bayi 6 bulan ke atas: 2,5 mg PO sekali
sehari; resep digunakan hanya untuk rinitis alergi abadi. Sirup oral
Cetirizine Hydrochloride; Anak-anak kurang dari 2 tahun: 2,5 mg
PO sekali sehari; penggunaan resep hanya untuk rinitis alergi abadi.
Dpt ditingkatkan menjadi 2,5 mg PO dua kali sehari bila perlu.
Sirup oral Cetirizine Hydrochloride; Anak-anak 2 sampai 5 tahun:
2,5 mg PO sekali sehari; Dpt ditingkatkan menjadi 5 mg 1 x / hr
atau 2.5 mg 2 x / hr jika diperlukan. Tablet oral Cetirizine
Hydrochloride; Anak-anak dan Remaja 6 tahun ke atas: 5 sampai 10
mg PO sekali sehari. Tablet oral Cetirizine Hydrochloride; Dewasa:
5 sampai 10 mg PO sekali sehari. Tablet oral Cetirizine
Hydrochloride; Dewasa Geriatrik: 5 sampai 10 mg PO sekali sehari
untuk usia 65 sampai 76 tahun; 5 mg PO sekali sehari untuk usia 77
tahun ke atas. Pasien geriatri lebih sensitif terhadap efek
antikolinergik. Pelabelan OTC merekomendasikan untuk bertanya
kepada dokter sebelum digunakan.
b. Antagonis reseptor leukotrien oral
1. Montelukast
FDA telah menambahkan kotak peringatan tentang efek samping
kesehatan mental yang serius. Montelukast tidak boleh digunakan
untuk gejala ringan rinitis alergi. Karena risiko efek samping yang
berkaitan dengan kesehatan mental, FDA telah menetapkan bahwa
montelukast harus disediakan untuk mereka yang tidak efektif
diobati dengan atau tidak dapat mentoleransi obat alergi lainnya.
Butiran Oral Sodium Montelukast; Bayi dan Anak 6 bulan sampai 2
tahun: 4 mg butiran oral PO sekali sehari; jangan berikan tablet.
Tablet Kunyah Sodium Montelukast; Anak-anak 2 sampai 5 tahun:
4 mg PO 1 kali sehari. Tablet Kunyah Sodium Montelukast; Anak-
anak dan Remaja 6 sampai 14 tahun: 5 mg PO sekali sehari. Tablet
20
Montelukast Sodium Oral; Remaja 15 tahun ke atas: 10 mg PO 1
kali sehari. Tablet Montelukast Sodium Oral; Dewasa: 10 mg PO
sekali sehari.
c. Agen intranasal
1. Kortikosteroid intranasal
a) Flutikason
Fluticasone Propionate Nasal spray, suspensi; Anak-
anak 4 sampai 11 tahun: 1 semprotan per lubang hidung setiap
hari. Untuk produk OTC: Jika pemakaian sehari-hari
diperlukan lebih dari 2 bulan / tahun, konsultasikan dengan
dokter.
Fluticasone Propionate Nasal spray, suspensi; Anak-
anak dan Remaja 12 tahun ke atas: 2 semprotan per lubang
hidung setiap hari selama 1 minggu, kemudian 1 hingga 2
semprotan per lubang hidung setiap hari sesuai
kebutuhan. Jika digunakan OTC: Jika penggunaan sehari-hari
diperlukan lebih dari 6 bulan / tahun, konsultasikan dengan
dokter.
Fluticasone Propionate Nasal spray, suspensi; Dewasa:
2 semprotan per lubang hidung setiap hari selama 1 minggu,
lalu 1 hingga 2 semprotan per lubang hidung setiap hari sesuai
kebutuhan. Jika digunakan OTC: Jika penggunaan sehari-hari
diperlukan lebih dari 6 bulan / tahun, konsultasikan dengan
dokter.
b) Beclomethasone
Beclomethasone Dipropionate Nasal spray,
suspensi; Anak-anak 6 sampai 11 tahun: Awalnya, 1
semprotan (42 mcg / semprotan) di setiap lubang hidung dua
kali sehari; Dapat ditingkatkan menjadi 2 semprotan / lubang
hidung dua kali sehari. Setelah gejala terkontrol, kurangi
menjadi 1 semprotan / lubang hidung dua kali sehari. Hentikan
21
penggunaan jika tidak ada perbaikan setelah 3 minggu
penggunaan terus menerus.
Beclomethasone Dipropionate Nasal spray,
suspensi; Dewasa, Remaja, dan Anak-anak 12 tahun ke atas: 1
sampai 2 semprotan (42 mcg / semprotan) di setiap lubang
hidung dua kali sehari; hentikan penggunaan jika tidak ada
perbaikan setelah 3 minggu penggunaan terus menerus.
c) Mometasone
Semprotan hidung Mometasone Furoate Monohydrate,
suspensi; Anak-anak 2 sampai 11 tahun: 1 semprotan (50
mcg / semprotan) di setiap lubang hidung sekali sehari (dosis
total 100 mcg / hari).
Semprotan hidung Mometasone Furoate Monohydrate,
suspensi; Dewasa, Remaja, dan Anak-anak 12 tahun ke atas: 2
semprotan (50 mcg / semprotan) di setiap lubang hidung sekali
sehari (dosis total 200 mcg / hari).
d) Budesonide
Semprotan hidung Budesonide, suspensi; Anak-anak 6
sampai 11 tahun: 1 semprotan (mengandung 32 mcg per
semprotan) di setiap lubang hidung sekali sehari. Jika gejala
tidak kunjung membaik, tingkatkan menjadi 2 semprotan di
setiap lubang hidung sekali sehari. Setelah respon klinis
turunkan menjadi 1 semprotan di setiap lubang hidung sekali
sehari. Jika digunakan lebih dari 2 bulan per tahun, atau, jika
tidak ada respons terhadap pengobatan setelah 2 minggu,
konsultasikan dengan dokter anak.
Semprotan hidung Budesonide, suspensi; Anak-anak
dan Remaja 12 tahun ke atas: 2 semprotan (32 mcg per
semprotan) di setiap lubang hidung sekali sehari. Setelah
didapatkan respon klinis, kurangi menjadi 1 semprotan di
setiap lubang hidung sekali sehari. Jika tidak ada tanggapan
22
setelah 2 minggu, konsultasikan dengan penyedia layanan
kesehatan.
Semprotan hidung Budesonide, suspensi; Dewasa: 2
semprotan (32 mcg per semprotan) di setiap lubang hidung
sekali sehari. Setelah didapatkan respon klinis, kurangi
menjadi 1 semprotan di setiap lubang hidung sekali
sehari. Jika tidak ada tanggapan setelah 2 minggu,
konsultasikan dengan penyedia layanan kesehatan.
2. Antihistamin intranasal
a) Azelastine
Azelastine Nasal spray, larutan; Bayi dan Anak 6 bulan
sampai 5 tahun: 1 semprotan per lubang hidung dua kali sehari
menggunakan semprotan hidung 0,1%. Gunakan semprotan
hidung 0,1% hanya pada kelompok usia ini.
Azelastine Nasal spray, larutan; Anak-anak 6 sampai
11 tahun: 1 semprotan per lubang hidung dua kali sehari
menggunakan semprotan hidung 0,1% atau 0,15%.
Azelastine Nasal spray, larutan; Anak-anak dan
Remaja 12 tahun ke atas: 2 semprotan per lubang hidung dua
kali sehari menggunakan semprotan hidung 0,15%.
Azelastine Nasal spray, larutan; Dewasa: 2 semprotan
per lubang hidung dua kali sehari menggunakan semprotan
hidung 0,15%.
b) Olopatadine
Olopatadine Hydrochloride Nasal spray, larutan; Anak-
anak 2 sampai 5 tahun †: 1 semprotan (665 mcg / semprotan)
di setiap lubang hidung dua kali sehari telah dievaluasi
keamanannya; khasiat belum ditetapkan.
Olopatadine Hydrochloride Nasal spray, larutan; Anak-
anak 6 sampai 11 tahun: 1 semprotan (665 mcg / semprotan)
di setiap lubang hidung dua kali sehari.
23
Olopatadine Hydrochloride Nasal spray,
larutan; Dewasa, Remaja, dan Anak-anak 12 tahun ke atas: 2
semprotan (665 mcg / semprotan) di setiap lubang hidung dua
kali sehari.
3. Kortikosteroid intranasal gabungan dengan antihistamin intranasal
a) Azelastine-fluticasone
Azelastine Hydrochloride, Fluticasone Propionate
Nasal spray, suspensi; Anak-anak dan Remaja 6 tahun ke atas:
1 semprotan per lubang hidung dua kali sehari. Mengandung
137 mcg azelastine dan 50 mcg fluticasone per semprotan.
Azelastine Hydrochloride, Fluticasone Propionate
Nasal spray, suspensi; Dewasa: 1 semprotan per lubang
hidung dua kali sehari. Mengandung 137 mcg azelastine dan
50 mcg fluticasone per semprotan.
4. Antikolinergik intranasal
a) Ipratropium bromida
Ipratropium Bromide Semprot hidung,
larutan; Dewasa, Remaja, dan Anak-anak 6 tahun ke atas: 2
semprotan (42 mcg) per lubang hidung 2 atau 3 kali per hari.
5. Kromolin intranasal
Cromolyn Sodium Nasal spray, larutan; Anak-anak dan
Remaja 2 tahun ke atas: 1 semprotan (5,2 mg / semprotan) di
setiap lubang hidung 3 sampai 4 kali sehari; dapat ditingkatkan
menjadi 6 kali sehari jika diperlukan.
Cromolyn Sodium Nasal spray, larutan; Dewasa: 1
semprotan (5,2 mg / semprotan) di setiap lubang hidung 3 hingga 4
kali sehari; dapat ditingkatkan menjadi 6 kali sehari.
24
Perawatan non-obat dan suportif
25
3. Hewan peliharaan
Jika hewan peliharaan harus dipelihara di rumah, jangan biarkan
hewan peliharaan berada di area tidur
Mandikan hewan peliharaan sesering mungkin, setidaknya dua kali
seminggu
Gunakan filter udara partikulat efisiensi tinggi di area tempat
bersentuhan dengan hewan peliharaan dan pasien
4. Serangga
Gunakan perangkap kecoa
Oleskan insektisida ke rumah melalui pembasmi serangga profesional
(atau pindah rumah) bila terjadi serangan hama yang parah
5. Iritasi pemicu rinitis
Hindari tembakau, asap cat, asap kayu, dan bahan kimia lainnya
(misalnya, formaldehida) karena dapat memicu gejala rinitis non
alergi; jika perlu, gunakan masker yang telah teruji sesuai dengan
filter Institut Nasional untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang
sesuai
2.12 Komplikasi
Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah
dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak)
semakin dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai
aturan umum, jika suatu zat menjadi penyebab alergi bagi seorang
26
individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang itu dalam
jangka panjang.
BAB III
Kesimpulan
Rintis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE. Alergen dapat berupa Alergen inhalan misalnya tungau
debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur,
alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacangkacangan, alergen
injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah, dan alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dijumpai keluhan dan gejala
berupa bersin, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air
mata (lakrimasi). pada anamnesis perlu diatanyakan riwayat keluarga, riwayat
tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan. Pada pemeriksaan fisik, pada rinoskopi
anterior dijumpai mukosa edema basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya
secret encer yang banyak.
Penatalaksanaan dari rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan
allergen, medikamentosa, operatif, imunoterapi, dan edukasi kepada pasien.
Komplikasi yang sering terjadi pada rinitis alergi adalah polip hidung, otitis
media, gangguan fungsi tuba dan sinusitis paranasal.
27
DAFTAR PUSTAKA
2 Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2007.
3 Adams, G., Boies, L R., Higler, P A. Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku
Ajar Penyakit THT Edisi keenam. Jakarta: EGC;
4 lrawati, N. KaSakeyan, E. Rusmono, N. Rhinistis Alergi. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta:
FKUI,2010.
5 Paulsen, F.and Waschke, J, 2013, Atlas Anatomi Manusia Sobotta Kepala,
leher, Extremitas Atas: Edisi 23, Penerbit Buku Kedokteran EGC
6 Allergic Rhinitis. March 20. 2020. Acces : 13 Agustus 2020. Available
From :https://www.clinicalkey.com/#!/content/clinical_overview/67-s2.0-
a79ae187-e45c-48f4-bfbc-272847420121
7 Andrzej Emeryk, Justyna Emeryk-Maksymiuk. Kamil Janeczek. New
guidelines for the treatment of seasonal allergic rhinitis.
28