Anda di halaman 1dari 28

1 Anatomi Hidung1

Hidung bagian Luar


Hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah
adalah sebagai berikut :
 Pangkal hidung ( bridge)
 Batang hidung (dorsum nasi)
 Puncak hidung (tip)
 Ala nasi
 Kolumela
 Lubang hidung (nares anterior)

Gambar 1. Anatomi hidung bagian luar tampak samping

Gambar 2. Anatomi hidung bagian luar tampak bawah

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit.
Kerangka tulang terdiri dari:
1. Tulang hidung (os nasal)

1
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontal.

Sedangkan tulang rawan terdiri dari beberapa pasang yaitu:


1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior atau yg disebut juga alaris mayor
3. Kartilago alaris minor
4. Tepi anterior kartilago septum.

Gambar 3. Kerangka Tulang dan Tulang Rawan Hidung


Hidung bagian dalam1
Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Septum nasi dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian dari tulang adalah:
1. Lamina perpendikularis os etmoid
2. Vomer
3. Krista nasalis os maksila
4. Krista nasalis os palatina.
Bagian Tulang rawan adalah:
1. Kartilago septum ( lamina kuadrangularis)
2. Kolumela.

2
Cavum nasi terdiri dari vestibulum, meatus nasi, mukosa nasi, dan konka nasalis.
Konka nasalis terbagi menjadi 4 bagian yaitu bagian superior, media, inferior dan
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimeter.

Gambar 4. Konka dan Sinus Hidung

2 Vaskularisasi hidung1
Bagian rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmik dari arteri karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris
interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor an arteri sfenopalatina dan
memasuki ringga hidung dibelakang konka media. Bagian depan hidung mendapat
perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri
labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut pleksus Kisselbach ( little’s
area). Pleksus kisselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma sehingga
sering menjadi sumber epistaksis.

3 Fisiologi Hidung1
Fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
meknisme imunologik lokal.

3
2. Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir
udara ubtuk menampung stimulus penghidu.
3. Fungsi fonetiik yang berguna untuk resonansi suara, membantu
proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi
tulang,
4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas.
5. Refleks nasal, iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks
bersin dan napas berhenti, rangsang bau tertentu juga akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
4 Rhinitis Alergi
A. Definisi
Rhinitis alergi adalah rinitis dengan gejala bersin paroksismal, pilek encer dan
obstruksi nasi. Timbul pada orang yang berbakat atopi jika terpapar ulang dengan
alergen spesifik yang pada orang normal tidak menimbulkan reaksi. Pasien dengan
rhinitis alergi juga dapat mengalami penurunan kualitas hidup. Hal ini diakibatkan
karena gangguan tidur yang ditimbulkan, gangguan dalam belajar maupun bekerja.
Rhinitis alergi juga sering berhubungan dengan komorbiditas lain, seperti asthma,
konjungtivitis dan rhinosinusitis.2

B. Epidemiologi
Rinitis alergi merupakan penyakit yang umum dijumpai di masyarakat, insiden
rinitis alergi menurut WHO - ARIA 2001 antara 1 - 18%, sedangkan insiden rinitis
alergi di Jakarta cukup tinggi antara 10-20%.7 Dari sumber lainnya, didapatkan
prevalensi penyakit Rinitis Alergi pada beberapa Negara berkisar antara 4.5-38.3%
dari jumlah penduduk dan di Amerika, merupakan satu diantara deretan atas penyakit
umum yang sering dijumpai. 3
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta
penderita dari seluruh etnis dan usia.2 Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya
menderita rinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-
laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi
laki-laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai
usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan

4
dengan usia.Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi
rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%).4
Penyakit ini herediter dengan predisposisi genetic kuat. Bila salah satu dari
orang tua menderita alergi, akan memberi kemungkinan sebesar 30% terhadap
keturunannya dan bila kedua orang tua menderita akan diperkirakan mengenai sekitar
50% keturunannya.3

C. Etiologi
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa
pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi
musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang
tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang
peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu
tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah
beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang
kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.5
Faktor resiko rhinitis alergika antara lain : (1) riwayat keluarga yang atopi; (2)
serum IgE > 100 IU/mL sebelum usia 6 tahun; (3) sosioekonomi menengah keatas; (4)
paparan terhadap allergen dalam ruangan (binatang dan debu); (5)skin prick test
positif.6
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: (1) alergen inhalan, yang
masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah, kecoa,
serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur; (2) alergen ingestan yang
masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut,
udang kepiting, dan kacang-kacangan; (3) alergen injektan, yang masuk melalui
suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah; (4) alergen kontaktan,
yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik,
perhiasan.7

5
D. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan peradangan yang melibatkan selaput lendir hidung,
mata, tabung estachius, telinga tengah, sinus, dan faring. Pada penyakit ini, hidung
merupakan organ yang selalu mengalami peradangan, sedangkan peradangan organ
lainnya hanya terjadi pada individu tertentu. Peradangan pada selaput lendir ditandai
dengan interaksi kompleks mediator inflamasi yang dipicu oleh imunoglobulin E
(IgE)-mediated respon terhadap protein ekstrinsik.8
Kecenderungan perkembangan reaksi alergi, atau IgE-mediated, reaksi
terhadap alergen ekstrinsik turut dipengaruhi oleh komponen genetik. Pada individu
yang rentan, pajanan terhadap protein asing tertentu dapat menyebabkan sensitisasi
alergi, hal tersebut ditandai oleh produksi IgE spesifik akibat protein ini. IgE spesifik
merupakan antigen yang melapisi permukaan sel mast di mukosa hidung. Ketika
protein spesifik (misalnya, butiran serbuk sari tertentu) terhirup oleh hidung, protein
tersebut akan berikatan dengan IgE pada sel mast, kemudian segera terjadi reaksi
pembebasan dan penundaan pelepasan sejumlah mediator.8
Mediator yang dilepaskan meliputi histamin, tryptase, chymase, kinins, dan
heparin. Kemudian sel mast turut cepat mensintesis mediator lainnya, termasuk
leukotrien dan D2 prostaglandin. Melalui berbagai interaksi, akhirnya mediator
tersebut menyebabkan gejala rinorea (yaitu, hidung tersumbat, bersin, gatal,
kemerahan, bengkak, tekanan pada telinga, postnasal drip). Peningkatan rangsangan
kelenjar lendir menyebabkan peningkatan sekresi, sedangkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah menyebabkan eksudasi plasma. Vasodilatasi yang
terjadi menyebabkan kongesti dan tekanan. Perangsangan pada saraf-saraf
menyebabkan bersin dan gatal. Semua peristiwa tersebut dapat terjadi dalam hitungan
menit, sehingga reaksi-reaksi tersebut dikatakan sebagai fase awal, immediate, atau
fase reaksi.8
Selama 4-8 jam, melalui interaksi yang kompleks, mediator-mediator tersebut
mengerahkan sel inflamasi lainnya untuk turut bereaksi di mukosa, seperti neutrofil,
eosinofil, limfosit, dan makrofag. Hal ini menyebabkan peradangan yang
berkelanjutan, dan disebut sebagai respon fase akhir. Gejala-gejala dari respon fase
akhir mirip dengan tahap awal, tetapi bersin dan gatal-gatal berkurang, melainkan
terjadi kongesti yang lebih parah disertai dengan peningkatan produksi lendir. Reaksi
fase akhir ini dapat bertahan selama berjam-jam atau beberapa hari.
Efek sistemik, termasuk kelelahan, mengantuk, dan malaise dapat terjadi selama
6
respon inflamasi. Gejala tersebut merupakan hal yang paling sering menyebabkan
gangguan kualitas hidup.8
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan durasi gejala dan tingkat berat ringannya9

Mekanisme Terjadinya Nasal Allergy Syndrome pada Rinitis Alergi


Nasal Allergy Syndrome terdiri dari sneezing, itching, obstruksi nasi dan
rhinorrhea. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gatal pada hidung
dan bersin-bersin mewakili gejala karakteristik utama selain obstruksi hidung dan
rhinorrhea pada rinitis alergi. Mukosa hidung diinervasi oleh saraf sensoris, simpatik
dan parasimpatik. Transmisi sinyal saraf sensoris menghasilkan sensasi gatal dan
refleks motorik seperti bersin sedangkan refleks parasimpatis dan simpatis mengatur
sistem kelenjar dan vaskular. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan
sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga
terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.10

E. Diagnosis Klinis
Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari, keluar
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).11
Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin, mata atau
palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat. 11-2 Pada mata dapat
menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa terbakar,

7
dan lakrimasi.8,12 Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga
bagian tengah.5,12
Pada anamnesis didapati keluhan serangan bersin yang berulang. Bersin ini
merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Gejala lain adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).1
Riwayat penyakit alergi dalam keluarga perlu ditanyakan. Pasien juga perlu
ditanya gangguan alergi selain yang menyerang hidung, seperti asma, eczema,
urtikaria, atau sensitivitas obat. Keadaan lingkungan kerja dan tempat tinggal juga
perlu ditanya untuk mengaitkan awitan gejala. 2,8
Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau
lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal,
ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair
maka dinyatakan positif.
Pemeriksaan Penunjang
Invitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal kecuali bila tanda
alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST
(Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis,
tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri.1
Invivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/
SET). SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam
berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.Untuk allergen makanan, uji
kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku
emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).
8
Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas
kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh
dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu
makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.7

F. Pentalaksanaan
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 7
Medikamentosa
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini
pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.7
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai
efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar
darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak
mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP
minimal (non-sedatif).7
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta
efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.
Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut
keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang
9
mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan
repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel,
henti jantung dan bahkan kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran).
Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan
levosetirisin. 7
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk
beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.7
Tabel 1. Antihistamin oral optimal untuk rhinitis alergi13

Tabel 2. Efek samping sedasi dari antihistamin13

b. Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik.
Onset obat topikal jauh lebih cepat dari pada preparat sistemik, namun dapat
menyebabkan rhinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu
lama.13

10
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah pseudoephedrine
HCl dan PhenylpropanolaminHCl. Obat ini dapat menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk
anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa, diberikan setiap 6 jam. Efek
samping dari obat-obatan ini yang paling seringa dalah insomnia dan
iritabilitas.13
c. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk
mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan
sel efektor. 7
d. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah
bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif
terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat
sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin
menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada
respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat
dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. 7
e. Lainnya
Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 7
Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006, membuktikan bahwa
pseudoephedrine dan montelukast memiliki efek yang serupa dalam
mengatasigejaladanmemperbaikikualitashidup pasien.14
Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongansebagiankonka inferior), konkoplasti
atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior

11
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kaeuterisasi memakai
AgNO3 25% ata utriklor asetat7
Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking
antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu
intradermal dan sublingual.7

5 Rhinitis Vasomotor
A. Definisi
Rinitis vasomotor adalah inflamasi kronis lapisan mukosa hidung yang
disebabkan oleh terganggunya keseimbangan sistem saraf parasimpatis dan simpatis.
Parasimpatis menjadi lebih dominan sehingga terjadi pelebaran dan pembangkakan
pembuluh darah di hidung. Gejala yang timbul berupa hidung tersumbat, bersin dan
ingus yang encer. 15

B. Epidemiologi
Mygind (1988), seperti yang dikutip oleh Sunaryo (1998), memperkirakan
sebanyak 30 – 60 % dari kasus rhinitis sepanjang tahun merupakan kasus rhinitis
vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita. 10
Walaupun demikian insidens pastinya tidak diketahui.2,5 Biasanya timbul pada dekade
ke 3 – 4.3 Secara umum prevalensi rinitis vasomotor bervariasi antara 7 –21%.16

C. Etiologi
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. Beberapa faktor
yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor : (1) obat-obatan yang menekan dan
menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti
hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal; (2) faktor fisik, seperti iritasi oleh asap
rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang; (3)
faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan
hipotiroidisme; (4) faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.17

12
D. Patofisiologi
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi
dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf
simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor
terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja
parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang
hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan
dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya
akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti.17
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari sel-sel
seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin,
prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak
hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga
meningkatkan efek asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung,
yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E
(non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi.17
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rhinitis
vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang
spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara,
perfume, asap rokok, polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ).17

E. Diagnosis Klinis
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor
dan disingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Biasanya penderita tidak mempunyai
riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa.Beberapa
pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan tertentu
tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar.15-8
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema
mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah tua
( karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka dapat
licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid,
biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat
serosa dengan jumlah yang banyak. Pada rinoskopi posterior dapat dijumpai post
nasal drip. 17
13
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
rinitis alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta
kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada
sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang
ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret.17
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan
mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.18

Tabel 2. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor 16


Riwayat Penyakit - Tidak berhubungan dengan musim.
- Riwayat keluarga ( - )
- Riwayat alergi sewaktu anak-anak ( - )
- Timbul sesudah dewasa.
- Keluhan gatal dan bersin ( - )

Pemeriksaan THT - Struktur abnormal ( - )


- Tanda – tanda infeksi ( - )
- Pembengkakan pada mukosa ( + )
- Hipertrofi konka inferior sering
dijumpai.
Radiologi X-Ray/CT - Tidak dijumpai bukti kuat keterlibatan
sinus.
- Umumnya dijumpai penebalan
mukosa.
Bakteriologi - Rinitis bakterial ( - )
Tes Alergi Ig E total - Normal
Prick test - Negatif atau positif lemah
RAST - Negatif atau positif lemah

F. Penatalaksanaan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan
gejala yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam : 1-3,5,6,11

14
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
- Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi
keluhan hidung tersumbat. Contohnya: Pseudoephedrine dan
Phenylpropanolamine (oral) serta Phenylephrine dan Oxymetazoline
( semprot hidung ).
- Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
- Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan
bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh
mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2
minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal :
Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone
- Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
utamanya. Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray )
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :
- Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau
triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun secara elektrik ( electrical
cautery ).
- Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the inferior
turbinate ).
- Bedah beku konka inferior ( cryosurgery ).
- Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection).
- Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy ).
- Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan melakukan
pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil.
Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat.
Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan
dapat menimbulkan berbagai komplikasi.

15
Gambar 3. Algoritme tatalaksana Rhinitis Vasomotor

16
Tabel 4. Terapi Operatif Terhadap Rhinitis Vasomotor 16
Simptom Jenis Terapi Prosedur
Obstruksi hidung Reduksi konka - Kauterisasi konka ( chemical atau
electrical )
- Diatermi sub mukosa
- Bedah beku ( cryosurgery )

Reseksi konka - Turbinektomi parsial atau total


- Turbinektomi dengan laser ( laser
turbinectomy )
Rhinorhoea Vidian neurectomy - Eksisi nervus vidianus
- Diatermi nervus vidianus

6 Rhinitis Medikamentosa
A. Definisi
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung yang berupa gangguan
respons normal vasomotor. Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian
vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau obat semprot hidung dalam
waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
Istilah rinitis mendikamentosa ini pertama kali dikenalkan oleh Lake pada tahun
1946.19

B. Etiologi
Penyakit rinitis medikamentosa disebabkan oleh pemakaian obat sistemis yang
bersifat sebagai antagonis adreno-reseptor alfa seperti anti hipertensi dan
psikosedatif . Selain itu aspirin, derivat ergot, pil kontrasepsi , dan anti cholinesterasi
yang digunakan secara berlebihan juga dapat menyebabkan gangguan hidung. Obat
vasokonstriktor topikal sebaiknya isotonik dengan sekret hidung yang normal, dengan
pH antara 6,3 dan 6,5, serta pemakaiannya tidak lebih dari satu minggu. Jika tidak,
akan terjadi kerusakan pada mukosa hidung berupa:7,20
1. Silia rusak
2. Sel goblet berubah ukurannya
3. Membran basal menebal
4. Pembuluh darah melebar

17
5. Stroma tampak edema
6. Hipersekresi kelenjar mukus
7. Lapisan submukosa menebal
8. Lapisan periostium menebal

C. Patofisiologi
Mukosa hidung merupakan organ yang amat peka terhadap rangsangan atau
iritan sehingga harus berhati hati dalam mengkonsumsi obat vasokonstriksi topikal
dari golongan simptomatik yang dapat mengakibatkan terganggunya siklus nasal dan
akan berfungsi kembali dengan menghentikan pemakaian obat. Pemakaian
vasokonstriktor topikal yang berulang dalam waktu lama, akan mengakibatkan
terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga
menimbulkan terjadinya obstruksi atau penyumbatan. Dengan adanya gejala obstruksi
hidung ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat
tersebut sehingga efek vasokonstriksi berkurang, pH hidung berubah dan aktivitas
silia terganggu, sedangkan efek balik akan menyebabkan obstruksi hidung lebih hebat
dari keluhan sebelumnya. Bila pemakaian obat diteruskan akan menyebabkan dilatasi
dan kongesti jaringan. Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan dan
rangsangan sel–sel mukoid, sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi sekret
yang berlebihan. 7
Selain itu, terdapat juga hipotesis bahwa rhinitis medikamentosa terjadi
sebagai akibat berkurangnya produksi nor-epinefrin simpatetik endogen menerusi
jalur umpan balik negatif. Dengan penggunaan dekongestan dalam jangka waktu
yang lama, saraf simpatetik tidak bisa berfungsi untuk mempertahankan
vasokonstriksi karena pelepasan nor-epinefrin yang ditekan. 7

D. Diagnosis Klinis
Keluhan utama pasien adalah hidung tersumbat secara terus menerus tanpa
mengeluarkan sekret. Penampakan pada pemeriksaan fisis bagi rhinitis
medikamentosa tidak jauh bedanya dengan infeksi atau rhinitis alergi. Mukosa hidung
kelihatan kemerahan ( beefy-red ) dengan area bercak pendarahan dan sekret
yang minimal atau udem. Selain itu juga, mukosanya bisa tampak pucat dan udem,
juga bisa menjadi atrofi dan berkrusta disebabkan penggunaan dekongestan hidung
dalan jangka waktu yang lama.21
18
Kriteria bagi diagnosis Rhinitis Medikamentosa adalah:
- Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau obat
semprot hidung dalam waktu lama dan berlebihan.
- Obstruksi hidung yang berterusan ( kronik ) tanpa pengeluaran sekret atau bersin.
- Ditemukan mukosa hidung yang menebal pada pemeriksaan fisis.
Rhinitis medikamentosa sering terjadi disebabkan oleh kondisi medis lainnya
yang menyebabkan penggunaan dekongestan. Jadi, penting untuk menjalankan
beberapa pemeriksaan lainnya untuk mengidentifikasi kondisi medis lainnya yang
berpotensi untuk diobati. Di antara pemeriksaannya adalah uji tusuk bagi pasien yang
mempunyai riwayat rhinitis alergi, uji aspirin bagi pasien yang mempunyai trias ASA
dan pemeriksaan rinoskopi untuk mengidentifikasi deviasi septal, abnormalitas
struktur anatomi dan juga polip hidung.21

E. Penatalaksanaan
Jika rinitis medikamentosa dikenalpasti akibat penggunaan dekongentan
topikal, maka pasien harus dinasihatkan agar segera dihentikan penggunaannya.
Pasien juga harus diberi edukasi mengenai keluhan yang dialami dan diberikan
pengobatan alternatif lainnya bagi menggantikan obat yang menyebabkan terjadinya
sumbatan hidung pada pasien. 22
Penghentian penggunaan secara mendadak dapat menyebabkan rebound
swelling dan kongesti. Beberapa obat telah dikenalpasti bagi mengatasi masalah ini
yaitu dengan menggunakan Cromolyn, sedatif / hipnotik, semprotan hidung yang
menggunakan larutan saline. Adenosin trifosfat oral, obat tetes deksametason dan obat
tetes triamcinolon juga membantu dalam usaha menyembuhkan pasien. 22
Menurut penelitian, kombinasi antihistamin oral dengan dekongestan bersama
penggunaan deksametason intranasal juga direkomendasikan buat pengobatan rhinitis
medikamentosa. Pada penelitian lainnya, injeksi kortikosteroid ( triamsinolone asetat
20 mg pada turbinasi anterior juga mampu mengurangkan kongesti hidung.
Glukokortikosteroid intranasal ( semprotan deksametason sodium fosfat /
budesonide).22

7 Rhinosinusitis23
Rinosinusitis (termasuk polip hidung) didefinisikan sebagai :
19
• inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala,
salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung
anterior/ posterior): ± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah ± penurunan/ hilangnya penghidu
dan salah satu dari
• temuan nasoendoskopi: - polip dan/ atau - sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau
- edema/ obstruksi mukosa di meatus medius dan/ atau
• gambaran tomografi komputer: - perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau
sinus
Beratnya penyakit Penyakit ini dapat dibagi menjadi RINGAN, SEDANG dan BERAT
berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) (0-10 cm):
- RINGAN = VAS 0-3
- SEDANG = VAS > 3-7
- BERAT = VAS > 7-10

Rhinosinusitis Akut
Diagnosis Berdasarkan gejala, pemeriksaan radiologis tidak diperlukan (foto polos
sinus paranasal tidak direkomendasikan) Gejala kurang dari 12 minggu: Onset tiba-tiba dari
dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek
(sekret hidung anterior/ posterior): ± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah ± penurunan/
hilangnya penghidu dengan interval bebas gejala bila terjadi rekurensi dengan validasi per-
telepon atau anamnesis tentang gejala alergi, seperti bersin, ingus encer seperti air, hidung
gatal dan mata gatal serta berair. Common cold/ rinosinusitis viral akut didefinisikan sebagai:
Lamanya gejala < 10 hari Rinosinusitis non-viral akut didefinisikan sebagai: Perburukan
gejala setelah 5 hari atau gejala menetap setelah 10 hari dengan lama sakit < 12 minggu

20
Rhinosinusitis Kronik
Gejala lebih dari 12 minggu Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus
berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior): ±
nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah ± penurunan/ hilangnya penghidu dengan validasi per-
telepon atau anamnesis tentang gejala alergi, ingus seperti air, hidung gatal, mata gatal dan
berair, jika positif ada, seharusnya dilakukan pemeriksaan alergi. (Foto polos sinus paranasal/
tomografi komputer tidak direkomendasikan)

21
8 Rhinitis Akut24
Rinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi
virus atau bakteri. Selain itu, rinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder akibat
iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Yang
termasuk ke dalam rinitis akut diantaranya adalah rinitis simpleks, rinitis influenza dan rinitis
bakteri akut supuratif.

1) Rinitis Simpleks
Rinitis simpleks disebut juga pilek, salesma, common cold, dan coryza. Penyakit ini
merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada manusia.
Etiologi
Penyebab rinitis simpleks ialah beberapa jenis virus, yang diklasifikasikan berdasarkan
komposisi biokimia virus. Virus RNA termasuk kelompok seperti rinovirus, virus influenza,
parainfluenza, dan campak. Sedangkan virus DNA termasuk kelompok adenovirus dan herpes
virus.
Gambaran Klinik
Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas, kering dan
gatal di dalam hidung. Kemudian memasuki stadium pertama yang biasanya terbatas tiga
hingga lima hari. Pada stadium ini timbul bersin berulang-ulang, hidung tersumbat, sekret
hidung mula-mula encer dan banyak, kemudian menjadi mukoid, lebih kental dan lengket.
Biasanya disertai demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan
membengkak.
Penyakit dapat berakhir pada stadium pertama, namun pada kebanyakan pasien penyakit
berlanjut ke stadium invasi bakteri yang ditandai dengan suatu rinore purulen, sumbatan di
hidung bertambah, demam, sensasi kecap dan bau berkurang dan sakit tenggorokan. Stadium
ini dapat berlangsung hingga dua minggu.
Rinovirus tidak menyebabkan terjadinya kerusakan epitel mukosa hidung, sedangkan
adenovirus dapat menimbulkan kerusakan epitel mukosa hidung.
Terapi
Terapi terbaik pada rinitis virus tanpa komplikasi adalah istirahat, obat-obatan simtomatis
seperti analgetika, antipiretik dan dekongestan.(1) Selama fase infeksi bakteri sekunder, dapat
diberikan antibiotika.

2) Rinitis Influenza
22
Etiologi
Rinitis influenza disebabkan oleh virus A, B dan C dari golongan ortomiksovirus.
Gambaran Klinik
Gejala yang sering timbul ialah sekret hidung berair, dan hidung tersumbat. Lebih sering
terjadi infeksi bakteri sekunder dan nekrosis epitel bersilia dibandingkan common cold.(2)
Terapi
Terapi rinitis influenza tidak ada yang spesifik, sama dengan rinitis simpleks, terapi terbaik
adalah istirahat, analgetika, antipiretik dan dekongestan, serta antibiotika bila terdapat infeksi
sekunder.

3) Rinitis Bakteri Akut Supuratif


Etiologi
Penyebab rinitis bakteri akut supuratif adalah Pneumococcus, Staphylococcus, dan
Streptococcus.
Gambaran Klinik
Rinitis bakteri akut supuratif merupakan infeksi bakteri sekunder pada rinitis virus. Pada
orang dewasa seringkali disertai sinusitis bakterialis, dan pada anak sering disertai
adenoiditis. Namun pada anak kecil dapat terjadi rinitis bakterialis primer yang gejalanya
mirip common cold.
Terapi
Terapi yang tepat adalah antibiotika, obat cuci hidung, dekongestan dan analgesik.

9. Rhinitis Kronik
Yang termasuk dalam rinitis kronis adalah rinitis hipertrofi, rinitis sika dan rinitis
spesifik. Meskipun penyebabnya bukan radang, rinitis vasomotor dan rinitis medikamentosa
juga dimasukkan dalam rinitis kronis.

1) Rinitis Hipertrofi
Etiologi
Rinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan sinus, atau sebagai
lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor.
Gambaran Klinis

23
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen dan sering ada
keluhan nyeri kepala. Konka inferior hipertrofi, permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh
mukosa yang juga hipertrofi. (1)
Terapi
Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab timbulnya rinitis hipertrofi.
Kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam trikloroasetat) atau dengan
kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan konkotomi.

2) Rinitis Sika
Etiologi
Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di lingkungan
yang berdebu, panas dan kering. Juga pada pasien dengan anemia, peminum alkohol, dan gizi
buruk.
Gambaran Klinis
Pada rinitis sika mukosa hidung kering, krusta biasanya sedikit atau tidak ada. Pasien
mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung dan kadang –kadang disertai epitaksis.
Terapi
Pengobatan tergantung penyebabnya. Dapat diberikan obat cuci hidung.

3) Rinitis Spesifik
Yang termasuk ke dalam rinitis spesifik adalah:
Rinitis Difteri
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.
Gambaran klinis
Gejala rinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis, sekret hidung
bercampur darah, ditemukan pseudomembran putih yang mudah berdarah, terdapat krusta
coklat di nares dan kavum nasi. Sedangkan rinitis difteri kronik gejalanya lebih ringan.
Terapi
Terapi rinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin lokal dan intramuskuler.

24
Rinitis Atrofi
Etiologi
Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab rinitis atrofi, yaitu infeksi
kuman Klebsiela, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronis, kelainan hormonal dan
penyakit kolagen.
Gambaran Klinis
Rinitis atrofi ditandai dengan adanya atrofi progresif mukosa dan tulang hidung. Mukosa
hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang
berbau busuk. Keluhan biasanya nafas berbau, ingus kental berwarna hijau, ada krusta hijau,
gangguan penghidu, sakit kepala dan hidung tersumbat.
Terapi
Karena etiologinya belum diketahui maka belum ada pengobatan yang baku. Pengobatan
dapat diberikan secara konservatif dengan memberikan antibiotika berspektrum luas, obat
cuci hidung, vitamin A dan preparat Fe. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan operasi
penutupan lubang hidung untuk mengistirahatkan mukosa hidung sehingga mukosa menjadi
normal kembali.

Rinitis Sifilis
Etiologi
Penyebab rinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum.
Gambaran klinis
Gejala rinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan rinitis akut lainnya. Hanya pada
rinitis sifilis terdapat bercak pada mukosa. Sedangkan pada rinitis sifilis tertier ditemukan
gumma atau ulkus yang dapat mengakibatkan perforasi septum. Sekret yang dihasilkan
merupakan sekret mukopurulen yang berbau.
Terapi
Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung.

Rinitis Tuberkulosa
Etiologi
Penyebab rinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis.
Gambaran Klinis

25
Terdapat keluhan hidung tersumbat karena dihasilkannya sekret yang mukopurulen dan
krusta. Tuberkulosis pada hidung dapat berbentuk noduler atau ulkus, jika mengenai tulang
rawan septum dapat mengakibatkan perforasi.(3)
Terapi
Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.

Rinitis Lepra
Etiologi
Rinitis lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae.
Gambaran Klinis
Gangguan hidung terjadi pada 97% penderita lepra. Gejala yang timbul diantaranya adalah
hidung tersumbat, gangguan bau, dan produksi sekret yang sangat infeksius Deformitas dapat
terjadi karena adanya destruksi tulang dan kartilago hidung.(3)
Terapi
Pengobatan rinitis lepra adalah dengan pemberian dapson, rifampisin dan clofazimin selama
beberapa tahun atau dapat pula seumur hidup.

Rinitis Jamur
Etiologi
Penyebab rinitis jamur, diantaranya adalah Aspergillus yang menyebabkan
aspergilosis, Rhizopus oryzae yang menyebabkan mukormikosis, dan Candida yang
menyebabkan kandidiasis.(3)
Gambaran Klinis
Pada aspergilosis yang khas adalah sekret mukopurulen yang berwarna hijau kecoklatan.
Pada mukormikosis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri kepala, demam,
oftalmoplegia interna dan eksterna, sinusitis paranasalis dan sekret hidung yang pekat, gelap,
dan berdarah.
Terapi
Untuk terapinya diberikan obat anti jamur, yaitu amfoterisin B dan obat cuci hidung.

DAFTAR PUSTAKA
1. Suprihati. Patofisiologi dan prosedur diagnosis rhinitis alergi. Semarang: Bagian THT
FK Undip/RSUP Dr. Kariadi.h.1 -10

26
2. Meltzer, EO. Evaluation of the oral antihistamine for patients with allergic rhinitis. Edisi
2005. Diunduh dari http://highwire.stanford.edu/, 29 Desember 2017
3. Adams GL, Boyes LR, Higgler PH. Buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC;
1997.h.196-7
4. Sudiro M, Madiadipoera, T, Purwanto, B. Eosinofil kerokan mukosa hiding sebagai
diagnostic rhinitis alergi. MKB 2010; 42 (1): 6-11
5. Department of Pediatrics and Otolaryngology, University of Pittsburgh School of
Medicine, and Children's Hospital of Pittsburgh. Allergic rhinitis: definition,
epidemiology, pathophysiology, detection, and diagnosis.J Allergy ClinImmunol 2001;
108 (1 Suppl): 2-8.
6. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. Edisi ke-17. USA : McGraw-Hill Companies; 2008.h.2068 - 70
7. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitisalergi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.h.107-119
8. Sheikh J, et al. Allergic rhinitis treatment & management. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/134825-treatment, 29 Desember 2017
9. Small and Kim. Allergic rinitis. Edisi 7 Juni 2011, Diunduh dari
http://www.aacijournal.com/content/7/S1/S3, 29 Desember 2017
10. Oliver P, et al. Pathophisiology of itching and sneezing in allergic rhinitis. Dept of
Otorhinolaryngology, University Hospital Mannheim, Germany. Article. Swiss Med
Wkly 2009; 139 (3-4):35-40
11. Tran NP, Vickery J, Blaiss MS. Management of rhinitis: allergic and non allergic. Edisi
20 Mei 2011. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3121056/, 29
Desember 2017
12. Rondon C. Fernandez J. Canto G. Blanca M. Local allergic rhinitis: concept, clinical
manifestations, and diagnostic approach. Edisi 2010. Diunduh dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20945601, 29 Desember 2017
13. Oates JA, Wood AJJ. The new england journal of medicine: drug therapy. Edisi 1991.
Diunduh dari http://highwire.stanford.edu/,29 Desember 2017
14. Bachert C. Allergic rhinitis: pathophysiology, diagnosis, differential diagnosis and the
therapy. Edisi 9 September 2011. Diunduh dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9441024., 29 Desember 2017

27
15. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed. Otolaryngology Head
and Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Comp;1993.h. 269 – 87.
16. Jones AS. Intrinsic rhinitis. Dalam : Mackay IS, Bull TR, Ed. Rhinology. Scott-
Brown’s Otolaryngology. Edisi ke-6. London : Butterworth-Heinemann; 1997. h. 4/9/1 –
17
17. Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R. Ear, nose, and throat diseases a pocket reference.
Edisi ke-2. New York : Thieme Medical Publishers Inc;1994. h. 210-3.
18. Elise Kasakeyan. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK
UI;1997. h. 107 – 8
19. Ramer J.T, Bailen E, Lockey R.F. Rhinitis medikamentosa, Allergy Clinical Immunology
Journal.16(3);2006 : 148-155.
20. Lalwani A.K,ed. Currrent Diagnosis and Treatment, Otolaryngology Head and Neck
Surgery. New York : McGrawHill; 2008. h. 264-272
21. Kushnir N.M, Kaliner M.A, eds. Rhinitis medikamentosa. Edisi 25 October 2011.
Diunduh dari http://www.medscape.com, 29 Desember 2017
22. Black M.J, Remsen K.A, eds. Rhinitis Medicamentosa. Canadian Medical Journal,2003.
(122): 881-884
23. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,Supplement.
Edisi 2007. Diunduh dari www.rhinologyjournal.com, 29 Desember 2017
24. Isnanos. Rhinitis Alergi. Edisi 8 Februari 2012. Diunduh dari
https://isnanos.wordpress.com/2012/02/08/referat-rhinitis-non-alergi/, 29 Desember 2017

28

Anda mungkin juga menyukai