Anda di halaman 1dari 20

RHINITIS AKUT

No. ICD-10 :
No. ICPC-2 :
Tingkat Kompetensi :

PENDAHULUAN
Rinitis akut merupakan penyebab morbiditas yang signifikan walaupun sering dianggap
sepele oleh para praktisi. Gejala-gejala 1ronchit secara signifikan mempengaruhi kualitas
hidup pasien karena gejala-gejala sistemik yang menyertainya seperti fatigue dan sakit
kepala.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit rinitis akut.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan sumber penyakit, patogenesis dan
patofisiologi, akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, epidemiologis, farmakologis, diet, olah
raga atau perubahan perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip
kendali mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi dan menerapkan pencegahan penyakit dengan melibatkan pasien,
anggota keluarga dan masyarakat untuk mencegah kekambuhan.

DEFINISI
Rinitis akut adalah keradangan mukosa rongga hidung yang berlangsung kurang dari 12
minggu.
Rhinitis akut diklasifikasikan menjadi:
1. Viral. Terdiri dari common cold (coryza), influenzal rhinitis, rinitis terkait eksantema
2. Bakterial. Terdiri dari spesifik dan non spesifik (difteria)
3. Iritan
ETIOLOGI
Penyebab rhinitis akut yaitu infeksi virus. Bakteri atau bahan iritatin. Penyebab utama adalah
virus tipe RNA maupun DNA, antara laian : adeno virus, picorna virus, rhinovirus,
coxsackie, influenza virus. Respiratory syncytial virus, parainfluenza virus.
Penyebab infeksi sekunder bakteri antara lain : Streptococus haemolyticus, pneumococcus,
staphylococcus, H. 2ronchiti, Kleb. 2ronchiti and M. catarrhalis.
Penularan infeksi secara airborne droplets, masa inkubasi 1-4 hari dan penyakit dapat
berlangsung selama 2-3 minggu.

PATOGENESIS
Virus masuk epitel mukosa rongga hidung dan nasofaring kemudian berkembang secara
cepat.Virus masuk ke dalam sel karena berikatan dengan ICAM-1 (intercellular adhesion
molecule).Masuknya virus ke dalam sel meneybabkan dikeluarkannya mediator inflamasi :
kinin, 2ronchiti, interleukin, dan prostaglandin. Mediator inflamasi inilah yang
menyebabkan manifestasi klinik seperti bersin, pilek dan buntu hidung. Karena mukosa
rongga hidung dan sinus paranasal merupakan satu kesatuan, keradangan dapat mengenai
sinus paranasal dan disebut Rinosinusitis viral.
Paparan debu, asap atau gas yang bersifat iritatif seperti ammonia, formalin, gas asam dan
trauma akibat manipulasi intranasal, contoh pada ekstraksi benda asing, dapat menyebabkan
keradangan mukosa hidung.

FAKTOR RISIKO
1. Faktor lingkungan buruk
2. Riwayat asma
3. Riwayat keluarga
4. Asap rokok
5. Minum alkohol
6. Stres
7. Kurang minum

PENEGAKAN DIAGNOSIS

GEJALA KLINIS

1. Gejala awal adanya rasa panas pada rongga hidung


2. Buntu hidung, pilek dan bersin
3. Ingus pada awalnya serus bening dan banyak kemudian menjadi mukoid.
4. Bila ada infeksi sekunder bakteri ingus menjadi mukopurulen
5. Suhu tubuh normal atau subfebris.
6. Bisa disertai gejala sakit kepala atau mialgia
7. Sembuh dalam 5-7 hari ( penyebab virus selflimited)
PEMERIKSAAN KLINIS

1. Kondisi tubuh pada umumnya baik


2. Rinoskopi anterior tampak : mukosa rongga hidung berwarna kemerahan, udim dan
tampak sekret serus/mukoid/ mukopurulen.

TANDA BAHAYA

1. Nyeri kepala hebat


2. Sesak
3. Penglihatan kabur
4. Nyeri telinga hebat
5. Dehidrasi

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF

TERAPI FARMAKOLOGI

1. Antihistamin generasi 1 mempunyai efek sedasi : chlorpeniramin maleat 3x2-4 mg / hari


2. Antihistamin generasi 2 tidak mempunyai atau minimal efek sedasinya, long acting :
Loratadin 1x 10 mg/ hari, Cetirizine 1x 10mg/hari
3. Dekongestan :
a. Oral pseudoefedrin 2-3x30-60 mg/hari, dapat dikombinasi dengan antihistamin.
b. Topikal oksimetazilin, xylometazolin, naphazolin. .
4. Analgetik-antipiretik : paracetamol 3 x 500mg/hari. Asam mefenamat 3x 500mg/hari.
5. Obat antiviral:
a. Interferon rekombinan (interferon alfa-2, dll);
b. Rimantadine bekerja pada virus influenza a;
6. Antibiotika diberikan jika ada indikasi infeksi sekunder bakteri.
7. Pada rhinitis difteri terapinya meliputi isolasi pasien, penisilin P sistemik, dan antitoksin
difteri.

KONSELING DAN EDUKASI

Edukasi perlu dilakukan kepada pasien mengenai:


1. Menghindari faktor pencetus
2. Kenali tanda bahaya yang perlu diwaspadai
3. Istirahat cukup
4. Makan dan minum hangat
5. Olah raga
6. Kendalikan stress
7. Konsumsi makanan sehat
8. Menjaga kebersihan
9. Tidak minum alkohol dan berhenti merokok
MONITORING PENGOBATAN
Pemeriksaan ulang untuk memantau pengobatan perlu dilakukan setelah 5 hari pemberian
terapi. Pemantauan dilakukan melalui penilaian atas keluhan dan pemeriksaan fisik.

KRITERIA RUJUKAN
1. Bila 5 hari pengobatan belum ada perbaikan
2. Terjadi komplikasi
3. Terdapat tanda bahaya

KOMPLIKASI
1. Rinosinusitis
2. Faringitis
3. Bronkitis
4. Pneumonia
5. Otitits media akut

PROGNOSIS
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, komplikasi dan
pengobatannya. Umumnya prognosis rhinitis akut adalah bonam, namun dapat terjadi
berulang bila pola hidup tidak berubah. Penyakit ini biasanya self-limiting dan sembuh
spontan dalam waktu 2-3 minggu.

PENCEGAHAN
Pencegahan primer dilakukan dengan cara pola makan yang baik, olah raga, menghindari
faktor pemicu, sering mencuci tangan, menghindari kontak dengan orang yang telah
terinfeksi, tidak berbagi sapu tangan, alat makan, atau gelas minum, menutup mulut ketika
batuk dan bersin. Pencegahan sekunder dilakukan terutama pada orang-orang yang berisiko
tinggi dan bepergian ke daerah endemic, yaitu pemberian imunisasi influenza.

DAFTAR PUSTAKA
1. Dhingra PL, Dhingra S. Disease of ear, nose and throat. 5th.ed. New Delhi : Elsevier;
2010
2. Shah SB, Emanuel IA. Nonallergic & allergic rhinitis. In : Lalwani AK.ed. Current
diagnosis and treatment in otolaryngology-head and neck surgery.3rd.ed. New York : Mc
Graw Hill; 2011
3. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boeis Fundamentals of otolaryngology. 6th.ed.
Philadelphia : WB Saunders Co; 1989.
4. Chan TV. Nonallergic Rhinitis. In : Johnson JT, Rosen CA.eds. Baileys head and neck
surgery otolaryngology.Vol 1. 5th.ed. Philadelphia : Lipponcott Williams & Wilkins;
2014
5. Yusuf, M., Wiyadi, HMS., Kentjono, WA., Herawati, S., Pawarti, DR. Pedoman praktek
klinik teliha hidung tenggorok bedah kepala dan leher. Surabaya : Dept/SMF Ilmu
Kesehatan THT-K RSUD Dr. Soetomo FK Universitas Airlangga, 2016.
RHINITIS VASOMOTOR
No. ICD-10 :
No. ICPC-2 :
Tingkat Kompetensi :

PENDAHULUAN
Sebanyak 30-60% dari kasus rhinitis sepanjang tahun merupakan kasus rhinitis vasomotor
dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita. Biasanya timbul pada
dekade ke 3-4. Secara umum prevalensi rhinitis vasomotor bervariasi antara 7-21%.
Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung
yang disebabkan oleh bertambahnya aktifitas parasimpatis. Rhinitis vasomotor disebut juga
dengan vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific
allergic rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis.Rhinitis vasomotor
mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi sehingga sulit untuk dibedakan.
Keluhan umumnya gejala hidung tersumbat, ingus banyak dan encer serta bersin-bersin.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya


pada penyakit rinitis vasomotor

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan sumber penyakit, patogenesis dan
patofisiologi, akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, epidemiologis, farmakologis, diet, olah
raga atau perubahan perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip
kendali mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi dan menerapkan pencegahan penyakit dengan melibatkan pasien,
anggota keluarga dan masyarakat untuk mencegah kekambuhan.

DEFINISI
Rinitis vasomotor adalah rinitis non alergi akibat dari disfungsi sistem saraf autonom yang
menyebabkan inflamasi kronis mukosa hidung. Rhinitis vasomotor merupakan suatu
kelainan neurovaskular pembuluh-pembuluh darah pada mukosa hidung, terutama
melibatkan sistem saraf parasimpatis.
ETIOLOGI
Etiologi yang pasti belum diketahui diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan sistem
saraf autonom mukosa hidung yang berasal dari n. Vidianus ( simpatis dan parasimpatis).
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
1. Obat-obatan yang menekan dan mengahambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi
dan bau yang merangsang.
3. Faktor endokrin, seperti keadaan kehamilan, pubertas, pemakai pil anti hamil dan
hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatique.

PATOGENESIS
Stimulasi simpatis menyebabkan vasokonstriksi dan penyusutan mukosa, sedangkan
stimulasi parasimpatis menyebabkan vasodilatasi dan udim mukosa nasal. Sistem
parasimpatis berlebihan menyebabkan sekresi berlebihan dari kelenjar hidung.
Sistem saraf otonom diatur hipotalamus sehingga emosi berperan dalam rinitis vasomotor.
Sistem otonom tidak stabil pada kasus rinitis vasomotor. Mukosa hidung hiperreaktif dan
merespons beberapa rangsangan nonspesifik, mis. perubahan suhu, kelembaban, udara, debu
atau asap.

FAKTOR RESIKO
1. Wanita berusia di atas 20 tahun.
2. Obat-obatan yang menekan dan mengahambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
3. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi
dan bau yang merangsang.
4. Faktor endokrin, seperti keadaan kehamilan, pubertas, pemakai pil anti hamil dan
hipotiroidisme.
5. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatique.

PENEGAKAN DIAGNOSIS

GEJALA KLINIS

1. Bersin paroksismal yang terjadi pada saat bangun tidur pagi


2. Pilek dengan ingus encer ( serus ) atau kental ( mukus )
3. Buntu hidung bergantian kanan dan kiri terutama pada perubahan posisi, biasanya pada
malam hari
4. Post nasal drip
5. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur, perubahan suhu yang ekstrim,
udara lembab, dan paparan asap rokok.
PEMERIKSAAN KLINIS

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka udim dan hipertrofi, mukosa berwarna merah
tua bisa juga normal, sekret biasanya sedikit.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Tes


kulit biasanya akan negatif.

TANDA BAHAYA

1. Nyeri kepala hebat


2. Sesak
3. Pendengaran berkurang
4. Demam

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF

TERAPI FARMAKOLOGIS

1. Medikamentosa :
a. Antihistamin dan dekongestan oral untuk mengurangi gejala pilek, bersin dan buntu
hidung.
b. Kortikosteroid intranasal spray sekali sehari 200mcg
c. Pada beberapa kasus dapat diberikan kortikosteroid oral dalam jangka pendek
d. Mengatasi faktor psikogenik, dengan transquilizer
e. Antikolinergik yaitu ipapropium bromida
2. Terapi Bedah
b. Operasi konkotomi konka inferior, elektrokauter, diatermi, cryosurgery, laser
c. Neurektomi saraf Vidianus

KONSELING DAN EDUKASI

Edukasi perlu dilakukan kepada pasien mengenai:


1. Menghindari faktor pencetus, udara dingin dan bahan iritan
2. Kenali tanda bahaya yang perlu diwaspadai
3. Istirahat cukup
4. Makan dan minum hangat
5. Olah raga
6. Kendalikan stress

MONITORING PENGOBATAN
Pemeriksaan ulang untuk memantau pengobatan perlu dilakukan setelah 5 hari pemberian
terapi. Pemantauan dilakukan melalui penilaian atas keluhan dan pemeriksaan fisik.
KRITERIA RUJUKAN
1. Bila 5 hari pengobatan belum ada perbaikan
2. Terjadi komplikasi
3. Terdapat tanda bahaya

KOMPLIKASI
1. Rinosinusitis
2. Pharyngitis
3. Otitits media akut
4. Otitis media efusi

PROGNOSIS
Prognosis bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik dengan tiba-tiba, tetapi bisa
juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan.
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena
golongan rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang
teliti untuk memastikan diagnosisnya.

PENCEGAHAN
Pencegahan primer dilakukan dengan cara pola makan yang baik, olah raga, dan
menghindari faktor pemicu.

DAFTAR PUSTAKA
1. Dhingra PL, Dhingra S. Disease of ear, nose and throat. 5th.ed. New Delhi : Elsevier;
2010
2. Shah SB, Emanuel IA. Nonallergic & allergic rhinitis. In : Lalwani AK.ed. Current
diagnosis and treatment in otolaryngology-head and neck surgery.3rd.ed. New York : Mc
Graw Hill; 2011
3. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boeis Fundamentals of otolaryngology. 6th.ed.
Philadelphia : WB Saunders Co; 1989.
4. Chan TV. Nonallergic Rhinitis. In : Johnson JT, Rosen CA.eds. Baileys head and neck
surgery otolaryngology.Vol 1. 5th.ed. Philadelphia : Lipponcott Williams & Wilkins;
2014
5. Yusuf, M., Wiyadi, HMS., Kentjono, WA., Herawati, S., Pawarti, DR. Pedoman praktek
klinik teliha hidung tenggorok bedah kepala dan leher. Surabaya : Dept/SMF Ilmu
Kesehatan THT-K RSUD Dr. Soetomo FK Universitas Airlangga, 2016.
RINITIS ALERGI
No. ICD-10 : J 30.9
No. ICPC-2 :
Tingkat Kompetensi :

PENDAHULUAN
Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang banyak dijumpai, tetapi karena tidak
bersifat fatal maka sementara ini belum mendapat perhatian yang serius baik dari penderita
maupun petugas kesehatan. Prevalensi rinitis alergi terus meningkat pada dekade terakhir,
dan menjadi masalah kesehatan dunia yang harus mendapat perhatian, terutama di negara-
negara berkembang._ Prevalensinya antara 10-30% dari populasi dunia atau terjadi pada
lebih dari 400 juta orang di seluruh dunia, angka kejadian rinitis alergi bervariasi di berbagai
negara, di Eropa prevalensinya sekitar 4-32% sedangkan di Amerika Serikat prevalensinya
antara 3-19%.Asia Pasifik lebih dari 150 juta orang, India, Pakistan dan negara sekitarnya
lebih dari 100 juta orang, Amerika Tengah dan Selatan lebih dari 75 juta orang._ Di
kawasan Asia-Pasifik yaitu di negara Australia, China, Hongkong, Malaysia, Filipina,
Taiwan dan Vietnam, prevalensi rinitis alergi rerata berkisar antara 4,2-13,2%._
Data epidemiologik secara nasional belum didapatkan di Indonesia. Angka yang ada
biasanya di dasarkan pada kejadian di Rumah sakit atau dari survey yang tidak cukup
menggambarkan kejadian di seluruh masyarakat. Pedoman ini penatalaksanaan RA sebagian
besar didasarkan pada konsep dokumen ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) yang disusun berdasarkan atas inisiatif kelompok kerja WHO. Konsep semacam
guidelines untuk penatalaksanaan rinitis alergi ini disesuaikan dengan kemungkinan fasilitas
yang ada di berbagai RS di Indonesia.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit rinitis alergi.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan sumber penyakit, patogenesis dan
patofisiologi, akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, epidemiologis, farmakologis, diet, olah
raga atau perubahan perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip
kendali mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi dan menerapkan pencegahan penyakit dengan melibatkan pasien,
anggota keluarga dan masyarakat untuk mencegah kekambuhan.

DEFINISI
Rinitis alergi adalah reaksi inflamasi dari muosa hidung yang diperantai oleh IgE yang
ditandai kongesti/obstruksi hidung, rinorea, gatal hidung dan atau gatal mata dan atau bersin.

ETIOLOGI
Alergen:
Hirupan (inhalan): debu rumah, tungau, debu kapuk, jamur, bulu binatang dsb.
Makanan (ingestan): susu, telur, ikan laut, kacang-kacangan, buah, dsb.

PATOFISIOLOGI
Gejala rinitis alergi timbul karena paparan alergen pada mukosa hidung yang menyebabkan
inflamasi dan menimbulkan gejala bersih, gatal, pilek, dan buntu hidung. Segera setelah
mukosa terkena paparan alergen, terjadi reaksi alergi fase cepat (RAFC) dalam beberapa
menit dan berlangsung sampai beberapa jam dan puncaknya 15 – 20 menit. Kemudian
diikuti reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang terjadi beberapa jam setelah reaksi alergi fase
cepat dan dapat berlangsung hingga 48 jam. Pada fase ini akan terjadi infiltrasi sel-sel radang
seperti limfosit, basofil, eosinofil, dan nitrofil ke mukosa hidung. Akumulasi sel radang
terutama eosinofil akan menyebabkan gejala buntu hidung menjadi lebih dominan pada fase
lambat. Dan akan terjadi hipersensitifitas terhadap bahan nonalergenik (dingin, lembab, dan
bau merangsang)

FAKTOR RISIKO
1. Faktor lingkungan buruk
2. Riwayat asma
3. Riwayat keluarga
4. Asap rokok
5. Minum alkohol
6. Stres
7. Kurang minum

KLASIFIKASI
1. Rinitis alergi intermiten : serangan < 4 hari per minggu, atau berlanggsung < 4 minggu
2. Rinitis alergi persisten : serangan > 4 hari per minggu, dan berlangsung > 4 minggu
3. Rinitis alergi ringan : tidur normal, aktifitas sehari-hari, saat olahraga dan santai normal,
kegiatan belajar dan sekolah normal, tak ada keluhan mengganggu
4. Rinitis alergi sedang berat : tidur terganggu (tak normal), aktifitas sehari-hari saat
olahraga dan santai terganggu, terdapat gangguan saat kerja dan sekolah.
PENEGAKKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS

Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan
pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk keterangan mengenai
tempat tinggal / kerja dan pekerjaan penderita.
1. Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah :
a. Bersin (lebih dari 5 kali setiap kali serangan), rinore (ingus bening encer)
b. Hidung tersumbat (menetap/ berganti-ganti), gatal di hidung, tenggorok, langit-langit
atau telinga.
c. Kadang disertai : Mata gatal, berair atau kemerahan, hiposmia / anosmia, posterior
nasal drip atau batuk kronik
2. Frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit, intermiten atau persisten.
Pengaruh terhadap kualitas hidup seperti adakah gangguan terhadap pekerjaan, sekolah,
tidur dan aktifitas sehari-hari.
3. Komorbid di organ lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis alergi
Rinosinusitis, asma bronkhial, eosinofilik otitis media, hipertrofi tonsil adenoid,
dermatitis atopik, urtikaria, alergi makanan
4. Riwayat atopi di keluarga
Apakah ada anggota keluarga (ayah, ibu, saudara sekandung) yang pernah menderita
salah satu penyakit alergi tersebut diatas (Riwayat atopik keluarga).
5. Faktor pemicu timbulnya gejala rinitis alergi
Lingkungan misalnya polutan, asap rokok, udara dingin, polutan, bau kimia seperti
parfum, bau deodoran dan olah raga. Selain itu terdapat juga hipersensitifitas dan
hiperesponsif.
6. Riwayat pengobatan dan hasilnya
Efektifitas obat yang dipergunakan sebelumnya dan macam pengobatan yang sudah
diterima dan kepatuhan berobat

PEMERIKSAAN FISIK

1. Rinoskopi anterior menggunakan cahaya yang cukup dan spekulum hidung


2. Perhatikan adanya edem dari konka inferior / media yang diliputi sekret encer bening,
mukosa pucat. Keadaan anatomi hidung lainnya seperti septum nasi. Perhatikan pula
kemungkinan adanya polip nasi.
3. Nasoendoskopi (bila fasilitas tersedia)
4. Pemeriksaan ini dapat menilai patologi hidung dan sinus paranasalis yang tidak terlihat
pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Dapat menggunakan endoskopi tipe rigid atau
flexible. Gambaran konka inferior livid/ pucat dan dapat juga ditemukan konka yang
hipertrofi.
5. Terdapat tanda khas penderita rinitis alergi:
a. Allergic shinner: warna kehitaman pada orbita dan palpebral
b. Nasal crease/linea nasalis: Penebalan serta timbulnya skar pada hidung
c. Allergic shalutte: biasanya terdapat pada anak, hal ini karena anak mencoba
mengurangi rasa gatal di hidung.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Tes kulit : Prick test (tes kulit cukit)


2. Eosinofil sekret hidung , positif bila > 20%
3. Bila diperlukan dapat diperiksa IgE spesifik (RAST)
4. Endoskopi nasal bila diperlukan dan tersedia sarana

TANDA BAHAYA

1. Nyeri kepala
2. Facial pain
3. Buntu hidung unilateral progresif
4. Sesak dan mengi
5. Penglihatan kabur

DIAGNOSIS BANDING

1. Rinitis akut, ada keluhan panas badan, mukosa hiperemis, sekret mukopurulen.
2. Rinitis medikamentosa (drug induced rhinitis) karena penggunaan tetes hidung dalam
jangka lama, reserpin, klonidin, alfa metildopa, guanetidin, klorpromasin, dan fenotoasin
yang lain.
3. Rinitis hormonal (hormonally induced rhinitis), pada wanita hamil, hipertiroid,
penggunaan pil KB
4. Rinitis vasomotor
5. Rinitis gustatorik
6. Rinitis karena okupasi / pekerjaan
7. Rinitis akibat kelainan anatomi
8. NARES
9. Rinitis atropi

PENATALASANAAN KOMPREHESIF
1. Hindari alergen penyebab (Avoidance)
Dilakukan semaksimal mungkin terutama untuk debu rumah pada kasus rinitis alergi
intermiten, persisten baik ringan maupun sedang berat.
2. Cuci hidung
Menggunakan larutan salin termasuk terapi adjuvan yang efektif dan tidak mahal.
Berguna untuk menurunkan mediator inflamasi ( histamin, prostaglandin D2 dan
leukotrien C4), membersihkan sekret hidung serta menurunkan gejala hidung. Cuci
hidung dengan larutan NaCl fisiologis/ hipertonik telah diketahui mempunyai efek anti
inflamasi dan menurunkan basofil dan sel inflamasi lain. Penggunaan 2 kali sehari
selama 3-6 minggu secara signifikan memperlihatkan perbaikan gejala. Penggunaan
larutan NaCl hipertonik 3 kali sehari dapat mengurangi penggunaan antihistamin
3. Medikamentosa
Rinitis alergi intermiten, persisten, ringan atau sedang berat
a. Antihistamin klasik (mengantuk) contohnya : CTM dosis dewasa 3x 2 – 4 mg 3x
sehari
b. Antihistamin generasi baru, Loratadin 1x 10 mg sehari, Cetirizine 1 x 10 mg perhari.
c. Ditambah dengan dekongestan oral, pseudoephedrin dosis dewasa 30 – 60 mg 3 x
sehari
Dekongestan tropikal larutan efedrin 0,5 – 1% atau oksimetazolin 0,025 – 0,05% bila
diperlukan, tidak boleh lebih dari 1 minggu (Rebound Phenomena)
d. Obat kombinasi antihistamin dan pseudoephedrin dalam bentuk lepas lambat.
e. Golongan kromolin adalah disodium kromoglikat dan sodium nedocromil. Efeknya
adalah menstabilkan sel mast dari proses degranulasi/ pelepasan mediator. Efeknya
terhadap gejala bersin, rinore lebih baik dari pada terhadap hidung tersumbat.
f. Anti Leukotrien menekan sisteinil leukotrien yang merupakan mediator utama
penyebab obstruksi hidung. Termasuk golongan obat ini zafirlucast, montelucast.

Rinitis alergi intermiten sedang berat, rinitis alergi persisten ringan dan sedang berat
selain antihistamin dan dekongestan oral diberikan kortikosteroid topikal, beclometason,
fluticasone, mometasone, triamcinolone acetonide dosis sekali sehari 2 semprot.
4. Imunoterapi
a. Imunoterapi spesifik (ITS) adalah suatu pemberian alergen spesifik yang berulang
teratur dengan dosis meningkat secara bertahap kepada pasien dengan
hipersensitifitas tipe 1, dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap timbulnya
gejala alergi dan reaksi inflamasi akibat paparan alergen.
b. ITS mempunyai keuntungan jangka panjang dapat bertahan sampai 3 tahun setelah
selesai pemberian imunoterapi.
c. ITS dapat dilakukan dengan cara berdasarkan hasil tes kulit tusuk atau berdasarkan
skin endpoint titration test. Pemberian imunoterapi berdasarkan tes kulit tusuk
dikenal sebagai metode konvensional. Ditinjau dari jenis alergen ITS dapat
dilakukan alergen tunggal (rekomendasi AAAAI) dan menggunakan alergen
multipel. Pemilihan alergen untuk ITS dilakukan berdasarkan hasil tes kulit atau tes
alergi in vitro dengan mempertimbangkan alergen dominan dengan hasil positif.
d. Pasien yang menjadi kandidat ITS adalah pasien rinitis alergi dengan tingkat
hipersensitifitas berdasarkan tes kulit tusuk +3 atau lebih dan dengan hasil endpoint
tertentu dari tes kulit intradermal. Pasien tersebut tidak ingin minum obat
antihistamin atau tidak nyaman dengan efek saming obat antihistamin atau tidak
menunjukan respon yang adekuat terhadap terapi medikamentosa dan menghindari
alergen. Indikasi tambahan dari imunoterapi ialah dermatitis atopik dan pada alergi
bisa ular yang mempunyai reaksi lokal yang besar.
e. Cara pemberian ITS suntikan ada beberapa cara yaitu konvensional, cara cepat
(rush), cara cluster (mirip rush) dan modifikasinya. Jadwal penyuntikan terdiri dari
2 fase yaitu fase inisial (eskalasi) dimana dosis vaksin alergen diberikan secara
bertahap sampai mencapai dosis maksimal dengan interval waktu dua kali
seminggu, dan fase pemeliharaan yaitu dosis maksimal dilanjutkan sampai jangka
waktu 6 bulan sekali sampai kurang lebih tiga tahun. Selain dengan pemberian dosis
yang meningkat secara bertahap, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya efek
samping sistemik maka ITS tidak dianjurkan pada penderita yang mempunyai resiko
tinggi seperti umur lebih dari 50 tahun, fungsi paru <70% dan riwayat asma berat
serta mendapat terapi beta blocker.
f. Risiko reaksi sistemik pada imunoterapi sangat kecil namun bila terjadi syok
anafilaktik perlu penanganan yang segera supaya tidak terjadi reaksi yang lebih
buruk. Setelah imunoterapi, setidaknya pasien harus berada di klinik selama 30
menit untuk observasi bila terjadi reaksi sistemik, karena sebagian besar reaksi
sistemik tejadi dalam 30 menit setelah imunoterapi. Pada pasien yang mengalami
asma, imunoterapi tidak direkomendasikan imunoterapi kecuali telah stabil penyakit
asmanya. Pada pasien asma dapat meningkatkan resiko reaksi sistemik yang dapat
lebih fatal terjadi.
g. Saat ini imunoterapi subkutan dan imunoterapi sublingual menjadi pilihan rute
pemberian. Imunoterapi subkutan diberikan secara suntikan subkutan dengan
menggunakan suntikan, alergen yang digunakan berupa cairan ekstrak alergen cair,
sedangkan metode sublingual dilakukan dengan cara meletakan atau menghisap
tablet di bawah lidah. Metode subkutan cenderung memberikan perbaikan klinis
yang lebih baik. Namun metode sublingual mempunyai keuntungan kepada pasien
karena dapat dilakukan di rumah sesuai anjuran dosis yang diberikan, sedangkan
metode subkutan harus dilakukan di tempat klinik atau rumah sakit.
5. Tindakan Operatif
Dilakukan apabila ada septum deviasi atau konka hipertrofi

KONSELING DAN EDUKASI

Edukasi perlu dilakukan kepada pasien mengenai:


 Menghindari faktor pencetus
 Kenali tanda bahaya yang perlu diwaspadai
 Istirahat cukup
 Makan dan minum hangat
 Olah raga
 Kendalikan stress
 Konsumsi makanan sehat
 Menjaga kebersihan

MONITORING PENGOBATAN
Pemeriksaan ulang untuk memantau pengobatan perlu dilakukan setelah 2-4 minggu
pemberian terapi. Pemantauan dilakukan melalui penilaian atas keluhan dan pemeriksaan
fisik.
KRITERIA RUJUKAN
1. Bila 2-4 minggu pengobatan belum ada perbaikan
2. Terjadi komplikasi
3. Terdapat tanda bahaya

KOMPLIKASI
1. Rinosinusitis
2. Pneumonia
3. Otitits media akut
4. Polip hidung
5. Asma bronkial

PROGNOSIS
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, komplikasi dan
pengobatannya. Umumnya prognosis rhinitis alergi adalah bonam, namun dapat terjadi
berulang bila pola hidup tidak berubah.

PENCEGAHAN
Pencegahan primer dilakukan dengan cara pola makan yang baik, olah raga, menghindari
faktor pemicu. Pencegahan sekunder dilakukan terutama pada orang-orang yang menderita
rhinitis alergi persisten sedang berat yaitu pemberian imunoterapi.

DAFTAR PUSTAKA
1. International Consensus Report of the Diagnosis and Management of Rhinitis.
International Rhinitis Management Working Group.Allergy 1994;49(Suppl.):5-30
2. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. eds. Head and
Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:269-
89.
1. Mabry RL. Allergic Rhinosinusitis. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. eds. Head and
Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:290-
301.
2. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA). Executive Summary 2000.
3. Gluckman JL, Stegmeyer RJ. Non allergic rhinitis. In: Paparella NN, Shumrick DD,
Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3 rd ed. Vol. III, Head and Neck.
Philadelphia, London, Toronto, WB Sauders, Co, 1991:1889-98.
4. Boyles JH. Allergic Rhinosinusitis: Diagnosis anf treatment. In: Paparella NN, Shumrick
DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. III, Head and Neck.
Philadelphia, London, Toronto, WB Sauders, Co, 1991:1873-88.
5. Johnson, Jonas T., Rosen, Clark A., Otolaryngology. In: Bailey’s Head and Neck
Surgery 5rd ed. Vol. I Section I-III, 2003:468-460.
6. Lee KJ, Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery 8rd ed. McGraw-Hill,
2003:292-275.
7. Yusuf, M., Wiyadi, HMS., Kentjono, WA., Herawati, S., Pawarti, DR. Pedoman praktek
klinik teliha hidung tenggorok bedah kepala dan leher. Surabaya : Dept/SMF Ilmu
Kesehatan THT-K RSUD Dr. Soetomo FK Universitas Airlangga, 2016.
FURUNKEL HIDUNG
No. ICD-10 : L.02.02
No. ICPC-2 :
Tingkat Kompetensi :

PENDAHULUAN
Furunkel hidung adalah infeksi yang menyebabkan terbentuknya abses di sekitar kulit
vestibulum hidung. Patogen penyebab furunkel hidung yang paling sering adalah bakteri
Staphylococcus aureus, yang merupakan flora normal pada kulit manusia.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya


pada penyakit furunkel hidung.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan sumber penyakit, patogenesis dan
patofisiologi, akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, epidemiologis, farmakologis, diet, olah
raga atau perubahan perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip
kendali mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi dan menerapkan pencegahan penyakit dengan melibatkan pasien,
anggota keluarga dan masyarakat untuk mencegah kekambuhan.

DEFINISI
Furunkel hidung merupakan infeksi akut pada folikel rambut vestibulum nasi. Furunkel
adalah infeksi dari kelenjar sebasea atau folikel rambut yang melibatkan jaringan subkutan.
Biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Penyakit ini memiliki insidensi yang
rendah. Belum terdapat data spesifik yang menunjukkan prevalensi furunkel. Furunkel
umumnya terjadi paling banyak pada anak-anak, remaja sampai dewasa muda.

ETIOLOGI
Furunkel hidung didahului oleh infeksi awal terbatas pada folikel rambut, yaitu folikulitis.
Kuman penyebab adalah Stafilokokus aureus. Faktor predesposisi terjadinya infeksi adalah
trauma akibat nose picking dan atau kebiasaan mencabut bulu hidung. Jika infeksi
berkembang pada jaringan lebih dalam akan terbentuk furunkel hidung. Furunkel hidung
terbatas pada kulit, tidak berlanjut pada mukosa.

FAKTOR RESIKO
Faktor risiko terjadinya furunkel hidung adalah pada pasien yang suka menggaruk-garuk
atau mengorek hidung dengan tangan yang tidak bersih, tindik hidung, atau pada pasien
yang memiliki kondisi kesehatan tertentu seperti imunodefisiensi, diabetes, dan penyakit
kronis.

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis furunkel hidung dapat ditegakkan secara klinis dan jarang membutuhkan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis perlu dicari kebiasaan atau faktor yang
meningkatkan risiko pasien. Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan inspeksi hidung dan
rhinoskopi anterior dengan bantuan spekulum hidung.

GEJALA KLINIK

1. Nyeri hebat sekalipun lesi kecil.


2. Lesi ditandai tanda-tanda keradangan akut, yaitu kemerahan, bengkak, nyeri tekan serta
pembentukan nanah
3. Fase folikulitis, keradangan bisa minimal tanpa nanah.
4. Keradangan dapat meluas pada kulit nasal tip dan dorsum nasi serta pembengkakan pada
daerah bibir atas.
5. Furunkel hidung dapat mengalami ruptur secara spontan.

TANDA BAHAYA

1. Nyeri kepala
2. Penglihatan kabur
3. Nyeri hidung hebat

PENATALAKSANAA KOMPREHENSIF
Tata laksana furunkel hidung sama seperti pioderma pada umumnya, yaitu pemberian
antibiotik, baik topikal maupun peroral. Tindakan pembedahan dilakukan hanya pada
kondisi tertentu, terutama apabila pemberian terapi medikamentosa dianggap tidak berhasil
mengatasi furunkel
1. Kompres hangat dapat meredakan perasaan tidak nyaman.
2. Jangan memencet atau melakukan insisi pada furunkel.
3. Pemberian antibiotik topikal, seperti pemberian salep antibiotik bacitrasin dan polmiksin
B serta antibiotik oral karena lokasi furunkel yang berpotensial menjadi bahaya.
Antibiotik diberikan dalam 7-10 hari, dengan pemberian Amoxicilin 500mg, 3x/hari,
Cephalexin 250 – 500 mg, 4x/hari, atau Eritromisin 250 – 500 mg, 4x/hari.
4. Insisi drainase dilakukan jika sudah timbul abses.
KONSELING DAN EDUKASI

Memberitahukan individu dan keluarga untuk:


1. Menghindari kebiasaan mengorek-ngorek bagian dalam hidung.
2. Tidak memencet atau melakukan insisi padafurunkel.
3. Selalu menjaga kebersihan diri.

MONITORING PENGOBATAN

Pemeriksaan ulang untuk memantau pengobatan perlu dilakukan setelah 5 hari pemberian
terapi. Pemantauan dilakukan melalui penilaian atas keluhan dan pemeriksaan fisik.

KRITERIA RUJUKAN
1. Bila 5 hari pengobatan belum ada perbaikan
2. Terjadi komplikasi
3. Terdapat tanda bahaya

KOMPLIKASI
1. Selulitis bibir atas
2. Abses septum
3. Tromboflebitis vena

PROGNOSIS
Prognosis pada umumnya bonam

PENCEGAHAN
Pencegahan dilakukan dengan cara pola makan yang baik, olah raga, menghindari faktor
pemicu, sering mencuci tangan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Adams GL, Boies LR, Paparella MM. Boies’s Fundamentals of otolaryngology: a
textbook of ear, nose, and throat diseases. 6th ed. Philadelphia: Saunders; 1989.
2. Lalwani AK. Current diagnosis and treatment in otolaryngology - head and neck surgery.
3rd ed. New York: Mc. Graw Hill; 2011.
3. Dhingra PL. Disease of ear, nose, and throat. 4th ed. New Delhi: Elsevier; 2007.
4. Yusuf, M., Wiyadi, HMS., Kentjono, WA., Herawati, S., Pawarti, DR. Pedoman praktek
klinik teliha hidung tenggorok bedah kepala dan leher. Surabaya : Dept/SMF Ilmu
Kesehatan THT-K RSUD Dr. Soetomo FK Universitas Airlangga, 2016
5. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2013.

Anda mungkin juga menyukai