Anda di halaman 1dari 59

HUBUNGAN PEKERJAAN, USIA, DAN JENIS KELAMIN

DENGAN KEJADIAN PTERIGIUM DI RUMAH SAKIT


MATA LAMPUNG EYE CENTER
TAHUN 2020

SKRIPSI

Oleh :

GHAFUR ROCHIYATMA

190101053P

UNIVERSITAS AISYAH PRINGSEWU

TAHUN AKADEMIK

2020
HUBUNGAN PEKERJAAN, USIA, DAN JENIS KELAMIN DENGAN
KEJADIAN PTERIGIUM DIRUMAH SAKIT MATA
LAMPUNG EYE CENTER
TAHUN 2020

SKRIPSI

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh


Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH:

GHAFUR ROCHIYATMA

190101053P

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS AISYAH PRINGSEWU

i
TAHUN 2020
LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL PROPOSAL:
HUBUNGAN PEKERJAAN, USIA, DAN JENIS KELAMIN DENGAN
KEJADIAN PTERIGIUM DIRUMAH SAKIT MATA LAMPUNG EYE
CENTER TAHUN 2020

Nama : Ghafur Rochiyatma

NIM : 190101053P

Telah di periksa dan di setujui oleh pembimbing untuk seminar hasil penelitian.

Pringsewu, Desember 2020


Pembimbing

(Hardono, S.Kep., Ners., M.Kep)

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah dan
karunia-Nya, sehingga penyusunan Karya Ilmiahyang berjudul “HUBUNGAN
PEKERJAAN, USIA, DAN JENIS KELAMIN DENGAN KEJADIAN
PTERIGIUM DIRUMAH SAKIT MATA LAMPUNG EYE CENTER”,dapat
peneliti selesaikan.Penyelesainproposal penelitian ini juga berkat dorongan dan
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini perkenankan peneliti
menghaturkan rasa terima kasih kepada bapak/ibu yang terhormat:
1. Sukarni, S,ST. M.Kes selaku ketua Universitas Aisyah Lampung.
2. Hardono,S.Kep.,Ners.,M.Kep selaku Ketua Universitas Aisyah Pringsewu.
3. Feri Kameliawati,S.Kep.,Ners.,M.kep selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Universitas Aisyah Pringsewu Lampung.
4. Ikhwan Amirudinn,S.Kep.,Ners.,M.kep selaku Ketua Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Aisyah Pringsewu Lampung.
5. Hardono, S.Kep.,Ners.,M.Kep selaku pembimbing utama dan pendamping
yang telah banyak membantu penyelesaian penulisan proposal penelitian ini.
6. DR.dr.Prambudi Rukmono Sp.A (K) selaku direktur RS Mata Lampung Eye
Center Bandar Lampung.
7. Dan rekan-rekan yang membantu jalannya penelitian ini.

Semoga Allah SWT berkenan membalas kebaikan serta bantuan yang telah di
berikan dan semoga proposal ini dapat di jadikan pedoman untuk melakukan
penelitian.

Peneliti menyadari dalam penulisan proposal ini masih banyak kekurangan, untuk
itu peneliti sangat mengharapkan masukan serta saran yang membangun guna
perbaikan selanjutnya, semoga Alaah SWT senantiasa melindungi kita semua.
Amin

Pringsewu, Desember 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL LUAR........................................................................... i


LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................... iii
DAFTAR ISI................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... vi
DAFTAR TABEL........................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 7
1.Tujuan Umum ....................................................................... 7
2.Tujuan Khusus ...................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 8
E. Ruang Lingkup Penelitian......................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Pengertian Pterigium................................................................. 9
B. Epidemologi............................................................................. 10
C. Kerangka Teori.......................................................................... 33
D. Kerangka Konsep...................................................................... 34
E. Hipotesis................................................................................... 35

BAB III METODE PENELITIAN


A. Jenis Penelitian......................................................................... 37
B. Waktu dan Tempat Penelitian................................................... 37
C. Rancangan Penelitian................................................................ 37
D. Subjek Penelitian...................................................................... 38
E. Variabel Penelitian.................................................................... 39
iv
F. Definisi Operasional Variabel................................................... 39
G. Pengumpulan Data ................................................................... 40
H. Pengolahan Data....................................................................... 40
I. Analisa Data............................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 45

LAMPIRAN....................................................................................................

DAFTAR TABEL
v
Tabel Halaman

3.1 Definisi Operasional..................................................................................41

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
Gambar Derajat I .............................................................................................18
Gambar Derajat II.............................................................................................18
Gambar Derajat III............................................................................................18
Gambar Derajat IV...........................................................................................19
KerangkaTeori..................................................................................................35
Kerangka Konsep..............................................................................................36

DAFTAR LAMPIRAN

vii
1. Surat Izin Pra-Survei.....................................................................................
2. Surat Rekom Pra-Survei...............................................................................

viii
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pterygium merupakan penyakit mata bagian eksternal yang umum

terjadi dengan prevalensi berkisar antara 0,7% dan 33% secara global.

Penyakit ini digambarkan seperti berbentuk sayap, terdapat lesi

fibrovaskular yang melintasi bagian nasal atau temporal limbus.

Pterygium dapat menyebabkan terjadinya astigmatisme serta menimbulkan

gangguan lain seperti menurunnya tajam penglihatan, iritasi kronik,

inflamasi rekuren, penglihatan ganda, serta gangguan pergerakan bola

mata. Pterygium berpotensi menyebabkan kebutaan dan mengganggu

kosmetik, pada stadium lanjut memerlukan tindakan operasi untuk

perbaikan visus. Pertumbuhan pterygium dipengaruhi oleh faktor-faktor

risiko, penyebab dan distribusi penyakit yang berguna untuk memberikan

strategi yang tepat dalam pencegahan terjadinya pterygium. Pterygium

lebih sering ditemukan di daerah beriklim tropis dan subtropics.

Angka prevalensi pterygium di Amerika Serikat berkisar 2%

(bagian utara) sampai 7% (bagian selatan). Prevalensi pterygium

dilaporkan dalam studi yang berbeda bervariasi berdasarkan usia, jenis

kelamin, ras, dan geografi. Pterygium ditemukan sekitar 23,4% dari orang

kulit hitam, 23,7% dari campuran (orang kulit hitam dan kulit putih), dan
10,2% dari orang kulit putih dalam studi mata di Barbados. Prevalensi

pterygium dalam berbagai penelitian didaerah Cina, mulai dari 2,9% di

utara Cina, 14,49% di Tibet dan 33,01% di daerah etnis Tionghoa dewasa

ditemukan memiliki pterygium disalah satu matanya. 5 Prevalensi

pterygium nasional adalah sebesar 8,3% dengan prevalensi tertinggi

ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara

Barat (17,0%). Provinsi DKI Jakarta mempunyai prevalensi pterygium

terendah yaitu 3,7%, diikuti oleh Banten 3,9%, sedangkan prevalensi

pterygium di Lampung sebesar 7,4%. (Ardanti, 2018)

Kota Bandar Lampung yang merupakan salah satu kota di wilayah

Provinsi Lampung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi

salah satu kota dengan insidensi ptergium yang cukup tinggi di Lampung.

Bandar Lampung menempati urutan pertama prevalensi pterygium

nasional tertinggi diikuti oleh Tulang Bawang dan Lampung Timur. Data

Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum (BLUD RSU) RS

Abdoel Moeloek pada tahun 2018 menunjukkan 370 orang yang mendapat

pelayanan kesehatan dengan pterygium. Data pada tahun 2019,

menunjukkan 380 orang yang mendapat pelayanan kesehatan dengan

pterygium. Data dari bulan Januari sampai April 2020 menunjukkan 139

orang yang menderita pterygium. Data prevalensi pterygium nasional

tahun 2019 menunjukkan bahwa pterygium merupakan salah satu penyakit

kelainan konjungtiva dengan angka morbiditas yang tinggi dan Kota

Bandar Lampung menduduki peringkat ketiga tertinggi insidensi

3
3

pterygium di Provinsi Lampung. (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung,

2019). Sehingga mulai dari tahun 2018 Pemerintah Kabupaten Provinsi

Lampung mulai mengeluarkan kebijakan-kebijakan pengobatan gratis bagi

penduduk asli domisili dengan beriringan dengan program BPJS

pemerintah Indonesia sesuai dengan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang

JKN KIS.

Mata merupakan satu dari lima indra terpenting, yang meliputi

pendengaran, pencium, pengecap, dan sentuhan. Mata merupakan organ

pinggiran di Cina selatan foto sensoris yaitu, organ yang menerima

rangsangan cahaya. Cahaya kemudian difokuskan ke lensa kebagian saraf

mata yang sensitif terhadap cahaya yaitu retina. Retina mengandung sel sel

batang dan kerucut yang akan merubah impuls cahaya yang menjadi

impuls saraf. Setelah melintasi suatu rangkaian lapisan sel saraf dan sel-sel

penyokong informasi penglihatan diteruskan oleh saraf optik keotak untuk

diproses.( Putra galih Dkk 2019 :3531)

Mata terletak dalam struktur bertulang yang protektif di tengkorak

yaitu tulang rongga orbita setiap mata terdiri atas sebuah bola mata fibrosa

yang kuat untuk mempertahankan bentuknya suatu system lensa untuk

memfokuskan bayangan selapis sel fotosensitif dan suatu system sel dan

syaraf yang berfungsi mengumpulkan memproses dan meneruskan

informasi visual ke otak, iritasi kronis akibat debu, cahaya matahari,dan

udara yang panas dapat menyebabkan kelainan pada mata, salah satu

kelainan mata yaitu pterigium. (H.Muchtar dan N.Trisnawati,2015 :8)


4
4

Pterigium banyak dijumpai di daerah tropis daripada daerah non-

tropis. Indonesia merupakan negara yang dilalui garis khatulistiwa

sehingga rentan terkena pterigium. Masyarakat Indonesia banyak yang

bekerja sebagai petani dan nelayan yang merupakan faktor risiko untuk

terjadinya insiden penyakit tersebut. Penyebab pterigium antara lain iritasi

kronik karena sinar matahari, debu dan angin. Penelitian sebelumnya telah

membuktikan bahwa faktor risiko juga mempengaruhi timbulnya penyakit

tersebut seperti faktor usia, pekerjaan dan jenis kelamin (Gazzard, 2002)

Prevalensi pterigium di dunia bervariasi, mulai 1,2% penduduk dunia yang

bermata pencaharian di luar ruangan (outdoor) di daerah tropis sampai

23,4% pada populasi penduduk dunia. Sedangkan di Indonesia prevalensi

penduduk Indonesia yang bermata pencaharian di luar ruangan (outdoor)

sebanyak 30% dari penduduk indonesia. (Gazzard, 2002). Prevalensi

pterigium didunia dengan jenis kelamin laki-laki mencapai 28% dan di

Indonesia dengan jenis kelamin laki-laki didapatkan 3,2% dari jumlah

penduduk Indonesia, sedangkan prevalensi pterigium di dunia yang timbul

pada umur di atas 30 tahun sebanyak 2,9% dengan jumlah yang hampr

sama prevalensi di Indonesia sebanyak 3%. (Erry, 2018). Pterigium

banyak dijumpai pada orang yang bekerja di luar ruangan dan banyak

terpanjan udara, debu atau sinar matahari dalam jangka waktu lama

umumnya banyak muncul pada usia 20-30 tahun. (Purnomo Dedi dkk,

2017 : 41)

Faktor resiko dominan untuk perkembangan pterigium adalah usia.

Jenis kelamin dan aktivitas luar ruangan. Pada usia tua banyak yg
5

menderita pterigium karena lebih sering dan lama beraktivitas di luar

ruangan serta lebih sering mengalami gangguan pada mata. Dari studi

yang dilakukan Gazzard di Kepulauan Riau menyebutkan pada usia

dibawah 20 tahun sebesar 10% dan diatas 40 tahun sebesar 16,8%.

Penelitian di China tahun 2006 sebanyak 14,49% - 33,01% penduduk desa

menderita pterigium dan 2,9% penduduk kota karena penduduk desa lebih

banyak bekerja di luar ruangan seperti petani. Hal ini juga dibuktikan pada

penelitian yang dilakukan Lazuarni di Medan bahwa nelayan, petani dan

kuli bangunan 63,5% menderita pterigium sedangkan guru, perawat,

pegawai negeri sipil 27,3%. Penelitian yang dilakukan oleh Liu, et al

(2007) hamper tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan,

sebanyak 14,5% laki-laki di dunia menderita pterigium karena memiliki

aktivitas di luar ruangan dan 13,6% pada wanita. (Dwi Jayanti Dkk 2017 :

20)

Salah satu terapi pterigium adalah pembedahan dengan

mengangkat jaringan pterigium. Beberapa teknik pembedahan pterigium

antara lain bare sklera, simple eksisi, eksisi dengan flap konjungtiva,

eksisi dengan graft konjungtiva, eksisi dengan tranplantasi permukaan

okular, eksisi dengan membran amnion, eksisi dengan membran mukosa,

serta dengan tambahan pemberian preparat antimetabolik (mitomisin),

terapi pembedahan ini dilakukan pada pterigium lanjut yang telah

menimbulkan keluhan seperti rasa tidak nyaman, terganggunya visus.

(Laszuarni, 2009).
6

Hal inilah yang mendasari penelitian ini dilakukan. Dari faktor-

faktor resiko pterigum di atas, dapat dilihat bahwa di daerah Bandar

Lampung sangat memenuhi kriteria timbulnya pterigium. Dengan iklim

yang tropis, daerah pesisir pantai, dan daerah perindrustrian yang rentan

menimbulkan penyakit mata yakni pterigium. Menurut data Rekam Medis

Rumah sakit mata Lampung Eye Center Bandar Lampung kejadian

pterigium yang diambil pada bulan juni 2020 tercatat 20 pasien menderita

pterigium, dan bulan juli 2020 tercatat 52 pasien menderita pterigium dan

telah dilakukan operasi. Sedangkan Pada Bulan Agustus 2020 tercatat 61

pasien menderita pterigium dan telah dilakukan operasi, itu artinya terjadi

peningkatan pada kasus Pterigium dirumah sakit mata Lampung Eye

Center Bandar Lampung. Dimana terdapat data pasien yang bekerja dalam

suasana outdoor sebanyak 70% dari dari 130 pasien yang berobat ke RS

Mata Lampung Eye Center pada bulan Januari – Desember 2019.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis melakukan penelitian

tentang “Hubungan Pekerjaan, Usia, Dan Jenis Kelamin Dengan

Kejadian Pterigium Di Rumah Sakit Mata Lampung Eye Center

Tahun 2020”.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara pekerjaan, usia dan jenis kelamin

dengan kejadian pterygium di Rumah Sakit Mata Lampung Eye Center

Bandar Lampung?

C. Ruang Lingkup Penelitian


7

Untuk memfokuskan pada tujuan penelitian maka penulis membatasi ruang

lingkup skripsi ini. Adapun yang menjadi ruang lingkup adalah sebagai

berikut:

1. Metode peneltian adalah kuantitatif

2. Penelitian dilakukan di RS Mata Lampung Eye Center pada Bulan

Desember 2020

3. Responden adalah seluruh pasien Pterigium yang berobat ke Poliklinik

mata RS Mata Lampung Eye Center.

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahui hubungan faktor-faktor yang berhubungan terhadap

kejaidian pterygium di Rumah Sakit Mata Lampung Eye Center

Bandar Lampung.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui hubungan faktor pekerjaan dengan kejadian pterigium di

Rumah Sakit Mata Lampung Eye Center Bandar Lampung.

b. Diketahui hubungan faktor usia dengan kejadian Pterigium di

Rumah Sakit Mata Lampung Eye Center Bandar Lampung.

c. Diketahui hubungan faktor Jenis Kelamin dengan kejadian


8

Pterigium di Rumah Sakit Mata Lampung Eye Center Bandar

Lampung.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Penulis

Menambah pengetahuan dibidang ilmu penyakit mata serta menerapkan

ilmu yang didapat selama penelitian dan juga selama perkuliahan.

2. Institusi/masyarakat

a. Dapat menambah kepustakaan dalam lingkungan program studi Ilmu

Keperawatan Konversi Universitas Aisyah Pringsewu.

b. informasi kepada masyarakat umum khususnya penderita pterigium

mengenai karakteristik penyakit dan faktor penyebab kejadian

pterygium tersebut yang sering terjadi di masyarakat.

3. Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai referensi bagi

penelitian selanjutnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

a. Pengertian Pterigium

Mata adalah organ fotosensitif yang sangat berkembang dan rumit,

yang memungkinkan analisis cermat dari bentuk, intensitas cahaya, dan

warna yang dipantulkan objek.Mata terletak dalam struktur bertulang yang

protektif di tengkorak, yaitu rongga orbita.Setiap mata terdiri atas sebuah

bola mata fibrosa yang kuat untuk mempertahankan bentuknya, suatu

system lensa untuk memfokuskan bayangan, selapis sel fotosensitif, dan

suatu system sel dan saraf yang berfungsi mengumpulkan, memproses dan

meneruskan informasi visual ke otak.Iritasi kronis akibat debu, cahaya

sinar matahari, dan udara yang panas dapat menyebabkan kelainan pada

mata salah satu kelainan mata yaitu pterygium.

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler

konjungtiva yang bersifat degenerative dan invansif.Pertumbuhan ini

biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal

konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.Pterigium berbentuk segitiga

dengan puncak dibagian sentral atau di daerah kornea.Pterigium mudah

meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigiumakan berwarna

merah.Pterigium dapat mengenai kedua mata. (Ilyas, 2009)

Pterigium berasal dari Bahasa Yunani, yaitu ptero yang artinya

wing atau sayap (Julianti, 2009). Ptergium berbentuk segitiga horisontal

dengan puncak mengarah ke bagian tengah dari kornea dan dasarnya

9
terletak di bagian tepi bola mata bagian medial bentuknya menyerupai

sayap (Erry dkk., 2011). Pterigium adalah suatu pertumbuhan jaringan

abnormal pada permukaan basemen membran melalui epitel limbus yang

menginvasi dari regio kantus pada konjungtiva bulbi masuk ke permukaan

kornea (lapisan stroma dan membran Bowman) pada daerah interpalpebra

diikuti oleh degenerasi dan hiperplasia dari epitel konjungtiva, proliferatif,

gambaran inflamasi, serta kaya oleh pembuluh darah (Swastika,

2008).Ptergium merupakan pertumbuhan non malignan yang dapat

menyebabkan perusakan pengelihatan (Bhardwaj dkk, 2013).

Berdasarkan pengertian tersebut, peneliti mengambil kesimpulan

jika pterigium adalah Pterigium merupakan suatu kelainan yang ditandai

dengan pertumbuhan jaringan fibrovaskuler berbentuk segitiga yang dapat

menyebabkan perusakan penglihatan, yang disebabkan oleh banyak factor

seperti debu, cahaya sinar matahari dan panas.

b. Epidemiologi

Pterigium tersebar diseluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah

iklim panas dan kering.Prevalensinya juga tinggi di daerah berdebu dan

kering. Faktor yang sering mempengaruhinya adalah daerah dekar equator

yakni daerah < 37o LU dan LS dan pada daerah > 40o.Pasien dibawah

umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi pterigium meningkat

sesuai dengan umur, terutama decade kedua dan ketiga dari kehidupan,

dan insiden tertinggi pada usia antara 20 dan 49 tahun. Kejadian berulang

10
lebih sering terjadi pada usia yang muda disbanding yang lebih tua. Laki-

laki 4x lebih berisiko dibanding wanita. (Lazuarni, 2009)

c. Patogenesis

pterigium itu sendiri masih belum begitu jelas. Namun beberapa

teori berdasarkan penelitian dapat menggambarkan bagaimana proses

pterigium itu terjadi. Etiologi dan patogenesis terjadinya pterigium sendiri

belum terlalu jelas.Beberapa teori yang telah dikemukakan untuk

menerangkan patogenesis terjadinya pterigium, tetapi etiologinya yang

pasti dan penyebabnya bersifat multifaktorial.Maka berkembang berbagai

teori untuk menerangkan patogenesis pterigium (Saerang, 2013). Beberapa

teori tentang patogenesis pterigium yang berkembang sekarang, antara lain

teori degenerasi, inflamasi, neoplasma, tropik ataupun teori yang

menghubungkan dengan sinar UV (Julianti, 2009).

a. Teori Radikal Spesies Oksigen (ROS)

Sinar UV adalah salah satu factor utama yang terlibat dalam

pathogenesis pterigium, namun mekanisme radiasi sinar UV

menginduksi penyakit ini masih belum diketahui.Efek merugikan

dari sinar UV secara langsung merupakan efek fototoksik sinar UV

atau secara tidak langsung untuk pembentukan radikal spesies

oksigen (ROS).ROS telah dikaitkan dengan inisiasi dan kemajuan

dalam jenis multi tahap karsinogenesis (Maxia et al, 2008).

Berbagai teori patogenesis pterigium menunjukkan paparan

sinar ultraviolet merupakan penyebab utama terjadinya

11
pterigium.Studi epidemiologik menunjukkan paparan kronis sinar

matahari, kemungkinan besar Ultraviolet B (UVB) iradiasi, sebagai

faktor penting pada pertumbuhan pterigium (Saerang, 2011).

Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada

limbal basal stem sel. Tanpa apoptosis, TGF-β (Transforming

Growth Factor-beta) overproduksi dan menimbulkan peningkatan

proses kolagenase, sel berimigrasi, dan angiogenesis. Akibatnya

terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan

subepitelial fibrovaskular. Jaringan sub konjungtiva terjadi

degenerasi elastoik dan proliferasi jaringan granulasi vaskular di

bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan pada

kornea terdapat pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan

jaringan fibrovaskular, sering dibarengi dengan inflamasi ringan.

Epitel dapat normal, tebal,atau tipis dan kadang terjadi dysplasia

(Laszuarni, 2009). Pada pengamatan lanjut menunjukkan ekspresi

vimentin sel limbal pada tepi pterigium, over ekspresi p53

supressor gen memberi kesan bahwa ultraviolet B menginduksi

mutasi pada awal pertumbuhannya dengan jalan perusakan

apoptosis dari sel limbal serta produksi yang berlebihan dari

bermacam-macam faktor pertumbuhan.1 Pada beberapa laporan

penelitian, menunjukkan hubungan erat ultraviolet sebagai pemicu

terjadinya mutasi p53. Ekspresi p53 abnormal ditunjukkan pada

pterigium dengan imunohistokimia dengan antibodi monoklonal

yang dapat mendeteksi protein p53 mutan.2Terdapat 2tipe protein

12
p53, yaitu tipe normal atau wild type serta mutant type. P53 wild

type dipercaya berperan pada regulasi proliferasi sel dan berperan

sebagai tumor suppressor (Anugrahsari dkk., 2010).

Kemungkinan akibat sinar ultraviolet adalah terjadinya

kerusakan stem sel di daerah intrapalpebral. Manifestasi dari

defisiensi atau disfungsi terlokalisasi intrapalpebral limbal stem sel

juga merupakan tanda yang ditemukan pada pterigium. Limbal

stem sel merupakan sumber regenerasi epithel kornea. Pada

keadaan defisiensi limbal stem sel, terjadi konjungtivalisasi pada

permukaan kornea. Gejala dan defisiensi limbal adalah

pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi

kronis, kerusakan basement membrane dan pertumbuhan jaringan

fibrotik (Laszuarni, 2009).

Hal ini sesuai dengan peta distribusi pterigium dari

Cameron, secara geografis memperlihatkan angka kejadian

pterigium, yang meningkat bila mendekati khatulistiwa (37° LU

dan 37° LS). Prevalensi penderita pterigium sebesar 22,5% dan

akan terus menurun sampai 2% pada daerah 40° LU dan LS

(Shintya dkk., 2010). Tumor suppressor gene p53 sebagai suatu

mutasi gen yang tersering dari tumor manusia dan dijumpai lebih

dari 50% kanker manusia. Diperkirakan bahwa peningkatan 1%

dari radiasi UV akan meningkatkan insiden dari pterigium 2,5–14%

pada populasi Australia (Saerang, 2011).

13
b. Teori Progresif Aktif Konjungtivalisasi

Adanya progresif aktif konjungtivalisasi dari kornea yang

melibatkan proliferasi seluler yang luas, peradangan, remodeling

jaringan dan terjadinya angiogenesis yang selama ini diketahui

factor yang paling terkait dan terlibat dalam pertumbuhan

pterigium.Hal terkuat yakni sinar ultraviolet.Sinar ultraviolet dapat

menginduksi ekspresi factor pertumbuhan dan sitokin dalam sel

pterogium.

c. Teori Angiogenesis

Secara histori dijelaskan sebagai proses degenerative,

inflamasi dan proliferasi fibrovaskuler yang menjadi factor yang

sangat penting. Selain itu angiogenesis yang merupakan proses

fisiologis melibatkan pertumbuhan pembuluh darah baru. Faktor

pertumbuhan lain seperti pertumbuhan endotel, pertumbuhan

fibrolas, factor pertumbuhan transformasi beta, dan tumor nekrosis

factor alfa merangsang angiogenesis.

d. Teori Lesi Oksidatif

Teori lain menyebutkan bahwa sebuah hasil yang paling khas

lesi oksidatif adalah 8-OHdG, karena guinin adalah dasar alami

yang paling mudah teroksidasi.

14
d. Histopatologi

Histopatologi pterigium ditandai dengan pertumbuhan

hiperplasia, perubahan sel stem limbus yang menyebabkan disolusi

membran Bowman, aktivasi fibroblas stroma dengan proses peradangan,

neovaskularisasi, dan remodeling matriks yang dimediasi oleh sitokin,

growth factors, dan MMPs.Meskipun berbagai teori dikemukakan namun

patogenesis pterigium masih merupakan misteri. Teori utama yang

berkembang saat ini dari sisi histopatologi pterigium adalah adanya

migrasi dari sel yang berproliferasi aktif dan invasi lokal sel epitel yang

menyebabkan disolusi membran Bowman yang dimediasi oleh aktivasi

MMPs oleh paparan radiasi UV (Chui dkk., 2010; Detorakis dan

Spandidos, 2009

Secara histopatologi pterigium adalah proliferasi fibrovaskular

jaringan konjungtiva ke kornea secara jelas.Secara anatomis, Mencakup

puncak, leher dan badan. Puncak adalah bagian pada kornea, leher adalah

yang terletak di limbus, dna badan adalah sclera. Lapisan epitel secara

histologi menyerupai epitel konjungtiva atropik mencakup semua

lapisan.Hal ini meluas meliputi pterigium yang dibentuk oleh jaringan

ikat menebal, hipertropi dan degenerative (Smolin, 2005).Sifat

degenerative pterigium terungkap dari pemeriksaan electron mikroskopis

menunjukkan bahwa degenerasi akrilik terlihat pada permukaan yang

terkena sinar UV, epitel menunjukkan skuamosa metaplasia.

Histopatologik lain ditemukan, bahwa epitel konjungtiva ireguler,

kadang-kadang berubah menjadi epitel berlapis gepeng. Pada puncak

15
pterigium, epitel kornea menaik dan pada daerah ini membrane Bowman

menghilang.Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi sebagai

jaringan granulasi yang penuh pembuluh darah. (FKUI, 2003)

e. Gambaran Klinis

Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal (Laszuarni,

2009).Pterigium dapat mengenai kedua mata dengan derajat

pertumbuhannya yang berbeda serta dapat terjadi dengan berbagai

kombinasi, namun jarang yang asimetris.Kombinasi nasal-nasal lebih

sering dibandingkan dengan temporaltemporal. Pteriium duleks dapat

juga terjadi apabila pterigium tumbuh di bagian nasal dan temporal pada

satu mata (Erry dkk., 2011). Pterigium kecil tidak ada gejala, hanya

merupakan noda kosmetik.Pterigium bisa menjadi radang yang

menyebabkan peradangan episodic, nyeri, dan merasakan

ketidaknyamanan.Pterigium telah banyak disalahartikan seperti iritasi

mata, sensasi benda asing, kekeringan, fotophobia, ephiphora, dan

pruritus (Smolin, 2005).

Pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi 2 tipe, yaitu :

a. Progresif pterigium : tebal dan vaskular dengan beberapa

infiltrat pada kornea di depan kepala pterigium (disebut cap

pterigium)

b. Regresif pterigium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya

menjadi membentuk membran tetapi tidak pernah hilang. Pada

tahap inilah gangguan penglihatan terjadi.

16
Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan

memberikan keluhan mata iritatif, merah dan mungkin

menimbulkan astigmat yang akan memberikan keluhan gangguan

penglihatan. Pterigium dapat disertai dengan keratitis pungtata dan

dellen (Penipisan kornea akibat kering) dan garis besi yang terletak

di ujung pterigium (Ilyas, 2009).

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia,

derajat pertumbuhan pterigium dibagi menjadi :

a. Derajat I : Hanya terbatas pada limbus

b. Derajat II : Sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2

mm melewati kornea

c. Derajat III : Jika telah melebihi derajat II, tetapi tidak melebihi

pinggir pupil mata dalam keadaan cahaya (Pupil dalam keadaan

normal sekitar 3 -4 mm)

d. Derajat IV : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil

sehingga mengganggu penglihatan

Derajat I

17
Derajat II

Derajat III

Derajat IV

Gambar derajat pterigium

Pterigium dibagi berdasarkan dapat dilihatnya pembuluh darah

episclera di pterigium dan harus diperiksa dengan slitlamp :

a. T1 (atropi): pembuluh darah episclera jelas terlihat

b. T2 (intermediate): pembuluh darah episclera sebagian terlihat

c. T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas (Laszuarni,

2009).

18
f. Diferensial diagnosis

Pinguecula dan pterigium awal mungkin tampak keliru dikarenakan

gambaran klinis yang serupa.Pertumbuhan pada sclera disebut suatu

pinguecula, ketika tumbuh yang melibatkan kornea itu disebut sebagai

pterigium.Sebuah lokasi atipikal dari pterigium dalam sumbu miring

harus menyarankan alternative mendiagnosa seperti degenerasi kornea

marginal (Smolin & Thoft, 2005).

Gejala klinis yang dapat timbul :

a. Asimptomatik

Pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa

keluhan sama sekali. Biasanya penderita mengeluhkan adanya

sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan

atau alasan kosmetik.

b. Mata sering berair dan tampak merah

Riwayat mata merah berulang, biasanya banyak terdapat pada

penderita yang banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan

pajanan sinar matahari yang tinggi.Dapat ditanyakan riwayat trauma

sebelumnya (INASCRS, 2011).Selain itu, keluhan juga dapat berupa

rasa panas dan gatal (Julianti, 2009).

c. Mata seperti ada benda asing

d. Timbul astigmatisme

akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut, biasanya

astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irregular sehingga

mengganggu penglihatan.

19
G. Penatalaksanaan

Keluhan photopobia dan mata merah dari pterigium ringan

ditangani dengan menghindari debu dan asap. Beberapa obat topical

seperti lubrikans, vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan secara

aman untuk menghilangkan gejala, digunakan secara benar untuk derajat

I dan II.Untuk mencegah progresivitas beberapa peneliti menganjurkan

penggunaan kacamata pelindung ultraviolet.

Pengobatan pterigium dengan konservatif dan dilakukan

pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya

astigmatisme (Ilyas, 2009).Tujuan utama pada operasi adalah

menghilangkan pertumbuhan fibrovaskuler yang pada akhirnya

menghasilkan jaringan parut permanen dan untuk mengurangi

kekambuhan.Selain itu pembedahan juga bertujuan untuk meminimalkan

komplikasi yang berhubungan dengan operasi.

Berbagai pilihan untuk penatalaksanaan pterigium, saat ini belum

ada pengobatan medis yang dapat diandalkan untuk mengurangi atau

mencegah perkembangan pterigium.Pengobatan definitive dicapai

dengan eksisi bedah.Pterigium adalah pertumbuhan jinak dan biasanya

memerlukan pembedahan jika pasien dengan gejala kronis, tidak

responsive dengan terapi non bedah. Pemilihan non bedah dapat

memberikan kenyamanan, meringankan sensasi benda asing,dan

mengurangi peradangan. Diantara nya termasuk air mata buatan, topical

dekongestan, topical non steroid anti inflamasi.

20
Pembedahan adalah pengobatan pilihan untuk pterigium. Tidak

ada prosedur yang ideal yang akan menjamin tidak terulangnya

pterigium. Konjungtiva autograph telah dilaporkan sebagai metode yang

efektif dengan tingkat kekambuhan yang rendah. Sejak dilakukannya

metode ini beberapa komplikasi dan kekambuhan jarang terjadi.Indikasi

untuk pterigium eksisi termasuk ketidaknyamanan yang menetap,

gangguan penglihatan, ukurannya > 3-4 mm dan pertumbuhan yang

progresif menuju tengah kornea atau visual axis mata (Lazuarni, 2009).

Berikut jenis pembedahan yang sering dilakukan :

a. Pterigium eksisi

Kepala pterigium diambil dari kornea dengan tumpul deseksi

dengan pisau no.15 atau pisau sabit.Eksisi pterigium bertujuan

untuk mencapai keadaan normal, gambaran permukaan bola

mata yang licin.Teknik bedah yang sering digunakan untuk

mengangkat pterigium menggunakan pisau yang datar untuk

mendiseksi pterigium kearah limbus. Walaupun memisahkan

pterigium dengan bare sclera ke arah bawah limbus lebih

disukai, namun ini tidak penting untuk memisahkan jaringan

tenon secara berlebihan di daerah medial, karena kadang-

kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak

sengaja di daerah jaringan otot. Setelah eksisi, kauter sering

digunakan untuk mengontrol pendarahan (Laszuarni, 2009)

b. Bare sclera

21
Setelah pterigium di eksisi, sclera menjadi terbuka

(telanjang).Meskipun teknin ini tampaknya menjadi tercepat

dan termudah, namun tingkat kekambuhan tinggi. Teknik ini

tidak menggunakan benang absorbable untuk meletakkan

konjungtiva pada sclera superficial di depan insersi tendon

rektus.

c. Primary closure

Sekitar konjungtiva dirusak dan dipindahkan untuk menutupi

sclera yang terbuka. Konjungtiva ini kemudian di jahit.

d. Conjungtiva autografting (CAG)

Memiliki kekambuhan yang rendah.Hal ini disebabkan oleh

transplantasi konjungtiva normal yang membentuk

penghalang untuk proliferasi jaringan sisa, abnormal.

e. Conjungtival-limbal autografting (CLAG)

Permanen CLAG hamper mirip dengan teknik CAG di semua

aspek, kecuali mencapai limbus. Penelitian terbaru telah

melaporkan efektivitas CLAG dalam pencegahan

rekurensi.Sehingga prosedur ini efektif dalam mencegah

pterigium rekuren dan juga dapat membantu dalam

meningkatkan koreksi ketajaman visual.

f. Amnion membrane transplantia

Membran amnion adalah lapisan dari plasenta yang terdiri

dari membrane tebal dan matrik stroma avascular.Membran

basal dari meembran ketuban mirip dengan komposisi

22
konjungtiva, oleh karena itu teori saat ini amnion digunakan

untuk menambah sel induk limbal dan memperkuat sel

kornea. Hal ini dapat digunakan graft dan sebagai pengganti

untuk memfasilitasi rekontruksi permukaan ocular.

H. Komplikasi

Selain berpotensi menggangu kosmetik, pada pertumbuhan

pterigium lanjut dapat berpotensi menjadi penyebab kebutaan yang

memerlukan tindakan operasi untuk perbaikan visus (Laszuarni,

2009).Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa

tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi,

kebanyakan pasien seteleh 48 jam postoperasi dapat beraktivitas

kembali.Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah

kekambuhan atau rekuren atau tumbuh ulang pterigium

postoperasi.Pterigium dinyatakan kambuh apabila setelah dilakukan

operasi pengangkatan ditemukan pertumbuhan kembali jaringan

pterigium yang disertai pertumbuhan kembali neovaskularisasi yang

menjalar kearah kornea.Jangka waktu terjadinya kekambuhan pada

berbagai studi disebutkan antara 1-2 bulan sesudah pengangkatan

(Swastika, 2008). Pasien dengan pterigium yang mengalami kekambuhan

dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau

transplantasi membran amnion. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren

yang tinggi, kira-kira 50-80%. Terapi adjuvant berupa autograph

konjungtiva untuk mencegah kekambuhan pasca eksisi. (Emilia,

23
2014).Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan

epithel diatas pterigium yang ada (Laszuarni, 2009).

Komplikasi menurut Lazurni adalah sebagai berikut :

a. Distorsi dan penglihatan berkurang

b. Merah

c. Iritasi

d. Skar (parut) kronis pada konjungtiva dan kornea

e. Rekurensi pterigium

i. Prognosa

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisisi adalah baik.

Rasa tidak nyaman pada hari pertama post operasi dapat ditoleransi.

Kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas

kembali seperti biasa. Pasien dengan rekurensi pterigium dapat dilakukan

eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi

membrane amnion.

Pasien dengan pterigium yang kambuh lagi dapat mengulangi

pembedahan eksisi dan pencangkokan, kedua nya dengan konjungtiva

timbal autograpft atau selaput amniotic.Pasien yang memiliki risiko

tinggi karena terpapar sinar UV, perlu diberitahukan penggunaan

kacamata untuk mengurangi ekpose mata dengan UV.

24
j. Pencegahan

Pencegahan pterigium dapat dilakukan dengan cara penggunaan

kaca mata dan topi. Kemampuan kaca mata dan topi dapat menghambat

gelombang UV-B sinar matahari .Temuan ini menegaskan pentingnya

perlindungan mata pada masyarakat.

k. Faktor Risiko

Faktor risiko yang paling sering menyebabkan terjadinya

pterigiumadalah :

a. Paparan sinar matahari dan UV-B

Faktor risiko utama yang terdapat pada lingkungan untuk

pengembangan pterigium adalah paparan ultraviolet (UV).Menipisnya

lapisan ozon pada beberapa dekasi terakhir dapat mengakibatkan

peningkatan sinar matahari yang berkaitan dengan kondisi seperti

pterigium, katarak dan keratoplasty. Sinar UV yang diserap oleh

konjungtiva kornea menyebabkan suatu proses kerusakan sel dan

ploriferasi. Pada sebuah penelitian percobaan pada model tikus

menunjukkan bahwa hasil radiasi UV pada sel epitel terdapat

degenerasi membrane sel dan hyperplasia sel bowman.Radiasi

matahari bertanggung jawab untuk sebagian besar sinar cahaya yang

mecolok permukaan kornea dan merupakan factor yang menentukan

paparan UV-B.Sinar UV dari sisi temporal difokuskan pada limbus

hidung dilokasi yang tepat pada hidung pterigium.Selain itu factor-

25
faktor local seperti kelengkungan kornea, kedalaman ruang anterior

dan ocular menentukan cahaya yang jatuh pada mata. Faktor eksternal

juga menentukan, beberapa penelitian lain mendukung bahwa radiasi

UV sebagai factor penyebab pterigium termasuk studi dimana ada

para pekerja dengan eksposure sinar UV yang lebih tinggi. (Edward,

2002).

Teori lain menyebutkan bahwa paparan sinar matahari dan UV-B

dapat menginduksi ekspresi factor pertumbuhan dan sitokin pada sel

epitel. Hal ini menunjukkan bahwa sinar ultraviolet mempunyai peran

penting dalam kejadian inisiasi pada intraseluler dan ekstraseluler

yang melibatkan DNA dan RNA (Lu et al, 2009)

b. Lamanya aktivitas di luar rumah

Faktor penting lainnya yang ditemukan pada pterigium adalah aktifitas

atau pekerjaan di lapangan yang mempengaruhi pajanan terhadap

radiasi UV. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pterigium

ditemukan pada orang yang beraktivitas diluar seperti petani, nelayan,

buruh bangunan yang sering berhubungan dengan paparan sinar UV

(Lu et al, 2009)

Mata pencaharian atau pekerjaan merupakan suatu kegiatan sehari-

hari penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidup diri.Dalam rangka

memenuhi kebutuhan hidup nya, masyarakat berusaha mencari

lapangan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya. (saleh, 2007)

26
Pertumbuhan pterigium berhubungan dengan paparan yang sering

dengan sinar UV (Julianti, 2009).Maka penderita pterigium banyak

dijumpai pada orang yang bekerja di luar ruangan dan banyak

bersinggungan dengan udara, debu ataupun sinar matahari dalam

jangka waktu yang lama (Swastika, 2008).

c. Jenis kelamin

Jenis kelamin adalah status jenis kelamin seseorang.Penelitian ynag

dilakukan oleh Tan di Kepulauan Riau dimana jenis kelamin laki-laki

memiliki angka kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan

perempuan. (Tan et al, 2006). Beberapa penelitian menemukan bahwa

peningkatan terjadinya pterigium lebih banyak terjadi pada laki-laki

dibandingkan dengan perempuan. (Lu et al, 2009).

Berdasarkan studi oleh Julianti (2009), menyatakan bahwa tidak

terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan. Terdapat

perbedaaan hasil studi yang dilaporkan Gazzard di Indonesia tepatnya

di Kepulauan Riau yang melaporkan prevalensi pterigium pada wanita

17,6 % dan laki-laki 16,1% (Swastika, 2008). Berbeda lagi dengan

hasil penelitian oleh Bustani dan Mangindaan yang melaporkan

21,35% pterigium di 2 desa di Kabupaten Minahasa Utara, dengan

hasil 12,92% pada pria dan 8,43% pada wanita (Saerang, 2011).

27
d. Usia

Usia adalah lamanya seseorang hidup sejak dilahirkan sampai saat ini.

Umur merupakan periode terhadap pola kehidupan baru dan harapan-

harapan baru. Semakin bertambahnya umur seseorang semakin

bertambah nya pola ilmu pengetahuan yang dimiliki. Umur

merupakan ciri kedewasaan fisik dan kematangan pribadi yang erat

hubungannya dengan pengambilan keputusan. Secara hukum, umur 21

tahun dikatakan mulai masa dewasa, dan pada umur 30-an dikatakan

telah mampu menyelesaikan masalah dengan baik. Jadi stabil secara

emosional. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh usia, semakin

matangnya usia seseorang semakin banyak pengalaman yang

diperoleh dan semakin baik adaptasi seseorang yang ditunjukkan

dengan perilaku. (Notoatmodjo, 2007).

Usia menjadi factor risiko terhadap pterigium. Pterigium cenderung

meningkat dengan bertambahnya usia. Tan berpendapat pterigium

terbanyak pada usia empat decade. Tidak ada pengelompokan usia

yang baku pada pterigium. (Taylor et al, 2006)

Sebuah penelitian prevalensi pterigium secara signifikan lebih tinggi

pada mereka yang berusia empat decade dibandingkan mereka yang

masih berusia dua dekade. Banyak dari mereka yang mulai bekerja

dari usia yang relative muda dengan kebiasaan tidak memakai

kacamata atau topi pelindung. Jumlah waktu yang dihabiskan dibawah

terik matahari dari usia muda bias menjadi pencetus timbulnya

pterigium. (Tan, 2006).

28
Harlock (1993) membagi periodisasi biologis perkembangan manusia

dewasa sebagai berikut :

a) 21 – 30 tahun

b) 31 – 40 tahun

c) 41 – 50 tahun

d) 51 – 60 tahun

e) > 60 tahun

L. Keturunan

Sebuah penelitian yang meneliti pola keturunan pada beberapa

keluarga dimana terjadinya pterigium dengan metode case control

menunjukkan beberapa kasus kelompok anggota keluarga menderita

pterigium yang kemungkinan diturunkan oleh hubungan autonomy

dominan. (Taylor, 2000)

Faktor resiko lainnya yang berpengaruh, yaitu infeksi oleh Human

Papiloma Virus (Julianti, 2009).Faktor herediter, yang kemungkinan

diturunkan autosom dominan (Laszuarni, 2009).Selain itu, penduduk

yang bertempat tinggal di pedesaan mempunyai prevalensi pterigium

yang lebih besar dibandingkan penduduk di perkotaan. Prevalensi

pterigium cenderung menurun seiring dengan meningkatnya kuantil

indeks kepemilikan (Riskesdas, 2013)

29
M. Iritasi kronik dari lingkungan

Faktor lainnya yang beperan dalam terbentuknya pterigium adalah

allergen.Bahan kimia berbahaya dan bahan iritan (angina, debu,

polutan). UV-B merupakan mutigenik untuk p53 tumor supresor gen

pada stem timbal. Tanpa atoptosis, transforming growth factor-beta

yang memicu terjadinya tingkat kolagenasi, migrasi seluler dan

angiogenesis.Selanjutnya perubahan pathogenesis yang terjadi adalah

degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler

subepitelial.Kornea menunjukkan destruksi membrane Bowman

akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.(Edward, 2002).

N. Penelitian Terkait

1. Dora Pona Ardianty, dkk (2015) dengan judul penelitian Hubungan

Faktor risiko dengan kejadian pterigium di poliklinik mata badan

Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten

Aceh Utara Tahun 2015. Jenis penelitian ini adalah observasional

analitik dengan pendekatan kasus kontrol. Penelitian ini

dilaksanakan di bulan September 2015-Maret 2016 dan jumlah

sampel sebanyak 30 pasien pterygium dan 30 pasien non-pterygium.

Analisis data menggunakan analisis univariat dan bivariat dengan uji

Chi Square. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hanya faktor risiko

riwayat keluarga pterygium yang berhubungan dengan kejadian

pterygium di Poliklinik Mata BLUD RSU Cut Meutia, Kabupaten

30
Aceh Utara tahun 2015. Sedangkan usia dan factor pekerjaan tidak

berhubungan.

2. Darul Ilham (2016) dengan judul hubungan faktor risiko dengan

terjadinya pterigium pada pasien yang berobat di poli klinik mata

RSUDZA Banda Aceh. Jenis penelitian yang digunakan adalah

observasional analitik dengan rancangan Cross sectional survey.

Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 190 diambil secara

accidental sampling. Analisis data yang digunakan adalah dengan uji

Chi Square dan uji Kolmogorof-Smirnov pada CI 95% dan α=0,05.

Hasil penelitian mengenai hubungan pekerjaan, usia dan jenis

kelamin terhadap terjadinya pterigium pada pasien yang berobat di

poliklinik mata RSUDZA didapatkan nilai (p=0,000 0,05,

p=0,367>0,05) Kesimpulan pada penelitian ini adalah terdapat

hubungan yang signifikan antara pekerjaan terhadap terjadinya

pterigium, tidak terdapat hubungan usia dan jenis kelamin.

3. Helmi Muchtar, Nia Triswanti (2015) dengan judul Faktor-Faktor

Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pterigium Pada Pasien Yang

Berobat di RSUD DR. H Abdoel Moeloek Provinsi Lampung Tahun

2013-2014. Hasil Penelitian : Terdapat 126 pasien pterygium.

dengan karakteristik kelompok usia paling banyak adalah usia >40

tahun yaitu sebanyak 74 penderita (58,7%), jenis kelamin paling

banyak adalah perempuan yaitu 71 penderita (56,3%), pekerjaan

paling banyak adalah pasien yang bekerja di dalam ruangan

sebanyak 68 penderita (54%) dan letak terinfeksi pterygium paling

31
banyak adalah bilateral sebanyak 71 penderita (56,3%). Serta jenis

pterygium paling banyak adalah derajat III-IV sebanyak 65 penderita

(51,6%). Kesimpulan : Insidensi pterygium dari 126 kasus yang

diteliti banyak terjadi pada derajat III-IV yang berjenis kelamin

perempuan pada usia >40 tahun dan bekerja di dalam ruangan serta

letaknya bilateral.

4. Putu Anindya Agrasidi, dkk (2018) dengan judul Karakteristik

penderita pterigium di Desa Tianyar Karangasem Tahun 2015.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan cross-sectional,

dilakukan di Desa Tianyar Karangasem pada 24 Maret 2015. Jumlah

responden yang sesuai dengan kriteria inklusi pada penelitian ini

adalah 42 orang. Distribusi dan frekuensi pterigium berdasarkan

karakteristiknya, didapatkan jumlah tertinggi pada kelompok usia

30-39 tahun (28,6%), jenis kelamin laki-laki (54,8%), jenis pekerjaan

kelompok 3 (76,2%), durasi paparan sinar matahari ≥ 4 jam (64,3%),

tanpa riwayat pemakaian kacamata (92,9%), dengan riwayat

pemakaian topi (52,4%), dengan riwayat keluarga (83,3%), lokasi

pterigium okuli dekstra sinistra (78,6%), pada sisi nasal (91,9%), dan

derajat II (45,9%). Distribusi dan frekuensi pterigium berdasarkan

karakteristiknya diharapkan dapat membantu dalam pencegahan

terhadap terjadinya pterigium dan kebutaan akibat pterigium derajat

lanjut.

5. Luh Putu Eka Naryati (2016) dengan judul Prevalensi dan Hubungan

Faktor Risiko dengan Kejadian Pterigium Pada Penduduk Usia 50

32
Tahun Ke Atas di Bali. Penelitian ini melibatkan 720 subjek dan

kejadian pterigium ditemukan pada 36,4% sampel. Tingkat

pendidikan rendah (PR 2,7;95% CI 0,717 sampai 0,937), dan

pekerjaan di luar ruangan (PR 1,6;95% CI 1,226 sampai 2,011) pada

analisis bivariat didapatkan signifikan berhubungan dengan

pterigium. Faktor risiko lain didapatkan tidak signifikan pada usia

(PR 1,0;95% CI 0,889 sampai 1,141), jenis kelamin (PR 1,0;95% CI

0,826 sampai 1,221), hipertensi (PR 1,1;95% CI 0,905 sampai

1,337), lama berada di luar ruangan (PR 1,0;95% CI 0,915 sampai

1,125), riwayat pemakaian alat pelindung (PR 1,0;95% CI 0,835

sampai 1,231), dan merokok (PR 1,0;95% CI 0,798 sampai 1,025).

Analisis multivariat menunjukkan pterigium signifikan berhubungan

dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan (APR 0,858;95% CI 0,741

sampai 0,995), (APR 1,755;95% CI 1,302 sampai 2,366). Sebagai

kesimpulan, prevalensi pterigium pada penduduk usia 50 tahun ke

atas di Bali adalah 36,4%. Tingkat pendidikan dan pekerjaan

berhubungan secara bermakna dengan pterigium. Usia, jenis

kelamin, lama berada di luar ruangan, riwayat pemakaian alat

pelindung, hipertensi dan merokok didapatkan tidak berhubungan

dengan pterigium. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai

hubungan yang lebih kuat antara faktor risiko tersebut dengan

kejadian pterigium.

33
O. Kerangka Teori

Berdasarkan teori-teori yang telah dibahas sebelumnya, maka kerangka

teoritis dapat digambarkan sebagai berikut :

1.3.2 Kerangka Teori

Faktor Risiko

 Jenis Kelamin  Genetik


 Usia  Lingkungan
 Pekerjaan  Faktor Resiko Lainnya
(iritasi kronik, mata
keringdan kelembapan
yang lemah)

Paparan ultraviolet

Kerusakan limbal
Kelainan tear film
stem cell

Pengeringan lokal dari


Conjungtivalization kornea dan
pada kornea konjungtiva pada
fissura interpalpebralis

Pertumbuhan
fibroblastic baru Pterigium

Keterangan gambar 2.5 : = Bagian yang diteliti

= Bagian yang tidak diteliti

Gambar 2.1 : Kerangka Teori


Sumber : (Laszuarni, 2010)

34
P. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu acuan sistem tertentu, prinsip dasar,

konsep atau nilai yang lazimnya merupakan ciri khas suatu

kelompok.Konsep adalah rencana, sketsa pikiran yang diutarakan dengan

sederet kata-kata mengenai suatu hal secara jelas mengutarakan peristiwa

yang diverivikasi.Konsep ini adalah meggambarkan dengan deretan kata-

kata dengan eksistensi dari suatu fenomena social dengan ciri-cirinya

yang karakteristik. (Notoatmodjo, 2010). Kerangka konsep dapat

diartikan suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep

yang lain atau variabel-variabel dari masalah yang ingin diteliti.

Variabel Bebas (Independen) Variabel Terikat

Pekerjaan

Usia Pterigium

Jenis Kelamin

Q. Hipotesis
35
Ha 1 : Ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian pterigium di RS

Mata Lampung Eye Center Tahun 2020

Ho 1 : Tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan pterigium di RS Mata

Lampung eye Center Tahun 2020

Ha 2 : Ada Hubungan antara Usia dengan kejadian pterigium di RS Mata

Lampung Eye Center Tahun 2020

Ho 2 : Tidak Ada hubungan antara usia dengan kejadian pterigium di RS

Mata Lampung Eye Center Tahun 2020

Ha 3 : Ada hubungan antara Jenis Kelamin dengan kejadian pterigium di

RS Mata Lampung Eye Center Tahun 2020

Ha 3 : Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian

pterigium di RS Mata Lampung Eye center Tahun 2020

36
BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang peneliti pakai adalah penelitian kuantitatif.

Penelitian kuantitatif merupakan salah satu jenis kegiatan penelitian yang

spesifikasinya adalah sistematis, terencana, dan terstruktur dengan jelas

sejak awal hingga pembuatan desain penelitian, baik tentang tujuan

penelitian, subjek penelitian, objek penelitian, sampel data, sumber data,

maupun metodologinya (mulai pengumpulan data hingga analisis data).

B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian akan dilakukan pada Desember 2020 di Poliklinik RS

Mata Lampung Eye Center.

C. RANCANGAN PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian desain penelitian yang digunakan

adalah analitik, dimana penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan

antar variable dan menjelaskan hubungan yang ditemukan (Nursalam,

2013).Pendekatan yang digunakan adalah cross sectional, dimana peneliti

melakukan observasi atau pengukuran variabel sesaat.Artinya subyek

diobservasi satu kali saja.Dan pengukuran variabel independen dan

variabel dependent dilakukan pada saat pemeriksaan atau pengkajian data

(Nursalam, 2013).

37
D. SUBJEK PENELITIAN

1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien Pterigium yang

berkunjung ke Poliklinik Mata RS Mata Lampung Eye Center Pada

bulan Januari – Desember 2019 yang berjumlah 130 orang.

2. Sampel

Sampel merupakan sebagian dari populasi yang digunakan dalam

penelitian dan dianggap bias mewakili dari seluruh populasi yang

diteliti (Nursalam, 2013).

a) Besar Sampel

Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah total

populasi, sehingga besar sampel yang digunakan 130 orang.

b) Kriteria Sampel

Kriteria responden sebagai berikut :

1) Kriteria Inklusi

(a) Penderita pterigium dan bukan pterigium, dibuktikan

dengan diagnose dokter yang tertulis di rekam medis

(b) Berusia > 30 tahun

2) Kriteria ekslusi

Pasien menderita trauma mata dan ulkus.

38
3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan

teknik purposive sampling. Teknik ini dilakukan dengan

mengambil responden berdasarkan pada tujuan nya, dengan kriteria

sampel yang sudah diketahui. (Arikunto, 2010).

E. VARIABEL PENELITIAN

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran

yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep

pengertian tertentu (Riyanto, 2015). Dalam penelitian ini peneliti

menggunakan variabel:

1. Variabel Terikat (Dependen)

Variabel terikat adalah variabel yang dapat dipengaruhi.Variabel

dependen dalam penelitian ini adalah Kejadian Pterigium.

2. Variabel Bebas (Independen)

Variabel terikat adalah variabel yang dapat mempengaruhi.

Variabel independen dalam penelitian ini adalahPekerjaan, Usia,

dan Jenis Kelamin.

39
F. DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 3.1
Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Hasil Ukur Skala
Ukur
Dependen

Pterigium Penyakit mata yang Rekam Melihat 1 = pterigium Ordinal


telah didiagnosis oleh medik rekam 0 = tidak pterigium
dokter mata medik

Independen
Pekerjaan Kegiatan sehari-hari Rekam Melihat 1 = Outdoor Ordinal
penduduk untuk medic rekam 0 = Indoor
memenuhi kebutuhan medik
hidup

Usia Usia responden yang Rekam Melihat 1 = > 30 tahun Ordinal


dihitung sejak lahir medic rekam 0 = ≤ 30 tahun
hingga ulang tahun medic
terakhir

Jenis Kelamin Status jenis kelamin Rekam Mengisi 1 = laki-laki Nominal


seseorang medic rekam 0 = perempuan
medic

40
G. INSTRUMEN PENELITIAN

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar

ceklis yang digunakan untuk pekerjaan, usia dan jenis kelamin dan

diagnosa pterigium atau bukan pterigium yang telah ditegakkan oleh

dokter spesialis mata di RS Mata Lampung eye Cecnter. Pentingnya

instrument penelitian ini sebagai alat pengumpul data adalah untuk

memperoleh suatu data yang sesuai dengan tujuan penelitian tersebut.

H. PENGUMPULAN DATA

1. Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini berupa data kuantitatif yang meliputi

pekerjaan, usia dan jenis kelamin.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari hasil pencatatan dan pelaporan di rekam

medis RS Mata Lampung Eye Center yang meliputi data jumlah

pasien pterigium, usia pasien dan pekerjaan pasien yang tertulis secara

lengkap, gambaran umum lokasi penelitian dan data demografi.

I. CARA PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data dilakukan dengan cara :

1. Peneliti Meminta Surat Pendahuluan untuk melakukan

penelitian prasurvey ke dosen bagian Administrasi UAP

Pringsewu Lampung.
41
2. Peneliti mengurus Surat Izin Penelitian yang dibuat oleh

Institusi Penelitian dan di ajukan ke HRD RS Mata Lampung

Eye Center Bandar Lampung untuk dibuat surat izin

dilakukannya penelitian.

3. Setelah diizinkan, peneliti meminta data remaja dari data RS

Mata Lampung Eye Center Bandar Lampung

4. Penelitian menentukan sampel penelitian sesuai besar sampel

yaitu 130 dari 130 populasi. Penentuan sampel melalui metode

lotre.

5. Peneliti menggunakan pendamping (Enumerator) yang akan

membantu dalam penelitian.

6. Pendamping akan dilakukan orientasi terlebih dahulu dengan

menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kemudian dijelaskan

pula cara melakukan penelitian dengan melihat rekam medis

dan cara pengisian kuisioner.

7. Peneliti mengecek kelengkapan jawaban lembar ceklis yang

diisi berdasarkan rekam medis.

8. Peneliti Mengelola data yang didapat dari lembar ceklis.

42
J. PENGOLAHAN DATA

Pengolahan data dilakukan dengan cara EDP (electronic data processing)

dengan bantuan komputer menggunakan sofware dengan program SPSS

(Statistical Product And Service Solution). Dimana data yang telah

terkumpul kemudian dilakukan pengolahan dengan langkah-langkah

sebagai berikut :

1. Editing

Merupakan tahapan melakukan pengecekan formulir atau kuesioner seperti

kelengkapan pengisian, konsistensi jawaban dari setiap lembar kuesioner

di dalam penelitian.

2. Coding

Merupakan kegiatan mengubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk angka/bilangan. Kegunaan coding untuk mempermudah pada

saat analisis data dan mempercepat pada saat entri data. Pemberian kode

untuk setiap kelompok pertanyaan dalam format kuesioner yang dilakukan

peneliti yaitu untuk kuesioner variabel Pterigium diberi 0 : Pterigium 1 :

tidak pterigium. Untuk variabel Pekerjaan diberi 0 apabila indoor, dan

kode 1 apabila outdoor. Untuk variabel usia diberi kode 0 jika < 30 tahun

dan 1 jika > 30 tahun. Untuk Variabel Jenis Kelamin diberi kode 0 jika

perempuan dan 1 jika laki-laki.

3. Processing

Setelah data melewati tahap coding, maka langkah selanjutnya adalah

memproses data agar dapat dianalisis. Pemprosesan data dilakukan dengan

cara mengentri data kuesioner ke paket komputer.


43
4. Cleaning

Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry apakah

ada kesalahan atau tidak.

K. ANALISA DATA

1) Analisa Univariat

Analisa univariat hanya terdiri dari satu variabel. Analisis yang

paling sederhana karena ditujukan mengetahui distribusi frekuensi

data dari variabel yang diteliti. (Dahlan, 2015). Analisa univariat

digunakan untuk melakukan analisis pekerjaan, usia dan jenis

kelamin.

2) Analisa Bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara

variable pekerjaan dan kejadian pterigium, variabel usia dan kejadian

pterigium, serta variabel jenis kelamin dan pterigium. Dalam

penelitian ini analisa data dengan bantuan program computer. Uji

statistik yang digunakan adalah menggunakan uji Kai Kuadrat (Chi

Square).

44
45
DAFTAR PUSTAKA

Anindya, Putu Agrasidi, dkk. (2018). Karakteristik penderita pterigium di Desa


Tianyar Karangasem Tahun 2015: jurnal. (https://ojs.unud.ac.id) dibuka
pada tanggal 20-09-2020 pukul 16.33 WIB

Ardianty, D. P. (2018). Hubungan faktor risiko dengan kejadian pterygium di


poliklinik mata Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum
Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara tahun 2015. AVERROUS: Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh, 2(1), 64-78.

Badan Pusat Statistika. (2015), Angka Partisipasi Murni Bidang


Pendidikan Provinsi Lampung
(https://provinsi Lampungbps.go.id/subject/28/pendidikan.html)

Banlitbangkes .(2019). Riset Kesehatan Dasar, Jakarta: Kemenkes RI.

Dahlan, Sopiyudin. (2015). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan,


Deskriptif, bivariate dan multivariate dilengkapi aplikasi
menggunakan SPSS, Yogyakarta : Epidemiologi Indonesia.

Depkes RI, (2019) Riset Kesehatan Dasar Provinsi Provinsi lampung Tahun
20019.Jakarta

Dora Pona Ardianty, dkk. (2015). Hubungan Faktor risiko dengan kejadian
pterigium di poliklinik mata badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit
Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara Tahun 2015 : jurnal. Dibuka
pada tanggal 20-09-2020 pukul 10.59 WIB

Eka Naryati, Luh Putu. (2016). Prevalensi dan Hubungan Faktor Risiko dengan
Kejadian Pterigium Pada Penduduk Usia 50 Tahun Ke Atas di Bali.
(https://sinta.unud.ac.id) dibuka pada tanggal 20-09-2020 pukul 17.00
WIB

Eva dan Whitcher. (2015). Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC

Ilyas, S. (2010). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Fakultas Kedokteran


UniversitasIndonesia.

Ilham, Darul. (2016). Hubungan faktor risiko dengan terjadinya pterigium pada
pasien yang berobat di poli klinik mata RSUDZA Banda Aceh 2016 :
jurnal. (https://etd.unisyah.ac.id) dibuka pada tanggal 20-09-2020 pukul
16.23 WIB

45
46

Lazuardi.(2009). Prevalensi pterigium di Kabupaten Langka.Tesis.Fakultas


Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Lu, J et al. (2009). Pterigyum in an aged Mongolion Population, a population


Based Study In China. NPG 23:421

Lu, et al. (2009).Prevalence and risk factor of pterigyum international junal


of ophthalmology. 2 (2) : 82 – 85

Muchtar, Helmi dkk. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Pterigium Pada Pasien Yang Berobat di RSUD DR. H Abdoel Moeloek
Provinsi Lampung Tahun 2013-2014. (https://ejurnalmalahayati.ac.id)
dibuka pada tanggal 20-09-2020 pukul 15.49 WIB

Nursalam.(2013). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan.Jakarta :


Sagung Seto

Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI).(2006). Dalam


Panduan Manajemen Klinik Perdami.Jakarta : CV Ondo

Potter A. Patricia & Anne, G. Perry.(2005). Buku Ajar Fundamental


Keperawatan.Jakarta :EGC

Putz & Pabst. (2007). Atlas Anatomi Manusia. Jakarta: EGC.

Riyanto, Agus. (2011). Aplikasi Metodologi Penelitian.Jakarta : EGC.

Sastroasmoro S. & Ismail S. (2002).Dasar-Dasar Metodologi Penelitian


Klinik.Jakarta :Sagung Seto

Sugiyono. (2007). Statistika untuk penelitian. Bandung : Alfabeta

Syuhada, R., & Rafie, R. (2019). THE RELATIONSHIP OF AGE AND


OCCUPATION ON THE INCIDENCE OF KERATITIS AND
CORNEAL ULCERS IN PATIENTS VISITING AT HOSPITAL DR. H.
ABDOEL MOELOEK LAMPUNG PROVINCE IN 2018-2019. Jurnal
Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, 2(3).
47

Anda mungkin juga menyukai