Anda di halaman 1dari 9

PNEUMONIA ASPIRASI

A. Pendahuluan

Gangguan pada sistem respirasi merupakan keluhan yang sering dialami seseorang
saat berobat ke dokter. Salah satu contoh penyakit yang dapat dijumpai adalah penyakit
parenkimal atau penyakit yang menyerang sel-sel parenkim paru seperti pada penyakit
pneumonia. Pada perkembangannya pengelolaan pneumonia telah dikelompokkan
menjadi pneumonia di rumah perawatan/rumah sakit (Pneumonia Nosokomial/PN) dan
pneumonia yang didapat di masyarakat (Pneumonia Komunitas/PK). Namun di samping
kedua klasifikasi utama tersebut terdapat pula pneumonia bentuk khusus yang masih
sering dijumpai, salah satunya adalah pneumonia aspirasi. Pneumonia bentuk khusus ini
dapat memberikan gambaran klinis yang berbeda dari pneumonia bakteri akut dan dapat
terjadi baik di komunitas maupun di rumah sakit. Hal tersebut disebabkan karena proses
patofisiologinya yang berbeda dari pneumonia bakteri akut. Pneumonia aspirasi
merupakan pneumonia yang terjadi pada pasien yang imunokompromais. [1]

Aspirasi didefinisikan sebagai inhalasi bahan asing ke dalam saluran udara. Isi dari
aspirasi adalah bervariasi dan dapat terdiri dari hasil sekresi, darah, bakteri, cairan dan
partikel makanan. Aspirasi dapat terjadi secara simptomatis maupun asimptomatis
(silent). Selain itu, aspirasi bisa melibatkan episode mikro-aspirasi yang jarang
menyebabkan gejala akut berulang. Aspirasi berbeda dari regurgitasi dimana refluks isi
lambung ke dalam orofaring atau esofagus tidak disertai dengan masuknya refluks
tersebut ke dalam paru. Peristiwa aspirasi dapat dikategorikan sebagai aspirasi
pneumonitis (pneumonitis kimia) atau pneumonia aspirasi (proses infeksi sekunder
akibat aspirasi), meskipun perbedaan antara dua proses ini bisa sangat sulit. Aspirasi
adalah kejadian dimana bahan yang ada di orofaring masuk ke dalam saluran nafas
bawah pada saat respirasi sehingga dapat menyebabkan rusaknya parenkim paru,
tergantung pada jumlah dan jenis bahan yang masuk dan daya tahan tubuh seseorang.
Sindrom aspirasi dikenal dalam berbagai bentuk berdasarkan etiologi dan patofisiologi
serta terapi yang berbeda. [1,2]
Pneumonia aspirasi merupakan varian dari kedua pneumonia baik yang diperoleh
di komunitas maupun di tempat pelayanan kesehatan yang terjadi terutama pada pasien
yang lebih tua dengan riwayat kesulitan menelan. Definisi yang diterima secara umum
adalah pneumonia akibat infeksi pada pasien dengan faktor predisposisi yaitu aspirasi,
seperti pada mereka yang telah mengalami stroke atau yang memiliki multiple sclerosis
yang mempengaruhi fungsi bulbar. Pneumonia terjadi setelah menghirup sekresi
orofaringeal atau lambung berisi kolonisasi bakteri patogen ke dalam laring dan saluran
pernapasan bagian bawah. Pneumonia aspirasi ini harus dibedakan dari pneumonitis
aspirasi yang berkembang lebih cepat, yang biasanya terjadi sebagai akibat dari cedera
kimia dari aspirasi isi lambung yang steril. Pneumonia yang sering ditemukan biasanya
melibatkan aspirasi dari organisme patogen seperti Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae, yang berkolonisasi di orofaring bersama dengan bakteri
anaerob. Kebanyakan pasien sembuh tanpa meminum spesifik antibiotik anti-anaerob
seperti metronidazole. [3]

B. Epidemiologi

Pneumonia aspirasi lebih sering dijumpai pada pria dibandingkan dengan wanita
terutama pada usia anak atau lansia. Di Amerika Serikat, pneumonia aspirasi yang terjadi
di komunitas (PAK) sebesar 10%, di pusat perawatan kesehatan (PPK) sebesar 30%, dan
pneumonia aspirasi nosokomial (PAN) sebesar 800 pasien per 100.000 pasien rawat inap
per tahun. Pasien yang mengalami pneumonia aspirasi di fasilitas kesehatan lebih banyak
dibandingkan pneumonia komunitas yaitu sekitar tiga kali lebih banyak, sehingga angka
mortalitasnya pun berbeda yaitu sekitar 28,4% untuk pneumonia aspirasi di fasilitas
kesehatan dan sekitar 19,4% untuk pneumonia aspirasi komunitas. [1]

Insiden dan prevalensi pneumonia aspirasi di masyarakat sulit untuk didefinisikan.


Hal tersebut meningkatkan dalam hubungannya langsung dengan usia dan penyakit yang
mendasarinya. Dari sebuah penelitian, sebagian besar pasien rumah sakit karena
pneumonia adalah pasien lanjut usia yang berusia 70 tahun atau lebih tua. Rasio
pneumonia aspirasi total meningkat dengan bertambahnya usia. 306 dari 382 pasien
pneumonia yang berusia 70 tahun dan lebih tua (80,1%) didiagnosis dengan pneumonia
aspirasi. Dalam studi tersebut, kejadian pneumonia aspirasi secara keseluruhan di rumah
sakit yang merupakan pneumonia aspirasi komunitas (PAK) adalah sebanyak 60,1%
(264/439 kasus). Oleh karena pasien yang dirawat di rumah sakit dan panti jompo
semakin bertambah tua, kejadian pneumonia aspirasi mungkin cukup tinggi, yang
sebelumnya tidak pernah diharapkan.[4]

C. Etiologi

Kejadian aspirasi umumnya lebih sering dijumpai pada anak-anak dengan faktor
risiko klinis yang kuat untuk terjadinya aspirasi tersebut, sehingga diagnosis pneumonia
aspirasi biasanya lebih mudah. Bayi yang mengalami asfiksia atau penyebab lain dari
gangguan neurologis sering mengalami kesulitan makan dan memungkinkan terjadinya
aspirasi dari makanan yang dimakan atau salivanya. Pada kasus ini, penggunaan tube
atau selang gastrostomi untuk memberikan makanan dapat mengurangi risiko aspirasi isi
lambung tetapi tidak untuk aspirasi yang masuk melalui mulut. Anak yang lebih tua
dapat mengembangkan pneumonia aspirasi akibat alkohol atau penggunaan narkoba atau
dari gangguan neuromuskuler primer seperti distrofi otot atau myasthenia gravis, atau
penyakit metabolik umum termasuk gangguan mitokondria. [5]

Secara endogen, kuman orofaring yang polimikrobial yang dapat menyebabkan


terjadinya infeksi pada kasus pneumonia aspirasi. Jenis kuman yang menginfeksi
tergantung pada lokasi tempat terjadinya yaitu di komunitas atau di rumah sakit.
Penyebab infeksi pada pneumonia aspirasi di komunitas diduga sama dengan penyebab
infeksi pada pneumonia komunitas (PK) dan pneumonia pada pusat perawatan kesehatan
(PPK) yaitu S. pneumonia, S. aureus, H. influenza dan Enterobacteriace yang merupakan
penyebab tersering yang ditemukan. Sedangkan pneumonia aspirasi nosokomia sering
disebabkan oleh P. aeruginosa maupun bakteri gram negative lainnya. Bakteri anaerob
umumnya tidak berperan banyak kecuali pada kasus dengan periodontitis yang berat dan
sputum yang berbau lebih mengarah kepada bakteri anaerob seperti Peptostreptococcus,
Bacteroides, Fusobacterium dan Prevotella. [1]

D. Pathogenesis

Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia aspirasi adalah


adanya peningkatan risiko aspirasi orofaring. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kondisi-
kondisi tertentu seperti:
 Penurunan kesadaran yang mengganggu proses penutupan glotis, refleks batuk
(kejang, stroke, pembiusan, intoksikasi obat, sedatif, cedera kepala, tumor otak),
misalnya pada orang lansia atau orang alkoholik
 Disfagia sekunder akibat penyakit pada esofagus atau saraf yang mempengaruhi
sistem pencernaan (striktur, Gastro Esophageal Reflux Disease/GERD, kanker
nasofaring)
 Gangguan atau penyakit neurologis, seperti: demensia, penyakit parkinson,
miastenia gravis, sklerosismultipel.
 Tindakan mekanik seperti adanya selang nasogastrik, intubasi trakea,
trakeostomi, endoskopi saluran gastrointestinal atas, bronkoskopi, selang
gastrostomi.
 Penyakit periodontal seperti periodontitis[1]

E. Diagnosis

Terdapat tiga faktor yaitu faktor pejamu, beratnya aspirasi dan kuman penyebab
infeksi, yang menentukan variasi manifestasi klinis pneumonia aspirasi dari ringan
sampai berat, baik disertai syok sepsis atau gagal nafas. Pada pemeriksaan fisik,
gambaran klinis yang dapat dijumpai pada pasien dengan pneumonia aspirasi yaitu
sputum berbau/kemerahan/kehijauan serta dari anamnesis aspirasi diduga pasien
mempunyai faktor resiko (tabel 1) pneumonia aspirasi bakteri. Selain itu dapat
ditemukan gejala lain seperti gangguan menelan yang dapat diketahui antara lain bila
pasien mengeluarkan cairan atau makanan melalui hidung, terdapat sisa makanan di
mulut setelah menelan, dirasakan nyeri saat menelan makanan, rasa sesuatu yang
menyangkut di tenggrokan, batuk atau tersedak saat makan atau minum, terdapat bunyi
yang terdengar setelah menelan. [1]
Risk Factors for Aspiration-Induced Lung Injury

a. Depressed level of consciousness


Sedation
Alcohol intoxication
Traumatic brain injury
Encephalopathy
Seizure disorder
b. Impaired /depressed gag reflex
Presence of naso-gastric or endotracheal
intubation
Bulbar paralysis
c. GI disorders
Esophageal motility disorders
Gastro-esophageal reflux
Gastroparesis
Bowel obstruction/ileus
d. Drugs
Anticholinergics
Adrenergic agents
Nitrates
Phosphodiesterase inhibitors
Calcium channel blockers
e. Others
Obesity
Labor

Tabel 1: Faktor resiko infeksi paru akibat aspirasi [2]

Diagnosis pneumonia aspirasi biasanya dapat ditegakkan dengan melihat bahwa


pasien mengalami leukositosis persisten, demam, dan infiltrat selama 48 jam setelah
kejadian aspirasinya. Selain itu, identifikasi bakteri patogen dalam jumlah yang
signifikan, biasanya merupakan konfirmasi untuk diagnosis pneumonia aspirasi. [2]

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu foto toraks. Foto toraks dapat
menunjukkan infiltrat akibat aspirasi di dalam paru, namun lokasi infiltrat tergantung
dari posisi pasien tersebut saat mengalami aspirasi. Sebagai contoh pasien mengalami
aspirasi saat posisi pasien rebah ke kiri sehingga infiltrat kemungkinan ada di paru
sebelah kiri, atau posisi pasien saat itu berdiri atau duduk maka infiltrat dapat masuk ke
kedua sisi paru (bilateral). Lokasi tersering ditemukannya infiltrat adalah lobus tengah
paru sebelah kanan. Pemeriksaan penunjang lain dapat disesuaikan dengan kondisi
pasien atau penyebabnya, terutama untuk pasien yang mengalami komplikasi. [1]
Tabel 2: manifestasi klinis pneumonia aspirasi (pada lansia) [4]

Pneumonia aspirasi dapat terjadi pada siapa saja, bahkan pada bayi yang
keadaannya tampak normal. Aspirasi selama atau segera setelah makan paling sering
disebabkan oleh adanya gastroesophageal reflux. Dengan demikian, terjadinya
pneumonia aspirasi pada bayi harus dievaluasi dan diagnostik dengan tepat sehingga
terapi antibiotik yang diberikan juga tepat. Demikian pula, bayi dengan pneumonia
berulang mungkin mengalami aspirasi meskipun tidak terdapat kesulitan makan yang
jelas dan harus menjalani evaluasi struktural dengan tepat. Pneumonia aspirasi juga
merupakan komplikasi umum dari status epileptikus ataupun cedera neurologis pasca
trauma, dan dapat dilihat juga sebagai komplikasi dari anestesi umum, terutama setelah
terjadinya prosedur darurat. Gambaran radiologis pada pneumonia aspirasi biasanya
menunjukkan adanya konsolidasi atau pemadatan di paru, yang diduga terjadi karena
bahwa bayi dan anak-anak mungkin terlentang pada saat aspirasi. Penyakit selaput pleura
sering terlihat pada saat evaluasi awal, karena interval antara acara aspiratif dan
presentasi dengan pneumonia biasanya singkat. Sebuah benda asing radiopak kadang-
kadang terlihat pada rontgen dada dan dapat diambil dengan teknik bronkoskopi cepat. [5]

F. Tatalaksana

Penatalaksanaan pada pneumonia aspirasi mirip dengan tatalaksana pada


pneumonia komunitas (PK) dan pneumonia nosokomial (PN). Beberapa terapi yang
dapat dilakukan adalah pemberian antibiotika. Pemberian antibiotik harus
dipertimbangkan dengan melihat kemungkinan jenis bakteri, beratnya penyakit, faktor
resiko pasien (malnutrisi, penyakit komorbid), faktor intervensi sebelumnya (riwayat
penggunaan antibiotik, kortikosteroid, kemoterapi maupun intubasi), serta lamanya
perawatan yang akan diberikan. Pilihan antibiotika yang dapat diberikan yaitu
siprofloksasin, levofloksasin, aminoglikosida dengan penisilin anti pseudomonas,
meropenem dan vankomisin. [1]

Pada pneumonia aspirasi komunitas (PAK) terapi empirik haruslah mencakup


patogen anaerob, sedangkan pada PAK berat atau PAN (Pneumonia Aspirasi
Nosokomial) harus mencakup spektrum luas mencakup patogen Gram negatif dan
MRSA sampai didapat hasil kultur sputum. Antibiotika yang dianjurkan pada suspek
adanya kuman anaerob adalah pemberian Beta laktam/Beta laktamase inhibitor
(piperacillin tazobactam atau imipenem/cilastatin) atau meropenem dan vancomycin.
Pada pasien dengan dahak purulen tambahkan clindamycin dan carbapenem. Pemberian
antibiotik perlu diteruskan hingga kondisi pasien baik, gambaran radiologis bersih atau
stabil selama dua minggu, dengan total selama 3-6 minggu, tidak terdapat patokan pasti
lamanya terapi. Pemberian kortikosteroid diberikan sebagai obat tambahan bila terdapat
bronkokonstriksi reaktif. [1]

Pilihan antibiotik untuk terapu dapat bervariasi. Sangat tepat untuk memulai
dengan antibiotik spektrum luas dengan aktivitas terhadap bakteri gram negatif.
Penggunaan rutin antibiotik dengan cakupan anaerobik tidak diperlukan kecuali bila ada
bukti penyakit berat periodontal, necrotizing pneumonia, abses paru atau divisualisasikan
dalam CT scan. Durasi pemberian antibiotik yang direkomendasikan harus didasarkan
pada respon klinis pasien terhadap antibiotik dan dapat diperpanjang 3-13 hari. [2]

Terapi pneumonia aspirasi pada anak tergantung pada usia anak dan status klinis
secara keseluruhan. Neonatus biasanya diberikan ampisilin dan gentamisin untuk
mengobati patogen neonatal konvensional, namun hal tersebut tidak dilakukan karena
bayi biasanya tidak diserang oleh bakteri anaerob sampai pergantian gigi primer.
Kolonisasi normal flora di orofaring akibat patogen resisten ampisilin berkapsul seperti
H. influenzae dan Moraxella catarrhalis atau bakteri anaerob β-laktamase lainnya,
menjadi indikai atau alasan untuk mengobati bayi yang berusia lebih tua dan balita
dengan regimen resisten β-laktamase seperti ampisilin sulbaktam atau kombinasi
metronidazole dengan ceftriaxone atau cefuroxime. Penyakit pada anak yang terjadi
secara kronik dapat peningkatan risiko kolonisasi oleh Enterobacteriaceae. Pada anak
yang lebih tua, ampicillin-sulbaktam atau klindamisin (pada pasien-alergi β-laktam)
dapat dipertimbangkan untuk pengobatan infeksi serius, sedangkan penisilin atau
ampisilin digunakan untuk episode yang lebih ringan. Respon terapi yang buruk terhadap
terapi antibiotik awal mungkin merupakan hasil dari cakupan antibiotik yang tidak
memadai atau adanya sebuah benda asing endobronkial yang menghalangi. Benda asing
yang teraspirasi sangat umum pada balita dan anak-anak prasekolah yang sering
menempatkan benda-benda kecil di mulut mereka. Bronkoskopi diindikasikan pada
anak-anak yang merespon buruk terhadap terapi atau justru mengalami empiema untuk
mengeksklusi adanya benda asing serta untuk memperoleh spesimen endotrakeal yang
cocok untuk kultur bakteri, dan untuk meningkatkan drainase bronkial. [5]

G. Prognosis

Prognosis PAK dan PAN tergantung pada penyakit yang mendasarinya, komplikasi
yang telah terjadi, serta status pasien. Angka mortalitas PAK mirip dengan PK yaitu
sebesar 25% untuk PAK rawat inap. Pada pasien pneumonia aspirasi yang berusia tua,
sering disertai dengan ARDS dengan mortalitas sebesar 30-62%, dan sindroma
Mendelson berat tingkat mortalitasnya mencapai 70%.[1]

F. Penutup

Gangguan pada sistem respirasi merupakan keluhan yang sering dialami seseorang
saat berobat ke dokter. Salah satu contoh penyakit yang dapat dijumpai adalah penyakit
parenkimal atau penyakit yang menyerang sel-sel parenkim paru seperti pada penyakit
pneumonia. Terdapat pneumonia bentuk khusus yang masih sering dijumpai, salah satunya
adalah pneumonia aspirasi. Aspirasi adalah kejadian dimana bahan yang ada di orofaring
masuk ke dalam saluran nafas bawah pada saat respirasi sehingga dapat menyebabkan
rusaknya parenkim paru. Tatalaksana utama yang penting dalam pneumonia ini adalah
mengobati penyakit dasarnya terlebih dahulu dengan pemberian antibiotik. Selain itu dapat
diberikan juga beberapa terapi suportif. Prognosis dari pneumonia ini tergantung kepada
etiologi dan penanganan terhadap penyakit yang mendasarinya
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid II. Jakarta: Interna Publishing; 2014.

2. Raghavendran K, Nemzek J, Napolitano LM, Knight PR. Aspiration-induced lung


injury. Crit Care Med [Internet]. 2011 Apr [cited 2015 May 3];39(4):818–26.
Available
from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3102154&tool=pmc
entrez&rendertype=abstract
3. Kwong JC, Howden BP, Charles PGP. New aspirations: the debate on aspiration
pneumonia treatment guidelines. Med J Aust [Internet]. 2011 Oct 3 [cited 2015 May
26];195(7):380–1. Available
from: http://www.mja.com.au/public/issues/195_07_031011/kwo10298_fm.html
4. Teramoto S. Clinical Significance of Aspiration Pneumonia and Diffuse Aspiration
Bronchiolitis in the Elderly. J Gerontol Geriatr Res [Internet]. 2013 [cited 2015 May
26];03(01). Available from: http://www.omicsgroup.org/journals/clinical-
significance-of-aspiration-pneumonia-and-diffuse-aspiration-bronchiolitis-in-the-
elderly-2167-7182.1000142.php?aid=22336
5. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI. Fishman's
Pulmonary Diseases and Disorders. 4th edition. New York: The McGraw-Hill
Companies; 2008.

Anda mungkin juga menyukai