DISUSUN OLEH
KELOMPOK 14
TUTOR : dr. Asrini Safitri, M.Kes, Sp.GK
Farhah Ayunizar Ramadani (11020170047)
Fitrah Putra Irwan (11020170050)
Muh. Rifky Mappalawa (11020170054)
Nurafni (11020170065)
Andi Muhammad Nasywan Akbar Amin (11020170106)
Vania Almira (11020170121)
Muhammad Arief Wahyu Adama (11020170126)
Nurul Fatimah (11020160132)
Nur Saskiah (11020170140)
Nurul Azizah An’naajiyyah (11020170148)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya sehingga laporan tutorial ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Aamiin.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan tutorial ini,
karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan
guna memacu kami menciptakan karya-karya yang lebih bagus.
Akhir kata, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan karya tulis ini, terutama
kepada:
1. dr. Asrini Safitri, M.Kes, Sp.GK selaku tutor
Kelompok 14
SKENARIO 1
1. Jatuh : suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang melihat
kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di
lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan ke sadaran atau
luka.
2. Rematik : kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat dan
berhubungan dengan usia lanjut,ditandai dengan nyeri, deformitas,
pembesaran sendi, dan hambatan gerak pada sendi-sendi tangan dan sendi
besar yang menanggung beban.
KALIMAT KUNCI
1. Perempuan umur 72 keluhan nyeri pada pangkal paha dan nyeri apabila
digerakkan sehingga tidak bisa berjalan
2. Keluhan sudah dirasakan sejak 3 hari yang lalu setelah jatuh terduduk karena
terpeleset di depan kamar mandi
3. Seminggu sebelum jatuh pasien mengalami batuk-batuk tapi tidak demam dan
sulit mengeluarkan lender
4. Postur penderita 4 tahun terakhir bungkuk ke depan, berjalan agak pincang
karena mengeluh lutut sakit dan bengkak
5. Nafsu makan menurun sejak 2 minggu terakhir
6. Riwayat stroke 2 tahun lalu
7. Menderita kencing manis, dan konsumsi Glibenklamide 5 mg teratur sejak 5
tahun yang lalu
8. Riwayat TD tinggi tapi berobat tidak teratur dan rematik
9. Pemeriksaan fisik:
a. TD : 180/90 mmHg
b. N: 90 x/menit
c. P: 30 x/menit
d. S: 37,1°C.
10. Auskultasi Paru: Terdengar bunyi ronkhi basah kasar di seluruh lapangan
kedua paru.
11. Pemeriksaan penunjang pemeriksaan Lab didapatkan:
a. Kadar Hb 10,1 gr%
b. Leukosit 15.700/mm3
c. GD puasa 138 mg/dl
d. GD2jamPP 245 mg/dl
e. Ureum 58 mg/dL
f. Kreatinin 1,5 mg/dL
g. Protein total 5,0 gr/dL
h. Albumin 2,6 gr/dL
i. Asam urat 8,5 mg/dL.
12. Kedua dorsum pedis terlihat edema
13. BB: 39 kg & TB: 165 cm.
14. Foto thorax: tampak perselubungan homogen pada medial paru
PERTANYAAN
1. Apa yang dapat terjadi sehingga timbul nyeri pada pangkal paha setelah
terjatuh ?
2. Bagaimanakah hubungan antara rematik dengan berjalan pincang?
3. Apa yang menyebabkan penderita batuk dan bagaimana hubungannya dengan
jatuh?
4. Bagaimanakah hubungan antara penggunaan obat Glibenklamide secara
teratur dengan keluhan jatuh pasien?
5. Bagaimana pemeriksaan yang dapat dilakukan sesuai dengan keluhan yang
dialami pasien?
6. Apa faktor intrinsik dan ekstrinsik yang menyebabkan pasien jatuh?
7. Apakah penyebab nafsu makan menurun berdasarkan skenario?
8. Jelaskan mengenai Teori Penuaan!
9. Bagaimana penanganan dan pencegahan berdasarkan skenario?
10. Apa komplikasi yang dapat terjadi apabila pasien tidak segera diberi
tindakan?
11. Jelaskan perspektif Islam berdasarkan skenario!
DAFTAR MASALAH
1. Nyeri
2. Terdapat fraktur di hip joint
3. Pneumonia
4. Osteoarthritis
5. Diabetes melitus
6. Hipertensi grade II (JNC VII)
7. Chronic Kidney Disease
8. Osteoporosis: Kifosis
9. Anemia
10. Malnutrisi
SKALA PRIORITAS
1. Nyeri
2. Fraktur
3. Pneumonia
4. Chronic Kidney Disease
5. Hipertensi grade II
6. Diabetes Melitus
7. Malnutrisi
8. Anemia
9. Osteoarthritis
10. Osteoporosis
1. Nyeri
Farmakologi
Keluhan utama pasien pada skenario adalah nyeri yang dirasakan sejak 3
hari yang lalu setelah jatuh terduduk. Sebagai penanganan awal kita memberikan
analgetik kepada pasien untuk mengatasi nyeri pasien.
Non Farmakologi
Pentingnya upaya penurunan nyeri dengan melakukan tindakan
nonfarmakologi yaitu teknik relaksasi merupakan tindakan yang dilakukan untuk
mengurangi nyeri. Teknik relaksasi nafas dalam adalah teknik melakukan nafas
lambat dan menghembuskan nafas dalam secara perlahan, kemudian pasien dapat
memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang
konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama
setiap inhalasi (“hirup, dua, tiga”) dan ekshalasi (hembuskan, dua, tiga). Relaksasi
secara umum sebagai metode yang paling efektif terutama pada pasien yang
mengalami nyeri.
Referensi:
1) Dahlan Z. Pneumonia. Buku Ajar Ilmu penyakit dalam Jilid II edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing. Hlm 1620. 2014
2) Boedhi, Darmojo, R. 2015. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut)
edisi ke-5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. H 191-193
3) Satriana, Viola. 2016. Upaya penurunan nyeri pada pasien fraktur Rs.
Soeharto. Universitas Muhammadiyah surakarta. Hal 4
2. Fraktur
Berdasarkan skenario, dicurigai bahwa pasien perempuan berusia 74 tahun
mengalami fraktur collum femur ditandai adanya nyeri pada pangkal paha
sebelah kanan dan sangat nyeri bila digerakkan sehingga tidak dapat berjalan.
a) Penanganan Awal :
Harus berupa imobilisasi ditempat tidur.
b) Pemeriksaan Radiologi :
1) X-ray
Diperlukan proyeksi anteroposterior dan lateral, kadang-kadang
diperlukan proyeksi axial. Pada pasien yang diduga kuat mengalami
fraktur collum femoris, tetapi pada foto x-ray hasilnya negatif, maka
proyeksi AP dengan rotasi interna memberikan gambaran yang lebih baik
2) MRI
Jika dengan foto x-ray didapatkan hasil negatif dan pasien diduga kuat
mengalami fraktur panggul, MRI dan bone scan memiliki sensitifitas
tinggi dalam mengidentifikasi trauma tersembunyi. MRI 100% sensitif
pada pasien dengan hasil x-ray yang tidak jelas.
c) Medikasi
Pemberian analgetik parenteral sangat dianjurkan untuk mengurangi rasa
nyeri pada pasien. Pemberian obat relaksasi otot juga kadang-kadang diperlukan.
Mengontrol nyeri adalah penting untuk kenyamanan pasien. Analgetik yang
dapat diberikan :
1) Morfin sulfat Untuk dewasa dosis awal 0,1 mg/kg IV/IM/SC
2) Fentanil sitrat Dosis untuk dewasa 0,5-1 mcg/kgBB/dose IV/IM 30-60
menit
d) Nutrisi dan Rehabilitasi
Pada pasien lanjut usia dengan fraktur, biasanya akan didapati intake
makanan yang tidak adekuat yang dapat menyebabkan kehilangan dan kelemahan
massa otot. pemberian protein pada makanan dapat mengurangi lama waktu
rehabilitasi.
Rehabilitasi harus dilakukan secepat mungkin supaya pasien menjadi
mandiri dalam mobilitas dan fungsionalnya. Pada tahap awal dapat dilakukan
berjalan dan aktivitas sehari-hari seperti transferring, washing, dressing, toileting.
Keseimbangan dan gaya berjalan adalah komponen penting dari mobilitas dan
berguna dalam memprediksikan kemandirian fungsional.
Referensi :
Hazzard, William R., et all. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology 4nd
edition. 2010, New York, Mc Graw – Hill. Inc Health Professions Division
3. Pneumonia
Infeksi pada paru-paru
Pengobatan ISPA/pneumonia dilakukan dengan pemberian kemoterapi dan
pengobatan umum (oksigen, terapi hidrasi, dan fisioterapi). Kemoterapi
merupakan kunci utama pengobatan pneumonia. Tujuannya ialah untuk
membasmi kuman penyebab pneumonia. Pemberian kemoterapi harus
berdasarkan petunjuk penemuan kuman apa yang menjadi penyebab infeksinya
hasil kultur sputum dan tes sensitivitas kuman terhadap antbiotik). Berhubung
satu dan lain hal, misalnya: penyakit penderita sangat serius dan perlu pengobatan
segera, kuman penyebab infeksi belum dapat diketahui pasti menjelang terapi,
sehingga antibiotik pemberiannya dilakukan secara empirik. Pengobatan ini harus
didasarkan atas diagnosis mikrobiologi empirik. Dengan cara ini diagnosis yang
dibuat diharapkan dapat menunjukkan spektrum kuman penyebabnya, sehingga
AB yang tepat dan rasional dapat dipilih dan hasilnya dapat diandalkan.
Bila penyakitnya ringan atau sedang, AB diberikan secara oral, sedangkan
bila berat diberatkan parenteral. Pengobatan umunya diberikan selama 7-10 hari
pada kasus tanpa komplikasi atau AB diteruskan sampai 3 hari bebas panas.
Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan, maka harus
diingat kemungkinan penggunaan AB tertentu perlu penyesuaian dosis.
Akhir-akhir ini sudah populer CAPD di pusat ginjal dan luar negeri.
CAPD dapat digunakan sebagai terapi alternatif dialisis untuk penderita ESRD
dengan 3 - 4 kali pertukaran cairan per hari. Pertukaran cairan terakhir dilakukan
pada jam tidur sehingga cairan peritoneal dibiarkan semalam. Terapi dialisis tidak
boleh terlalu cepat pada pasien dialisis peritoneal. Indikasi dialisis peritoneal yaitu
pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang
telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung
akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan
residual urin masih cukup dan pasien nefropati diabetik disertai comorbidity dan
co-mortality.
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai untuk
pasien gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan transplantasi ginjal jauh
melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang ada dan biasanya ginjal yang cocok
dengan pasien adalah yang memiliki kaitan keluarga dengan pasien. Sehingga hal
ini membatasi transplantasi ginjal sebagai pengobatan yang dipilih oleh pasien.
Kebanyakan ginjal diperoleh dari donor hidup karena ginjal yang berasal dari
kadaver tidak sepenuhnya diterima karena adanya masalah sosial dan masalah
budaya. Karena kurangnya donor hidup sehingga pasien yang ingin melakukan
transplantasi ginjal harus melakukan operasi diluar negeri. Transplantasi ginjal
memerlukan dana dan peralatan yang mahal serta sumber daya manusia yang
memadai. Transplantasi ginjal ini juga dapat menimbulkan komplikasi akibat
pembedahan atau reaksi penolakan tubuh.
Referensi :
a. Diuretik Diuretik yang sering dipakai pada usia lanjut terutama golongan
tiazid, antagonis aldosteron. Diuretik loop suatu diuretik yang sangat kuat
diberikan apabila ada gagal jantung atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK).
Golongan diuretik non-tiazid seperti indapamid adalah turunan dari
sulfonamid, dapat mengurangi morbiditas kardiovaskular atau stroke pada
usia > 80 tahun. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah kenaikan kadar
gula darah. b. Calcium Channel Blocker ( CCB) Obat golongan Antagonis
kalsium atau Calcium Channel Blocker (CCB) telah terbukti keamanan dan
efikasinya pada pengobatan hipertensi pada usia lanjut.
b. CCB dianjurkan terutama apabila terdapat penyakit komorbid kardiovaskular.
Obat yang diberikan adalah yang memilki waktu kerja yang panjang.
Penelitian ACCOMPLISH menunjukkan bahwa penggunaan amlodipin (CCB
golongan dyhidropiridine) lebih efektif dibandingkan dengan tiazid dalam
menurunkan kejadian kardiovaskular pada pasien dengan risiko tinggi,
termasuk diabetes dan merupakan pilihan alternatif yang baik untuk
pengobatan hipertensi dengan diabetes. CCB golongan non dihydropyridine
seperti diltiazem dan verapamil tidak memilki efek inotropik maupun
kronotropik terhadap fungsi sistolik ventrikel kiri jantung bila dibandingkan
dengan CCB golongan dihydropyridine seperti amlodipin atau felodipin.
Verapamil dan Diltiazem dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada
pasien hipertensi dengan penyakit parenkim ginjal ( renal pharenchymal
disease) dan hipertensi yang resisten, namun sebaiknya dihindari
penggunaannya pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri.
c. Angiotensin Converting Enzyme – Inhibitor & Receptor Blocker
Angiotensin Converting Enzyme – Inhibitor (ACE-Inhibitor) dan Angiotensin
Receptor Blocker ( ARB ) adalah obat yang bekerja dengan menghambat
sistem renin – angiotensin. Obat ini telah terbukti mempunyai efek diluar efek
penurunan tekanan darahnya. Pada hipertensi dengan risiko kardiovaskular
yang tinggi, obat – obatan golongan ini mampu memperbaiki atau
menghambat kelainan organ target yang terjadi. Penelitian LIFE
menunjukkan penurunan angka mortalitas kardiovaskular dan insidensi stroke
pada penderita hipertensi sistolik terisolasi (HST) dengan pemberian losartan
(ARB) dibandingkan dengan atenolol ( Beta blocker). Dikarenakan memiliki
efek renoprotektif dari obat golongan ACEInhibitor dan ARB pada penderita
DM tipe 2, maka pedoman penatalaksanaan / guideline anti hipertensi terbaru
menyarankan penggunaan salah satu dari obat ini sebagai terapi inisial pada
hipertensi usia lanjut dengan diabetes mellitus. Efek samping golongan ACE-
Inhibitor yang sering terjadi adalah batuk kering yang disebabkan oleh
bradikinin, bila ini terjadi sebaiknya ACE-Inhibitor dihentikan dan diganti
dengan golongan Angiotensin Reseptor locker (ARB) seperti valsartan
ataupun losartan. JNC -8 melalui rekomendasi 9 tidak memperbolehkan
penggunaan ACE-Inhibitor dan ARB secara bersamaan pada satu paien.
d. Direct Renin Inhibitor ( DRI ) Direct Renin Inhibitor ( DRI ) merupakan
golongan obat anti hipertensi yang baru dengan efektivitas serupa dengan
ACE-Inhibitor ataupun ARB. Aliskiren adalah satu-satunya obat dari
golongan DRI yang tersedia ini dapat dikombinasikan dengan obat lain
seperti HCT, ramipril, dan amlodipin. Belum ada data yang cukup pada
pasien dengan eGFR kurang dari 30 ml/mnt.
e. Beta Blocker Golongan Penyekat beta ( Beta Blocker ) seperti propranolol,
bisoprolol, atenolol, dan lain- lain tidak lagi dianjurkan sebagai terapi inisial
pada pengobatan hipertensi usia lanjut dikarenakan efek sampingnya yang
besar terutama pada saluran pernafasan, kecuali pada gagal jantung, penyakit
jantung koroner, migrain dan tremor senilis. Pada hipertensi obat golongan ini
biasanya diberikan sebagai kombinasi dengan diuretik.
f. Alfa Blocker Golongan seletif alfa1 adrenergic antagonist seperti terazosin
dan doxazosin bermanfaat untuk pengobatan hipertensi yang disertai dengan
benign prostatic hypertrophy (BPH). Efek samping utama dari obat golongan
alfa bloker ini adalah hipotensi orthostatik, refleks takikardi dan sakit kepala.
Penilitian ALLHAT menunjukkan adanya efek samping berupa peningkatan
risiko stroke, kejadian kardio vaskular dan peningkatan risiko penyakit
jantung kongestif dengan penggunaan doxazozin bila dibandingkan dengan
chlortalidone, hal ini menunjukan bahwa penggunaan golongan alfa antagonis
sebaiknya dihindari sebagai penggunaan lini pertama obat anti hipertensi.
g. Aldosterone Antagonist Golongan antagonis aldosteron seperti spironolakton
biasanya digunakan pada hipertensi yang resisten yang disebabkan oleh
hiperaldosteronisme primer dan obstructive sleep apnoe ( OSA).
h. Golongan anti hipertensi lainnnya Golongan obat yang bekerja di sentral
seperti klonidin, tidak dianjurkan dipakai pada awal terapi mengingat efek
sedasi, mengantuk, bradikardi, dan mulut kering. Selain itu penggunaan obat
ini pada usia lanjut dikhawatirkan dapat menyebabkan terjadinya hipertensi
krisis karena penghentian obat secara mendadak (withdrawal effect). Klonidin
dapat diberikan dalam bentuk kombinasi dengan obat – obatan lain untuk
mencapai target tekanan darah yang optimal.
Penatalaksanaan hipertensi pada usia lanjut , dilakukan setelah semua
masalah mendapat perhatian secara seksama dan perlu mempertimbangkan
berbagai aspek. Pedoman JNC-VII perlu diperhatikan betul, diantaranya
mengenai jenis-jenis obat yang dianjurkan seperti diketahui salah satu pesan
dari JNC VII adalah :
6. Diabetes Melitus
7. Malnutrisi
Pada kasus pasien yang mengalami penurunan nafsu makan yang harus
dilakukan adalah mncari tahu penyebabnya lalu seteah itu dilakukan penanganan
agar intake makanannya adekuat. Pada pasien lansia diberkan makanan dengan
nilai gizi tinggi dengan porsi kecil interval sering
Penatalaksanaan gizi
Referensi:
Penuntun Diet. Instalasi Gizi Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi
Dietisien Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
8. Anemia
1) Tidak ada terapi khusus untuk anemia penyakit kronis kecuali untuk
mengelola atau mengobati gangguan yang mendasarinya. Terapi besi tidak
bermanfaat. Erythropoietin dapat membantu pada beberapa pasien dengan
anemia penyakit kronis. Dosisnya adalah 50 hingga 100 U per kg tiga kali
seminggu. Dosis dapat ditingkatkan hingga 150 U per kg per dosis jika
respons terhadap dosis yang lebih rendah tidak memadai.
Non Farmakologi
1) Intake minimal 1700 kkal / hari dan 1,7 gr / kg / hari asupan protein
diperlukan untuk mempertahankan anabolisme pada pasien kronis untuk
mencegah dan mengobati anemia. Suplementasi vitamin dan oligomineral
bermanfaat untuk mengurangi stres oksidatif dan meningkatkan umur panjang
sel darah merah. Anemia pada lansia dapat dicegah dengan nutrisi yang
adekuat, intervensi yang sederhana dan tidak mahal, dan terkait dengan
olahraga fisik mengurangi angka kematian.
Farmakologi
Referensi:
Bianchi, V. E. (2016). Role of nutrition on anemia in elderly. Clinical nutrition
ESPEN, 11, e1-e11.
9) Osteoarthritis
Penatalaksanaan Osteoartritis dimodifikasi berdasarkan guideline ACR: Update
tahun 2000
Tahap Pertama Terapi Non farmakologi
a) Edukasi pasien. (Level of evidence: II)
b) Program penatalaksanaan mandiri (self-management programs): modifikasi
gaya hidup. (Level of evidence: II)
c) Bila berat badan berlebih (BMI > 25), program penurunan berat badan,
minimal penurunan 5% dari berat badan, dengan target BMI 18,5-25. (Level
of evidence: I).
d) Program latihan aerobik (low impact aerobic fitness exercises). (Level of
Evidence: I)
e) Terapi fisik meliputi latihan perbaikan lingkup gerak sendi, penguatan otot-
otot (quadrisep/pangkal paha) dan alat bantu gerak sendi (assistive devices for
ambulation): pakai tongkat pada sisi yang sehat. (Level of evidence: II)
f) Terapi okupasi meliputi proteksi sendi dan konservasi energi, menggunakan
splint dan alat bantu gerak sendi untuk aktivitas fisik sehari-hari. (Level of
evidence: II)
Tahap kedua Terapi Farmakologi: (lebih efektif bila dikombinasi dengan terapi
nonfarmakologi diatas)
a) Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, dapat diberikan salah
satu obat berikut ini, bila tidak terdapat kontraindikasi pemberian obat
tersebut:
1) Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).
2) Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS). (Level of Evidence: II)
b) Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, yang memiliki risiko
pada sistim pencernaan (usia >60 tahun, disertai penyakit komorbid dengan
polifarmaka, riwayat ulkus peptikum, riwayat perdarahan saluran cerna,
mengkonsumsi obat kortikosteroid dan atau antikoagulan), dapat diberikan
salah satu obat berikut ini:
1) Acetaminophen ( kurang dari 4 gram per hari).
2) Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) topikal
3) Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) non selektif, dengan pemberian
obat pelindung gaster (gastro- protective agent).
c) Untuk nyeri sedang hingga berat, dan disertai pembengkakan sendi, aspirasi
dan tindakan injeksi glukokortikoid intraartikular (misalnya triamsinolone
hexatonide 40 mg) untuk penanganan nyeri jangka pendek (satu sampai tiga
minggu) dapat diberikan, selain pemberian obat anti-inflamasi nonsteroid per
oral (OAINS). (Level of evidence: II)
Referensi:
Rekomendasi IRA untuk Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoartritis . 2014. Hal
18-19
10. Osteoporosis
Hormon estrogen
Raloxifene
Raloxifene tergolong dalam seleklif estrogen reseptor modulator (SERM) adalah
komponen non sieroid yang berasal dari benzothiophene yang bersifat anti
estrogen, mengadakan kompeliti{ inhibisi terhadap peran estrogen pada payudara
dun khususnya uterus, selain juga bersofat agon;s estrogen pada tulang dan
melabolisme lemak
Kalsitonin
Manfaat kalsitonin yang lain adalah menambah massa tulang dan mempunyai efek
analgetik. Mekanisme kerjanya adalah mengurangi resorpsi dengan menekan
aktivitas osteoklast atau menghambat cara kerja osteoklast dengan 2 cara yaitu
menghambat transformasi monosit meniadi osteoklast dan mengadakan
translokasi ion kalsium kedalam mitokondria.
Bifosfonat
Bisfostonat merupakan obat yang relatil baru yang digunakan untuk pengobatan
osteoporosis, baik sebagai alternatif terapi pengganti hormon pada wanita maupun
penderita osteoporosis pria. Cara kerja bisloslonat adalah mengurangi resorpsi
tulang oleh osteoklast dengan caaa ber;katan pada permukaan tulang dan dengan
menghambat kerja osteoklast dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim
lisosomal dibawah osteoklast.Referensi:
JAWABAN
1. Apa yang dapat terjadi sehingga timbul nyeri pada pangkal paha setelah
terjatuh ?
Jatuh pada geriatri dapat menimbulkan beberapa komplikasi diantaranya
adalah fraktur. Fraktur merupakan salah satu masalah musculoskeletal yang sering
terjadi pada manusia lanjut usia, dan fraktur yang berhubungan dengan
osteoporosis dianggap yang paling menyebabkan morbiditas dan disalbilitas
padalanjut usia. Jenis fraktur berdasarkan lokasinya yang sering terjadi pada lansia
yaitu fraktur kompresi vertebra, fraktur panggul, dan fraktur pinggul.
Berdasarkan sKenario, dicurigai bahwa pasien perempuan berusia 74
tahun mengalami fraktur collum femur ditandai adanya nyeri pada pangkal paha
sebelah kanan dan sangat nyeri bila digerakkan sehingga tidak bisa berjalan.
Fraktur collum femoris sering terjadi pada lansia yang disebabkan trauma
langsung seperti terjatuh ditambah dengan adanya osteoporosis. Pada scenario,
pasien jatuh karena terpeleset dengan posisi terduduk yang bisa mengarah pada
fraktur pinggul atau fraktur femur proksimal.
Referensi :
Hazzard, William R., et all. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology 4nd
edition. 2010, New York, Mc Graw – Hill. Inc Health Professions Division
Pemeriksaan Fisik :
1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme tulang yang menyertai fraktur untuk
meminimalkan gerakan antara fragmen tulang.
2) Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa), bukan tetap
rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas (terlahat maupun teraba). Ekstremitas
yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
3) Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur.
Frakmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 - 5 cm (1-2)
4) Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitasi/krepitus yang teraba akibat gesekan antara
fragmen satu dengan yang lain
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
Edukasi :
1) Perawatan lantai yakni pembersihan dari ganggang yang menyebabkan
licin, serta terkena material yang licin seperti sabun ditambah material
yang licin yakni terpeleset bibir kloset keramik saat menumpukan kaki
untuk membersihkan kaki.
2) Teras memerlukan desain penutup atap yang dapat mencegah tampias
serta mengurangi kemungkinan terjadinya kebocoran. Teras juga sering
menjadi area transisi aktivitas yang mungkin berkenaan dengan air
seperti menyiram tanaman dan menjemur sehingga desain lantai teras
perlu sebisa mung- kin mengurangi kemungkinan air menggenang.
3) Penyediaan pegangan yang aman juga berpotensi mencegah kasus jatuh
pada kondisi berbahaya menjadi hanya hampir jatuh. Pertimbangan
desain yang sesuai dengan kebutuhan sehari-hari lansia dapat
mengurangi ke- mungkinan lansia menambahkan objek tidak permanen
yang tidak direncanakan dengan baik dan dapat menjadi pengganggu di
area jalan.
b) Immobilitas (KATZ G)
Assesment : Pneumonia, thrombosis, decubitus
Pemeriksaan Penunjang : Profil lipid darah (kolesterol, LDL, HDL,
trigliserida), darah rutin, GD I / II, HbA1c, X-foto thoraks
Tatalaksana :
1) Perbaiki keadaan umum dan tanda vital
2) Pemberian antibiotic
3) Konsul rehabilitasi medik untuk mobilisasi bertahap
Pemeriksaan Fisik: Indeks Katz dan skor Norton, keadaan umum dan tanda
vital
Edukasi :
c) Hipertensi grade II
Assesment :
a) Etiologi primer
b) Etiologi sekunder
c) Faktor resiko penyakit jantung iskemik lainnya
Pemeriksaan Penunjang : Profil lipid, GD I/II, asam urat, kimia klinik
Tatalaksana :
a) Golongan Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)
seperti valsartan ataupun losartan
b) Diet rendah garam
Assesment : -
Pemeriksaan Penunjang : Radiologi, analisis cairan sendi
Tatalaksana : - Asetaminofen
- OAINS oral
- OAINS topikal
- Tramadol
- Injeksi kortikosteroid intraartikuler
Referensi:
Perubahan psikologis
Psikologis yang terkait dengan jatuh: takut jatuh dan sindrom kecemasan
pasca-jatuh mengakibatkan hilangnya kepercayaan diri dan keterbatasan
fungsional diri pada orang tua lansia yang tinggal di rumah dan dilembagakan
yang telah jatuh.
Faktor Ekstrinsik :
Referensi:
Pasquetti, P., Apicella, L., & Mangone, G. (2014). Pathogenesis and treatment of
falls in elderly. Clinical cases in mineral and bone metabolism, 11(3), 222.
Poses penuaan biologis ini terjadi secara perlahan-lahan dan dibagi menjadi
beberapa tahapan, antara lain:
1. Tahap Subklinik (Usia 25 – 35 tahun):
Usia ini dianggap usia muda dan produktif, tetapi secara biologis mulai
terjadi penurunan kadar hormon di dalam tubuh, seperti growth hormone,
testosteron dan estrogen. Namun belum terjadi tanda-tanda penurunan fungsi-
fungsi fisiologis tubuh.
Tahap ini mulai terjadi gejala penuaan seperti tampilan fisik yang tidak muda
lagi, seperti penumpukan lemak di daerah sentral, rambut putih mulai tumbuh,
penyembuhan lebih lama, kulit mulai berkeriput, penurunan kemampuan fisik dan
dorongan seksual hingga berkurangnya gairah hidup. Radikal bebas mulai
merusak ekspresi genetik yang dapat bermanisfestasi pada berbagai penyakit.
Terjadi penurunan lebih jauh kadar hormon-hormon tubuh yang mencapai 25%
dari kadar optimal.
Gejala dan tanda penuaan menjadi lebih nyata yang meliputi penurunan
semua fungsi sistem tubuh, antara lain sistem imun, metabolisme, endokrin,
seksual dan reproduksi, kardiovaskuler, gastrointestinal, otot dan saraf. Penyakit
degeneratif mulai terdiagnosis, aktivitas dan kualitas hidup berkurang akibat
ketidakmampuan baik fisik maupun psikis yang sangat terganggu.
Faktor internal
Faktor eksternal
Faktor eksternal yang berpengaruh pada percepatan proses menua antara lain
gaya hidup, faktor lingkungan dan pekerjaan. Gaya hidup yang mempercepat
proses penuaan adalah jarang beraktifitas fisik, perokok, kurang tidur dan nutrisi
yang tidak teratur. Hal tersebut dapat diatasi dengan strategi pencegahan yang
diterapkan secara individual pada usia lanjut yaitu dengan menghentikan
merokok. Serta faktor lingkungan, dimana lansia manjalani kehidupannya
merupakan faktor yang secara langsung dapat berpengaruh pada proses menua
karena penurunan kemampuan sel, faktor-faktor ini antara lain zat-zat radikal
bebas seperti asap kendaraan, asap rokok meningkatkan resiko penuaan dini, sinar
ultraviolet mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen sehingga kulit tampak
lebih tua.
Referensi:
1) DM : ACE-I
2) Dyslipidemia : alpha blocker
3) Isolated sistolik HT : diuretic, Ca+2 antagonist
4) Osteoporosis : thiazide
F. Rematik
1) Dukungan psikologis
2) Istirahat
3) Medika mentosa :
a. Penggunaan asetaminofen (hingga 4 gr/hr)
b. NSAID oral selektif dan non selektif COX-2 yang
digunakan dengan dosis rendah yang efektif untuk
penanganan OA, dan hindari penggunaan dalam jangka
panjang.
c. Preparat topikal NSAID dan capsaicin
d. Injeksi intra artikular kortikosteroid dan hialuronat
e. Suplementasi menggunakan glucosamine dan chondroitin
sulfat untuk meringankan gejala simptomatik
f. Injeksi hidrokortison intra articular
G. Stroke
Rehabilitasi :
a. Fisioterapi sejak hari I : posisi dan gerakan pasif ke aktif
b. Bina wicara
c. Psikoterapi & sosialisasi
d. Terapi kerja
Preventif :
Dalam pola jalan lansia ada beberapa perubahan yang mungkin terjadi,
diantaranya sebagai berikut :
1. Sedikit ada rigiditas pada anggota gerak terutama anggota atas lebih
dari anggota gerak bawah. Rigiditas akan hilang apabilatubuh bergerak
2. Gerakan otomatis menurun, amplitude dan kecepatan berkurang, seperti
hilangnya anyunan tangan saat berjalan.
3. Hilangnya kemampuan untuk memanfaatkan gravitasi sehingga kerja
otot meningkat
4. Hilangnya ketepatan dan kecepatan otot , khususnya otot penggerak
sendipanggul
5. Langkah lebih pendek agar merasa lebih aman
6. Penurunan perbandingan antara fase mengayun terhadap fase menumpu
7. Penurunan rotasi badan terjadi karena efek sekunder kekakuan sendi
8. Penurunan ayunan tungkai saat fase mengayun
9. Penurunan sudut antara tumit dan lantai
10. Penurunan irama jalan
11. Penurunan rotasi gelang bahu dan panggul
12. Penurunan kecepatan ayunan lengan dan tungkai
B. Penilaian keseimbangan
Pemeriksaan keseimbangan seharusnya dilakukan saat berdiri secara
statis dan dinamik, termasuk pemeriksaan kemampuan untuk bertahan
terhadap ancaman baik internal dan eksternal. Pemeriksaan statis termasuk
lebar cara berdiri sendiri dan cara berdiri sempit dengan kedua kaki yang
nyaman tanpadukungan ekstremitas atas, diikuti oleh beridiri dengan mata
tertutup untuk menghilangkan pengaruh visual untuk penderita ganggua
keseimbangan. Penghilangan input visual saat beridiri dengan kaki
menyempit (Tes Romberg) membutuhkan informasi somato sensorik dan
vestibular, sehingga meningkatkan goyangan menandakan adanya masalah
senori perifer dan vestibuler. Bagi lansia yang dapat melakukan tes
Romberg dengan baik, tesstatis yang lebih sulit seperti semitandem,
tandem dan satu kaku yang terangkat dapat dilakukan.
Kemamuan untuk mempertahakan postur berdiri sebagai respon
gangguan internal dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk
melakukan tes pencapaian fungsionlal. Tes dinamik respon tubuh untuk
gangguan eksternal dapat dilakukan jika penderita lansia telah mampu
untuk melakukan tes keseimbangan statis lebar tanpa menggunakan alat
bantu atau bantun ekstremitas atas. Tesrefleks yang benar. pemeriksaan
berdiri dibelakang pasien yang diminta untuk menarik atau mendorong,
dan beraksi untukmemepertahankan tetap berdiri.Pemeriksaaa kemudian
secara cepat mendorong pelvis pasien pada bagian sambil menjaga pasien
secara dekat . Kekuatan dorongan dengan amplitude yang cukup untuk
mengubah pusat massa keluar dari dasar landasan pasien.Responn yang
khas, satu kaki akan berpindah kebelakang secara cepat tanpa bantuan
eksterimitas atasau bantuan pemerisa. Respon yang abnormal disebut
reaksi balok kayu/ timber reaction yang mana tidak ada usaha
untukmenggerakkan kaki dan diperikirakan adanya deficit system nervous
sentral,sering bersama dengan komponen ekstrapiramidal.
3. Mengatur / mengatasi faktor situasional
Faktor situasional bersifat serangan akut penyakit yang diderita
lansia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutn kesehatan lansia secara
periodic. Faktor situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan
mengusahakan perbaikan lingkungan seperti tersebut diatas. Faktor
situasional yang berupa aktivitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi
kesehatan penderita. Perlu diberitahukan pada penderita aktifitas fisik
seberapa jauh yang aman bagi penderita, aktifitas tersebut tidak melampaui
batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil pemeriksaan fisik. Bila
lansia sehat dan tidak ada batasan aktifitas fisik, maka dianjurkan lansia
tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau beresiko
tinggi untuk terjadinya jatuh.
Referensi:
1) Soegondo, Sidartawan. 2015 Farmakoterapi pada pengendalian glikemia
diabetes melitus tioe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi VI.
Jakarta : Interna Publishing.
2) Boedhi-Darmojo. 2010. Buku ajar Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut).Edisi
4. Jakarta : Balai penerbit FK UI. hal 185-189
10. Apa komplikasi yang dapat terjadi apabila pasien tidak segera diberi
tindakan?
Komplikasi jatuh pada geriatri
1. Perlukaan (injury)
a) Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau
tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena
b) Patah tulang (fraktur)
1) Pelvis
2) Femur
3) Humerus
4) Lengan bawah
5) Tungkai bawah
6) Kista
c) Hematom subdural
2. Perawatan Rumah Sakit
3. Disabilitas
Referensi:
Darmojo, Boedhi Z. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: UI Press. Hlm 184 Edisi ke 5.
2015
23. Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang diantaranya atau
kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-sekali
janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah
engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang
baik.
24. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanyan dengan penuh kasih sayang dan
ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku pada waktu kecil”
DAFTAR PUSTAKA
1. Dahlan Z. Pneumonia. Buku Ajar Ilmu penyakit dalam Jilid II edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing. Hlm 1620. 2014
2. Boedhi, Darmojo, R. 2015. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut) edisi ke-5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. H 191-193
3. Satriana, Viola. 2016. Upaya penurunan nyeri pada pasien fraktur Rs.
Soeharto. Universitas Muhammadiyah surakarta. Hal 4
4. Hazzard, William R., et all. Principles of Geriatric Medicine and
Gerontology 4nd edition. 2010, New York, Mc Graw – Hill. Inc Health
Professions Division
5. Darmojo, R Boedhi. 2009. Buku Ajar Geriatri (Ilmu kesehtan usia lanjut)
edisi ke-4 Jakarta: Balai penerbit FKUI
6. Southwick F.Pulmonary Infection.Infectious Disease a clinical Short
Course 2nd`ed.London: McGraw-Hill,2007
7. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam (PAPDI). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi kelima.
Jilid II. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
8. Thomas, N. Renal Nursing (2nd edition). London United Kingdom:
Elsevier Science; 2002.
9. Brunner dan Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
(terjemahan, volume II). Jakarta: EGC; 2001.
10. Prodjosudjadi W, Suhardjono A.End-Stage Renal Disease In Indonesia:
Treatment development. Ethnicity & Disease 19: 33-36. 2009
11. Vogt BA, Avner ED. Renal failure. Dalam: Behrman RM, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 17.
Philadelphia: WB Saunders; 2004. hlm 1770-1775.
12. Wilson LM. Pengobatan Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Hartanto H, Susi
N, Wulansari P, Mahanani DA, editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses
-Proses Penyakit. 6 ed. Vol 2. Jakarta: EGC; 2006. hlm. 965-978.
13. Sukandar E. Gagal Ginjal Kronik dan terminal. Dalam: Nefrologi klinik.
Edisi 3.Bandung: Penerbit Pusat Inforamsi Ilmiah Bag Ilmu Penyakit
Dalam FK.UNPAD; 2006. hlm. 465- 524.
14. Konsensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia 2009 : Penatalaksanaan
hipertensi pada keadaan khusus: Hipertensi pada usia lanjut, Perhimpunan
Hipertensi Indonesia (Ina SH), Jakarta, 2009; 1-18.
15. Suhardjono, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Geriatri dan gerontology;
Hipertensi pada Usia Lanjut, Edisi ke-6, Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam, Cetakan pertama, 2014; Bab 40.519;3855-58.
16. Suhardjono, Naskah Lengkap The 11th Jakarta: Hipertensi pada Usia
Lanjut, PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia), Jakarta-
Indonesia: Edisi 1, Cetakan I, 2011; 113-16.
17. Soegondo, Sidartawan. 2015 Farmakoterapi pada pengendalian glikemia
diabetes melitus tioe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi VI.
Jakarta : Interna Publishing.
18. Penuntun Diet. Instalasi Gizi Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo dan
Asosiasi Dietisien Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
19. Bianchi, V. E. (2016). Role of nutrition on anemia in elderly. Clinical
nutrition ESPEN, 11, e1-e11.
20. Rekomendasi IRA untuk Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoartritis .
2014. Hal 18-19
21. Broto, Rawan. Rahardjo. Terapi Osteoporosis. Bagian Rematologi Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FK UGM. Yogyakarta. Hal 140-143.
22. Hazzard, William R., et all. Principles of Geriatric Medicine and
Gerontology 4nd edition. 2010, New York, Mc Graw – Hill. Inc Health
Professions Division
23. Rekomendasi IRA untuk Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoartritis.
2014. Hal 2,6, dan 10.
24. Febria E, Martin C, Harimurti K. Faktor–Faktor yang Berhubungan
dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut. 2016. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
25. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses-Proses Penyakit. Edisi 6 vol.2
26. Boedhi-Darmojo .2010. Buku ajar Geriatri (ilmu kesehatan usia
lanjut).Edisi 4Jakarta : Balai penerbit FK UI
27. Manaf, Asman. 2015. Hipoglikemia: Pendekatan Klinis Dan
Penatalaksanaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing.
28. Soegondo, Sidartawan. 2015 Farmakoterapi pada pengendalian glikemia
diabetes melitus tioe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi VI.
Jakarta : Interna Publishing.
29. Kee L. J. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diognostik Edisi 6.
Jakarta: EGC. 2007
30. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Edisi 2. 2016
31. Risiko Jatuh di Teras dan Kamar Mandi Rumah Lansia, Studi Kasus:
Yogyakarta. Stefani Natalia Sabatini. 2016
32. Setiati, S. Gangguan Keseimbangan, Jatuh dan Fraktur dalam Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi IV. Jakarta: Badan penerbit Interna. 2015.p.
3755
33. Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2010). Nursing care
plans: Guidelines for individualizing client care across the life span 8th
edition. Philadelphia: F. A. Davis Company
34. Pasquetti, P., Apicella, L., & Mangone, G. (2014). Pathogenesis and
treatment of falls in elderly. Clinical cases in mineral and bone
metabolism, 11(3), 222.
35. Indonesian THE, Of J, Science H. STATUS NUTRISI LANSIA DAN
RISIKO JATUH PADA LANSIA. 2019;11(1):22–9
36. Siti Nur Kholifah, SKM, M, Kep,Sp.Kom.2016. Keperawaratan Gerontik.
Kemenkes RI: Jakarta Selatan
37. Soegondo, Sidartawan. 2015 Farmakoterapi pada pengendalian glikemia
diabetes melitus tioe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi VI.
Jakarta : Interna Publishing.
38. Boedhi-Darmojo. 2010. Buku ajar Geriatri (ilmu kesehatan usia
lanjut).Edisi 4. Jakarta : Balai penerbit FK UI. hal 185-189
39. Darmojo, Boedhi Z. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: UI Press. Hlm 184 Edisi
ke 5. 2015.