Anda di halaman 1dari 58

FAKULTAS KEDOKTERAN Makassar, 8 Mei 2020

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


BLOK TUMBUH KEMBANG & GERIATRI
LAPORAN PBL MODUL 3
JATUH

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 14
TUTOR : dr. Asrini Safitri, M.Kes, Sp.GK
Farhah Ayunizar Ramadani (11020170047)
Fitrah Putra Irwan (11020170050)
Muh. Rifky Mappalawa (11020170054)
Nurafni (11020170065)
Andi Muhammad Nasywan Akbar Amin (11020170106)
Vania Almira (11020170121)
Muhammad Arief Wahyu Adama (11020170126)
Nurul Fatimah (11020160132)
Nur Saskiah (11020170140)
Nurul Azizah An’naajiyyah (11020170148)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya sehingga laporan tutorial ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Aamiin.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan tutorial ini,
karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan
guna memacu kami menciptakan karya-karya yang lebih bagus.
Akhir kata, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan karya tulis ini, terutama
kepada:
1. dr. Asrini Safitri, M.Kes, Sp.GK selaku tutor

2. Teman-teman yang telah mendukung dan turut memberikan motivasi


dalam menyelesaikan laporan tutorial ini.

Semoga Allah SWT dapat memberikan balasan setimpal atas segala


kebaikan dan pengorbanan dengan limpahan rahmat dari-Nya. Aamiin yaa
Robbal A’lamiin.

Makassar, 8 Mei 2020

Kelompok 14

SKENARIO 1

Anamnesis : Seorang perempuan umur 74 tahun masuk rumah sakit dengan


keluhan nyeri pada pangkal paha kanan dan sangat nyeri bila digerakkan sehingga
tidak dapat berjalan. Keadaan ini dialami sejak 3 hari yang lalu setelah jatuh
terduduk oleh karena terpeleset di depan kamar mandi. Seminggu terakhir ini
sebelum jatuh, penderita terdengar batuk-batuk tetapi tidak demam dan sulit
mengeluarkan lendir. Postur penderita sejak 4 tahun terakhir ini bungkuk ke depan
dan kalau berjalan agak pincang karena mengeluh kedua lutut sering sakit dan
bengkak. Nafsu makan sangat menurun sejak 2 minggu terakhir. Riwayat stroke 2
tahun lalu. Menderita kencing manis dan mengkonsumsi obat Glibenklamide 5
mg secara teratur sejak 5 tahun lalu, riwayat tekanan darah tinggi tetapi berobat
tidak teratur dan rematik.
Pemeriksaan fisik : TD : 180/90 mmHg, N: 90 x/menit, P: 30 x/menit, S: 37,1oC.
Pemeriksaan Auskultasi Paru: terdengar bunyi ronkhi basah kasar di seluruh
lapangan kedua paru. Jantung dalam batas normal, hepar & limpa tak teraba.
Tungkai kanan bila digerakkan sangat terhambat oleh karena kesakitan pada
daerah pangkal paha. Kedua dorsum pedis terlihat edema. BB: 39 kg & TB: 165
cm.
Pemeriksaan penunjang : Pem. Lab didapatkan kadar Hb 10,1 gr%, Leukosit
15.700/mm3 GD puasa 138 mg/dl, GD2jamPP 245 mg/dl, ureum 58 mg/dL,
kreatinin 1,5 mg/dL, protein total 5,0 gr/dL, albumin 2,6 gr/dL, asam urat 8,5
mg/dL.
Pemeriksaan toraks foto : tampak perselubungan homogen pada medial kedua
paru.
KATA SULIT

1. Jatuh : suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang melihat
kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di
lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan ke sadaran atau
luka.
2. Rematik : kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat dan
berhubungan dengan usia lanjut,ditandai dengan nyeri, deformitas,
pembesaran sendi, dan hambatan gerak pada sendi-sendi tangan dan sendi
besar yang menanggung beban.
KALIMAT KUNCI
1. Perempuan umur 72 keluhan nyeri pada pangkal paha dan nyeri apabila
digerakkan sehingga tidak bisa berjalan
2. Keluhan sudah dirasakan sejak 3 hari yang lalu setelah jatuh terduduk karena
terpeleset di depan kamar mandi
3. Seminggu sebelum jatuh pasien mengalami batuk-batuk tapi tidak demam dan
sulit mengeluarkan lender
4. Postur penderita 4 tahun terakhir bungkuk ke depan, berjalan agak pincang
karena mengeluh lutut sakit dan bengkak
5. Nafsu makan menurun sejak 2 minggu terakhir
6. Riwayat stroke 2 tahun lalu
7. Menderita kencing manis, dan konsumsi Glibenklamide 5 mg teratur sejak 5
tahun yang lalu
8. Riwayat TD tinggi tapi berobat tidak teratur dan rematik
9. Pemeriksaan fisik:
a. TD : 180/90 mmHg
b. N: 90 x/menit
c. P: 30 x/menit
d. S: 37,1°C.
10. Auskultasi Paru: Terdengar bunyi ronkhi basah kasar di seluruh lapangan
kedua paru.
11. Pemeriksaan penunjang pemeriksaan Lab didapatkan:
a. Kadar Hb 10,1 gr%
b. Leukosit 15.700/mm3
c. GD puasa 138 mg/dl
d. GD2jamPP 245 mg/dl
e. Ureum 58 mg/dL
f. Kreatinin 1,5 mg/dL
g. Protein total 5,0 gr/dL
h. Albumin 2,6 gr/dL
i. Asam urat 8,5 mg/dL.
12. Kedua dorsum pedis terlihat edema
13. BB: 39 kg & TB: 165 cm.
14. Foto thorax: tampak perselubungan homogen pada medial paru

PERTANYAAN

1. Apa yang dapat terjadi sehingga timbul nyeri pada pangkal paha setelah
terjatuh ?
2. Bagaimanakah hubungan antara rematik dengan berjalan pincang?
3. Apa yang menyebabkan penderita batuk dan bagaimana hubungannya dengan
jatuh?
4. Bagaimanakah hubungan antara penggunaan obat Glibenklamide secara
teratur dengan keluhan jatuh pasien?
5. Bagaimana pemeriksaan yang dapat dilakukan sesuai dengan keluhan yang
dialami pasien?
6. Apa faktor intrinsik dan ekstrinsik yang menyebabkan pasien jatuh?
7. Apakah penyebab nafsu makan menurun berdasarkan skenario?
8. Jelaskan mengenai Teori Penuaan!
9. Bagaimana penanganan dan pencegahan berdasarkan skenario?
10. Apa komplikasi yang dapat terjadi apabila pasien tidak segera diberi
tindakan?
11. Jelaskan perspektif Islam berdasarkan skenario!
DAFTAR MASALAH
1. Nyeri
2. Terdapat fraktur di hip joint
3. Pneumonia
4. Osteoarthritis
5. Diabetes melitus
6. Hipertensi grade II (JNC VII)
7. Chronic Kidney Disease
8. Osteoporosis: Kifosis
9. Anemia
10. Malnutrisi
SKALA PRIORITAS
1. Nyeri
2. Fraktur
3. Pneumonia
4. Chronic Kidney Disease
5. Hipertensi grade II
6. Diabetes Melitus
7. Malnutrisi
8. Anemia
9. Osteoarthritis
10. Osteoporosis

1. Nyeri
Farmakologi
Keluhan utama pasien pada skenario adalah nyeri yang dirasakan sejak 3
hari yang lalu setelah jatuh terduduk. Sebagai penanganan awal kita memberikan
analgetik kepada pasien untuk mengatasi nyeri pasien.

Non Farmakologi
Pentingnya upaya penurunan nyeri dengan melakukan tindakan
nonfarmakologi yaitu teknik relaksasi merupakan tindakan yang dilakukan untuk
mengurangi nyeri. Teknik relaksasi nafas dalam adalah teknik melakukan nafas
lambat dan menghembuskan nafas dalam secara perlahan, kemudian pasien dapat
memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang
konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama
setiap inhalasi (“hirup, dua, tiga”) dan ekshalasi (hembuskan, dua, tiga). Relaksasi
secara umum sebagai metode yang paling efektif terutama pada pasien yang
mengalami nyeri.
Referensi:
1) Dahlan Z. Pneumonia. Buku Ajar Ilmu penyakit dalam Jilid II edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing. Hlm 1620. 2014
2) Boedhi, Darmojo, R. 2015. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut)
edisi ke-5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. H 191-193
3) Satriana, Viola. 2016. Upaya penurunan nyeri pada pasien fraktur Rs.
Soeharto. Universitas Muhammadiyah surakarta. Hal 4

2. Fraktur
Berdasarkan skenario, dicurigai bahwa pasien perempuan berusia 74 tahun
mengalami fraktur collum femur ditandai adanya nyeri pada pangkal paha
sebelah kanan dan sangat nyeri bila digerakkan sehingga tidak dapat berjalan.
a) Penanganan Awal :
Harus berupa imobilisasi ditempat tidur.
b) Pemeriksaan Radiologi :
1) X-ray
Diperlukan proyeksi anteroposterior dan lateral, kadang-kadang
diperlukan proyeksi axial. Pada pasien yang diduga kuat mengalami
fraktur collum femoris, tetapi pada foto x-ray hasilnya negatif, maka
proyeksi AP dengan rotasi interna memberikan gambaran yang lebih baik
2) MRI
Jika dengan foto x-ray didapatkan hasil negatif dan pasien diduga kuat
mengalami fraktur panggul, MRI dan bone scan memiliki sensitifitas
tinggi dalam mengidentifikasi trauma tersembunyi. MRI 100% sensitif
pada pasien dengan hasil x-ray yang tidak jelas.
c) Medikasi
Pemberian analgetik parenteral sangat dianjurkan untuk mengurangi rasa
nyeri pada pasien. Pemberian obat relaksasi otot juga kadang-kadang diperlukan.
Mengontrol nyeri adalah penting untuk kenyamanan pasien. Analgetik yang
dapat diberikan :
1) Morfin sulfat Untuk dewasa dosis awal 0,1 mg/kg IV/IM/SC
2) Fentanil sitrat Dosis untuk dewasa 0,5-1 mcg/kgBB/dose IV/IM 30-60
menit
d) Nutrisi dan Rehabilitasi
Pada pasien lanjut usia dengan fraktur, biasanya akan didapati intake
makanan yang tidak adekuat yang dapat menyebabkan kehilangan dan kelemahan
massa otot. pemberian protein pada makanan dapat mengurangi lama waktu
rehabilitasi.
Rehabilitasi harus dilakukan secepat mungkin supaya pasien menjadi
mandiri dalam mobilitas dan fungsionalnya. Pada tahap awal dapat dilakukan
berjalan dan aktivitas sehari-hari seperti transferring, washing, dressing, toileting.
Keseimbangan dan gaya berjalan adalah komponen penting dari mobilitas dan
berguna dalam memprediksikan kemandirian fungsional.
Referensi :
Hazzard, William R., et all. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology 4nd
edition. 2010, New York, Mc Graw – Hill. Inc Health Professions Division

3. Pneumonia
Infeksi pada paru-paru
Pengobatan ISPA/pneumonia dilakukan dengan pemberian kemoterapi dan
pengobatan umum (oksigen, terapi hidrasi, dan fisioterapi). Kemoterapi
merupakan kunci utama pengobatan pneumonia. Tujuannya ialah untuk
membasmi kuman penyebab pneumonia. Pemberian kemoterapi harus
berdasarkan petunjuk penemuan kuman apa yang menjadi penyebab infeksinya
hasil kultur sputum dan tes sensitivitas kuman terhadap antbiotik). Berhubung
satu dan lain hal, misalnya: penyakit penderita sangat serius dan perlu pengobatan
segera, kuman penyebab infeksi belum dapat diketahui pasti menjelang terapi,
sehingga antibiotik pemberiannya dilakukan secara empirik. Pengobatan ini harus
didasarkan atas diagnosis mikrobiologi empirik. Dengan cara ini diagnosis yang
dibuat diharapkan dapat menunjukkan spektrum kuman penyebabnya, sehingga
AB yang tepat dan rasional dapat dipilih dan hasilnya dapat diandalkan.
Bila penyakitnya ringan atau sedang, AB diberikan secara oral, sedangkan
bila berat diberatkan parenteral. Pengobatan umunya diberikan selama 7-10 hari
pada kasus tanpa komplikasi atau AB diteruskan sampai 3 hari bebas panas.
Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan, maka harus
diingat kemungkinan penggunaan AB tertentu perlu penyesuaian dosis.

Antibiotik yang diberikan


a) Pengobatan rawat jalan
1. Makrolida (eritromisin 500 mg setiap 6 jam secara oral × 10 hari,
klaritromisin 500 mg dua kali sehari secara oral × 10 hari atau
azitromisin 500 mg oral sekali sehari kemudian 250 mg sekali sehari
secara oral × 4 hari
2. Doxycycline 100 mg dua kali sehari secara oral × 10 hari.
Jika timbul penyakit paru-paru obstruktif kronis atau antibiotik telah
telah diberikan dalam 3 bulan yang lalu
3. Fluorokuinolon bisa digunakan melawan S. Pneumonia ; misalnya,
levofloxacin, moksifloksasin, gatifloksasin. Levofloxacin 750 mg
sekali sehari secara oral atau IV. Jika kreatinin
< 50 mL / min, kurangi levofloxacin dosis 250 mg sekali sehari.
Moksifloksasin 400 mg sekali sehari secara oral; Gatifloksasin 400
mg sekali sehari secara oral atau IV.
4. Terapi kombinasi dengan  β -lactam antibiotik ditambah macrolide
b) Pengobatan dirawat di rumah sakit
1. Fluorokuinolon bisa digunakan untuk melawan S. pneumoniae;
misalnya, levofloxacin, moksifloksasin, gatifloksasin. Levofloxacin
750 mg sekali sehari IV atau oral, Jika kreatinin <50 mL / min,
Kurangi levofloxacin dosis 250 mg sekali sehari. Moksifloksasin
400 mg sekali sehari secara oral; Gatifloksasin 400 mg sekali sehari
IV atau oral.
2. Ceftriaxone 1 g sekali sehari IV atau sefotaksim 2 g setiap 6 jam IV
ditambah azitromisin 500 mg sekali sehari diberikan secara IV
c) Pengobatan dirawat di ICU
1. Azitromisin 1 gram IV 500 mg IV sekali sehari ditambah ceftriaxone
1 g setiap 12 jam diberikan IV atau cefotaxime 2 g diberikan per 6
jam IV (ceftazidime dan aminoglikosida jika suspek infeksi
Pseudomonas aeruginosa; piperacillin/Tazobactam; imipenem,
meropenem, cefipime dan aktivitas ciprofloxacin bisa melawan  P.
Aeruginosa
2. Fluorokuinolon bisa digunakan untuk melawan S.pneumonia
(Tidak disarankan sebagai pilihan pertama karena kurangnya data
percobaan klinis dalam pengaturan ICU) Jika infeksi MRSA diduga
di salah satu pengaturan di atas, ditambahkan Vancomycin 1 g
setiap 12 jam IV atau Linezolid 600 mg IV atau oral setiap 12 jam.
Hidrasi penderita harus diperhatikan. Pada keadaan penyakit yang ringan
rehidrasi dapat dilakukan secara oral, sedangkan pada penyakit yang berat,
rehidrasi dilakukan secara parenteral, menggunakan larutan elektrolit.
Pada pneumonia usia lanjut, fisioterapi harus diberikan. Penderita perlu tirah
baring dan posisi penderita perlu diubah-ubah untuk menghindari timbulnya
pneumonia hipostatik, kelemahan dan dekubitus. Pada pneumonia usia lanjut,
fisioterapi harus diberikan. Penderita perlu tirah baring dan posisi penderita perlu
diubah-ubah untuk menghindari timbulnya pneumonia hipostatik, kelemahan dan
dekubitus.
Referensi:
1) Darmojo, R Boedhi. 2009. Buku Ajar Geriatri (Ilmu kesehtan usia lanjut)
edisi ke-4 Jakarta: Balai penerbit FKUI
2) Southwick F.Pulmonary Infection.Infectious Disease a clinical Short
Course 2nd`ed.London: McGraw-Hill,2007

4. Chronic Kidney Disease


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 4
yaitu pada LFG 15 – 29 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan transplantasi ginjal.
Hemodialisis adalah suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa
metabolisme melalui membran semipermeabel atau yang disebut dialyzer. Sisa-
sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia itu dapat
berupa air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat - zat lain.
Hemodialisis telah menjadi rutinitas perawatan medis untuk End Stage Renal
Disease (ESRD).

Salah satu langkah penting sebelum memulai hemodialisis yaitu


mempersiapkan access vascular beberapa minggu atau beberapa bulan sebelum
hemodialisis. access vascular memudahkan dalam perpindahan darah dari mesin
ke tubuh pasien. Hemodialisis umumnya dilakukan dua kali seminggu selama 4 -
5 jam per sesi pada kebanyakan pasien ESRD.

Menurut data Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2012


terjadi peningkatan jumlah pasien baru yang menjalani hemodialisis dari tahun ke
tahun. Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien gagal ginjal kronik yang belum mencapai tahap akhir dalam perburukan
fungsi ginjal.

Akhir-akhir ini sudah populer CAPD di pusat ginjal dan luar negeri.
CAPD dapat digunakan sebagai terapi alternatif dialisis untuk penderita ESRD
dengan 3 - 4 kali pertukaran cairan per hari. Pertukaran cairan terakhir dilakukan
pada jam tidur sehingga cairan peritoneal dibiarkan semalam. Terapi dialisis tidak
boleh terlalu cepat pada pasien dialisis peritoneal. Indikasi dialisis peritoneal yaitu
pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang
telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung
akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan
residual urin masih cukup dan pasien nefropati diabetik disertai comorbidity dan
co-mortality.
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai untuk
pasien gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan transplantasi ginjal jauh
melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang ada dan biasanya ginjal yang cocok
dengan pasien adalah yang memiliki kaitan keluarga dengan pasien. Sehingga hal
ini membatasi transplantasi ginjal sebagai pengobatan yang dipilih oleh pasien.
Kebanyakan ginjal diperoleh dari donor hidup karena ginjal yang berasal dari
kadaver tidak sepenuhnya diterima karena adanya masalah sosial dan masalah
budaya. Karena kurangnya donor hidup sehingga pasien yang ingin melakukan
transplantasi ginjal harus melakukan operasi diluar negeri. Transplantasi ginjal
memerlukan dana dan peralatan yang mahal serta sumber daya manusia yang
memadai. Transplantasi ginjal ini juga dapat menimbulkan komplikasi akibat
pembedahan atau reaksi penolakan tubuh.

Referensi :

1) Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Perhimpunan Dokter Spesialis


Penyakit Dalam (PAPDI). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi kelima.
Jilid II. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
2) Thomas, N. Renal Nursing (2nd edition). London United Kingdom: Elsevier
Science; 2002.
3) Brunner dan Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (terjemahan,
volume II). Jakarta: EGC; 2001.
4) Prodjosudjadi W, Suhardjono A.End-Stage Renal Disease In Indonesia:
Treatment development. Ethnicity & Disease 19: 33-36. 2009
5) Vogt BA, Avner ED. Renal failure. Dalam: Behrman RM, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 17.
Philadelphia: WB Saunders; 2004. hlm 1770-1775.
6) Wilson LM. Pengobatan Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Hartanto H, Susi N,
Wulansari P, Mahanani DA, editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. 6 ed. Vol 2. Jakarta: EGC; 2006. hlm. 965-978.
5. Hipertensi
Pengobatan Non Farmakologik
Diet rendah garam Panduan dari kanada (CHEP 2011) menganjurkan
asupan Na dalam makanan untuk usia dewasa < 50 tahun: 1500 mg, usia 51-70
tahun: 1300 mg dan usia > 70 tahun: 1200 mg. Menurut USDA
merekomendasikan konsumsi Natrium pada kelompok usia ≤ 50 tahun adalah
sebesar 2.300 mg atau 6 gram garam dapur, dan pada kelompok usia > 51 tahun
dan kelompok yang berisiko tinggi terhadap penyakit kardiovaskular konsumsi
natrium yang dianjurkan adalah < 1.500 gram per harinya. Namun pembatasan
diet rendah garam pada kelompok usia tua yang rapuh (frailty) bisa menyebabkan
atau bahkan memperburuk anoreksia, malnutrisi, sarkopenia dan hipotensi
ortostatik. Bukti terkuat yang mendukung untuk melakukan diet rendah garam
(natrium) pada kelompok usia lanjut dengan hipertensi adalah penelitian TONE,
yang menyatakan bahwa dijumpai manfaat klinis untuk menurunkan konsumsi
natrium menjadi berkiasar 2.300 mg pada kelompok usia > 70 tahun.

Pengobatan Inisial pada Hipertensi tanpa komplikasi

Konsensus penatalaksanaan hipertensi pada usia lanjut membagi


pengobatan inisial menjadi hipertensi tanpa komplikasi dan hipertensi dengan
komplikasi. Berdasarkan hasil meta analisis terakhir, rekomendasi terapi inisasi
pada usia lanjut yang tanpa komplikasi adalah golongan diuretik thiazid, Calcium
Channel Blocker (CCB), Angiotensin Converting Enzyme – Inhibitor (ACE-
Inhibitor), Angiotensin Reseptor Blocker (ARB), penyekat beta (β-blocker).

Pengobatan Inisial Pada Hipertensi dengan Komplikasi

Konsensus yang terakhir menganjurkan pemilihan obat pada pasien usia


lanjut dengan komplikasi, sesuai dengan hasil uji klinik obat pada indikasi atau
komplikasi tertentu, yang didapat dari penelitian jangka panjang atau meta
analisis. Pada panduan JNC -7, indikasi ini disebut sebagai “Compelling
indication”.
Berikut ini adalah golongan obat anti hipertensi yang bisa digunakan pada
pasien usia lanjut:

a. Diuretik Diuretik yang sering dipakai pada usia lanjut terutama golongan
tiazid, antagonis aldosteron. Diuretik loop suatu diuretik yang sangat kuat
diberikan apabila ada gagal jantung atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK).
Golongan diuretik non-tiazid seperti indapamid adalah turunan dari
sulfonamid, dapat mengurangi morbiditas kardiovaskular atau stroke pada
usia > 80 tahun. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah kenaikan kadar
gula darah. b. Calcium Channel Blocker ( CCB) Obat golongan Antagonis
kalsium atau Calcium Channel Blocker (CCB) telah terbukti keamanan dan
efikasinya pada pengobatan hipertensi pada usia lanjut.
b. CCB dianjurkan terutama apabila terdapat penyakit komorbid kardiovaskular.
Obat yang diberikan adalah yang memilki waktu kerja yang panjang.
Penelitian ACCOMPLISH menunjukkan bahwa penggunaan amlodipin (CCB
golongan dyhidropiridine) lebih efektif dibandingkan dengan tiazid dalam
menurunkan kejadian kardiovaskular pada pasien dengan risiko tinggi,
termasuk diabetes dan merupakan pilihan alternatif yang baik untuk
pengobatan hipertensi dengan diabetes. CCB golongan non dihydropyridine
seperti diltiazem dan verapamil tidak memilki efek inotropik maupun
kronotropik terhadap fungsi sistolik ventrikel kiri jantung bila dibandingkan
dengan CCB golongan dihydropyridine seperti amlodipin atau felodipin.
Verapamil dan Diltiazem dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada
pasien hipertensi dengan penyakit parenkim ginjal ( renal pharenchymal
disease) dan hipertensi yang resisten, namun sebaiknya dihindari
penggunaannya pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri.
c. Angiotensin Converting Enzyme – Inhibitor & Receptor Blocker
Angiotensin Converting Enzyme – Inhibitor (ACE-Inhibitor) dan Angiotensin
Receptor Blocker ( ARB ) adalah obat yang bekerja dengan menghambat
sistem renin – angiotensin. Obat ini telah terbukti mempunyai efek diluar efek
penurunan tekanan darahnya. Pada hipertensi dengan risiko kardiovaskular
yang tinggi, obat – obatan golongan ini mampu memperbaiki atau
menghambat kelainan organ target yang terjadi. Penelitian LIFE
menunjukkan penurunan angka mortalitas kardiovaskular dan insidensi stroke
pada penderita hipertensi sistolik terisolasi (HST) dengan pemberian losartan
(ARB) dibandingkan dengan atenolol ( Beta blocker). Dikarenakan memiliki
efek renoprotektif dari obat golongan ACEInhibitor dan ARB pada penderita
DM tipe 2, maka pedoman penatalaksanaan / guideline anti hipertensi terbaru
menyarankan penggunaan salah satu dari obat ini sebagai terapi inisial pada
hipertensi usia lanjut dengan diabetes mellitus. Efek samping golongan ACE-
Inhibitor yang sering terjadi adalah batuk kering yang disebabkan oleh
bradikinin, bila ini terjadi sebaiknya ACE-Inhibitor dihentikan dan diganti
dengan golongan Angiotensin Reseptor locker (ARB) seperti valsartan
ataupun losartan. JNC -8 melalui rekomendasi 9 tidak memperbolehkan
penggunaan ACE-Inhibitor dan ARB secara bersamaan pada satu paien.
d. Direct Renin Inhibitor ( DRI ) Direct Renin Inhibitor ( DRI ) merupakan
golongan obat anti hipertensi yang baru dengan efektivitas serupa dengan
ACE-Inhibitor ataupun ARB. Aliskiren adalah satu-satunya obat dari
golongan DRI yang tersedia ini dapat dikombinasikan dengan obat lain
seperti HCT, ramipril, dan amlodipin. Belum ada data yang cukup pada
pasien dengan eGFR kurang dari 30 ml/mnt.
e. Beta Blocker Golongan Penyekat beta ( Beta Blocker ) seperti propranolol,
bisoprolol, atenolol, dan lain- lain tidak lagi dianjurkan sebagai terapi inisial
pada pengobatan hipertensi usia lanjut dikarenakan efek sampingnya yang
besar terutama pada saluran pernafasan, kecuali pada gagal jantung, penyakit
jantung koroner, migrain dan tremor senilis. Pada hipertensi obat golongan ini
biasanya diberikan sebagai kombinasi dengan diuretik.
f. Alfa Blocker Golongan seletif alfa1 adrenergic antagonist seperti terazosin
dan doxazosin bermanfaat untuk pengobatan hipertensi yang disertai dengan
benign prostatic hypertrophy (BPH). Efek samping utama dari obat golongan
alfa bloker ini adalah hipotensi orthostatik, refleks takikardi dan sakit kepala.
Penilitian ALLHAT menunjukkan adanya efek samping berupa peningkatan
risiko stroke, kejadian kardio vaskular dan peningkatan risiko penyakit
jantung kongestif dengan penggunaan doxazozin bila dibandingkan dengan
chlortalidone, hal ini menunjukan bahwa penggunaan golongan alfa antagonis
sebaiknya dihindari sebagai penggunaan lini pertama obat anti hipertensi.
g. Aldosterone Antagonist Golongan antagonis aldosteron seperti spironolakton
biasanya digunakan pada hipertensi yang resisten yang disebabkan oleh
hiperaldosteronisme primer dan obstructive sleep apnoe ( OSA).
h. Golongan anti hipertensi lainnnya Golongan obat yang bekerja di sentral
seperti klonidin, tidak dianjurkan dipakai pada awal terapi mengingat efek
sedasi, mengantuk, bradikardi, dan mulut kering. Selain itu penggunaan obat
ini pada usia lanjut dikhawatirkan dapat menyebabkan terjadinya hipertensi
krisis karena penghentian obat secara mendadak (withdrawal effect). Klonidin
dapat diberikan dalam bentuk kombinasi dengan obat – obatan lain untuk
mencapai target tekanan darah yang optimal.
Penatalaksanaan hipertensi pada usia lanjut , dilakukan setelah semua
masalah mendapat perhatian secara seksama dan perlu mempertimbangkan
berbagai aspek. Pedoman JNC-VII perlu diperhatikan betul, diantaranya
mengenai jenis-jenis obat yang dianjurkan seperti diketahui salah satu pesan
dari JNC VII adalah :

1) Obat yang pertama diberikan sebaiknya adalah diuretika golongan tiasid


2) Apabila tekanan darah >160 mmHg, biasanya diperlukan lebih dari 1
macam anti-hipertensi, dimana obat kombinasi ini sebaiknya termasuk
diuretika tiasid
Referensi:

1) Konsensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia 2009: Penatalaksanaan


hipertensi pada keadaan khusus: Hipertensi pada usia lanjut, Perhimpunan
Hipertensi Indonesia (Ina SH), Jakarta, 2009; 1-18.
2) Suhardjono, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Geriatri dan gerontology;
Hipertensi pada Usia Lanjut, Edisi ke-6, Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam, Cetakan pertama, 2014; Bab 40.519;3855-58.
3) Suhardjono, Naskah Lengkap The 11th Jakarta: Hipertensi pada Usia Lanjut,
PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia), Jakarta-Indonesia: Edisi 1,
Cetakan I, 2011; 113-16.

6. Diabetes Melitus

Diabetes Mellitus 2 ( tidak terkontrol )


Pasien pada skenario dapat dikatakan menderita DM tipe 2 tidak terkontrol,
karena pada skenario dikatakan pasien mengkonsumsi glibenclamid 5mg secara
teratur tapi pada hasil pemeriksaan GDP dan GD2PP, hasilnya menunjukkan
bahwa pasien mengalami hiperglikemi. Untuk penanganan awal kita dapat
melakukan koreksi dosis obat yang diberikan sebelumnya kemudian jika tidak ada
perubahan bias kita ganti obatnya. Selain itu beberapa cara penanganan awal
untuk pasien diabetes melitus:
a) Lifestyle modification :
1) Pengaturan Makan
2) Latihan
3) Penyuluhan
b) Memberikan hyperglikemik lowering agents
1) Glinid : repaglinid dan nateglinid
2) Biguanid : metformin
3) a-glucosidase inhibitor : acarbose
4) Thiazolidinedione : pioglitazone
5) Dpp - 4 inhib : vildagliptin, sitagliptin, saxagliptin
Referensi:
Soegondo, Sidartawan. 2015 Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes
melitus tioe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi VI. Jakarta : Interna
Publishing.

7. Malnutrisi
Pada kasus pasien yang mengalami penurunan nafsu makan yang harus
dilakukan adalah mncari tahu penyebabnya lalu seteah itu dilakukan penanganan
agar intake makanannya adekuat. Pada pasien lansia diberkan makanan dengan
nilai gizi tinggi dengan porsi kecil interval sering

Penatalaksanaan gizi

a) Diet Garam Rendah:


Membantu menghilangkan retensi garam atau air dalam jaringan tubuh dan
menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi.
Bahan Makanan yang dianjurkan adalah sebagai berikut:

1) Sumber Karbohidrat: beras, kentang, singkong, terigu, tapioca, hunkwe,


gula
2) Sumber protein hewani: Daging dan ikan maksimal 100 g sehari
3) Sumber protein nabati: Semua kacang-kacangan dan hasilnya yang
diolah dan dimasak tanpa garam dapur.
4) Sayuran: Semua sayuran segar
5) Buah-buahan: buah-buahan segar
6) Lemak: Minyak goreng, margarin, dan mentega tanpa garam.
7) Minuman: teh, kopi

b) Diet Penyakit Diabetes Melitus


Membantu pasien memperbaiki kebiasaan makan dan olahraga untuk
mendapatkan control metabolic yang baik.
Bahan makanan yang dianjurkan untuk diet Diabetes Melitus adalah sebagai
berikut:

1) Sumber karbohidrat kompleks, seperti nasi, roti, mi, kentang, singkong,


ubi, dan sagu
2) Sumber protein rendah lemak, seperti ikan, ayam tanpa kulit, susu skim,
tempe, tahu, dan kacang-kacangan
3) Sumber lemak dalam batas jumlah terbatas yaitu bentuk makanan yang
mudah dicerna. Makanan terutama diolah dengan cara dipanggang,
dikukus, direbus dan dibakar.

c) Diet Penyakit Ginjal Kronik


Keadaan dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang cukup berat secara
perlahan-lahan (menahun) disebabkan oleh berbagai penyakit ginjal.
Bahan Makanan yang dianjurkan sebagai berikut:

1) Sumber Karbohidrat: Nasi, bihun, jagung, kentang, macaroni, mi,


tepung-tepungan, singkong, ubi, selai, madu.
2) Sumber protein: telur, daging, ikan, ayam, susu
3) Sumber lemak: minyak jagung, minyak kacang tanah, minyak kelapa
sawit, minyak kedelai, margarin.
4) Sumber vitamin dan mineral: Semua sayuran dan buah, kecuali pasien
dengan hyperkalemia di anjurkan yang mengandung kalium
rendah/sedang.
d) Diet Rematik
Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal serta menurunkan kadar
asam urat dalam darah dan urin.
Pengelompokan Bahan makanan menurut kadar purin dan anjuran makan
1) Kelompok 1: Kandungan Purin tinggi (100-1000 mg purin/100 g bahan
makanan) sebaiknya dihindari. Otak, hati, jantung, ginjal, jeroan, ekstrak
daging/kaldu, bebek, ikan sardine, makarel, remis, kerang.
2) Kelompok 2: Kandungan purin sedang yaitu daging sapi dan ikan, ayam,
udang, kacang kering, dan hasil olah
3) Kelompok 3: Kandungan purin rendah yaitu nasi, ubi, singkong, jagung,
roti, mie, bihun, tepung beras, kue kering, pudding, susu, keju, telur,
lemak dan minyak, gula, sayuran dan buah-buahan

Referensi:

Penuntun Diet. Instalasi Gizi Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi
Dietisien Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

8. Anemia

Penatalaksanaan anemia berdasarkan penyebab yang mendasari anemia.


Apakah penyebab dari karena dari asupannya atau didasarkan dari kormobidnya
(penyakit kronik).

Bila disebabkan penyakit kronik :

1) Tidak ada terapi khusus untuk anemia penyakit kronis kecuali untuk
mengelola atau mengobati gangguan yang mendasarinya. Terapi besi tidak
bermanfaat. Erythropoietin dapat membantu pada beberapa pasien dengan
anemia penyakit kronis. Dosisnya adalah 50 hingga 100 U per kg tiga kali
seminggu. Dosis dapat ditingkatkan hingga 150 U per kg per dosis jika
respons terhadap dosis yang lebih rendah tidak memadai.

Bila disebabkan karena asupan yang kurang:

Non Farmakologi

1) Intake minimal 1700 kkal / hari dan 1,7 gr / kg / hari asupan protein
diperlukan untuk mempertahankan anabolisme pada pasien kronis untuk
mencegah dan mengobati anemia. Suplementasi vitamin dan oligomineral
bermanfaat untuk mengurangi stres oksidatif dan meningkatkan umur panjang
sel darah merah. Anemia pada lansia dapat dicegah dengan nutrisi yang
adekuat, intervensi yang sederhana dan tidak mahal, dan terkait dengan
olahraga fisik mengurangi angka kematian.
Farmakologi

1) Anemia defisiensi Besi


Secara klasik, terapi oral dengan 325 mg besi sulfat tiga kali sehari telah
direkomendasikan untuk mencapai 100 hingga 200 mg zat besi setiap hari.
Zat besi dengan unsur cair dalam dosis serendah 15 mg per hari, diberikan
dengan jus jeruk untuk meningkatkan daya serap, bisa efektif sambil
meminimalkan efek buruk. Rekomendasi umumnya menyarankan untuk
melanjutkan selama tiga hingga enam bulan setelah kadar hemoglobin dan
serum feritin dinormalisasi, yang biasanya terjadi setelah enam hingga
delapan minggu terapi oral.
2) Anemia defisiensi vitamin B12 dan Asam Folat
Vitamin B12 dan folat dapat diganti dengan terapi oral 1 mg per hari.
Penggunaan formulasi parenteral juga efektif, dan pasien yang memerlukan
operasi bypass lambung harus menerima vitamin B12 parenteral. Formulasi
parenteral juga dapat diambil pada pasien yang tidak ingin mengambil
suplemen harian. Pasien dengan defisiensi folat harus dikoreksi secara
bersamaan dengan defisiensi vitamin B12 terlebih dahulu, karena folat dapat
mengatasi defisiensi vitamin B12 secara bersamaan. Mungkin bermanfaat
untuk membantu dengan ahli gizi untuk membantu dengan makanan dan
suplementasi vitamin. Pentingnya bantuan atau penelantaran harus selalu
ditawarkan pada pasien yang lebih tua dengan kekurangan gizi.

Referensi:
Bianchi, V. E. (2016). Role of nutrition on anemia in elderly. Clinical nutrition
ESPEN, 11, e1-e11.

9) Osteoarthritis
Penatalaksanaan Osteoartritis dimodifikasi berdasarkan guideline ACR: Update
tahun 2000
Tahap Pertama Terapi Non farmakologi
a) Edukasi pasien. (Level of evidence: II)
b) Program penatalaksanaan mandiri (self-management programs): modifikasi
gaya hidup. (Level of evidence: II)
c) Bila berat badan berlebih (BMI > 25), program penurunan berat badan,
minimal penurunan 5% dari berat badan, dengan target BMI 18,5-25. (Level
of evidence: I).
d) Program latihan aerobik (low impact aerobic fitness exercises). (Level of
Evidence: I)
e) Terapi fisik meliputi latihan perbaikan lingkup gerak sendi, penguatan otot-
otot (quadrisep/pangkal paha) dan alat bantu gerak sendi (assistive devices for
ambulation): pakai tongkat pada sisi yang sehat. (Level of evidence: II)
f) Terapi okupasi meliputi proteksi sendi dan konservasi energi, menggunakan
splint dan alat bantu gerak sendi untuk aktivitas fisik sehari-hari. (Level of
evidence: II)

Tahap kedua Terapi Farmakologi: (lebih efektif bila dikombinasi dengan terapi
nonfarmakologi diatas)

Pendekatan terapi awal

a) Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, dapat diberikan salah
satu obat berikut ini, bila tidak terdapat kontraindikasi pemberian obat
tersebut:
1) Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).
2) Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS). (Level of Evidence: II)
b) Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, yang memiliki risiko
pada sistim pencernaan (usia >60 tahun, disertai penyakit komorbid dengan
polifarmaka, riwayat ulkus peptikum, riwayat perdarahan saluran cerna,
mengkonsumsi obat kortikosteroid dan atau antikoagulan), dapat diberikan
salah satu obat berikut ini:
1) Acetaminophen ( kurang dari 4 gram per hari).
2) Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) topikal
3) Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) non selektif, dengan pemberian
obat pelindung gaster (gastro- protective agent).

Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) harus dimulai dengan dosis


analgesik rendah dan dapat dinaikkan hingga dosis maksimal hanya bila dengan
dosis rendah respon kurang efektif. Pemberian OAINS lepas bertahap (misalnya
Na-Diklofenak SR75 atau SR100) agar dipertimbangkan untuk meningkatkan
kenyamanan dan kepatuhan pasien. Penggunaan misoprostol atau proton pump
inhibitor dianjurkan pada penderita yang memiliki faktor risiko kejadian
perdarahan sistem gastrointestinal bagian atas atau dengan adanya ulkus saluran
pencernaan. (Level of Evidence: I, dan II) • Cyclooxygenase-2 inhibitor. (Level of
Evidence: II)

c) Untuk nyeri sedang hingga berat, dan disertai pembengkakan sendi, aspirasi
dan tindakan injeksi glukokortikoid intraartikular (misalnya triamsinolone
hexatonide 40 mg) untuk penanganan nyeri jangka pendek (satu sampai tiga
minggu) dapat diberikan, selain pemberian obat anti-inflamasi nonsteroid per
oral (OAINS). (Level of evidence: II)

Referensi:
Rekomendasi IRA untuk Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoartritis . 2014. Hal
18-19
10. Osteoporosis

Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan adanya osteoporosis pada


pasiennya bila didapatkan adanya gejala nyeri menetap pada tulang terutama
setelah rerjadinya fraktur akibat suatu trauma yang ringan, tubuh makin
memendek, kilosis dorsal bertambah, gangguan otot berupa kaku dan lemah serta
gambaran radiologik yang khas pada tulang trabecular. Diperlukan evaluasi
lengkap dan pengukuran densitas massa tulang dan pemeriksaan biokimia tulang
dan hormonal serta Demeriksaan organ lain yang terkait seperti ginial, hati,
saluran cerna, tiroid dan sebagainya.
Terapi osteoporosis harus mempertimbangkan 2 hal, yaitu terapi
pencegahan dan kuratif. Tujuan terapi pencegahan osleoporosis selain sitatnya
primer yaitu agar osteopeni yang terjadi tidak melewati nilai ambang osteoporosis
dan terjadi terlalu dini, juga bersifat sekunder yaitu memperlambat laju osteopeni
yang terjadi. Caranya yaitu dengan memperhatikan faktor makanan, latihan fisik
(senam pencegahan osteoporosis), pola hidup yang aktif dan paparan sinar ultra
violet beta matahari. Seiain itu menghindari obat obatan dan jenis makanan yang
merupakan faktor risiko osteoporosis seperti alcohoi, kafein, diuretika, sedatif,
kortikosteroid dan sebagainya. Pemberian terapi hormonal pada pencegahan
sekunder terutama pada osteoporosis tipe I (pasca menopausel dan perhatian
terhadap penyakit tertentu yang dapat menyebabkan osteoporosis seperti diabetes
mellitus, kelainan kelenjar tiroid, dan sebagainya. Selain pencegahan tujuan terapi
osteoporosis adalah meningkatkan massa tulang dengan melakukan pemberian
obat obat antara lain hormon pengganti (estrogen dan progesteron dosis rendah),
kalsitriol, kalsitonin, bisfosfonat, raloxifen, dan nutrisi seperti kalsium serta
senam beban- Bila telah teriadi fraktur maka perlu diperhatikan penyuluhan untuk
kegiatan hidup sehari-hari, terapi rehabililasi medis dan terapi bedah.

Hormon estrogen

Estrogen merupakan terapi hormonal pengganti utama yang direkomendasikan


WHO untuk osteoporosis tipe l. Digunakan untuk terapi pencegahan osteopenia
pada wanita pasca menopause dan pengobatan wanita pasca menopause bengan
osteoporosis selama 20 tahun lebih. Kelebihan terapi estrogen adalah juga
memperbaiki profil lipid dan mengurangi faktor risiko serangan jantung serta
meningkatkan massa tulang 5-10% pada penggunaan yang teratur selama 5 tahun.
Pada penelitian terbukti dapat menurunkan risiko fraktur tulang. Obat vanq
digunakan adalah coniugated estrogens 0,3-0,625 mg/hari, piperazine estrone
sulfale iogen) 0,625-1,25 mg/hari, estradiol (Estraderm) patches 25 100 ug dan
medroksiprogesteron asetat (provera) 2,5-10 mg/hari

Raloxifene
Raloxifene tergolong dalam seleklif estrogen reseptor modulator (SERM) adalah
komponen non sieroid yang berasal dari benzothiophene yang bersifat anti
estrogen, mengadakan kompeliti{ inhibisi terhadap peran estrogen pada payudara
dun khususnya uterus, selain juga bersofat agon;s estrogen pada tulang dan
melabolisme lemak

Calcitrial dan Kalsium

Pemberian calcitriol biasanYa bersamaan dengan kalsium karena fungsi utama


vitamin D ini adalah menjaga homeostasis kalsium dengan cara meningkatkan
absorpsi kalsium di usus dan mobilisasi kalsium dari tulang Kalsium yang cukup
dalam serlrrn akan menekan sekresi PTH dengan demikian proses resorpsi lulang
akan dihambat. Pemberian kalsium yang dianjurkan 1000-1500 mg/harinya

Kalsitonin

Manfaat kalsitonin yang lain adalah menambah massa tulang dan mempunyai efek
analgetik. Mekanisme kerjanya adalah mengurangi resorpsi dengan menekan
aktivitas osteoklast atau menghambat cara kerja osteoklast dengan 2 cara yaitu
menghambat transformasi monosit meniadi osteoklast dan mengadakan
translokasi ion kalsium kedalam mitokondria.

Bifosfonat

Bisfostonat merupakan obat yang relatil baru yang digunakan untuk pengobatan
osteoporosis, baik sebagai alternatif terapi pengganti hormon pada wanita maupun
penderita osteoporosis pria. Cara kerja bisloslonat adalah mengurangi resorpsi
tulang oleh osteoklast dengan caaa ber;katan pada permukaan tulang dan dengan
menghambat kerja osteoklast dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim
lisosomal dibawah osteoklast.Referensi:

Broto, Rawan. Rahardjo. Terapi Osteoporosis. Bagian Rematologi Bagian Ilmu


Penyakit Dalam FK UGM. Yogyakarta. Hal 140-143.

JAWABAN
1. Apa yang dapat terjadi sehingga timbul nyeri pada pangkal paha setelah
terjatuh ?
Jatuh pada geriatri dapat menimbulkan beberapa komplikasi diantaranya
adalah fraktur. Fraktur merupakan salah satu masalah musculoskeletal yang sering
terjadi pada manusia lanjut usia, dan fraktur yang berhubungan dengan
osteoporosis dianggap yang paling menyebabkan morbiditas dan disalbilitas
padalanjut usia. Jenis fraktur berdasarkan lokasinya yang sering terjadi pada lansia
yaitu fraktur kompresi vertebra, fraktur panggul, dan fraktur pinggul.
Berdasarkan sKenario, dicurigai bahwa pasien perempuan berusia 74
tahun mengalami fraktur collum femur ditandai adanya nyeri pada pangkal paha
sebelah kanan dan sangat nyeri bila digerakkan sehingga tidak bisa berjalan.
Fraktur collum femoris sering terjadi pada lansia yang disebabkan trauma
langsung seperti terjatuh ditambah dengan adanya osteoporosis. Pada scenario,
pasien jatuh karena terpeleset dengan posisi terduduk yang bisa mengarah pada
fraktur pinggul atau fraktur femur proksimal.
Referensi :
Hazzard, William R., et all. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology 4nd
edition. 2010, New York, Mc Graw – Hill. Inc Health Professions Division

2. Bagaimanakah hubungan antara rematik dengan berjalan pincang?


Pada skenario pasien mengeluh lutut bengkak dan sering sakit.
Kemungkinan yang terjadi pada pasien adalah Osteoarthritsis. Osteoartritis (OA)
merupakan bentuk artritis yang paling sering ditemukan di masyarakat, bersifat
kronis, berdampak besar dalam masalah kesehatan masyarakat. Osteoartritis dapat
terjadi dengan etiologi yang berbeda-beda, namun mengakibatkan kelainan
bilologis, morfologis dan keluaran klinis yang sama. Proses penyakitnya tidak
hanya mengenai rawan sendi namun juga mengenai seluruh sendi, termasuk
tulang subkondral, ligamentum, kapsul dan jaringan sinovial serta jaringan ikat
periartikular. Pada stadium lanjut rawan sendi mengalami kerusakan yang ditandai
dengan adanya fibrilasi, fissura dan ulserasi yang dalam pada permukaan sendi.
Harus dipahami bahwa pada OA merupakan penyakit dengan progresifitas yang
lambat, dengan etiologi yang tidak diketahui. Terdapat beberapa faktor risiko OA,
yaitu: obesitas, kelemahan otot, aktivitas fisik yang berlebihan atau kurang,
trauma sebelumnya, penurunan fungsi proprioseptif, faktor keturunan menderita
OA dan faktor mekanik. Faktor risiko tersebut mempengaruhi progresifitas
kerusakan rawan sendi dan pembentukan tulang yang abnormal. OA paling sering
mengenai lutut, panggul, tulang belakang dan pergelangan kaki. Karakteristik OA
ditandai dengan keluhan nyeri sendi dan gangguan pergerakan yang terkait
dengan derajat kerusakan pada tulang rawan.
Adapun klasifikasinya yaitu :

Gejala OA umumnya dimulai saat usia dewasa, dengan tampilan klinis


kaku sendi di pagi hari atau kaku sendi setelah istirahat. Sendi dapat mengalmi
pembengkakan tulang, dan krepitus saat digerakkan, dapat disertai keterbatasan
gerak sendi. Peradangan umumnya tidak ditemukan atau sangat ringan. Banyak
sendi yang dapat terkena OA, terutama sendi lutut, jari-jari kaki, jari-jari tangan,
tulang punggung dan panggul. Nyeri dirasakan berangsur-angsur (onset gradual),
Tidak disertai adanya inflamasi (kaku sendi dirasakan < 30 menit, bila disertai
inflamasi, umumnya dengan perabaan hangat, bengkak yang minimal, dan tidak
disertai kemerahan pada kulit), Tidak disertai gejala sistemik, Nyeri sendi saat
beraktivitas.
Referensi:
Rekomendasi IRA untuk Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoartritis. 2014. Hal
2,6, dan 10.

3. Apa yang menyebabkan penderita batuk dan bagaimana hubungannya


dengan jatuh?
Pada usia lanjut daya tahan tubuh semakin menurun sehingga mudah
terserang penyakit-penyakit infeksi. Terutama penyakit infeksi saluran napas akut,
yang tersering yaitu pneumonia dalam bentuk bronkho pneumonia. Tidak
munculnya demam pada pasien ini juga terkait usia, karena pada usia lanjut reaksi
tubuh terhadap antigen tidak lagi maksimal akibat system imun yang menurun tsb.
Mekanisme hingga batuk sesak dapat menyebabkan karena pada orang
yang mengalami batuk dan sesak saturasi Oksigen menurun sehingga
menyebabkan hipoksia, hipoksia kemudian menyebabkan gangguan metabolisme
dari aerob menjadi anaerob, hasil dari metabolism anaerob ini jika sampai
mengenai jaringan diotak akan mengggu kesadaran (kesadaran menurun)
memudahkan pasien mengalami instabilitas dan mengakibatkan jatuh.
Pneumonia pada pasien usia lanjut dapat bermanifestasi sebagai jatuh
akibat perubahan status mental, hipotensi postural, ataupun kelemahan umum.
Pneumonia merupakan bagian dari faktor intrinsik sistemik yang dapat memicu
timbulnya gangguan keseimbangan dan jatuh. Beberapa pasien memiliki
baroreseptor karotis yang sensitif dan rentan mengalami sinkop akibat refleks
tonus vagal yang meningkat akibat batuk, mengedan, berkemih sering terjadi
bradikardia dan hipotensi.
Perubahan status fungsional, gangguan metabolik, episode jatuh yang
berulang ataupun eksaserbasi akut dari penyakit kronik bisa menjadi gejala yang
paling utama muncul atau bahkan menjadi satu-satunya manifestasi pneumonia
pad pasien usia lanjut. Perubahan status fungsional ditandai dengan
ketidakmampuan seorang usia lanjut dalam melakukan aktivitas yang biasa
dilakukan sehari-hari.
Referensi:
Febria E, Martin C, Harimurti K. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan
Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut. 2016. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta

4. Bagaimanakah hubungan antara penggunaan obat Glibenklamide secara


teratur dengan keluhan jatuh pasien?
Pada skenario, dikatakan bahwa pasien telah mengkonsumsi obat
glibenclamide 5 mg secara teratur. Berdasarkan penyebab-penyebab jatuh pada
lansia salah satunya adalah penggunaan obat-obat hipoglikemi. Glibenclamide
lebih sering memberi hipoglikemi dibanding gliclazide pada usia lanjut, tentu saja
bukan karena obatnya yang salah, tetapi dokter perlu lebih waspada dalam menilai
dosis bagi pasiennya. Glibenclamide termasuk dalam golongan obat sulfoniurea,
golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beya pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan, sehingga hanya bermanfaat pada pasien yang
masih mampu mensekresi insulin. Efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan
merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila
sulfonilurea terikat dengan reseptor (SUR) channel tersebut maka akan terjadi
penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas K
pada membran sel beta , terjadi depolarisasi membran dan membuka channel Ca
tergantung voltase, dan meningkatkan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada
Calmodulin dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin.
Seiring dengan proses penuaan, semakin banyak lansia yang berisiko terhadap
terjadinya DM. Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan
penurunan berat badan tidak selalu tampak pada lansia penderita DM karena
seiring dengan meningkatnya usia terjadi kenaikan ambang batas ginjal untuk
glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila glukosa darah sudah
cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu seiring dengan
penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia penderita DM mudah
mengalami dehidrasi hiperosmolar akibat hiperglikemia berat. DM pada lansia
umumnya bersifat asimptomatik, kalaupun ada gejala, seringkali berupa gejala
tidak khas seperti kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status
kognitif atau kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi,
agitasi, mudah jatuh, dan inkontinensia urin).
Pada pemakaian sulfonilurea, umumnya selalu dimulai dengan dosis
rendah. Gejala klinis hipoglikemia yang terjadi dapat berupa gemetaran, kulit
lembab dan pucat, rasa cemas, keringat berlebihan, rasa lapar, mudah rangsang,
penglihatan kabur atau kembar, dimana hal ini dapat menyebabkan terjadinya
jatuh pada lansia.
Referensi:

1) Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-


Proses-Proses Penyakit. Edisi 6 vol.2

2) Boedhi-Darmojo .2010. Buku ajar Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut).Edisi


4 Jakarta : Balai penerbit FK UI
3) Manaf, Asman. 2015. Hipoglikemia: Pendekatan Klinis Dan
Penatalaksanaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing.
4) Soegondo, Sidartawan. 2015 Farmakoterapi pada pengendalian glikemia
diabetes melitus tioe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi VI.
Jakarta : Interna Publishing.

5. Bagaimana pemeriksaan yang dapat dilakukan sesuai dengan keluhan


yang dialami pasien?
a) Nyeri Pada Pangkal Paha Setelah Jatuh Terduduk
Assesment : Komplikasi fraktur femoris
Pemeriksaan Penunjang :
1) Pemeriksaan radiologi (X-Ray) AP atau PA dan lateral
2) CT-scan dilakukan apabila pemeriksaan radiografi tidak mencapai
kebutuhan diagnosis
3) Pemeriksaan Laboratorium : Alkalin fosfat, Kalsium serum dan fosfor
serum.
4) Pemeriksaan Lainnya :

a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan tes sensitivitas: dilakukan


pada kondisi fraktur dengan komplikasi, pada kondisi infeksi, maka
biasanya didapatkan mikrooganisme penyebab infeksi
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan di atas, tetapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi
c) Elektromiografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur
d) Artroskopi: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan
e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang
f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur
Tatalaksana:
Terapi operatif hampir selalu dilakukan pada penderita fraktur leher femur
baik orang dewasa muda maupun pada orangtua karena
1) Perlu reduksi yang akurat dan stabil
2) Diperlukan mobilisasi yang cepat pada orang tua untuk mencegah
komplikasi
3) Tindakan operatif dilakukan pemasangan prosthesis moore

Pemeriksaan Fisik :
1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme tulang yang menyertai fraktur untuk
meminimalkan gerakan antara fragmen tulang.
2) Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa), bukan tetap
rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas (terlahat maupun teraba). Ekstremitas
yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
3) Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur.
Frakmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 - 5 cm (1-2)
4) Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitasi/krepitus yang teraba akibat gesekan antara
fragmen satu dengan yang lain
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
Edukasi :
1) Perawatan lantai yakni pembersihan dari ganggang yang menyebabkan
licin, serta terkena material yang licin seperti sabun ditambah material
yang licin yakni terpeleset bibir kloset keramik saat menumpukan kaki
untuk membersihkan kaki.
2) Teras memerlukan desain penutup atap yang dapat mencegah tampias
serta mengurangi kemungkinan terjadinya kebocoran. Teras juga sering
menjadi area transisi aktivitas yang mungkin berkenaan dengan air
seperti menyiram tanaman dan menjemur sehingga desain lantai teras
perlu sebisa mung- kin mengurangi kemungkinan air menggenang.
3) Penyediaan pegangan yang aman juga berpotensi mencegah kasus jatuh
pada kondisi berbahaya menjadi hanya hampir jatuh. Pertimbangan
desain yang sesuai dengan kebutuhan sehari-hari lansia dapat
mengurangi ke- mungkinan lansia menambahkan objek tidak permanen
yang tidak direncanakan dengan baik dan dapat menjadi pengganggu di
area jalan.

b) Immobilitas (KATZ G)
Assesment : Pneumonia, thrombosis, decubitus
Pemeriksaan Penunjang : Profil lipid darah (kolesterol, LDL, HDL,
trigliserida), darah rutin, GD I / II, HbA1c, X-foto thoraks
Tatalaksana :
1) Perbaiki keadaan umum dan tanda vital
2) Pemberian antibiotic
3) Konsul rehabilitasi medik untuk mobilisasi bertahap
Pemeriksaan Fisik: Indeks Katz dan skor Norton, keadaan umum dan tanda
vital
Edukasi :

1) Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien


mengenai keadaan pasien tentang pembatasan
aktivitas kegiatan sehari-harinya supaya keluarga
membantu bila pasien tidak dapat melakukan
aktivitasnya secara mandiri
2) Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien agar
pasien tidak terlalu banyak melakukan aktivitas yang
dapat meningkatkan beban kerja jantung
3) Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien
untuk merubah posisi tidur miring ke kanan dan kiri
setiap 2 jam sekali untuk mengurangi risiko
terjadinya luka di punggung

c) Hipertensi grade II
Assesment :
a) Etiologi primer
b) Etiologi sekunder
c) Faktor resiko penyakit jantung iskemik lainnya
Pemeriksaan Penunjang : Profil lipid, GD I/II, asam urat, kimia klinik
Tatalaksana :
a) Golongan Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)
seperti valsartan ataupun losartan
b) Diet rendah garam

Pemeriksaan Fisik : Keadaan umum dan tanda vital


Edukasi :
1. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakitnya
disebabkan oleh proses degeneratif pada pembuluh
darah sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
darah
2. Menjelaskan kepada pasien diperlukan pemeriksaan
lebih lanjut berupa pemeriksaan laboratorium untuk
kadar gula darah, lemak dan kolesterol, serta asam
urat untuk mengetahui adakah kemungkinan faktor
risiko lain yang menyebabkan penyakit jantung yang
diderita.
3. Menyarankan pada pasien untuk mengurangi
aktivitas/pekerjaan jika nyeri bertambah berat dan
memperbanyak istirahat.
4. Menjelaskan pada pasien untuk mengurangi konsumsi
makanan yang asin dan mengandung MSG (penyedap
rasa).
5. Edukasi untuk rutin kontrol ke dokter dan minum obat
antihipertensi secara teratur.

d) Diabetes Mellitus 2 ( tidak terkontrol )


Pasien pada skenario dapat dikatakan menderita DM tipe 2 tidak terkontrol,
karena pada skenario dikatakan pasien mengkonsumsi glibenclamid 5mg secara
teratur tapi pada hasil pemeriksaan GDP dan GD2PP, hasilnya menunjukkan
bahwa pasien mengalami hiperglikemi. Untuk penanganan awal kita dapat
melakukan koreksi dosis obat yang diberikan sebelumnya kemudian jika tidak ada
perubahan bias kita ganti obatnya. Selain itu beberapa cara penanganan awal
untuk pasien diabetes melitus :
a) Lifestyle modification :
1) Pengaturan Makan
2) Latihan
3) Penyuluhan
b) Memberikan hyperglikemik lowering agents
1) Glinid : repaglinid dan nateglinid
2) Biguanid : metformin
3) a-glucosidase inhibitor : acarbose
4) Thiazolidinedione : pioglitazone
5) Dpp - 4 inhib : vildagliptin, sitagliptin, saxagliptin
e) Osteoarthritis

Assesment : -
Pemeriksaan Penunjang : Radiologi, analisis cairan sendi
Tatalaksana : - Asetaminofen
- OAINS oral
- OAINS topikal
- Tramadol
- Injeksi kortikosteroid intraartikuler

Pemeriksaan Fisik : Keadaan umum, tanda vital dan keluhan nyeri


pada lutut dipagi hari, kaku pada sendi
Edukasi :
1) Menjaga pola makan dan minum (diet) agar selalu baik dan
seimbang sehingga pertumbuhan sendi dan tulang rawan
sempurna dan normal
2) Dianjurkan menggunakan kursi dengan sandaran keras, kasur
yang tidak terlalu lembek dan tempat tidur yang dialas dengan
papan
3) Menekan lembut dengan hati-hati pada bagian yang bengkak
dan kaku sambil memberi terapi pemanasan sederhana dengan
minyak oles atau krim balsem
4) Untuk nyeri pada jari tangan, dianjurkan merendam tangan
dalam campuran parafin panas dengan minyak mineral pada
suhu 45-520C atau mandi dengan air hangat.
f) CKD stage 4
Assesment : -
Pemeriksaan Penunjang : Pada CKD, diperlukan pemeriksaan lab dan
diagnostik. Pemeriksaan lab pada klien dengan CKD dilakukan dengan
pengambilan sampel darah dan urin. Pada pengambilan sampel darah
komponen yang diperiksa terdiri dari BUN, Cr, GFR, CBC, ABGs,
elektrolit, protein terutama albumin, dan osmolalitas serum. Sementara,
untuk pengambilan sampel urin ialah untuk melihat karakteristik urin,
proteinuria, Cr Protein, osmolalitas urin, dan Cr clearance.

Tatalaksana : Gagal ginjal kronik tidak dapat disembuhkan. Pada


gagal ginjal stadium akhir, fungsi ginjal dapat digantikan hanya dengan
dialisis (cuci darah) atau transplantasi ginjal. Perencanaan dialisis atau
transplantasi ginjal biasanya dimulai pada gagal ginjal kronik stadium IV.
Tujuan terapi pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah:
1) Memperlambat kerusakan ginjal yang terjadi
2) Mengatasi faktor yang mendasari gagal ginjal kronis (misalnya:
kencing manis, hipertensi, dan lain - lain)
3) Mengobati komplikasi dari penyakit
4) Menggantikan fungsi ginjal yang sudah tidak dapat bekerja
Pemeriksaan Fisik : Pada tahap awal gagal ginjal kronik, mungkin
tidak ditemukan gejala klinis karena ginjal masih bisa beradaptasi dalam
menjalankan fungsinya. Pada tahap lanjut, gagal ginjal kronis dapat
menyebabkan anemia dengan gejala lemas, letih, lesu dan sesak napas.
Terjadi penumpukan cairan tubuh yang lebih banyak lagi sehingga
menyebabkan pembengkakan seluruh bagian tubuh. Beberapa pasien
memberikan gajala yang disebabkan keadaan uremik (kadar urea dalam
darah yang meningkat urea) yakni mual, muntah dan perubahan status
mental (ensefalopati), disertai ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan
USG ginjal dapat membantu dalam mendiagnosis gagal ginjal kronis.
Edukasi : Atur pola makan

1) Pembatasan konsumsi protein


2) Pengurangan konsumsi garam
3) Batasi asupan cairan
4) Batasi asupan kalium 
5) Batasi asupan fosfor 

Asupan kalori harus tetap cukup untuk mencegah penghancuran jaringan


tubuh yang sudah ada. Pasien dengan gagal ginjal kronik biasanya
mengalami anemia dan membutuhkan suplemen zat besi. Makanan yang
mengandung banyak zat besi adalah hati, daging sapi, daging ayam, sereal
yang diperkaya dengan zat besi.

Referensi:

1) Kee L. J. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diognostik Edisi


6. Jakarta: EGC. 2007
2) Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Edisi 2. 2016
3) Risiko Jatuh di Teras dan Kamar Mandi Rumah Lansia, Studi Kasus:
Yogyakarta. Stefani Natalia Sabatini. 2016
4) Setiati, S. Gangguan Keseimbangan, Jatuh dan Fraktur dalam Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi IV. Jakarta: Badan penerbit Interna.
2015.p. 3755

6. Apa faktor intrinsik dan ekstrinsik yang menyebabkan pasien jatuh?


Faktor instrinsik :
Perubahan fisiologis terkait usia

Di antara perubahan fisiologis yang berkaitan dengan usia dapat dapat


berupa perubahan penglihatan (pengurangan ketajaman visual, terutama di malam
hari; berkurangnya kemampuan mengakomodasi; presbiopia) ;perubahan dalam
Sistem Saraf Pusat (defisiensi sensitivitas sentuhan, sensasi getaran, sensitivitas
termal; ketidakstabilan untuk berdiri; perubahan dalam integrasi input sensorik
dan respons motorik ; defisit vestibular dan keseimbangan); perubahan dalam
sistem muskuloskeletal (sarkopenia; kekuatan otot berkurang terutama yang
melibatkan otot anti-gravitasi)

Kondisi predisposisi patologis.

Kondisi patologis yang cenderung jatuh dapat berupa neurologis


(strokeParkinsonisme; Demensia; Epilepsi), Kardiovaskular (Infark Miokard;
hipotensi ortostatik; aritmia); Metabolik Endokrin (Hipotiroidisme; hipoglikemia;
anemia), Gastrointestinal (perdarahan; diare; sinkop post-prandial), Genito-Kemih
(sinkop post-miksi; inkontinensia urin), Musculoskeletal (artropati degeneratif;
miopati), Psikiatri (Depresi; Kecemasan)

Perubahan psikologis

Psikologis yang terkait dengan jatuh: takut jatuh dan sindrom kecemasan
pasca-jatuh mengakibatkan hilangnya kepercayaan diri dan keterbatasan
fungsional diri pada orang tua lansia yang tinggal di rumah dan dilembagakan
yang telah jatuh.

Faktor Ekstrinsik :

Penyebab jatuh yang ekstrinsik adalah faktor lingkungan seperti


penghalang, pencahayaan ambient yang tidak memadai, alas kaki dan pakaian
yang tidak memadai, lantai yang tidak rata atau licin, adanya anak tangga,
kurangnya pegangan tangan, ketinggian tempat tidur yang tidak memadai, kursi
yang tidak memadai, kursi yang tidak memadai, kamar mandi yang tidak
memadai, lingkungan yang tidak dikenal.
Yang sangat penting dalam konteks ini adalah penurunan akibat penyebab
iatrogenik: asupan 4 atau lebih obat (khususnya antihipertensi, diuretik,
benzodiazepin, antidepresan) dianggap sebagai faktor risiko independen jatuh.

Berdasarkan dari teori diatas, factor yang menyebabkan pasien tersebut


jatuh ada pada factor intrinsic dan pada faktor ekstrinsik. Berdasarkan dari
scenario, factor instrinsik yang dapat dihubungkan berupa perubahan dalam
sistem saraf pusatnya dan perubahan dalam sistem muskuloskeletalnya. Hal ini
dapat dikaitkan bahwan pada usia lansia, memiliki ketidakstabilan untuk berdiri
diikuti dengan postur pasien yang bungkuk ke depan dengan kondisi bila berjalan
agak pincang .Hal tersebut dikarena juga predisposisi patologi yang dialami
pasien yaitu lutut pasien sering sakit dan bengkak. Maka, apabila pasien jatuh
kekuatan otot berkurang untuk menjaga keseimbang pasien dan integrasi input
sensorik dan respon motoriknya berkurang. Bila diakitkan dengan factor
ekstrinsik dapat dihubungkan dengan factor lingkungan pasien yang alas kaki
digunakan tidak sangat aman untuk kondisi pasien, atau lantai yang licin
meningkatkan resiko untuk pasien jatuh. Selain itu, penggunaan obat yaitu
glibenklamid dimana memberika efek samping hipoglikemi pada pasien dapt
menjadi salah satu resiko pasien unutk jatuh.

Referensi:
Pasquetti, P., Apicella, L., & Mangone, G. (2014). Pathogenesis and treatment of
falls in elderly. Clinical cases in mineral and bone metabolism, 11(3), 222.

7. Apakah penyebab nafsu makan menurun berdasarkan skenario?

Pertambahan usia yang dialami lansia membawa konsekuensi terhadap


penurunan fungsi organ tubuh. Perubahan degeneratif yang terjadi pada lansia
juga dibarengi oleh munculnya sindroma geriatri yang menyebabkan angka
ketergantungan lansia semakin tinggi.
Lansia selalu beresiko terhadap malnutrisi karena adanya proses
penurunan asupan makanan akibat perubahan fungsi usus, inefektifitas
metabolisme, kegagalan homeostasis dan defek nutrien. Semakin tua usia
seseorang maka resiko seorang individu untuk mengalami malnutrisi akan
semakin tinggi. Apabila hal ini tidak tertangani dengan baik dapat menyebabkan
defisiensi energi protein dan nutrisi lainnya. Malnutrisi pada lansia dapat
menyebabkan kejadian gangguan kerja otot, penurunan fungsi kognitif, penurunan
massa tulang dan meningkatkan angka kematian.
Gangguan kerja otot dan penurunan massa tulang diketahui akan
menggangu kemampuan motorik lansia yang selanjutnya sangat mempengaruhi
keseimbangan postural lansia. Keseimbangan postural merupakan salah satu
faktor penting yang dibutuhkan seseorang agar dapat melaksanakan aktifitas
fungsional. Selain itu keseimbangan postural juga diketahui merupakan salah satu
prediktor kejadian jatuh pada lansia.
Jatuh pada lansia merupakan salah satu sindroma geriatrik yang paling
banyak menyita perhatian. Resiko jatuh pada lansia akan semakin meningkat
seiring dengan pertambahan usia. Kejadian jatuh pada lansia setiap tahunnya
tercatat sekitar 30% terjadi pada lansia berusia 65 tahun atau lebih dan pada lansia
berusia 80 tahun atau lebih angka kejadian jatuh meningkat menjadi 50% di
seluruh dunia. Kejadian jatuh dapat membawa dampak serius yang dapat
meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pada lansia karena pada tahapan
lansia seorang individu akan beresiko mengalami osteoporosis dan bila terjadi
jatuh maka resiko terjadinya fraktur akan semakin tinggi.
Referensi:
Indonesian THE, Of J, Science H. STATUS NUTRISI LANSIA DAN RISIKO
JATUH PADA LANSIA. 2019;11(1):22–9.

8. Jelaskan mengenai Teori Penuaan!


Penuaan adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi
seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis
dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian. Pada
lanjut usia, individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang
pernah dimilikinya. Penurunan tersebut mengenai berbagai sistem dalam tubuh
seperti penurunan daya ingat, kelemahan otot, pendengaran, penglihatan, perasaan
dan tampilan fisik yang berubah serta berbagai disfungsi biologis lainnya.

Poses penuaan biologis ini terjadi secara perlahan-lahan dan dibagi menjadi
beberapa tahapan, antara lain:
1. Tahap Subklinik (Usia 25 – 35 tahun):

Usia ini dianggap usia muda dan produktif, tetapi secara biologis mulai
terjadi penurunan kadar hormon di dalam tubuh, seperti growth hormone,
testosteron dan estrogen. Namun belum terjadi tanda-tanda penurunan fungsi-
fungsi fisiologis tubuh.

2. Tahap Transisi (Usia 35 – 45 tahun):

Tahap ini mulai terjadi gejala penuaan seperti tampilan fisik yang tidak muda
lagi, seperti penumpukan lemak di daerah sentral, rambut putih mulai tumbuh,
penyembuhan lebih lama, kulit mulai berkeriput, penurunan kemampuan fisik dan
dorongan seksual hingga berkurangnya gairah hidup. Radikal bebas mulai
merusak ekspresi genetik yang dapat bermanisfestasi pada berbagai penyakit.
Terjadi penurunan lebih jauh kadar hormon-hormon tubuh yang mencapai 25%
dari kadar optimal.

3. Tahap Klinik (Usia 45 tahun ke atas):

Gejala dan tanda penuaan menjadi lebih nyata yang meliputi penurunan
semua fungsi sistem tubuh, antara lain sistem imun, metabolisme, endokrin,
seksual dan reproduksi, kardiovaskuler, gastrointestinal, otot dan saraf. Penyakit
degeneratif mulai terdiagnosis, aktivitas dan kualitas hidup berkurang akibat
ketidakmampuan baik fisik maupun psikis yang sangat terganggu.

Teori Proses Penuaan

Teori penuaan secara umum menurut Ma’rifatul (2011) dapat dibedakan


menjadi dua yaitu teori biologi dan teori penuaan psikososial:
A. Teori Biologi
1) Teori seluler

Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan


kebanyakan sel–sel tubuh “diprogram” untuk membelah 50 kali. Jika
seldari tubuh lansia dibiakkan lalu diobrservasi di laboratorium terlihat
jumlah sel–sel yang akan membelah sedikit. Pada beberapa sistem, seperti
sistem saraf, sistem musculoskeletal dan jantung, sel pada jaringan dan
organ dalam sistem itu tidak dapat diganti jika sel tersebut dibuang karena
rusak atau mati. Oleh karena itu, sistem tersebut beresiko akan mengalami
proses penuaan dan mempunyai kemampuan yang sedikit atau tidak sama
sekali untuk tumbuh dan memperbaiki diri
2) Sintesis Protein (Kolagen dan Elastis)

Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya pada


lansia. Proses kehilangan elastisitas ini dihubungkan dengan adanya
perubahan kimia pada komponen protein dalam jaringan tertentu. Pada
lansia beberapa protein (kolagen dan kartilago, dan elastin pada kulit)
dibuat oleh tubuh dengan bentuk dan struktur yang berbeda dari protein
yang lebih muda. Contohnya banyak kolagen pada kartilago dan elastin
pada kulit yang kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi lebih tebal,
seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini dapat lebih mudah dihubungkan
dengan perubahan permukaan kulit yang kehilangan elastisitanya dan
cenderung berkerut, juga terjadinya penurunan mobilitas dan kecepatan
pada system musculoskeletal.
3) Keracunan Oksigen
Teori ini tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel di
dalam tubuh untuk mempertahankan diri dari oksigen yang mengandung
zat racun dengan kadar yang tinggi, tanpa mekanisme pertahanan diri
tertentu. Ketidakmampuan mempertahankan diri dari toksin tersebut
membuat struktur membran sel mengalami perubahan serta terjadi
kesalahan genetik. Membran sel tersebut merupakan alat sel supaya dapat
berkomunikasi dengan lingkungannya dan berfungsi juga untuk
mengontrol proses pengambilan nutrisi dengan proses ekskresi zat toksik
di dalam tubuh. Fungsi komponen protein pada membran sel yang sangat
penting bagi proses tersebut, dipengaruhi oleh rigiditas membran.
Konsekuensi dari kesalahan genetik adalah adanya penurunan reproduksi
sel oleh mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan
dan organ berkurang. Hal ini akan menyebabkan peningkatan kerusakan
sistem tubuh
4) Sistem Imun

Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa


penuaan. Walaupun demikian, kemunduran kemampuan sistem yang
terdiri dari sistem limfatik dan khususnya sel darah putih, juga merupakan
faktor yang berkontribusi dalam proses penuaan. Mutasi yang berulang
atau perubahan protein pasca tranlasi, dapat menyebabkan berkurangnya
kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi
isomatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel,
maka hal ini akan dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel
yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan
menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya
peristiwa autoimun. Disisi lain sistem imun tubuh sendiri daya
pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya serangnya
terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga sel kanker leluasa
membelah-belah
5) Teori Menua Akibat Metabolisme
pengurangan “intake” kalori pada rodentia muda akan menghambat
pertumbuhan dan memperpanjang umur. Perpanjangan umur karena
jumlahkalori tersebut antara lain disebabkan karena menurunnya salah satu
atau beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormon
yang merangsang pruferasi sel misalnya insulin dan hormon pertumbuhan.
B. Teori Psikologis
1) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)

Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara


keaktifannya setelah menua. Sense of integrity yang dibangun dimasa
mudanya tetap terpelihara sampai tua. Teori ini menyatakan bahwa pada
lansia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam
kegiatan sosial
2) Kepribadian berlanjut (Continuity Theory)

Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lansia.


Identity pada lansia yang sudah mantap memudahkan dalam memelihara
hubungan dengan masyarakat, melibatkan diri dengan masalah di
masyarakat, kelurga dan hubungan interpersonal
3) Teori Pembebasan (Disengagement Theory)

Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang


secara pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya
atau menarik diri.

Faktor internal

Pengaruh faktor-faktor internal seperti terjadinya penurunan anatomik,


fisiologik dan perubahan psikososial pada proses menua makin besar, penurunan
ini akan menyebabkan lebih mudah timbulnya penyakit dimana batas antara
penurunan tersebut dengan penyakit seringkali tidak begitu nyata.

Penurunan anatomik dan fisiologik dapat meliputi sistem saraf pusat,


kardiovaskuler, pernapasan, metabolisme, ekskresi, musculoskeletal serta kondisi
psikososial. Kondisi psikososial itu sendiri meliputi perubahan kepribadian yang
menjadi faktor predisposisi yaitu gangguan memori, cemas, gangguan tidur,
perasaan kurang percaya diri, merasa diri menjadi beban orang lain, merasa
rendah diri, putus asa dan dukungan sosial yang kurang. Faktor sosial meliputi
perceraian, kematian, berkabung, kemiskinan, berkurangnya interaksi sosial dalam
kelompok lansia mempengaruhi terjadinya depresi. Respon perilaku seseorang
mempunyai hubungan dengan kontrol sosial yang berkaitan dengan kesehatan.
Frekuensi kontak sosial dan tingginya integrasi dan keterikatan sosial dapat
mengurangi atau memperberat efek stress pada hipotalamus dan sistim saraf pusat.
Hubungan sosial ini dapat mengurangi kerusakan otak dan efek penuaan. Makin
banyaknya jumlah jaringan sosial pada usia lanjut mempunyai hubungan dengan
fungsi kognitif atau mengurangi rata-rata penurunan kognitif 39%.

Faktor eksternal

Faktor eksternal yang berpengaruh pada percepatan proses menua antara lain
gaya hidup, faktor lingkungan dan pekerjaan. Gaya hidup yang mempercepat
proses penuaan adalah jarang beraktifitas fisik, perokok, kurang tidur dan nutrisi
yang tidak teratur. Hal tersebut dapat diatasi dengan strategi pencegahan yang
diterapkan secara individual pada usia lanjut yaitu dengan menghentikan
merokok. Serta faktor lingkungan, dimana lansia manjalani kehidupannya
merupakan faktor yang secara langsung dapat berpengaruh pada proses menua
karena penurunan kemampuan sel, faktor-faktor ini antara lain zat-zat radikal
bebas seperti asap kendaraan, asap rokok meningkatkan resiko penuaan dini, sinar
ultraviolet mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen sehingga kulit tampak
lebih tua.

Referensi:

Siti Nur Kholifah, SKM, M, Kep,Sp.Kom.2016. Keperawaratan Gerontik.


Kemenkes RI: Jakarta Selatan

9. Bagaimana penanganan dan pencegahan berdasarkan skenario?


Penataksanaan awal pada skenario
1) Penatalaksanaan awal skala prioritas dari skenario
A. Nyeri
1) Paracetamol 500 mg/hr dosis max 3000 mg, kodein 10 mg
2) Pantau perkembangan nyeri dengan VAS (visual analgesic
scale)
3) Tahapan pemberian analgesik pada lansia :
1. Analgesik
2. Analgesik + opioid tinggi
3. Analgesik + opioid tinggi + anti anxietas
B. Fraktur
Terapi operatif pada frakturnya. Terapi operatif hamper selalu
dilakukan pada penderita fraktur leher femur baik orang dewasa
muda maupun pada orang tua karena :
1) Perlu reduksi yang akurat dan stabil
2) Diperlukan mobilisasi yang cepat pada orang tua untuk
mencegah komplikasi
3) Tindakan operatif : dilakukan pemasangan prosthesis moore
C. Osteoporosis
Untuk nyeri tulang yang desebabkan oleh osteoporosis, prinsip
pengobatannya adalah :
1) Meningkatkan pembentukan tulang, obat-obat yang dapat
meningkatkan pembentukan tulang adalah Na-flurida dan
steroid anabolik
2) Menghambat reabsorbsi tulang, obat-obat yang menghambat
reabsorbsi tulang adalah : kalsium, estrogen, kalsitionin dan
difosfonat. Disamping itu juga diberikan obat anti nyeri
D. Diabetes
1) Pengaturan makan
2) Latihan
3) Penyuluhan
4) Obat hipoglikemik
5) Vangkok pancreas
6) Obat diabetik oral :
a. Biguanide : metformin
b. Alpha-glucoside inhibitor
c. PPAR-gamma agonis/thiazolidinedions : pioglitazone
d. Sulphonylureas
E. Hipertensi dan jantung
1) Diet jantung I-IV (835-2023 kkal)
2) Diet rendah garam
3) Medika mentosa
a. ACE inhibitor : Catopril
b. Angiotensin II receptor blocker
c. Beta blocker : propranolol, asebutolol
d. Calcium antagonist : nifedipin, diltiazem, verapamil
e. Diuretic : thiazide (hydrochlorothiazide, indapamide)

Rekomendasi untuk hipertensi dengan komplikasi penyakit lain :

1) DM : ACE-I
2) Dyslipidemia : alpha blocker
3) Isolated sistolik HT : diuretic, Ca+2 antagonist
4) Osteoporosis : thiazide
F. Rematik
1) Dukungan psikologis
2) Istirahat
3) Medika mentosa :
a. Penggunaan asetaminofen (hingga 4 gr/hr)
b. NSAID oral selektif dan non selektif COX-2 yang
digunakan dengan dosis rendah yang efektif untuk
penanganan OA, dan hindari penggunaan dalam jangka
panjang.
c. Preparat topikal NSAID dan capsaicin
d. Injeksi intra artikular kortikosteroid dan hialuronat
e. Suplementasi menggunakan glucosamine dan chondroitin
sulfat untuk meringankan gejala simptomatik
f. Injeksi hidrokortison intra articular
G. Stroke
Rehabilitasi :
a. Fisioterapi sejak hari I : posisi dan gerakan pasif ke aktif
b. Bina wicara
c. Psikoterapi & sosialisasi
d. Terapi kerja

Preventif :

a. ASA : 80-300 mg/hr


b. Terapi faktor risiko.

Pencegahan jatuh berulang pada skenario


Jatuh bukan merupakan konsekuensi dari lanjutnya usia, oleh karena itu
dapat dilakukan pencegahan. Berdasarkan guideline dari American Geriatric
society, British Geriatric Society dan American Academy of Orthopedic Surgeon
Panel on Fall Prevention merekomendasikan bahwa pasien lanjut usia harus
dilkakukan skrening jatuh setiap tahun dengan evaluasi yang mendalampada
individu yang pernah mengalami kejadian jatuh baik sekali atau berulang. Pada
pasien lansia yang baru pertama kali jatuh harus dilakukan pemeriksaan gaya
berjalan dan jatuh berulang dilakukan asesmen tentang obat-obatan yang
digunakan, fungsi penglihatan, pemeriksaan gaya berjalan dan keseimbang, fungsi
ekstremitas bawah, fungsi neurologi dan kardiovaskular.
Usaha pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan karena bila
sudahterjadi jatuh pasti terjadi komplikasi, meskipun ringan tetap memberatkan.
Ada 3 usaha pokok untuk pencegahan ini, antara lain:
1. Identifikasi faktor resiko
Pada setiap lansia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya
fator instriksi resiko jatuh,perlu dilakukan asesmen keadaan sensorik, neurologi,
musculoskeletal dan penyakit sistemik yang sering mendasari/ menyebabkan
jatuh.
Keadaan lingkngan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh
harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan.
Lantai rumah harus datar,tidak licin, bersih dari benda – benda kecil yang susah
dilihat. Peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman ( lapuk, dapat bergeser
sendiri) sebaiknya diganti,peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian
rupa sehingga tidak mengganggu jalan/ tempat aktivitas lansia. Kamar mandi
dibuat tidaklicin sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya pintu yang mudah
dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding.
Banyak obat – obatan yang berperan terhadap jatuh. Mekanisme tersering
termasuk sedasi,hipotensi ortostatik, efek ekstra piramidal, miopati dan gangguan
adaptasi visual pada penerangan yang redup, Obat- obatan yang menyebabkan
sedasi diantaranya golongan benzodiapin, SSRI( Selektive serotonin reuptake
inhibitor). Obat-obatan yang menyebabakan hipotensi ortostatik seperti
antihipertensi, antiangina, obat antiparkinson, trisiklik antidepresan dan
antipsikotik, SSRI. Obat- obatan yang menyebabkan miopati, obat-obatan yang
menyebabkan miosis, . Pada pasien dengan obat yang banyak/polifarmasi rentan
pula mempengaruhi kesimbangan.
Alat bantu berjalan yang dipakai lansia baik berupa tongkat, tripod krukatau
walker harus dibuat dari bahan yang kuat tetapi ringan, aman dan tidak mudah
berseger serta sesuai dengan ukuran tinggi badan lansia.
Penialaian pola berjalan (gait)
2. Penilaian Pola Berjalan dan Keseimbangan
A. Penilaian pola berjalan secara klinis
Salah satu bentuk aplikasi fungsional dari gerak tubuh adalah pola
jalan. Keseimbangan ,kekuatan, dan fleksibilitas diperlukan untuk
mempertahankan postur yang baik. Ketiga elemen itu merupakan dasar
untuk mewujudkan pola jalan yang baik pada setiap individu. Pola jalan
dibagi menjadi 2 fase yaitu:
1) Fase pijakan (stance phase)
Fase ini adalah fase dimana kaki bersentuhan dengan pijakan . Fase ini
60 persen dari durasi berjalan yang dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Heal stroke yaitu saat tumit salah satu kaki menyentuh pijakan
b. Mid stance yaitu saat kaki menyentuh pijakan
c. Push offyaitu saat kakimeninggalkan pijakan
2) Fase dimana kaki tidak meneyentuh pijakan (Swing phase)
Fase ini 40 persen dari durasi berjalan yang dibagi menjadi 3 yaitu :
a. Acceleration Yaitu saat kaki ada didepan tubuh.
b. Swing though yaitu saat kaki berayun ke depan
c. Deselration yaitu saat kaki kembali brsentuhan dengan pijakan

Dalam pola jalan lansia ada beberapa perubahan yang mungkin terjadi,
diantaranya sebagai berikut :
1. Sedikit ada rigiditas pada anggota gerak terutama anggota atas lebih
dari anggota gerak bawah. Rigiditas akan hilang apabilatubuh bergerak
2. Gerakan otomatis menurun, amplitude dan kecepatan berkurang, seperti
hilangnya anyunan tangan saat berjalan.
3. Hilangnya kemampuan untuk memanfaatkan gravitasi sehingga kerja
otot meningkat
4. Hilangnya ketepatan dan kecepatan otot , khususnya otot penggerak
sendipanggul
5. Langkah lebih pendek agar merasa lebih aman
6. Penurunan perbandingan antara fase mengayun terhadap fase menumpu
7. Penurunan rotasi badan terjadi karena efek sekunder kekakuan sendi
8. Penurunan ayunan tungkai saat fase mengayun
9. Penurunan sudut antara tumit dan lantai
10. Penurunan irama jalan
11. Penurunan rotasi gelang bahu dan panggul
12. Penurunan kecepatan ayunan lengan dan tungkai
B. Penilaian keseimbangan
Pemeriksaan keseimbangan seharusnya dilakukan saat berdiri secara
statis dan dinamik, termasuk pemeriksaan kemampuan untuk bertahan
terhadap ancaman baik internal dan eksternal. Pemeriksaan statis termasuk
lebar cara berdiri sendiri dan cara berdiri sempit dengan kedua kaki yang
nyaman tanpadukungan ekstremitas atas, diikuti oleh beridiri dengan mata
tertutup untuk menghilangkan pengaruh visual untuk penderita ganggua
keseimbangan. Penghilangan input visual saat beridiri dengan kaki
menyempit (Tes Romberg) membutuhkan informasi somato sensorik dan
vestibular, sehingga meningkatkan goyangan menandakan adanya masalah
senori perifer dan vestibuler. Bagi lansia yang dapat melakukan tes
Romberg dengan baik, tesstatis yang lebih sulit seperti semitandem,
tandem dan satu kaku yang terangkat dapat dilakukan.
Kemamuan untuk mempertahakan postur berdiri sebagai respon
gangguan internal dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk
melakukan tes pencapaian fungsionlal. Tes dinamik respon tubuh untuk
gangguan eksternal dapat dilakukan jika penderita lansia telah mampu
untuk melakukan tes keseimbangan statis lebar tanpa menggunakan alat
bantu atau bantun ekstremitas atas. Tesrefleks yang benar. pemeriksaan
berdiri dibelakang pasien yang diminta untuk menarik atau mendorong,
dan beraksi untukmemepertahankan tetap berdiri.Pemeriksaaa kemudian
secara cepat mendorong pelvis pasien pada bagian sambil menjaga pasien
secara dekat . Kekuatan dorongan dengan amplitude yang cukup untuk
mengubah pusat massa keluar dari dasar landasan pasien.Responn yang
khas, satu kaki akan berpindah kebelakang secara cepat tanpa bantuan
eksterimitas atasau bantuan pemerisa. Respon yang abnormal disebut
reaksi balok kayu/ timber reaction yang mana tidak ada usaha
untukmenggerakkan kaki dan diperikirakan adanya deficit system nervous
sentral,sering bersama dengan komponen ekstrapiramidal.
3. Mengatur / mengatasi faktor situasional
Faktor situasional bersifat serangan akut penyakit yang diderita
lansia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutn kesehatan lansia secara
periodic. Faktor situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan
mengusahakan perbaikan lingkungan seperti tersebut diatas. Faktor
situasional yang berupa aktivitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi
kesehatan penderita. Perlu diberitahukan pada penderita aktifitas fisik
seberapa jauh yang aman bagi penderita, aktifitas tersebut tidak melampaui
batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil pemeriksaan fisik. Bila
lansia sehat dan tidak ada batasan aktifitas fisik, maka dianjurkan lansia
tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau beresiko
tinggi untuk terjadinya jatuh.
Referensi:
1) Soegondo, Sidartawan. 2015 Farmakoterapi pada pengendalian glikemia
diabetes melitus tioe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi VI.
Jakarta : Interna Publishing.
2) Boedhi-Darmojo. 2010. Buku ajar Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut).Edisi
4. Jakarta : Balai penerbit FK UI. hal 185-189

10. Apa komplikasi yang dapat terjadi apabila pasien tidak segera diberi
tindakan?
Komplikasi jatuh pada geriatri
1. Perlukaan (injury)
a) Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau
tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena
b) Patah tulang (fraktur)
1) Pelvis
2) Femur
3) Humerus
4) Lengan bawah
5) Tungkai bawah
6) Kista
c) Hematom subdural
2. Perawatan Rumah Sakit

a) Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (imobilisasi)


b) Resiko penyakit – penyakit iatrogenic

3. Disabilitas

a) Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik


b) Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri dan
pembatasan gerak

4. Resiko untuk dimasukkan dalam rumah perawatan ( nursing home)


5. Suddenly death

Referensi:

Darmojo, Boedhi Z. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: UI Press. Hlm 184 Edisi ke 5.
2015

11. Jelaskan perspektif Islam berdasarkan skenario!


Q.S Al Isra Ayat 23-24
Artinya:

23. Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang diantaranya atau
kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-sekali
janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah
engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang
baik.

24. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanyan dengan penuh kasih sayang dan
ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku pada waktu kecil”

DAFTAR PUSTAKA
1. Dahlan Z. Pneumonia. Buku Ajar Ilmu penyakit dalam Jilid II edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing. Hlm 1620. 2014
2. Boedhi, Darmojo, R. 2015. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut) edisi ke-5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. H 191-193
3. Satriana, Viola. 2016. Upaya penurunan nyeri pada pasien fraktur Rs.
Soeharto. Universitas Muhammadiyah surakarta. Hal 4
4. Hazzard, William R., et all. Principles of Geriatric Medicine and
Gerontology 4nd edition. 2010, New York, Mc Graw – Hill. Inc Health
Professions Division
5. Darmojo, R Boedhi. 2009. Buku Ajar Geriatri (Ilmu kesehtan usia lanjut)
edisi ke-4 Jakarta: Balai penerbit FKUI
6. Southwick F.Pulmonary Infection.Infectious Disease a clinical Short
Course 2nd`ed.London: McGraw-Hill,2007
7. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam (PAPDI). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi kelima.
Jilid II. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
8. Thomas, N. Renal Nursing (2nd edition). London United Kingdom:
Elsevier Science; 2002.
9. Brunner dan Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
(terjemahan, volume II). Jakarta: EGC; 2001.
10. Prodjosudjadi W, Suhardjono A.End-Stage Renal Disease In Indonesia:
Treatment development. Ethnicity & Disease 19: 33-36. 2009
11. Vogt BA, Avner ED. Renal failure. Dalam: Behrman RM, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 17.
Philadelphia: WB Saunders; 2004. hlm 1770-1775.
12. Wilson LM. Pengobatan Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Hartanto H, Susi
N, Wulansari P, Mahanani DA, editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses
-Proses Penyakit. 6 ed. Vol 2. Jakarta: EGC; 2006. hlm. 965-978.
13. Sukandar E. Gagal Ginjal Kronik dan terminal. Dalam: Nefrologi klinik.
Edisi 3.Bandung: Penerbit Pusat Inforamsi Ilmiah Bag Ilmu Penyakit
Dalam FK.UNPAD; 2006. hlm. 465- 524.
14. Konsensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia 2009 : Penatalaksanaan
hipertensi pada keadaan khusus: Hipertensi pada usia lanjut, Perhimpunan
Hipertensi Indonesia (Ina SH), Jakarta, 2009; 1-18.
15. Suhardjono, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Geriatri dan gerontology;
Hipertensi pada Usia Lanjut, Edisi ke-6, Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam, Cetakan pertama, 2014; Bab 40.519;3855-58.
16. Suhardjono, Naskah Lengkap The 11th Jakarta: Hipertensi pada Usia
Lanjut, PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia), Jakarta-
Indonesia: Edisi 1, Cetakan I, 2011; 113-16.
17. Soegondo, Sidartawan. 2015 Farmakoterapi pada pengendalian glikemia
diabetes melitus tioe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi VI.
Jakarta : Interna Publishing.
18. Penuntun Diet. Instalasi Gizi Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo dan
Asosiasi Dietisien Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
19. Bianchi, V. E. (2016). Role of nutrition on anemia in elderly. Clinical
nutrition ESPEN, 11, e1-e11.
20. Rekomendasi IRA untuk Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoartritis .
2014. Hal 18-19
21. Broto, Rawan. Rahardjo. Terapi Osteoporosis. Bagian Rematologi Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FK UGM. Yogyakarta. Hal 140-143.
22. Hazzard, William R., et all. Principles of Geriatric Medicine and
Gerontology 4nd edition. 2010, New York, Mc Graw – Hill. Inc Health
Professions Division
23. Rekomendasi IRA untuk Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoartritis.
2014. Hal 2,6, dan 10.
24. Febria E, Martin C, Harimurti K. Faktor–Faktor yang Berhubungan
dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut. 2016. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
25. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses-Proses Penyakit. Edisi 6 vol.2
26. Boedhi-Darmojo .2010. Buku ajar Geriatri (ilmu kesehatan usia
lanjut).Edisi 4Jakarta : Balai penerbit FK UI
27. Manaf, Asman. 2015. Hipoglikemia: Pendekatan Klinis Dan
Penatalaksanaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing.
28. Soegondo, Sidartawan. 2015 Farmakoterapi pada pengendalian glikemia
diabetes melitus tioe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi VI.
Jakarta : Interna Publishing.
29. Kee L. J. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diognostik Edisi 6.
Jakarta: EGC. 2007
30. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Edisi 2. 2016
31. Risiko Jatuh di Teras dan Kamar Mandi Rumah Lansia, Studi Kasus:
Yogyakarta. Stefani Natalia Sabatini. 2016
32. Setiati, S. Gangguan Keseimbangan, Jatuh dan Fraktur dalam Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi IV. Jakarta: Badan penerbit Interna. 2015.p.
3755
33. Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2010). Nursing care
plans: Guidelines for individualizing client care across the life span 8th
edition. Philadelphia: F. A. Davis Company
34. Pasquetti, P., Apicella, L., & Mangone, G. (2014). Pathogenesis and
treatment of falls in elderly. Clinical cases in mineral and bone
metabolism, 11(3), 222.
35. Indonesian THE, Of J, Science H. STATUS NUTRISI LANSIA DAN
RISIKO JATUH PADA LANSIA. 2019;11(1):22–9
36. Siti Nur Kholifah, SKM, M, Kep,Sp.Kom.2016. Keperawaratan Gerontik.
Kemenkes RI: Jakarta Selatan
37. Soegondo, Sidartawan. 2015 Farmakoterapi pada pengendalian glikemia
diabetes melitus tioe 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II edisi VI.
Jakarta : Interna Publishing.
38. Boedhi-Darmojo. 2010. Buku ajar Geriatri (ilmu kesehatan usia
lanjut).Edisi 4. Jakarta : Balai penerbit FK UI. hal 185-189
39. Darmojo, Boedhi Z. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: UI Press. Hlm 184 Edisi
ke 5. 2015.

Anda mungkin juga menyukai