Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ILMU PENYAKIT JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2020


UNIVERSITAS HASANUDDIN

HALAMAN JUDUL

GANGGUAN DEPRESI

Disusun oleh:

Jennifer Hidajat Adaptan LN

Residen Pembimbing:

dr. Musfiqoh Tusholehah

Supervisor Pembimbing:

dr. A. Suheyra Syauki, M.Kes, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT JIWA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:


1. Jennifer Hidajat Adaptasi LN

Judul Referat: Gangguan Depresi

Adalah benar telah menyelesaikan referat yang telah disetujui serta telah dibacakan dihadapan
pembimbing dan supervisor dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian ILMU PENYAKIT
JIWA Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, November 2020

Pembimbing Supervisor Pembimbing Residen

dr. A. Suheyra Syauki, M.Kes, Sp.KJ dr. Musfiqoh Tusholehah

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................................................1

BAB I..........................................................................................................................................................2

BAB II........................................................................................................................................................3

2.1 EPIDEMIOLOGI........................................................................................................................3

2.2 ETIOLOGI & PATOGENESIS.................................................................................................3

2.3 KLASIFIKASI.............................................................................................................................4

2.4. GEJALA KLINIS.......................................................................................................................6

2.5 DIAGNOSIS.................................................................................................................................6

2.7 DIAGNOSIS BANDING...........................................................................................................10

2.8 TATALAKSANA.......................................................................................................................11

2.9. TATALAKSANA UNTUK RESISTANT DEPRESSION.....................................................17

2.10. PROGNOSIS...........................................................................................................................21

BAB III.....................................................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan depresi adalah gangguan mood yang menyebabkan perasaan sedih dan
kehilangan minat yang berlangsung terus-menerus. Gangguan depresi meliputi gangguan depresi
persisten (distimia), gangguan disforik pramenstruasi, gangguan depresi akibat zat/obat,
gangguan afektif menetap lainnya, gangguan depresi akibat kondisi medis lain, gangguan depresi
tertentu lainnya, dan gangguan depresi yang tidak spesifik. Depresi juga bisa bersifat episodik,
sebagai respons terhadap kehilangan atau perubahan besar dalam hidup.

Depresi adalah kondisi umum yang sering kali tidak terdiagnosis dan tidak diobati.
Banyak yang merasa bahwa stigma gangguan kesehatan mental tidak dapat diterima di
masyarakat dan dapat menghambat kehidupan pribadi dan profesional. Namun demikian, depresi
lebih mungkin di diagnosis saat ini daripada dekade sebelumnya, karena stigma sosial yang
terkait dengan kondisi ini telah berkurang; pengobatan yang tersedia juga lebih efektif.

Ciri umum dari semua gangguan ini adalah adanya mood yang sedih, hampa atau mudah
tersinggung, disertai dengan perubahan somatic dan kognitif yang signifikan yang
mempengaruhi kapasitas individu untuk berfungsi. Yang berbeda di antaranya adalah masalah
durasi, waktu atau dugaan etiologi [1][2].

iv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EPIDEMIOLOGI
Di tingkat global, diperkirakan lebih dari 300 juta orang menderita depresi, setara dengan
4,4% populasi dunia. Depresi lebih sering terjadi pada wanita (5,1%) dibandingkan pria (3,6%).
Tingkat prevalensi bervariasi menurut usia, memuncak pada usia 55-74 tahun (7,5% di antara
wanita dan 5,5% di antara pria). Depresi juga terjadi pada anak-anak dan remaja di bawah usia
15 tahun tetapi pada tingkat yang lebih rendah dari kelompok usia yang lebih tua [3].

Prevalensi gejala depresi sedang atau berat adalah 21,8% menurut survei populasi perwakilan
nasional tahun 2014-2015 di Indonesia [4].

2.2 ETIOLOGI & PATOGENESIS

Penyebab dari gangguan depresi adalah multifaktorial dengan faktor biologi, genetik, lingkungan
dan psikososial yang berperan.

Faktor Genetik

Kerabat dekat dari individu yang mengalami depresi memiliki resiko 3 kali lebih
mungkin menderita depresi dibandingkan populasi umum; namun, depresi dapat terjadi pada
orang yang tidak memiliki riwayat depresi dalam keluarga [5], [6].

Faktor Biologis

Penggunaan MRI dan PET menunjukkan sejumlah abnormalitas dalam otak individu
dengan depresi. Perubahan tersebut tidak spesifik namun melibatkan daerah yang diasosiasikan
dengan gejala abnormal kognitif dan emosional dalam depresi. Hipokampus juga terlihat lebih
kecil di gangguan neuropsikiatri termasuk gangguan depresi berulang. Stres akut, baik fisik atau
psikologis, diasosiasikan dengan kenaikan level glukokortikoid. Paparan tingkat kortisol yang

v
tinggi diperkirakan mempengaruhi plastisitas saraf dan menurunkan resistensi terhadap
kerusakan saraf, di mana hipokampus sangat rentan.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa gangguan pada neurotransmitter adalah


ciri khas depresi. Secara khusus, pasien gangguan depresi menunjukkan gangguan di beberapa
neurotransmitter di perifer dan otak, termasuk dopamine, glutamate, GABA, dan serotonin (5-
HT) yang dianggap terlibat dalam pathogenesis gangguan tersebut. Penggunaan monoamine
reuptake inhibitors dan efek depresif dari kekurangan asupan triptofan mendukung monoamine
deficiency theory di gangguan depresi, yaitu dimana defisiensi monoamine mengakibatkan gejala
depresi [7], [8].

Brain-derived neurotrophic factor (BDNF) memiliki potensi sebagai penanda objektif


gangguan depresi dan kadar respons serta target potensial untuk pengobatan gangguan itu
sendiri. Kadar BDNF yang rendah dipandang sebagai indicator penurunan pertumbuhan
neurotropik. Meta-analisis terbaru mendukung gagasan bahwa pasien depresi memiliki tingkat
BDNF yang lebih rendah daripada control. Studi menunjukkan pada orang dengan gangguan
depresi, pengguna SSRI memiliki tingkat BDNF yang lebih tinggi daripada pengguna non-SSRI
[8], [9].

Ada faktor risiko biologis potensial yang telah diidentifikasi untuk depresi pada lansia.
Penyakit neurodegeneratif (terutama penyakit Alzheimer dan Parkinson), stroke, multiple
sclerosis, gangguan kejang, kanker, degenerasi makula, dan nyeri kronis telah dikaitkan dengan
tingkat depresi yang lebih tinggi.

Faktor lingkungan dan psikososial

Peristiwa hidup juga beroperasi sebagai pemicu perkembangan depresi. Peristiwa


traumatis seperti kematian atau kehilangan orang yang dicintai, kurangnya atau berkurangnya
dukungan sosial, beban pengasuh, masalah keuangan, kesulitan interpersonal, dan konflik adalah
contoh pemicu stres yang dapat memicu depresi [6]. Mengingat bahwa perbedaan gender dalam
depresi dimulai sejak masa kanak-kanak, perkembangan juga memainkan peran penting dalam
penyebab depresi [10].

vi
2.3 KLASIFIKASI

Menurut American Psychiatric Association’s Diagnostic Statistical Manual of Mental


Disorders, Fifth Edition (DSM-5), gangguan depresi meliputi:

1. Gangguan depresif berulang/gangguan depresi mayor

2. Gangguan depresi persisten (distimia)

3. Gangguan afektif menetap lainnya/ Disruptive mood dysregulation disorder (DMDD)

4. Gangguan disforik premenstrual/Premenstrual dysphoric disorder

5. Gangguan depresi karena kondisi medis lain

Menurut PPDGJ-III, gangguan depresif (F33) berulang bisa diklasifikasi menjadi:

F33. Gangguan depresif berulang, episode kini ringan

.00 Tanpa gejala somatic

.01 Dengan gejala somatik

F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang

.10 Tanpa gejala somatic

.11 Dengan gejala somatik

F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala psikotik

F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala psikotik

F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi

F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya

F33.9 Gangguan depresif berulang YTT

Tingkat keparahan depresi menurut Hamilton Rating Scale for Depression (HAM-D):

- Tidak depresi: 0–7


- Ringan (ambang bawah): 8–13

vii
- Sedang (ringan): 14–18
- Parah (sedang): 19-22
- Sangat parah (parah): > 23

Tingkat keparahan depresi menurut Montgomery – Åsberg Depression Rating Scale (MADRS):

- Normal / gejala tidak ada 0–6


- Depresi ringan 7 – 19
- Depresi sedang 20 – 34
- Depresi berat >34

2.4. GEJALA KLINIS


- Murung
- Anhedonia
- Perasaan bersalah dan tidak berharga
- Lelah, tidak berenergi
- Insomnia atau hypersomnia
- Berat badan turun atau naik
- Kesulitan berkonsentrasi atau ketidaktegasan
- Ide, rencana, atau upaya bunuh diri
- Gelisah atau retardasi psikomotor [11]

2.5 DIAGNOSIS
Kriteria Diagnosis menurut DSM-5

A. Lima (atau lebih) dari gejala berikut telah hadir selama periode 2 minggu yang sama dan
mewakili perubahan dari fungsi sebelumnya: setidaknya satu dari gejala adalah (1) suasana
hati tertekan atau (2) kehilangan minat atau kesenangan.
Catatan: Jangan menyertakan gejala yang secara jelas terkait dengan kondisi medis lain.
1. Suasana hati tertekan hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang ditunjukkan
oleh laporan subjektif (misalnya, merasa sedih, kosong, putus asa) atau pengamatan yang
viii
dilakukan oleh orang lain (misalnya, tampak menangis). (Catatan: Pada anak-anak dan
remaja, mood bisa mudah tersinggung.)
2. Menurunnya minat atau kesenangan dalam semua, atau hampir semua, sebagian besar
aktivitas setiap hari atau hampir setiap hari (seperti yang ditunjukkan oleh akun subjektif
atau observasi).
3. Penurunan berat badan yang signifikan saat tidak berdiet atau penambahan berat badan
(misalnya, perubahan lebih dari 5% dari berat badan dalam sebulan), atau penurunan atau
peningkatan nafsu makan hampir setiap hari. (Catatan: Pada anak-anak, pertimbangkan
kegagalan untuk mencapai kenaikan berat badan yang diharapkan.)
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (tidak dapat diamati oleh orang lain
hanya perasaan subjektif dari kegelisahan atau menjadi lambat).
6. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
7. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak pantas (yang
mungkin delusi) hampir setiap hari (bukan hanya menyalahkan diri sendiri atau rasa
bersalah karena sakit).
8. Hilangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau ketidaktegasan, hampir
setiap hari (baik secara subjektif atau seperti yang diamati oleh orang lain).
9. Pemikiran berulang tentang kematian (tidak hanya takut mati), keinginan bunuh diri yang
berulang tanpa rencana tertentu, atau percobaan bunuh diri atau rencana khusus untuk
bunuh diri.
B. Gejala-gejala tersebut menyebabkan gangguan atau gangguan yang signifikan secara klinis
dalam bidang fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
C. Episode ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat atau kondisi medis lain
Catatan: Kriteria A-C menunjukkan episode depresi mayor
Catatan: Tanggapan terhadap kerugian yang signifikan (misalnya, kehilangan, kehancuran
finansial, kerugian akibat bencana alam, penyakit atau kecacatan medis yang serius) dapat
mencakup perasaan sangat sedih, perenungan tentang kehilangan, insomnia, nafsu makan
yang buruk, dan penurunan berat badan yang ada termasuk di Kriteria A, yang mungkin
menyerupai episode depresi. Meskipun gejala tersebut dapat dimengerti atau dianggap tepat
untuk hilangnya, adanya episode depresi mayor selain respon normal terhadap kerugian yang

ix
signifikan juga harus dipertimbangkan dengan cermat. Ini keputusan yang membutuhkan
latihan penilaian klinis berdasarkan riwayat individu dan norma budaya untuk ekspresi
kesusahan dalam konteks kehilangan.
D. Terjadinya episode depresi mayor tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan skizoafektif,
skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan delusi, atau spektrum skizofrenia spesifik
dan tidak spesifik lainnya dan gangguan psikotik lainnya.
E. Tidak pernah ada episode mania atau episode hipomania
Catatan: Pengecualian ini tidak berlaku jika semua episode mirip mania atau hipomania yang
diinduksi zat atau disebabkan oleh efek fisiologis dari kondisi medis lain [1].

Kriteria diagnosis menurut PPDGJ-III

 Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari:


- Episode depresi ringan (F32.0)
- Episode depresi sedang (F32.1)
- Episode depresi berat (F32.2 dan F32.3);

Episode masing-masing rata-rata lamanya sekitar 6 bulan, akan tetapi frekuensinya lebih jarang
dibandingkan dengan gangguan bipolar.

 Tanpa riwayat adanya episode tersendiri dari peninggian afek dan hiperaktivitas yang
memenuhi kriteria mania (F30.1 dan F30.2). Namun kategori ini tetap harus digunakan jika
ternyata ada episode singkat dari peninggian afek dan hiperaktivitas ringan yang memenuhi
kriteria hipomania (F30.0) segera sesudah suatu episode depresif (kadang-kadang tampaknya
dicetuskan oleh tindakan pengobatan depresi).
 Pemulihan keadaan biasanya sempurna diantara episode, namun sebagian kecil pasien
mungkin mendapat depresi yang akhirnya menetap, terutama pada usia lanjut (untuk keadaan
ini, kategori ini harus tetap digunakan).
 Episode masing-masing, dalam berbagai tingkat keparahan, seringkali dicetuskan oleh
peristiwa kehidupan yang penuh stres atau trauma mental lain (adanya stres tidak esensial
untuk penegakkan diagnosis).
Diagnosis Banding: Episode depresif singkat berulang (F38.1)
F33.0 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Ringan

x
Pedoman Diagnostik
 Untuk diagnosis pasti:
a) Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan episode sekarang
harus memenuhi kriteria untuk episode depresif ringan (F32.0); dan
b) Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal 2
minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
Karakter kelima:
F33.00 = Tanpa gejala somatik
F33.01 = Dengan gejala somatik
F33.1 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Sedang
Pedoman Diagnostik
 Untuk diagnosis pasti:
a) Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan episode sekarang
harus memenuhi kriteria untuk episode depresif sedang (F32.1); dan
b) Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal 2
minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
Karakter kelima:
F33.10 = Tanpa gejala somatik
F33.11 = Dengan gejala somatik
F33.2 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Berat tanpa Gejala Psikotik
Pedoman Diagnostik
 Untuk diagnosis pasti:
a) kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan episode sekarang
harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat tanpa gejala psikotik (F32.2); dan
b) sekurang-kurangnya 2 episode telah berlangsung masing-masing selama minimal 2
minggu dengan selang waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna
F33.3 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Berat dengan Gejala Psikotik
Pedoman Diagnostik
 Untuk diagnosis pasti :
a) kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) hams dipenuhi, dan episode sekarang
harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat dengan gejala psikotik (F32.3); dan

xi
b) sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal 2
minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
F33.4 Gangguan Depresif Berulang, Kini dalam Remisi
Pedoman Diagnostik
 Untuk diagnosis pasti
a) kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus pernah dipenuhi di masa lampau,
tetapi keadaan sekarang seharusnya tidak memenuhi kriteria untuk episode depresif
dengan derajat keparahan apa pun at au gangguan lain apa pun dalam F30-F39; dan
b) sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal 2
minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna .
F33.8 Gangguan Depresif Berulang Lainnya
F33.9 Gangguan Depresif Berulang YTT

2.7 DIAGNOSIS BANDING


1. Gangguan Depresi Persisten
Gangguan Depresi Persisten ditandai dengan gejala depresi yang lebih ringan yang persisten
setidaknya selama 2 tahun (dewasa) atau setidaknya 1 tahun pada anak-anak/remaja. Pasien
tidak boleh asimtomatik selama lebih dari 2 bulan. Gejala-gejalanya cenderung tidak sembuh
dibandingkan dengan depresi mayor dan mungkin memerlukan masa pengobatan yang lebih
lama, leih banyak sesi psikoterapi, dan/atau dosis obat antidepresan yang lebih tinggi.
2. Gangguan Penyesuaian dengan mood depresi
Gangguan penyesuaian adalah respons emosional terhadap peristiwa stres seperti masalah
perkawinan atau hubungan, kehilangan pekerjaan atau penyakit akut. Pasien dapat datang
dengan suasana hati yang rendah, tetapi diagnosis ini dibuat hanya jika kriteria lengkap untuk
depresi mayor tidak dipenuhi.
3. Gangguan Bipolar
Pasien dengan gangguan bipolar sering salah didiagnosis mengalami depresi mayor, terutama
pada presentasi awal dan di pelayanan kesehatan primer. Riwayat mania atau hipomania
adalah ciri utama yang membedakan gangguan bipolar dari depresi berat. Episode mania
hadir pada gangguan bipolar I, sedangkan pasien dengan gangguan bipolar II hanya
mengalami hipomania dan depresi berat tanpa episode mania. Fitur lain yang dapat

xii
membantu membedakan gangguan bipolar dari depresi mayor termasuk onset usia yang lebih
muda, riwayat gangguan bipolar dalam keluarga, jumlah episode depresi sebelumnya yang
lebih banyak (misalnya terlalu banyak untuk diingat), gambaran depresi atipikal (misalnya
hipersomnia daripada insomnia atau hiperfagia bukan nafsu makan yang buruk), lebih sedikit
gejala somatik dan peningkatan fobia.
4. Kondisi neurologis
Kondisi neurologis seperti demensia, penyakit Parkinson, dan multiple sclerosis memiliki
gejala yang tumpang tindih dengan gejala depresi berat. Pemeriksaan neurologis dan
penilaian kognitif penting dilaksanakan terutama untuk pasien yang lebih tua dengan mood
rendah.
5. Penyalahgunaan obat-obatan dan zat
Depresi berat adalah faktor risiko dan sering dikaitkan dengan penyalahgunaan zat, termasuk
alkohol,
6. Kondisi organik lainnya
Pada orang yang mengalami gejala somatik, dokter pelayanan kesehatan primer harus
terlebih dahulu menyingkirkan kecurigaan penyakit organik. Fungsi tiroid pasien harus diuji,
karena disfungsi tiroid dapat muncul dengan mood yang rendah dan gejala somatik
nonspesifik lainnya. Namun, kelainan minor pada fungsi tiroid harus diinterpretasikan
dengan hati-hati karena depresi berat mungkin terkait dengan perubahan halus pada fungsi
tiroid. [12]

2.8 TATALAKSANA
Penatalaksanaan pasien harus diarahkan kepada beberapa tujuan. Pertama, keselamatan
pasien harus terjamin. Kedua, kelengkapan evaluasi diagnostik pasien harus dilaksanakan.
Ketiga, rencana terapi bukan hanya untuk gejala, tetapi kesehatan jiwa pasien ke depan juga
harus diperhatikan [13].

FASE TERAPI

Tatalaksana depresi secara luas bisa dibagi menjadi tiga fase: fase akut, fase lanjutan, dan fase
rumatan.

xiii
1. Terapi Fase Akut
Target pengobatan pada fase akut adalah untuk mencapai respon atau remisi, karena
adanya gejala residu dapat meningkatkan resiko depresi kronis. Pengobatan umumnya
menghasilkan peningkatan kualitas hidup dan kapasitas fungsional yang lebih baik. Skala
penentuan beratnya depresi (HAM-D dan MADRS) dapat membantu menentukan
beratnya penyakit dan perbaikan gejala. Lama terapi pada fase akut 2-6 minggu.
Indikasi yang pasti untuk perawatan di rumah sakit adalah:
1) Prosedur diagnostik
2) Risiko bunuh diri atau pembunuhan
3) Kemunduran yang parah dalam kemampuan memenuhi kebutuhan makan dan
perlindungan
4) Cepatnya perburukan gejala
5) Hilangnya sistem dukungan yang biasa didapatnya

Pada fase akut, psikiater dapat memilih di antara beberapa modalitas pengobatan awal,
termasuk farmakoterapi, psikoterapi, kombinasi pengobatan dan psikoterapi, atau ECT.
Pemilihan modalitas pengobatan awal biasanya dipengaruhi oleh klinis (misalnya
keparahan gejala) dan faktor lain (misalnya preferensi pasien).

Panduan memilih medikasi :

1) Riwayat respons pengobatan


2) Prediksi respons gejala terapi
3) Adanya gangguan psikiatri/medik lain
4) Keamanan
5) Potensi Efek Samping

2. Terapi Fase Lanjutan


Tujuan dari fase lanjutan adalah untuk mempertahankan keuntungan yang dicapai
pada fase akut pengobatan dan mencegah kekambuhan gejala. Remisi yaitu bila HAM-D
≤ 7 atau MADRS ≤ 8, bertahan paling sedikit 3 minggu. Pasien yang telah diobati dengan
antidepresan pada fase akut perlu dipertahankan dengan dosis yang sama dari agen ini

xiv
selama 16-24 minggu untuk mencegah kekambuhan (periode total 6-9 bulan sejak mulai
pengobatan).
Ada bukti yang mendukung penggunaan psikoterapi khusus pada fase lanjutan untuk
mencegah kekambuhan. Frekuensi kunjungan selama fase lanjutan dapat ditentukan oleh
kondisi klinis pasien serta perawatan khusus yang diberikan. Jika pengobatan fase
rumatan tidak diindikasikan untuk pasien yang tetap stabil setelah fase lanjutan, pasien
dapat dipertimbangkan untuk menghentikan pengobatan. Jika pengobatan dihentikan,
pemantauan hati-hati dilakukan untuk kekambuhan, dan pengobatan harus segera dimulai
kembali jika kambuh terjadi.

3. Terapi Fase Rumatan


Tujuan pengobatan fase rumatan adalah untuk mencegah terulangnya episode depresi.
Rata-rata, 50-85% pasien dengan satu episode depresi mayor memiliki setidaknya satu
episode lagi. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah risiko rekuren, biaya dan
keuntungan perpanjangan terapi. Durasi pengobatan dapat diputuskan dengan mengingat
riwayat pengobatan sebelumnya dan jumlah episode depresi yang pernah dialami orang
tersebut di masa lalu. Pasien yang telah tiga kali atau lebih mengalami episode depresi
atau dua episode berat dipertimbangkan terapi pemeliharaan jangka panjang. Sebagian
besar pengobatan yang efektif untuk fase akut dan lanjutan perlu digunakan dalam fase
pemeliharaan. Antidepresan yang telah berhasil mencapai remisi dilanjutkan dengan
dosis yang sama selama masa pemeliharaan. Frekuensi kunjungan CBT dan IPT dapat
dikurangi selama fase rumatan (sebulan sekali). Tidak ada kesepakatan mengenai durasi
dan kapan memberi dan kapan tidak memberikan perawatan pemeliharaan [14], [15].

xv
Bagan 1 Algoritma untuk terapi depresi tanpa komplikasi

PILIHAN PENGOBATAN

Pilihan pengobatan untuk manajemen depresi dapat secara luas dibagi menjadi antidepresan,
terapi elektrokonvulsif (ECT) dan intervensi psikososial.

Antidepresan
Mengingat realitas tempat praktik dan preferensi pasien, pengobatan sering kali menjadi
lini pertama yang paling praktis pilihan pengobatan. Satu masalah penting yang dihadapi adalah
tidak semua obat akan berhasil untuk individu tertentu. Sayangnya, pencocokan pengobatan

xvi
jarang terjadi pada depresi karena pengobatan sering kali diresepkan dengan cara coba-coba.
Artinya, perawatan dicoba sampai menemukan yang berhasil [10], [15].

Nama Obat Dosis harian (mg) Efek Samping


SSRI Insomnia, agitasi, serdasi,
Escitalopram 20 – 60 gangguan gastrointestinal,
Fluoksetin 10 – 40 dan disfungsi seksual.
Sertralin 50 – 150
Fluvoksamin 150 – 300
Trisiklik/Tetrasiklik antikolinergik
Amitriptilin 75 – 300
Maptrotilin 100 – 225
Imipramine 75 – 300
SNRI Mengantuk, kenaikan berat
Duloksetin 40 – 60 badan, hipertensi, dan
Venlafaksin 150 – 375 gangguan gastrointestinal
RIMA Pusing, sakit kepala, mual,
Moklobemid 150 – 300 berkeringat, mulut kering,
dan mata kabur
SSRE Somnolen, mual, gangguan
Tianeptin 12.5 – 37.5 kardiovaskular
Melatonin agonis Sakit kepala
Agomelatin 25 – 50
Tabel 1 Obat Antidepresan

Psikoterapi
Psikoterapi yang spesifik dan efektif dapat dianggap sebagai modalitas pengobatan awal
untuk pasien dengan gangguan depresi ringan hingga sedang. Faktor yang mungkin
menyarankan penggunaan psikoterapi spesifik termasuk adanya stres psikososial yang signifikan,
konflik intrapsikis dan kesulitan interpersonal. Preferensi pasien untuk pendekatan psikoterapi
juga merupakan faktor penting yang dapat dipertimbangkan dalam keputusan untuk
menggunakan psikoterapi sebagai modalitas pengobatan awal.

Jenis-jenis terapi:

1) Terapi Kognitif
2) Terapi Interpersonal
3) Terapi Perilaku
4) Terapi Orientasi-psikoanalitik

xvii
5) Terapi Keluarga

Panduan menentukan frekuensi sesi terapi:

1) Jenis dan tujuan terapi


2) Hubungan terapeutik
3) Kepatuhan pengobatan
4) Memantau dan mengatasi bunuh diri

Terapi yang umumnya digunakan adalah terapi kognitif perilaku/cognitive behavioural


therapy (CBT) dan terapi interpersonal (IPT). Keduanya adalah terapi bertarget dengan aturan
dan ekspetasi yang jelas. Terapi ini umumnya melibatkan pertemuan mingguan dengan terapis
selama sekitar 12 minggu. Keduanya mengharuskan pasien melakukan pekerjaan rumah selama
periode terapi; oleh karena itu, keiikutsertaan penting bagi pasien agar mendapatkan manfaat
maksimal.

Secara luas, kombinasi obat dan terapi menawarkan hasil yang lebih baik meskipun tanpa
bukti yang jelas saat ini. Tidak ada kontraindikasi untuk penggabungan obat antidepresan dan
terapi [14]–[16].

Perubahan gaya hidup


Berbagai modifikasi gaya hidup ada yang memiliki potensi aplikasi klinis garis depan
yang sesuai bersama farmakoterapi dan teknik psikoterapi untuk mengelola depresi dengan lebih
baik. Meskipun penggunaan antidepresan dan teknik psikoterapi yang bijaksana masih
dianjurkan, pendekatan yang lebih integratif untuk depresi karena kompleksitas penyakit dapat
membantu meningkatkan kesejahteraan pasien. Studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa
olahraga yang memadai (berdasarkan pedoman klinis) dikaitkan dengan gejala depresi yang
lebih sedikit, sementara olahraga yang tidak mencukupi dapat menjadi faktor risiko untuk
pengembangan gejala depresi. Selain memiliki hubungan potensial dengan kesehatan mental,
olahraga tampaknya dapat meningkatkan mood secara efektif. Olahraga juga merupakan
intervensi yang relatif murah dan aman yang telah terbukti memberikan berbagai manfaat
kesehatan tambahan lainnya.

xviii
Pola makan yang buruk dapat menjadi faktor risiko timbulnya depresi dan meskipun
mekanisme yang mendasari hubungan antara pola makan dan kesehatan mental tidak sepenuhnya
dipahami, diketahui bahwa pola makan memiliki dampak besar pada kondisi medis komorbid
yang sangat umum terjadi pada orang yang didiagnosis depresi, termasuk penyakit
kardiovaskular dan gangguan metabolisme. Kontak sosial, sleep hygiene, meditasi, menghindari
alcohol, kafein dan rokok juga dapat membantu meningkatkan kualitas hidup pasien dan secara
tidak langsung mempengaruhi keadaan klinis gangguannya [17].

2.9. TATALAKSANA UNTUK RESISTANT DEPRESSION


Pengobatan awal dengan obat antidepresan gagal mencapai respon yang memuaskan pada
sekitar 20% -30% pasien dengan gangguan depresi. Dalam beberapa kasus, kurangnya respons
pengobatan sebenarnya merupakan akibat dari diagnosis yang salah, pengobatan yang tidak
memadai, atau kegagalan untuk menghargai dan memperbaiki gangguan medis umum dan
gangguan psikiatrik yang ada secara bersamaan atau faktor psikososial lainnya. Perawatan yang
memadai untuk setidaknya 4-6 minggu diperlukan sebelum menyimpulkan bahwa pasien tidak
responsif terhadap obat tertentu. Langkah pertama dalam perawatan pasien yang tidak
menanggapi pengobatan adalah melakukan tinjauan menyeluruh dan penilaian ulang basis
informasi psikososial dan biologis, yang bertujuan untuk memverifikasi diagnosis dan
mengidentifikasi faktor-faktor yang diabaikan dan mungkin berkontribusi, termasuk masalah
medis umum, alkohol. atau penyalahgunaan atau ketergantungan zat, gangguan kejiwaan
lainnya, dan masalah psikososial umum yang menghambat pemulihan. Algoritma untuk sampai
pada diagnosis depresi resisten pengobatan diberikan pada bagan 2.

xix
Bagan 2 Algoritma tatalaksana resistant depression
Beberapa dokter memerlukan dua percobaan pengobatan yang berurutan dari kategori
yang berbeda untuk durasi yang memadai sebelum mempertimbangkan treatment resistant
depression (TRD). Manajemen TRD melibatkan penambahan agen tambahan, menggabungkan
dua antidepresan, penambahan ECT atau perawatan somatik lainnya seperti rTMS. Algoritma
untuk pengelolaan TRD diberikan pada bagan 3.

xx
Bagan 3 Algoritma Treatment Resistant Depression
Penambahan ke antidepresan

Lithium adalah obat yang terutama digunakan sebagai tambahan; agen lain yang digunakan
adalah hormon tiroid dan stimulan. Ada perbedaan pendapat mengenai manfaat relatif dari
lithium dan suplementasi tiroid. Dilaporkan bahwa lithium berguna pada lebih dari 50%
antidepresan yang tidak menanggapi dan biasanya dapat ditoleransi dengan baik. Interval
sebelum respons penuh terhadap litium tambahan dikatakan dalam kisaran beberapa hari hingga
3 minggu. Jika efektif dan dapat ditoleransi dengan baik, lithium dapat dilanjutkan selama
pengobatan episode akut. Suplementasi hormon tiroid, bahkan pada pasien euthyroid, juga dapat
meningkatkan efektivitas pengobatan antidepresan. Dosis yang diusulkan untuk tujuan ini adalah
25 µg / hari triidothyronine ditingkatkan menjadi 50 µg / hari dalam seminggu.

Penggunaan beberapa antidepresan secara bersamaan

xxi
Jika pasien tidak merespons regimen obat tunggal; dokter dapat menggunakan kombinasi /
politerapi dengan pemantauan ketat terhadap efek samping dan profil interaksi obat. Kombinasi
antidepresan membawa risiko interaksi yang merugikan dan terkadang memerlukan penyesuaian
dosis. Penggunaan SSRI dalam kombinasi dengan TCA telah dilaporkan menyebabkan respons
antidepresan yang sangat cepat. Namun, fluoxetine yang ditambahkan ke TCA menyebabkan
peningkatan kadar darah dan penghapusan TCA yang tertunda, yang menyebabkan pasien
mengalami toksisitas obat TCA kecuali jika dosis TCA dikurangi. Strategi lain melibatkan
penggunaan kombinasi antidepresan trisiklik dan MAOI yang terkadang efektif dalam
mengurangi resistant depression, tetapi risiko sindrom serotonin memerlukan pemantauan yang
cermat [15].

Electroconvulsive Treatment (ECT)

Terapi elektrokonvulsif adalah prosedur yang menerapkan stimulasi listrik untuk


menghasilkan kejang umum. Respon terhadap ECT umumnya baik dan tingkat responnya seperti
bentuk pengobatan lainnya dan dapat dipertimbangkan pada hampir semua kasus depresi sedang
atau berat yang tidak merespon intervensi farmakologis. Kira-kira 50% dari pasien yang resistan
terhadap pengobatan menunjukkan respon yang memuaskan terhadap ECT. Lithium dapat
dihentikan sebelum memulai ECT, karena telah dilaporkan dapat memperpanjang delirium
postiktal dan menunda pemulihan dari neuromuscular blockade. Meskipun ECT relatif aman,
penelitian yang dilakukan pada populasi terbatas memiliki berbagai gangguan memori yang
dapat dianggap berasal dari ECT, terutama dengan penggunaan jangka panjang [18].

Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS)

Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS) adalah metode stimulasi otak


noninvasif yang dikembangkan untuk pengobatan gangguan kejiwaan dan neurologis. Meskipun,
mekanisme kerjanya yang tepat masih belum jelas, dari semua indikasi psikiatri dari rTMS, bukti
yang paling kuat merujuk kepada pengobatan depresi [19]. Alasan di balik penggabungan rTMS
dengan pendekatan pengobatan lain terletak pada asumsi bahwa stimulasi bersamaan pada
tingkat yang berbeda (yaitu fisiologis, kognitif, afektif, dan perilaku) dapat menghasilkan efek
sinergis [20].

xxii
2.10. PROGNOSIS
Dalam praktiknya, istilah pemulihan digunakan untuk menggambarkan pasien yang tidak
lagi bergejala dan telah mendapatkan kembali fungsi biasanya setelah sebuah episode depresi
berat. Dengan pengobatan, episode terakhir sekitar 3-6 bulan, dan kebanyakan pasien sembuh
dalam waktu 12 bulan. Jangka panjang (2-6 tahun), proporsi orang yang pulih jauh lebih sedikit,
turun menjadi sekitar 60% dalam 2 tahun, 40% pada 4 tahun, dan 30% pada 6 tahun dengan
komorbiditas kecemasan yang memiliki peran kunci dalam membatasi pemulihan. Kemungkinan
kambuh tinggi, risikonya meningkat dengan setiap episode, dan, secara keseluruhan, hampir 80%
pasien mengalami setidaknya satu episode lagi dalam hidup mereka. Meski lebih dari separuh
yang menderita episode depresi mayor sembuh dalam 6 bulan, hampir 27% pasien tidak pulih
dan mengembangkan gangguan yang lebih kronis. [11]

xxiii
BAB III

KESIMPULAN

Depresi merupakan gangguan mood yang sangat umum dan bagi banyak orang
merupakan masalah kronis atau berulang. Depresi mengakibatkan perasaan sedih yang persisten
dan hilang minat, energi dan motivasi yang dibutuhkan dalam memelihara kualitas hidup yang
baik. Penyebab dari gangguan depresi adalah multifaktorial dengan faktor biologi, genetik,
lingkungan dan psikososial. Depresi lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria.

Psikoterapi dan farmakoterapi adalah lini pertama dalam pengobatan gangguan depresi.
Studi yang menunjukkan bahwa sebagian besar antidepresan bekerja tetapi respons individu
terhadap pengobatan dapat bervariasi. Namun karena masing-masing individu dapat memiliki
manifestasi klinis yang bervariasi dengan kondisi kesehatan mental dan medis komorbid yang
berbeda-beda dan ditambah dengan kemungkinan kambuh yang tinggi, depresi sangat sulit untuk
diobati secara efektif secara universal dan dalam jangka waktu yang lama.

Perawatan atau intervensi pencegahan yang efektif untuk mengurangi gejala depresi
mungkin tidak menyelesaikan masalah keluarga atau ekonomi yang mendasari. Oleh karena itu,
tidak ada resep sederhana untuk pengobatan atau pencegahan yang realistis, dan individu serta
kondisi yang berbeda akan membutuhkan perawatan yang berbeda tetapi beragam, fleksibel, dan
berjangka panjang yang mengakui bahwa depresi dapat mempengaruhi seluruh keluarga dan
yang mendukung pemulihan daripada penyembuhan.

xxiv
DAFTAR PUSTAKA
[1] American Psychiatric Association, American Psychiatric Association: Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders Fifth Edition. 2013.

[2] T. McCarter, “Depression overview.,” Am. Heal. drug benefits, vol. 1, no. 3, pp. 44–51,
Apr. 2008.

[3] World Health Organisation, “Depression and other common mental disorders: global
health estimates,” World Heal. Organ., 2017.

[4] K. Peltzer and S. Pengpid, “High prevalence of depressive symptoms in a national sample
of adults in Indonesia: Childhood adversity, sociodemographic factors and health risk
behaviour,” Asian J. Psychiatr., 2018, doi: 10.1016/j.ajp.2018.03.017.

[5] S. Bains, Navneet; Abdijadid, Major Depressive Disorder. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing, 2020.

[6] A. H. Chand SP, Depression. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing, 2020.

[7] J.-X. Pan et al., “Diagnosis of major depressive disorder based on changes in multiple
plasma neurotransmitters: a targeted metabolomics study.,” Transl. Psychiatry, vol. 8, no.
1, p. 130, Jul. 2018, doi: 10.1038/s41398-018-0183-x.

[8] Kumar & Clark, Kumar and Clark’s Clinical Medicine, 8th Edition | Parveen Kumar,
Michael Clark | ISBN 9780702044991. 2012.

[9] J. Verduijn, Y. Milaneschi, R. A. Schoevers, A. M. van Hemert, A. T. F. Beekman, and B.


W. J. H. Penninx, “Pathophysiology of major depressive disorder: mechanisms involved
in etiology are not associated with clinical progression.,” Transl. Psychiatry, vol. 5, no. 9,
p. e649, Sep. 2015, doi: 10.1038/tp.2015.137.

[10] C. G. Beevers, “Editorial overview: The assessment, etiology, and treatment of unipolar
depression.,” Curr. Opin. Psychol., vol. 4, pp. v–viii, Aug. 2015, doi:
10.1016/j.copsyc.2015.05.003.

xxv
[11] G. S. Malhi and J. J. Mann, “Depression.,” Lancet (London, England), vol. 392, no.
10161, pp. 2299–2312, Nov. 2018, doi: 10.1016/S0140-6736(18)31948-2.

[12] C. W. M. Ng, C. H. How, and Y. P. Ng, “Major depression in primary care: making the
diagnosis.,” Singapore Med. J., vol. 57, no. 11, pp. 591–597, Nov. 2016, doi:
10.11622/smedj.2016174.

[13] K. S. R. Irawati Ismail, Buku Ajar Psikiatri Edisi 3. Penerbit FKUI, 2018.

[14] “Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa.” Kementrian Kesehatan Republik


Indonesia, 2015.

[15] S. Gautam, A. Jain, M. Gautam, V. N. Vahia, and S. Grover, “Clinical Practice Guidelines
for the management of Depression.,” Indian J. Psychiatry, vol. 59, no. Suppl 1, pp. S34–
S50, Jan. 2017, doi: 10.4103/0019-5545.196973.

[16] J. J. J. Carty and P. R. Escalona, “Brief Review of Major Depressive Disorder for Primary
Care Providers.,” Fed. Pract., vol. 33, no. Suppl 2, pp. 12S-16S, Mar. 2016.

[17] J. Sarris, A. O’Neil, C. E. Coulson, I. Schweitzer, and M. Berk, “Lifestyle medicine for
depression.,” BMC Psychiatry, vol. 14, p. 107, Apr. 2014, doi: 10.1186/1471-244X-14-
107.

[18] M. Li et al., “Effects of Electroconvulsive Therapy on Depression and Its Potential


Mechanism.,” Front. Psychol., vol. 11, p. 80, 2020, doi: 10.3389/fpsyg.2020.00080.

[19] A. Chail, R. K. Saini, P. S. Bhat, K. Srivastava, and V. Chauhan, “Transcranial magnetic


stimulation: A review of its evolution and current applications.,” Ind. Psychiatry J., vol.
27, no. 2, pp. 172–180, 2018, doi: 10.4103/ipj.ipj_88_18.

[20] C. Baeken et al., “Repetitive transcranial magnetic stimulation treatment for depressive
disorders: current knowledge and future directions.,” Curr. Opin. Psychiatry, vol. 32, no.
5, pp. 409–415, Sep. 2019, doi: 10.1097/YCO.0000000000000533.

xxvi

Anda mungkin juga menyukai