Anda di halaman 1dari 21

SINDROM NEFROTIK

A. Pendahuluan
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang
ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh
per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria,
hiperkoagulabilitas. Jika hanya terdapat proteinuria tanpa kehadiran manifestasi
klinis disebut nephrotic-range proteinuria. (1, 2)
Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik)
yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak
diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu, di antaranya
penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat,
reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi
ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas masif. (2, 3)
Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi
penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi
neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T
dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang
diperantarai sel T. (3)
Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua
gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN,
tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi
protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap
berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan
lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan
metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN.(4-6)
Umumnya pada SN, fungsi ginjal normal kecuali pada sebagian kasus
yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Pada beberapa episode SN
dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid,
tetapi sebagian lagi dapat berkembang menjadi kronik. Jika tidak terdiagnosa atau

1
tidak diterapi, sindrom ini dapat berakibat kerusakan pada glomeruli hingga
menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus hingga berakhir gagal ginjal.(1, 4)
Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik).
Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa
3/1000.000/tahun. Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati
lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat
diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang
dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50
tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. (2, 3)

B. Insidens
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%)
dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki ; perempuan= 2:1 sedangkan pada
masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1. (4)
Penelitian di Selandia Baru menemukan insidens sindrom nefrotik hampir
20 per 1 juta kasus pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun. Pada populasi
tertentu, seperti di Finlandia atau Mennonite, sindrom nefrotik kongenital dapat
terjadi pada 1/10.000 atau 1/500 kelahiran. Berdasarkan ISKDC 84.5% dari
semua anak dengan sindrom nefrotik primer mempunyai gambaran histologik
sindrom nefrotik kelainan minimal, 9.5% glomerulosklerosis fokal, 2.5%
mesangial, 3.5% nefropati membranosa atau penyebab lainnya. (4)

C. Etiologi
Sindrom nefrotik disebabkan oleh banyak varian penyakit, seperti
kerusakan ginjal, terutama pada MBG. Secara langsung, dapat menyebabkan
ekskresi protein abnormal dalam urin. Penyebab paling sering pada anak-anak
adalah minimal lesi, dan glomerulonefritis membrane pada orang dewasa. (7)
Sebab yang pasti dari SN belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap
sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen antibody.
(8)
Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi :

2
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan secara resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.
Resisten terhadap semua pengobatan, gejalanya adalah edema pada masa
neonatus. Prognosisnya buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-
bulan pertama kehidupannya.
2. Sindroma nefrotik sekunder
Dapat disebabkan oleh :
a. Malaria kuartana atau parasit lain
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematous diseminata, purpura anafilaktoid
c. Glumerulonefritis akut atau glumerulonefritis kronis dan thrombosis vena
renalis
d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan
lebah, air raksa
e. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrano-
proliferatif hipokomplementemik
3. Sindroma nefrotik idiopatik
Berdasarkan kelainan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal
dengan mikroskop biasa dan mikroskop electron. Churg membagi dalam 4
golongan yaitu : (8)
a. Kelainan minimal
b. Nefropati membranosa
c. Glumerulonefritis proliferatif
d. Glumerulosklerosis fokal segmental

Klasifikasi lain yaitu : (1)


1. Glomerulonefritis pimer
a. Glomerulonefritis lesi minimal (GNLM)
b. Glomerulosklerosis fokal (GSF)
c. Glomerulonefritis membranosa (GNMN)
d. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
e. Glomerulonefritis proliferatif lain

3
2. Glomerulonferitis sekunder akibat infeksi :
a. HIV e. Skistosomiasis
b. Hepatitis virus B dan C f. Tuberkulosis
c. Sifilis g. Lepra
d. Malaria
3. Keganasan
a. Adenokarsinoma paru
b. Limfoma Hodgkin
c. Mieloma multipel
d. Karsinoma ginjal
4. Penyakit jaringan penghubung
a. Lupus eritematosus sistemik
b. Artritits reumatoid
5. Efek obat dan toksin
a. NSAID e. Air raksa
b. Preparat emas f. Kaptopril
c. Penisilinamin g. Heroin
d. Probenesid
6. Lain-lain
1) Diabetes melitus
2) Amiloidosis
3) Pre-eklamsia
4) Refluks vesikoureter
5) Sengatan lebah

GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering.


Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis
fokal (GSF), GN membranosa(GNMN), GN membranoproliperatif (GNMP)
merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan. Penyebab sekunder
akibat infeksi yang paling sering ditemukan misalnya pada GN pascainfeksi
streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat NSAID atau

4
preperat emas, dan akibat penyakit sistemik, misalnya pada SLE dan diabetes
melitus. (3)

D. PATOFISIOLOGI
Kelainan patogenetik yang mendasari SN adalah proteinuria, akibat dari
kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus, namun penyebab terjadinya
proteinuria belum diketahui benar. Dalam keadaan normal, membran basal
glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran
protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size
barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada
sindrom nefrotik, kedua mekanisme penghalang tersebut terganggu. Hilangnya
muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus
dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin
yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus.(1, 3, 8)
Proteinuria sendiri dibedakan menjadi selektif dan non-selektif
berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif
apabila protein yang keluar terdiri dari molekul-molekul kecil seperti albumin,
sedangkan pada proteinuria non-selektif yang lolos keluar merupakan protein
dengan molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria sendiri
ditentukan oleh keutuhan struktur membran basal glomerulus. (1)
Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan membrana basalis
glomerulus, maka proteinuria dapat dijadikan sebagai petunjuk sederhana untuk
menentukan derajat kerusakan glomerulus. Jadi yang diukur adalah index
selectivity of proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan dengan mengukur rasio
antara clearance IgG dan clearance trasnferin. (4)
ISP = Bila ISP <0,2 berarti ISP meninggi (Highly Selective Proteinuria)
yang secara klinik menunjukkan : (4)
1. Kerusakan glomerulus ringan
2. Respon terhadap kortikosteroid baik
Bila ISP >0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selectivity Proteinuria) yang
secara klinik menunjukkan : (4)

5
1. Kerusakan glomerulus berat
2. Tidak respon terhadap kortikosteroid

Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik terjadi melalui kehilangan yang


banyak melalui urin dan peningkatan katabolisme dari albumin yang difiltrasi, di
tubulus proksimal. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik
plasama, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang
interstitial. Penurunan volume intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal,
mengaktifkan sistem renin angiotensin aldosteron, yang merangsang absorbsi
natrium di tubulus distal. Rasio sintesis albumin di hati meningkat untuk
mengatasi hal ini namun tidak mencapai level yang cukup untuk mencegah
hipoalbuminemia. Pada status SN, protein yang hilang biasanya melebihi 2 gram
per 24 jam dan terutama terdiri dari albumin. Umumnya edema muncul bila kadar
albumin serum turun dibawah 2,5 gr/dl. (1, 8)
Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus
sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan hipoproteine-
mia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat
mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. (4)

Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadilah hipovolemia, dan ginjal melakukan
kompensasi dengan merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas system
renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti
diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine
menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Mekanisme kompensasi ini
akan memperbaiki volume intravaskular tetapi retensi cairan selanjutnya

6
mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan
onkotik plasma yang pada akhirny amempercepat ekstravasasi cairan ke ruang
interstitial sehingga edema akan semakin berlanjut. (3, 4, 6)
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal
utama. Penurunan kemampuan nefron distal untuk mengeksresi natrium sehingga
terjadi retensi natrium. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstrseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus
akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua
mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN.(6)

Hiperlipidemia
Disebut hiperkolesterolemia bila kadar kolesterol > 250 mg/100ml. akhir-
akhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja
yang meningkat tetapi juga beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah.
Konstituen lemak itu adalah kolesterol, low density lipoprotein (LDL), very low
density lipoprotein (VLDL), dan trigliserida. (4)
Hiperlipidemia terjadi sebagai akibat kelainan pada homeostasis
lipoprotein yang terjadi sebagai akibat peningkatan sintesis dan penurunan
katabolisme. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat
albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel
hepar juga akan membuat VLDL. (4)
Dalam keadaan normal, VLDL diubah menjadi LDL oleh lipoprotein
lipase. Tetapi pada SN akitifitas enzim ini terhambat oleh adanya
hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu
menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar
apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin. (4)
Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan
ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali
normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid)
dan lipoprotein serum meningkat. (3)

7
Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan
plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII,
X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel
endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI). (2)

Lipiduri
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber
lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus
yang permeabel. (2)

Kerentanan terhadap infeksi


Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal,
penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan
kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia,
Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang
diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis. (2)

E. Gambaran Klinis
Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, edema umumnya terlihat
pada kedua kelopak mata, yang nampak terutama waktu bangun tidur. Edema
dapat menetap atau bertambah, baik lambat ataupun cepat atau dapat hilang dan
timbul kembali. Selama periode ini edema preorbital sering disebabkan oleh cuaca
dingin atau alergi, lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang,
perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah
nyata. Pada keadaan lebih lanjut lagi dapat timbul ascites, pembengkakan skrotum
atau labia dan bahkan efusi pleura. (4, 8)
Gangguan gastrointestinal sering ditemukan dalam perjalanan penyakit
SN, diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang massif dan keadaan
ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi, namun diduga penyebabnya adalah
edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik,

8
mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya.
Pada beberapa pasien nyeri di perut yang kadang-kadang berat dapat terjadi,
kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada,
kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan karena
edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas
pada kuadran kanan atas abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat dengan
beratnya edema. Pada keadaan ascites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan
prolap ani. (8)
Gangguan pernafasan oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau
tanpa efusi pleura maka pernafasan sering tergangguu, bahkan kadang-kadang
menjadi gawat. (8)
Tanda lain dari SN adalah hilangnya massa otot rangka, hipertensi, kuku
memperlihatkan pita-pita putih melintang (Muerchke’s Band) akibat
hipoalbuminemia. (4)
Gangguan fungsi psikososial dapat ditemukan pada pasien SN, yang
merupakan stres non spesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan
keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respon emosional tidak
saja pada orangtua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Perasaan-
perasaan ini memerlukan diskusi penjelasan untuk mengatasinya. Para dokter
yang sadar dapat berusaha mendorong meningkatkan perkembangan dan
penyesuaian pasien dan keluarganya serta berusaha menolong mencegah dan
mengurangi komplikasi. (8)

F. Diagnosis
1) Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditanyakan tanda-tanda retensi cairan seperti
bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh, peningkatan
berat badan, dan rasa penuh di perut hingga dapat menyebabkan sesak. Tanyakan
juga mengenai riwayat buang air kecil, dalam 24 jam sudah berapa yang keluar,
adakah oligouria. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna

9
kemerahan. Kemudian ditanyakan penyakit yang mengarah ke penyebab penyakit
ginjal seperti hipertensi. (1, 8)

2) Pemeriksaan fisik
Dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata (puffy eyelids), tungkai
atau adanya ascites atau edema skrotum atau labia. Kadang-kadang ditemukan.,
tanda-tanda hipertensi, dan striae pada kulit akibat edema. (1, 8)

3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu diagnosis antara lain hitung
darah lengkap, kimia darah, penentuan kreatinin dan protein urin. Pada urinalisis
ditemukan masif proteinuria (3+ sampai 4+), glikosuria, sel-sel granular, sel
hialin, dan sel-sel lemak. Biasanya sedimen urin normal namun bila didapati
hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) bisa dicurigai adanya lesi glomerular
(misal : sklerosis glomerulus fokal). Dari makroskopis, urin tampak berbuih. Pada
pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemi (<3 g/dl), hiperkolesterolemia
lebih dari 200 mg/dl. (1-3, 8)
Jika rasio protein urin terhadap kreatinin urin lebih dari 2, pasien dianggap
menderita sindrom nefrotik. Pasien anak yang kehilangan protein pada tingkat
lebih atau setara dengan 50 mg/kg dalam 24 jam juga dianggap mengalami
sindrom nefrotik. Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk
menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagula-
bilitas. Pada SN primer, untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal
yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.
(1, 2)

G. Penatalaksanaan
Pada SN pertama kali sebaiknya dirawat di rumah sakit, dengan tujuan
untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan
edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Pengobatan SN terdiri
dari terapi umum pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar

10
dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema
dan mengobati komplikasi. (3, 8)
Terapi non spesifik:
a. Pengobatan untuk edema
1) Diet
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap
kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolism protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis
glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi
protein dalam urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein
disesuaikan hingga 0,6 g/kgBBideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam.(3, 8)
Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 ± 2 gram/hari. Menggu-
nakan garam secukupnya dalam makanan dan menghindari makanan yang
diasinkan, hanya diperlukan selama anak menderita edema. Diet rendah kolesterol
< 600 mg/hari. Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap 900
sampai 1200 ml/ hari. (3, 8)
Pengukuran berat badan dilakukan setiap hari untuk mengevaluasi edema
dan keseimbangan cairan harus dicatat. BB diharapkan turun 0,5-1 kg/hari.Bila
perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema tungkai berat karena
kemungkinan adanya insufisiensi venous. (4)

2) Diuretik
Restriksi cairan diperlukan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretik seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila diperlukan dikom-
binasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3
mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan natrium). Bila pemberian
diuretik tidak berhasil mengurangi edema, biasanya disebabkan oleh hipovolemia
atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin ≤ 1 gram/dl), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 gram/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan

11
dari jaringan interstitial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgBB. (8)
Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak
20 ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, albumin dan plasma dapat
diberikan selang sehari untuk memberikan kesempatan pergeseran dan mencegah
overload cairan. Perlu diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus
memperhatikan kadar albumin dalam darah, apabila kadar albumin kurang dari 2
gr/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta muntahan bila ada,
harus dipantau secara berkala. (3, 8)

3) Pengobatan untuk proteinuria


Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk
mengurangi proteinuri digunakan terapi simptomatik. Angiotensin Converting
Enzyme Inhibitor (ACEI) paling sering digunakan, cara kerjanya menghambat
vasokonstriksi pada arteriol eferen, misal kaptopril atau enalapril dosis rendah,
dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu. ACEI berfungsi untuk menurun-
kan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak
dalam darah. Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang
ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah
sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal. (2-4)
Bisa juga diberikan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal
indometasin 3x50mg. Obat antiinflamasi non-steroid dapat digunakan pada pasien
nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan
sintesis prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan
tekanan kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria
sampai 75%. Selain itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related
antigenic dan mencegah agregasi trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan
bahwa OAINS menyebabkan penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian
pasien. Obat ini tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit. (2)

12
Angiotensin receptor blocker (ARB) mempunyai efektivitas yang sama
dengan ACEI, dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan
fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi
molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal. Kombinasi ACEI dan ARB
dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada glomerulonefritis primer
dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja. (2, 4)

4) Koreksi hipoproteinemia
Untuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan
peningkatan kadar protein serum, tetapi pemberian diit tinggi protein selain sulit
dipenuhi penderita (anoreksia) juga terbukti meningkatkan ekskresi protein urin.
Untuk penderita SN diberikan diit tinggi kalori/karbohidrat (untuk
memaksimalkan penggunaan protein yang dimakan) dan protein cukup (0,8-1mg/
kgBB/hr). (4)

5) Terapi hiperlipidemia
Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN
meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular, tetapi apa yang terjadi pada
populasi umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk menurunkan kadar lipid
pada penderita SN. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan penghambat
hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG Co-A) reductase yang efektif menu-
runkan kolesterol plasma. Obat golongan ini dikatakan paling efektif dengan efek
samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna
kadar trigliserid dan sedikit menurunkan kadar kolesterol. (2, 4)
Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas yang
meningkat menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol
menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal
terhadap trigliserid. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol dan
lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil. (2)
Kolestiramin dan kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol total dan

13
kolesterol LDL, namun obat ini tidak dianjurkan karena efeknya pada absorbsi
vitamin D di usus yang memperburuk defisiensi vitamin D pada SN. (2)

6) Hiperkoagulabilitas
Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian anti-
koagulasi jangka panjang pada semua penderita SN guna mencegah terjadinya
resiko thrombosis, tetapi bila telah terjadi thrombosis atau emboli paru maka perlu
dipertimbangkan antikoagulasi jangka panjang, seperti warfarin. (4)

7) Pengobatan infeksi
Antibiotik yang tepat hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi
sekunder. Di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan ascites diberikan
antibiotik profilaksis dengan penicilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai
edema berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis,
tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera
diberikan antibiotik. (4, 8)

8) Pengobatan hipertensi
Bila terdapat hipertensi dapat diberikan ACEI, Non Dihydropiridin
Calcium Channel Blocker (CCB). Pemberian diuretik dan pembatasan diit garam
juga ikut berperan dalam pengelolaan hipertensi. (4)

Terapi Spesifik
Patogenesis sebagian besar penyakit glomerular dikaitkan dengan
gangguan imun, dengan demikian terapi spesifiknya adalah dengan pemberian
imunosupresif. (4)
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan
yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain
menemukan bahwa pada lomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien
memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap. Schieppati dan
kawak menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati membranosa

14
idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik untuk jangka
waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka tidak mendukung
pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati jenis ini.
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di
antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis
dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat
diulangi. Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5
mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari
selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai
20-24 minggu, namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah
kortikosteroid dihentikan.(2)
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi
lengkap, remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri
minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300
mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuri <3,5 g/hari,
albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan
masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan hasil lab tidak memperlihatkan
perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid. (2)
Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN
nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati
membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu
diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya
nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes melitus. (2)

1) Pengobatan Relaps
Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN yang
mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai
pemberian prednison terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran
nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila setelah
pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan

15
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥2+ disertai edema,
maka didiagnosis sebagai relaps. (8)
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial,
sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya.
Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid
inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan : (8)
a. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
b. Relaps jarang : jumlah relaps <2
c. Relaps sering : jumlah relaps ≥2 kali (40-50%)

2) Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid


Bila pasien telah dinyatakan sebagai SN relaps sering atau dependen
steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan
steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB
sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/
kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6-
12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Bila terjadi relaps pada dosis prednison
rumat >0,5 mg/kgBB alternating, tetapi <1,0>2. (8)
Cyclophosphamide biasa digunakan untuk penderita yang mengalami
relaps setelah steroid dihentikan (steroid-dependent) atau mengalami relaps >3
kali dalam setahun (frequently relapsing) bisa diberikan cyclophosphamide
2mg/kgBB/hr selama 8-12 minggu. Pada penggunaan cyclophosphamide perlu
diwaspadai terjadinya efek samping berupa infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi,
malignansi. Chlorambucil digunakan dengan alasan yang sama dengan
cyclophosphamide. Dosis 0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu. (4)
Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian
cyclophosphamide, diberikan Cyclosporine A (CyA) dengan dosis awal 4-5
mg/kgBB/hari, di mana dosis selanjutnya perlu disesuaikan dengan kadar CyA
dalam darah. Pemberian berlangsung selama 1 tahun kemudian diturunkan
perlahan-lahan. Mengingat CyA mempunyai efek nefrotoksik, perlu memonitor
fungsi ginjal. (4)

16
3) Pengobatan SN resisten steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS dilakukan biopsi
ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi
anatomi tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan
hasil yang lebih baik bila hasil biopsi ginjal menunjukkan SNKM daripada GSFS.
Dapat juga diberikan siklosporin, metilprednisolon, dan obat imunosupresif
(8)
lainnya.

H. Komplikasi
1) Hiperkoagulasi
Pada sindrom nefrotik dihubungkan dengan meningkatnya kehilangan
antitrombin III melalui urin, perubahan aktivitas dan kadar protein C dan S,
peningkatan sintesis fibrinogen oleh hepar, dan peningkatan agregasi platelet.
Keadaan-keadaan ini meningkatkan resiko terjadinya thrombosis dan emboli
spontan pada pasien. Emboli paru dan thrombosis vena dalam sering terjadi pada
pasien SN. (4)
Thrombosis vena renalis sering terjadi pada 30% pasien SN terutama pada
Glomerulonefritis membranosa (GNMN). Sekitar 10% pasien dengan thrombosis
vena renalis ini memberikan gejala nyeri pinggang atau abdomen, gross
hematuria, dan gangguan fungsi ginjal akut, tetapi kebanyakan pasien
asimptomatik. Stroke dan infark miokard juga merupakan komplikasi yang
potensial terjadi akibat hiperkoagulasi. (4)
2) Infeksi sekunder
Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan penyebab kematian pada SN
terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated organism). Infeksi pada SN
terjadi akibat defek imunitas humoral, seluler, gangguan sistem komplemen.
Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh
karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah
banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang
yang menggambarkan gangguan imunitas seluler. Hal ini dikaitkan dengan

17
keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi
dengan normal, infeksi yang paling sering terutama infeksi kulit oleh
streptococcus, staphylococcus, bronkopneumonia,TBC. (3, 4, 6)
Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran
kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan
biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan. (3)
3) Gangguan tubulus renalis
Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin
disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya
hantaran natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai
dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam.(3)
4) Gagal ginjal akut
Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui
berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma atau sepsis sering menyebabkan
timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi
penyebab gagal ginjal akut adalah terjadi edema intrarenal yang menyebabkan
kompresi pada tubular ginjal yang menyebabkan penurunan LFG. Sindrom
nefrotik dapat progresi dan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. (3, 4)
5) Anemia
Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun
resisten terhadap pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut
Fe yaitu transferin serum yangmenurun akibat proteinuria. (3)
6) Peritonitis
Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk
perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi
(3)
streptokokus pneumonia, E.coli.
7) Gangguan keseimbangan hormon dan mineral
Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin
pengikat tiroid (TBG)dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju
ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria. (3)

18
8) Hipokalsemia
Disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan
kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Di samping itu
pasien sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan
membaiknya proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi
kalsium dalam feses lebih besar daripada pemasukan. Hubungan antara
hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam GIT
menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun
penyakit tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan. (3)
Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolism kalsium dan
tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui
urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan
1,25(OH)2D plasma juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak
mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka
osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang tak terkontrol jarang dijumpai. Pada
SN juga terjadi kehilangan hormone tiroid yang terikat protein (thyroid-binding
protein) melalui urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas
dan hormon yang menstimulasi tiroksin (thyroxine-stimulating hormone) tetap
normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan. (9)
9) Hiperlipidemia dan Lipiduria
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar
kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal
sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya
LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar
trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density
lipoprotein). Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate-density
lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL (high density lipoprotein)
cenderung normal atau rendah. (9)
10) Malnutrisi
Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama apabila
disertai proteinuria massif, asupan oral yang kurang akibat perfusi usus yang

19
menurun, dan proses katabolisme yang tinggi. Penurunan massa otot sering
ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh gejala edema anasarka dan baru tampak
setelah edema menghilang. Kehilangan massa otot sebesar 10-20% dari massa
tubuh (lean body mass) tidak jarang dijumpai pada SN. (3, 4, 6)
11) Keseimbangan Nitrogen
Proteinuria massif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen
menjadi negatif. (9)

I. Prognosis
Prognosis makin baik jika dapat didiagnosis segera. Pengobatan segera
dapat mengurangi kerusakan glomerulus lebih lanjut akibat mekanisme kompen-
sasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit
memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps.(3)
Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak
berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun
dengan kortikosteroid. Prognosis minimal lesion lebih baik daripada golongan
lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang dewasa, bahkan bagi mereka yang
(3)
tergantung steroid.
Prognosis buruk pada glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN),
kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang
progresif dan pada sindrom nefrotik. (3)

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Shafa R. Sindroma Nefrotik. Journal [serial on the Internet]. Desember 2011


Date: Available from: http://drshafa.wordpress.com/sindrom-nefrotik/.
2. Gunawan C. Sindrom Nefrotik : Patogenesis dan Penatalaksanaan Samarinda:
Universitas Mulawarman; 2006.
3. Salme U. Sindrom Nefrotik. Journal [serial on the Internet]. November 2010
Date: Available from: www.scribd.com.
4. Anonim. Sindrom Nefrotik. Journal [serial on the Internet]. 2011 Date:
Available from: http://skydrugz.blogspot.com/.
5. Rauf S. Sindrom Nefrotik. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Makassar: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUH. p. 21-30.
6. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. In: Sudoyo AW d, editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007.
7. Anonim. Nephrotic Syndrome. Journal [serial on the Internet]. 2009 Date:
Available from:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000490.htm.
8. Israr Y. Sindrom Nefrotik. Riau: Belibis; 2008 [cited. Available from:
www.belibis17.tk.
9. Anonim. Sindrom Nefrotik. Journal [serial on the Internet]. Oktober 2010
Date: Available from: http://kumpulanreferat.wordpress.com/.

21

Anda mungkin juga menyukai